Apa saja kondisi hati manusia menurut Islam ?

Hati manusia

Apa saja kondisi hati manusia menurut Islam ?

Hati yang keras membatu

Sebagaimana dalam firman Allah berikut ini:

“Kemudian setelah itu hatimu keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal "di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai kepadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah, lalu keluar mata air dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah”, (QS Al-Baqarah [2]: 74).

Menurut mayoritas ahli tafsir, ayat ini ada hubungannya dengan peristiwa yang dilakukan oleh seorang dari Bani Israil. Masing-masing mereka tuduh-menuduh tentang siapa yang melakukan pembunuhan itu. Setelah mereka membawa persoalan itu kepada Nabi Musa a.s., Allah menyuruh mereka menyembelih seekor sapi betina agar orang yang terbunuh itu dapat hidup kembali, dan menerangkan siapa yang membunuhnya setelah dipukul dengan sebahagian dari tubuh sapi itu.

Kekerasan hati yang sulit menerima pengajaran itu telah dilukiskan oleh Allah Swt. bagai batu, bahkan lebih keras. Keadaan hati orang Bani Israil itu telah melekat juga pada sebagian orang-orang muslim. Seruan untuk beriman dan beramal saleh sudah sampai berulang kali kepadanya, tetapi tiada satu pun seruan itu yang membekas dalam hatinya. Meskipun ia tahu banyak tentang aturan agamanya, tapi tetap saja ia melakukan pelanggaran.

Hati yang tertutup,

Seperti dalam firman-Nya:

“Mereka berkata, "Hati kami tertutup‟. Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman. QS Al-Baqarah [2]: 88

Petunjuk atau hidayah bisa datang kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang hatinya pernah menyimpang dari keimanan. Tapi manusia sendiri yang menutup kesempatan datangnya hidayah tersebut. Seperti pandangan Hamka bahwa mereka sumbat sendiri hatinya dengan kufur. Jika manusia sendiri yang tidak mau diberi petunjuk, bahkan berusaha menghalanginya, maka dia berhak menanggung akibat pilihannya tersebut.

Hati yang berdosa

Seperti dalam firman Allah:

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu para saksi menyembunyikan persaksian. Barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS Al-Baqarah [2]: 283

Ayat ini membuktikan bahwa agama Islam bukan saja hanya mengurus masalah shalat, puasa, atau haji, tapi mengatur juga soal hubungan antara manusia dengan manusia yang juga dinamai “Hukum Perdata”. Jadi, soal-soal seperti ini pun termasuk agama juga. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan Negara dari dalam agama. Islam menghendaki hubungan yang lancar. Hadits mengatakan:

“Tidak merusak dan tidak kerusakan (di antara manusia dengan manusia)”.

Setiap pekerjaan baik yang dilakukan oleh seorang mukmin termasuk ibadah selama yang bersangkutan menjadikannya sebagai sarana atau bekal untuk ibadah dan taat kepada Allah Swt.

Keras dan kasar hati

Sebagaimana dalam firman Allah:

“Disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersifat keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. QS „Âli „Imrân [3]: 159

Menurut pendapat Hamka, pemimpin yang kasar dan berkeras-hati atau kaku sikapnya, akan seganlah orang menghampiri. Orang akan menjauh satu demi satu, sehingga dia “akan menggantang asap” sendirian.

Menurut Yusuf Ali, sifat lemah lembut Nabi itu menyebabkan semua orang sayang kepadanya.

Hati yang terdinding

Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul. Apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dengan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”. QS Al-Anfâl [8]: 24

Hamka menjelaskan bahwa dalam kesediaan diri (menuruti seruan Allah dan Rasul) hendaklah selalu ingat bahwa rencana hidup yang kita rencanakan sendiri, belum tentu akan berhasil… Kita tidak boleh menurutkan kata hati, melainkan tundukkanlah kata hati itu kepada kehendak Allah.

Manusia harus ingat bahwa kehendak hati atau jalan hidup yang sudah direncanakannya dengan matang belum tentu akan selalu berhasil. Seyogyanya, dalam setiap rencananya manusia itu selalu menyediakan ruang dalam hatinya untuk mohon pertolongan dan petunjuk Allah Swt., sebab kemampuan manusia sendiri amat terbatas.

