Apa saja kriteria shalat khusyu dalam menjalankan ibadah?

Salat merujuk kepada ritual ibadah pemeluk agama Islam. Menurut syariat Islam, praktik salat harus sesuai dengan segala petunjuk tata cara Nabi Muhammad sebagai figur pengejawantah perintah Allah.

Apa saja kriteria shalat khusyu dalam menjalankan ibadah?

Khusyu’ adalah suatu sikap hati, bukan sekadar lisan maupun perbuatan. Karenanya, bagaimanapun hebatnya nasihat, peringatan ataupun pendidikan yang diberikan kepada seseorang tentang bagaimana beribadah dan shalat yang benar tidak akan ada artinya, kalau hati kita tidak khusyu’.

Sedangkan kriterianya adalah apabila kita sudah merasa butuh terhadap kasih sayang Allah. Lewat shalat yang kita lakukan, kita butuh pahala, taufiq, hidayah, dan maunah Allah. Kebutuhan terhadap kasih sayang Allah pada gilirannya menempatkan kita pada posisi selalu merasa diperhatikan oleh Allah. Buahnya adalah terpusatnya perhatian, pikiran hanya semata-mata kepada Allah. Ini yang kemudian kita kenal dengan istilah khusyu’ itu.

Orang dikatakan khusyu’ dalam shalat, apabila saat shalat itu pikiran dan perhatiannya benar-benar hanya terpusat kepada Allah. Inilah puncak dari khusyu’ itu

Kriteria pertama orang khusyu’ adalah apabila dalam beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat Allah dan kalau itu tidak bisa, kita harus yakin bahwa Allah melihat kita. Pemaknaan seperti ini lazim disebut dengan ihsan. Al-ihsan berarti

“Anta’budallâha kaannaka tarâhu, faillam takun tarâhu fainnahu yarâka”.

Suatu ketika, saat shalat berjamaah. Rasulullah SAW memendekkan bacaan salatnya. Sahabat bertanya,

“Selama bermakmum denganmu, inilah shalat tersingkat. Ada apa, ya Rasulullah SAW?”

Lalu Rasul menjawab

“Tidakkah kamu mendengar suara tangis seorang anak? Pastilah ibu dari anak itu tidak akan khusyu shalatnya bila mendengar tangis anaknya."

Lantas, apakah shalat Rasululllah dikatakan tidak khusyu? Mohon maaf, bila masih mengatakan bahwa shalat khusyu itu tidak mendengar apapun, berarti sudah meragukan kekhusyukan salat Rasul. Padahal, tidak ada seorangpun yang lebih khusyu salatnya daripada Rasul.

Itu tandanya, indikator khusyu bukan terletak pada pendengaran kita ketika shalat. Khusyu itu adalah ketika hati dan pikiran kita berada pada orbit shalat. Jikalau kita sedikit melenceng, segeralah kembali ke orbit tersebut. Karena, yang namanya khusyu itu adalah membaca doa dalam shalat dengan penuh penghayatan dan tumaninah dan sama sekali tidak ada kaintan dengan pendengaran

Sumber : http://www.auliacendekia.com/?p=733

Khusyu’ adalah suatu sikap hati, bukan sekadar lisan maupun perbuatan. Karenanya, bagaimanapun hebatnya nasihat, peringatan ataupun pendidikan yang diberikan kepada seseorang tentang bagaimana beribadah dan shalat yang benar tidak akan ada artinya, kalau hati kita tidak khusyu’.

Kriteria pertama, kunci utama dari setiap ibadah adalah kekhusyu’an hati. Khusyu’ harus dimulai dengan pengakuan yang muncul di dalam hati tentang apa yang akan kita lakukan itu. Ketika akan melaksanakan shalat jamaah misalnya, harus muncul sebuah pengakuan yang jujur di dalam hati kita bahwa kita butuh terhadap shalat jamaah itu. Kita mengharapkan pahala Allah yang berlipat ganda dari shalat jamaah itu. Ini pertama yang harus ditumbuhkan di dalam hati kita.

Kalau ini tidak ada, kita akan melakukan sesuatu karena terpaksa, karena tidak berangkat dari hobi, kesenangan, kecintaan kita apalagi kebutuhan. Ya, di sinilah saya ingin mengajak diri kita untuk kembali melihat posisi hati kita, sejauh mana hati kita ini sudah merasakan adanya kebutuhan terhadap doa, shalat dan pahala-pahala dari Allah swt. Kalau kita belum memilikinya, sulit sekali kita akan melakukan ibadah itu dengan khusyu’.

