Apa Saja Macam-Macam Kuasa dalam Analisis Wacana?

image
Salah satu pendekatan dalam analisis wacana kritis adalam melalui pendekatan keukasaaan.

Apa saja macam-macam kuasa dalam analisis wacana?

Macam-macam Kuasa

Dalam kajiannya tentang “bahasa, kekuasaan dan emansipasi di Afrika Selatan”, de Kadt mengklarifikasikan “kekuasaan lingual” ke dalam dua tipe meskipun dengan tanpa batas yang jelas yakni kekuasaan yang jelas (the overt power), dan kekuasaan yang samar (the covert power). Kekuasaan yang jelas dibagi menjadi dua subtype: kekuasaan pragmatis (the pragmatic power), dan kekuasaan simbolis (the symbolic power).

1. Kekuasaan pragmatis

Bahasa didasarkan pada dominasi komunikatif dan urusan pragmatis dari kaidah wacana, yakni kaidah “who speaks what to whom in what situation, in what ways, and with what linguistic codes”. Tipe kekuasaan seperti ini berasal dari struktul sosial hierarki yang menentukan peran dan status seseorang dalam konteks tertentu dan melibatkan konteks “konstitutif” bahasa. Orang yang memilik status sosial yang lebih tinggi memiliki kekuasaan pragmatis kepada status sosial yang lebih rendah.

Contohnya adalah kutipan dari pidato Ahok di Kepulauan seribu.

“Nah waktu saya jadi bupati, saya memimpikan, itu budidaya, karena manusia ini, makin lama makin banyak”.

Kalimat ‘saya jadi bupati’ merepresentasikan saat Ahok menceritakan masa lalunya sebelum menjadi gubernur. Dalam data 6, ada struktur sosial yang muncul, baik berupa kelas sosial, status, sosial dan identitas sosial yang merupakan komponen analisis wacana kritis. Analisis ini didasari oleh audience yang merupakan masyarakat dengan status sosial yang lebih rendah dari Ahok.

2. Kekuasaan simbolis

Bahasa merupakan sebuah interpretasi dan melibatkan penghargaan dan prestise. Dalam wacana bahasa Jepang yang mengandung kata serapan dari bahasa Inggris misalnya, kekuasaan simbolik akan mengontrol dan (atau) mengendalikan pendengar atau pembaca atau penerima melalui etnosimbolik kebudayaan barat, seperti moderenitas, kemajuan dan kecanggihan yang dilekatkan pada pesan. Istilah director of photograpy memiliki kekuatan simbolis yang lebih tinggi dari pada istilah “juru foto”. Kata “juru” memilki kesan rendah dan identik dengan pekerjaan fisik semata-mata.

Kasus yang paling pas untuk dijadikan contoh adalah kekuasaan simbolik media sebagai kaki tangan penguasa dalam meliput kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo. Media-media yang dimiliki Grup Bakrie yang pada masa itu adalah Menkokesra Aburizal Bakrie sekaligus pemilik PT Lapindo Brantas sekaligus orang terkaya itu menggunakan kata “lumpur Sidoarjo” bukan “lumpur Lapindo”. Hal ini adalah bentuk kekuasaan simbolik media yang menjadi antek pemerintah untuk memerangi para korban bencana dan konsumen media pada umumnya. Dengan menyebut “lumpur Sidoarjo” maka esensi kasus ini menjadi berubah. Kelalaian perusahaan diubah menjadi bencana alam. Inilah bentuk kekuasaan simbolik yang sering dilakukan oleh media-media yang sudah berkongsi dengan pemodal sekaligus penguasa. Yang dirugikan adalah kaum marjinal yang tidak mempunyai akses kepada media.
Masih berhubungan dengan kekuasaan, sumber kekuasaan dibagi menjadi lima sumber yang amat prinsip, yakni (a) fisik, (b) sumber daya, (c) posisi, (d) kepakaran, dan (e) personal.

  1. Kekuasaan fisik adalah kekuasaan yang dimiliki individu karena unsur fisiknya kuat. Mantan presiden Uganda tahun 1980-an, Idi Amin, adalah presiden yang amat kuat dalam arti fisik. Dia seorang petunju kelas berat dan konon seorang pekarate pemegang sabuk hitam. Kekuasaan ini umumnya kurang terhormat dan oleh karena itu kekuasaan ini biasanya digunakan sebagai usaha terakhir. Contoh lain yang lebih sederhana adalah seorang polisi dapat memaksa penjahat untuk mengakui kejahatannya karena dari segi persenjataan polisi lebih kuat.
  2. Kekuasaan sumber daya adalah kekuasaan yang bersumber pada pengendalian sumber daya yang bernilai, misalnya ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Meskipun kekuasaan ini sering identik dengan aspek material, tetapi tidak selalu harus berupa material. Contohnya seorang pengusaha kaya yang dapat mempengaruhi seorang politikus dengan kekayaannya.
  3. Kekuasaan posisional atau kekuasaan institusional adalah kekuasaan yang dimiliki karena posisi seseorang di dalam masyarakat. Kekuasaan ini disebut juga kekuasaan hukum atau kekuasaan legitimasi. Seorang tokoh/elit masyarakat, misalnya, banyak dihormati dan disegani orang lain karena kekuasaan legitimasi yaitu, seorang ahli agama (ulama, pendeta, biksu) yang membawa pengaruh yang besar terhadap masyarakat.
  4. Kekuasaan kepakaran adalah kekuasaan yang dimiliki karena kepandaian atau keintelektualan seseorang. Hal ini tampak dalam kehidupan atau akademik di perguruan tinggi. Seseorang yang diberi lebel “pakar” akan banyak mempengaruhi “cara pandang” masyarakat akademik lainnya.
  5. Kekuasaan personal adalah kekuasaan yang dimiliki dan melekat pada seseorang oleh karena kharisma atau popularitas. Kekuasaan ini muncul mungkin saja akibat kepemilikan kekuasaan yang lainnya. Contohnya adalah kutipan dari pidato Ahok di Kepulauan seribu. “Saya, kalau ke pulau seribu, saya ingat kampung saya. Makanya, waktu saya turun, saya lihat pak lurah, saya panggil pak kades, karena tahunya kades”. Kata ganti pertama tunggal sangat banyak dipakai oleh Ahok. Kata ganti orang pertama tunggal tersebut mengacu pada pembicara itu sendiri, yaitu Ahok. Pemakaian kata ganti orang pertama tunggal “saya” mengindikasikan bahwa Ahok menonjolkan diri atau menunjukan eksistensinya sebagai gubernur, yang dalam hal ini gubernur memiliki kapasitas di atas kepala desa atau lurah.