Dia tidak tahu apa sebenarnya yang terbaik bagi jalan hidupnya di masa datang. Allah Maha Tahu, karena itu manusia mohon: jika pun rencananya tidak berhasil atau meleset, semoga Tuhan menggantikannya dengan rencana yang lebih baik dari rencana yang semula. Sikap dan keyakinan seperti ini membuat yang bersangkutan tidak akan merasa sombong di satu sisi, dan tidak putus asa di sisi yang lain.

Hati yang hancur

Sebagaimana dalam firman Allah:

“Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur”. QS Al-Taubah [9]: 110.

Setiap perbuatan yang tidak dilandasi oleh ikhlas atau perbuatan sendiri itu bernilai keburukan, hanya akan membuat pelakunya gelisah hati, sebab manusia itu tidak akan bisa mengelak dari perasaan hatinya, yang tahu mana yang baik dan mana yang buruk.

Menurut sebagian ulama hikmah definisi ikhlas adalah tidak ingin amalnya yang baik dilihat orang lain, apalagi diperlihatkan, seperti dia melakukan kejahatan yang tidak ingin diketahui umumnya masyarakat. Sedangkan sebagian ulama lainnya meletakkan dasar ikhlas ialah tidak menghendaki pujian orang.

Di sinilah timbul fungsi taubat itu, yaitu akan menentramkan hati setiap insan yang bersalah. Kalau tidak mau bertaubat, maka selamanya hati itu akan hidup dalam tekanan yang menyiksa batin. Hidup pun akan terasa hampa tak bermakna, tidak jelas ke mana arah yang dituju.

Hati yang teguh

Seperti dalam firman Allah:

“Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah)”. QS Al-Qashash [28]: 10

Kalau menuruti naluri atau perasaan seorang Ibu terhadap anak saja, tentu ia tidak akan tega/sanggup hati berbuat demikian. Tapi Allah turun tangan, membantu menguatkan hati Sang Ibu agar percaya sepenuhnya kepada bisikan ghaib itu. Sebab kalau tidak, bukan untung yang akan diterima, tapi malah petaka buat dirinya juga anaknya, Musa. Demikianlah Allah kuasa menguatkan hati Sang Ibu yang sedang dalam kebimbangan dan keraguan.

Hati yang kosong

Sebagaimana dalam firman Allah:

“Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong”. QS Ibrâhîm [14]: 43

Hati penduduk Makkah itu disebut kosong karena mereka tidak mampu lagi berbuat apa-apa untuk menyelamatkan negerinya dari para Mujahid Islam. Hati mereka hanya bisa pasrah, menerima saja apa pun yang akan dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Satu-satunya inisiatif yang muncul dalam hati mereka adalah tunduk dan pasrah.

Hati yang tenang

Sebagaimana dalam firman Allah:

“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. QS Al-Nahl [16]: 106

Ibnu Katsir mengambil kesimpulan di dalam tafsirnya-sebagaimana dikutip Hamka, ulama-ulama telah sependapat bahwa orang yang dipaksa mengeluarkan kalimat kufur untuk memungkiri keyakinannya sendiri, boleh saja dia mengaku kalau dia tak tahan, dan boleh pula dia bertahan terus pada pendiriannya, walaupun nyawa akan cerai dari badan sebagaimana yang dilakukan oleh Bilal itu.

Yang penting dalam penilaian Allah dan Rasul bukan apa yang dikatakan oleh mulut orang itu, sebab ia dalam keadaan terpaksa, tapi yang dinilai adalah apa yang ada di hatinya. Sebenarnya hatinya berat buat berkata yang tidak sesuai dengan ketetapan dan keyakinan hatinya. Segera setelah melakukannya ia mendatangi Nabi, karena hatinya gelisah.