Ya, mungkin kita melaksanakan shalat Dhuhur atau Ashar dengan baik. Tapi, belum tentu hal itu terulang pada shalat Maghrib, Isya’ maupun Subuh. Atau, justru kita akan kembali lagi kepada tradisi-tradisi yang salah. Penyebabnya sederhana: kita tidak mengakui di dalam hati kita bahwa kita butuh. Karena itu, penting menumbuhkan keyakinan di dalam hati bahwa kita butuh ibadah yang benar. Kita sangat memerlukan pelaksanaan shalat jamaah yang benar. Inilah kriteria pertama dari khusyu’ itu.

Kriteria kedua adalah apabila kita sudah merasa butuh terhadap kasih sayang Allah. Lewat shalat yang kita lakukan, kita butuh pahala, taufiq, hidayah, dan maunah Allah. Kebutuhan terhadap kasih sayang Allah pada gilirannya menempatkan kita pada posisi selalu merasa diperhatikan oleh Allah. Buahnya adalah terpusatnya perhatian, pikiran hanya semata-mata kepada Allah. Ini yang kemudian kita kenal dengan istilah khusyu’ itu.

Orang dikatakan khusyu’ dalam shalat, apabila saat shalat itu pikiran dan perhatiannya benar-benar hanya terpusat kepada Allah. Inilah puncak dari khusyu’ itu. Tapi sekali lagi saya ingin ingatkan bahwa terpusatnya pikiran kita kepada Allah tidak mungkin terlaksana kalau kita tidak yakin dan tidak sadar bahwa kita diperhatikan Allah. Atau, kita tidak merasa butuh terhadap kasih sayang, taufiq, dan hidayah Allah.

Ketika kriteria orang khusyu’ dalam beribadah saling terkait. Ketiganya saling memiliki ikatan fungsional. Khusyu’ dalam beribadah selalu berangkat dari sebuah kebutuhan, kemudian muncul keyakinan bahwa diri diperhatikan oleh Allah dan yang terakhir terpusatnya konsentrasi terhadap apa yang sedang kita lakukan. Ketika kita shalat misalnya, pikiran kita tercurah pada apa yang kita baca, lalu kita wujudkan dalam amaliah shalat itu.

Dalam konteks khusyu’ beribadah, kita harus menghindari sifat orang munafik seperti disinyalir Al-Qur’an sebagai “Alladzîna idzâ qâmû ilas-shalâti, qâmû kusâla’” Yaitu, orang-orang yang apabila mau shalat, mereka itu malas, berlambat-lambat. Ketika dipanggil untuk shalat, tidak menjawab. Penyakit ini muncul karena tidak ada khusyu’. Biasanya orang tersebut datang ke masjid bukan niat untuk ibadah kepada Allah, tapi hanya sekadar untuk memenuhi disiplin.

Sifat munafik seperti di atas seringkali juga kita saksikan di tengah masyarakat. Ada sebagian orang rajin shalat dengan tujuan biar dipuji orang. Biar diperhatikan oleh calon mertua. Atau, biar mendapatkan imbalan material lebih dari seseorang. Sifat-sifat tidak terpuji tersebut bermula dari sikap malas.

Oleh karenanya, marilah kita berusaha untuk senantiasa khusyu’ dalam melaksanakan ibadah apa pun kepada Allah. Termasuk ketika kita melakukan ibadah ghairu mahdzoh, seperti belajar, mengajar, berbisnis, mengurusi organisasi dan sebagainya. Kalau sifat khusyu’ ini telah menjadi pondasi kita, sifat-sifat kita, insya Allah kita tidak akan merasa berat untuk melakukan apa pun yang berupa ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Wainnahâ lakabîratun illâ ‘alal khâsyi’în” (Sesungguhnya shalat itu akan terasa berat, terasa menjadi beban, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’).

Walhasil, sikap khusyu’ akan membentengi diri kita dari berbagai penyakit, baik penyakit individu ataupun penyakit sosial yang berkembang di masyarakat kita.

Wallâhu ‘a’lam bi ash-shawâb.