Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode antara lain sebagai berikut :
Qiyas
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al- Qur’an/as-Sunnah karena ada sebab yang sama.
Contoh : Menurut al-Qur’an surat al- Jum’ah sembilan; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan Jum’at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain (selain jual beli) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum’at?
Dalam al-Qur’an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat Jum’at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum’at, juga dilarang.
Contoh lain : Menurut surat al-Isra’ 23; seseorang tidak boleh berkata ah (cis) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua.
Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu ketika ‘ Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa? Jawab ‘Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu.
Ijma’
Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah.
Ketika ‘Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan :
”Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah “.
Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.
Istihsan
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum.
Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat az-Zumar 18.
Al-Mashlahah Al-Mursalah
Yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah: istihsan mempertimbang- kan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur’an/al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur’an / al-Hadits.