Hati yang lalai

Sebagaimana dalam firman Allah:

“Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaaan lalai. Mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: “Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya”. QS Al- Anbiyâ‟ [21]: 2-3

Demikian ini sikap kaum musyrikin terhadap peringatan Rasulullah Saw. Mereka lalai, tidak menanggap benar setiap ucapan Muhammad, bahkan menganggapnya sebagai manusia biasa, bukan seorang Nabi dan Rasul. Mereka juga beranggapan apa yang diterima Nabi, yaitu Al-Quran sebagai sihir.

Bisa jadi hati mereka disebut lalai karena tidak mau mendengarkan bisikan hati nuraninya, yang menyadari sesungguhnya bahwa Muhammad Saw. itu manusia yang jujur, tidak mungkin berdusta. Atau mereka sendiri telah tahu tentang kerasulan Muhammad, tapi enggan mengakui dan mengikuti ajarannya, sebab mereka enggan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan masa lalunya yang tidak akan bisa dilakukan lagi kalau menerima Islam.

Hati yang takwa

Seperti dalam firman Allah:

“Barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. QS Al-Hajj [22]: 32

Yusuf Ali menulis dalam tafsirnya bahwa sya‟âir, simbol-simbol, dalam ayat ini tampaknya dipakai untuk upacara kurban. Kurban demikian adalah lambang, yang menandakan suatu pengabdian dan ketakwaan hati.

Menurut Hamka ayat ini menjelaskan bahwa segala upacara itu sekali-kali bukanlah kita menyembah tempat itu. Kita kerjakan semua itu tidak lain karena taat melakukan perintah Tuhan. Ini dicontohkan Umar, ketika berdiri di hadapan Hajar Al-Aswad akan menciumnya. Beliau berkata, “Hai batu, kalau bukanlah aku melihat Rasul Allah mencium engkau, tidaklah akan aku mencium engkau. Karena engkau hanya suatu batu, yang tidak memberi manfaat sesuatu pun dan tidak pula memberi mudharat.”

Tidak benar kalau ada orang mengira umat Islam memuja bangunan Ka’bah dan Hajar Aswad, serta tempat-tempat yang lainnya itu pada saat menunaikan ibadah haji. Semua ritual itu dilakukan menurut perintah Tuhan, sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci Al-Quran.

Umat Islam bersedia menjalankan segala ritual itu sebagai bukti ketundukan atau ketakwaan hati mereka. Jika ada seseorang yang mengira perbuatan ritual itu sia-sia saja, sebab khawatir terjatuh ke dalam syirik kecil, berarti hati yang bersangkutan belum takwa.

Hati yang takut

Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. QS Al-Mu‟minûn [23]: 60

Ini adalah sifat seorang muslim yang mukhlis. Mereka khawatir sedekah atau ibadah yang mereka lakukan tidak diterima di sisi Allah Swt. Mereka berusaha agar perbuatannya itu jauh dari riya‟, dan hanya menujukannya untuk Tuhan. Dengan demikian mereka berharap bisa kembali kepada Tuhan dalam keadaan Tuhan ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya.

Hati yang bersih

Seperti dalam firman Allah:

“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. QS Al-Syu‟ara [26]: 89

Bukan Ibrahim tidak tahu bahwa dosa syirik ayahnya itu amat besar dan tiada maaf dari Tuhan, tapi hatinya yang bersih merasa tidak sanggup membayangkan kepedihan siksa neraka yang akan menimpa ayahnya, sementara dirinya akan berada di syurga.

Allah berfirman dalam QS Al-Nisâ‟ [4]: 48,

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.

Allah SWT. mewajibkan manusia berbuat kebaikan kepada kedua orang tua, tapi jika keduanya memaksanya untuk mempersekutukan-Nya, maka ia jangan mengikuti keduanya.

Hati yang lebih suci

Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”. QS Al-Ahzâb [33]: 53

Yusuf Ali menjelaskan bahwa dasar yang pokok dalam suatu masyarakat yang baik ialah memperlihatkan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada mereka.
Demikianlah seharusnya sikap kaum muslimin terhadap keluarga Nabi, sebab meskipun dia manusia biasa tapi pangkatnya sebagai Nabi, dia dan keluarganya, layak mendapatkan penghormatan yang wajar.

Hati yang sesak

Sebagaimana dalam firman Allah:

“Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya.”. QS Al-Mu‟min [40]: 18

Jika sudah tiba saatnya hari kiamat, orang-orang yang mendustakan agama selama hidupnya akan menyesal. Menyesal mengapa ketika di dunia ia tidak bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus. Dadanya dipenuhi perasaan bersalah kepada Tuhan, sehingga terasa sesak. Hatinya sedih memikirkan nasib yang akan segera menimpanya, yaitu kesengsaraan ukhrawi.

Memikirkan dan merenungkan keadaan tersebut, atau keadaan kita masing-masing nanti di saat hari pembalasan, bisa jadi akan membuat hidup manusia di dunia ini bertambah baik; orang kafir menjadi muslim, orang muslim menjadi mukmin, orang mukmin menjadi saleh. Singkatnya orang- orang yang merasa salah jalan, kembali (taubat) kepada jalan yang benar.

Hati yang terkunci mati

Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Bahkan mereka mengatakan: “Dia (Muhammad) telah mengadakan dusta terhadap Allah”. Maka Jika Allah menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu; dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya (Al-Quran)”. QS Al-Syûrâ [42]: 24.

Orang-orang durhaka itu tidak puas hatinya hanya dengan menolak seruan Muhammad Saw. lalu diam. Lebih dari itu, mereka membuat-buat tuduhan kepada Nabi, bahwa beliau telah berdusta atas nama Allah Swt. Akan tetapi, tuduhan mereka tidak akan membuat Muhammad Saw. kecewa dan apalagi mundur dari tugas dakwahnya, sebab Tuhan Allah telah mencap hati beliau dengan kesabaran dan keteguhan. Dengan demikian, perputaran atau perjalanan waktulah yang akan membuktikan apakah tuduhan mereka yang benar, atau dakwah Muhammmad Saw.

Hati yang bertaubat

Sebagaimana dalam firman-Nya:

“(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat”. (QS Qaff [50]: 33).

Hamka menjelaskan bahwa dengan tertulisnya kalimat jâ‟a yang berarti datang, jelas iman yang kita pupuk dalam hati itu selalu aktif, bukan berdiam. Kita datang kepada Tuhan dengan perasaan taubat.

Secara etimologi tobat adalah kembali dan menyerah, sebagaimana dalam ungkapan “tâba ahadun”, artinya seseorang telah kembali dari berbuat dosa, maka dia adalah orang yang bertobat (tâ‟ib). Kadangkala kata tersebut dapat dinisbatkan kepada hamba dan dapat pula dinisbatkan kepada Allah Swt. Tobat jika dinisbatkan kepada hamba artinya kembalinya ia kepada Allah, setelah melakukan maksiat kepada ketaatan. Sedangkan jika dinisbatkan kepada Allah, maka berarti Allah menerima taubat, memaafkan kesalahan hamba-Nya (QS Al-Taubah: 117-118).

Iman di hati itu akan selalu membawa pemiliknya kepada kebenaran. Jika karena kelemahannya sebagai manusia ia terpaksa atau tidak, berbuat menyimpang dari kebenaran itu, maka ia pun segera mohon ampun kepada Allah Swt. Orang seperti ini tiada balasan yang pantas buatnya kecuali syurga (QS Qaf, 31).

Hati yang menerima petunjuk Allah,

Seperti dalam firman Allah:

“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. QS Al-Taghâbun [64]: 11

Di dalam ayat lain, Allah berfirman dalam QS At-Taubah [9] : 51;

“Katakanlah: tidaklah menimpa kita kecuali apa yang telah ditentukan oleh Allah kepada kita”.

Berkata ahlul-ma’ânî, artinya orang yang mendalami memahamkan maksud Al-Quran; “Dia akan memberi petunjuk dalam hatinya,” ialah diberi petunjuk supaya bersyukur ketika diberi kesenangan dan bersabar ketika ditimpa bala bencana.”

Iman berfungsi mengatasi musibah, bukan menghilangkannya. Siapa pun manusia di dunia ini, iman atau kufur, akan mengalami musibah yang berat maupun ringan kadarnya. Firman Allah Swt.,

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). QS Al-Anbiyâ‟ [21]: 35;

Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu. QS Muhammad [47]: 31

Perbedaannya terletak pada cara menghadapi atau menerima musibah tersebut. Orang yang beriman akan lebih tenang dan sabar menjalaninya, sedangkan orang kufur bisa jadi putus asa dan bahkan menganiaya diri sendiri atau orang lain. Kesabaran, ketabahan, dan kekuatan dalam menghadapi setiap musibah itu datangnya dari Allah Swt., sebagai bentuk pertolongan-Nya kepada orang yang beriman.

Hati yang condong kepada kebaikan

Sebagaimana firman Allah:

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu’min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. QS Al-Tahrîm [66]: 4

Yang dimaksud dengan orang berdua di sini ialah Aisyah dan Hafshah. Diceritakan dalam satu riwayat, bila Rasulullah mampir ke tempat Hafshah, Hafshah mengatakan mulut beliau berbau maghâfir dan jika beliau datang ke rumah Aisyah, dia pun mengatakan bahwa mulut berbau maghâfir, padahal yang beliau minum madu lebah, bukan maghâfir yang baunya tinggal pada mulut sehabis minum, meskipun rasanya enak. Sedang Rasulullah sangat merasa tidak enak kalau ada orang mengatakan bahwa mulutnya berbau

Menurut Abdullah Yusuf Ali bertobat dengan jujur ialah apa yang keluar dari hati dan kesadaran batin sendiri, dan tak boleh menolak untuk memperbaiki diri hanya karena sikap angkuh dan keras kepala.

Termasuk ke dalam akhlak yang baik adalah mengakui diri bersalah, taubat, setelah berbuat kesalahan. Hal ini berlaku bagi siapa saja, termasuk keluarga Rasul sekali pun. Sebaliknya, siapa saja yang enggan mengakui diri bersalah, itu suatu tanda hatinya tertutup atau keras terhadap kebenaran. Jika pun dipaksakan untuk bertaubat, hati itu akan pecah atau patah.

Hati yang sangat takut

Seperti dalam firman Allah:

“Hati manusia pada waktu itu sangat takut”. QS Al-Nâzi‟ât [79]: 8

Jika dalam pembahasan sebelumnya orang mukmin merasa takut ibadahnya ditolak Tuhan, maka orang berdosa dalam ayat ini sangat takut dan ngeri karena tahu azab Tuhan akan segera menimpanya. Ia sadar terhadap segala kesalahannya, namun kesempatan untuk bertaubat sudah tertutup, sebab alam akhirat adalah tempat menuai sedangkan dunia merupakan tempat menanam.

Memang, di antara tujuan Al-Quran menggambarkan kondisi orang mukmin dan orang kufur di zaman akhirat nanti, adalah sebagai peringatan bagi kita yang masih hidup di dunia ini, agar meluruskan sikap yang bengkok, memperbaiki perbuatan yang salah, dan bertaubat dari segala kesalahan.

Hati yang terbakar

Sebagaimana firman Allah:

“(yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan. Yang (naik) sampai hati. QS Al-Humazah [104]: 6-7

Menurut Quraish Shihab ayat ini menggambarkan bahwa api itu membakar seluruh tubuh sang durhaka, hingga pada akhirnya membakar hatinya. Ada yang memahami api mengetahui dengan sebenarnya isi hati sang pendurhaka dan mengetahui dosa-dosanya sehingga sisksaan yang diterimanya sesuai dengan kadar dosanya.xcvii
Mengapa dalam ayat ini disebut api itu membakar hingga sampai ke hati manusia pendosa?

Kesimpulan dari pendapat Hamka tersebut adalah, karena dari bisikan hati itulah timbulnya segala perbuatan manusia, baik maupun buruk, maka hati bertanggung jawab terhadap apa-apa yang diputuskannya selama di dunia.

Manusia yang perbuatannya buruk dan menyimpang dari agama, menunjukkan hatinya buruk dan kotor. Demikian pula sebaliknya, akhlak yang baik timbul dari hati yang baik dan jernih. Hati itu memegang peranan yang sangat penting.

Sumber : Jejen Musfah, Hati dalam tafsir al-azhar Hamka, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta