Apa Saja Kewajiban Seorang Suami Dalam Islam?

Suami istri

Seorang suami adalah pemimpin dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, apa saja kewajiban seorang suami dalam ajaran agama Islam ?

suami

Suami adalah kepala keluarga. Pada dirinya terletak tanggungjawab yang besar, kewajiban yang bermacam-macam terhadap keluarganya, dirinya dan agamanya yang harus ia letakkan secara seimbang, sehingga satu kewajiban tidak mengurangi kewajiban yang lain.

Beberapa kewajiban seorang suami adalah :

1. Memberi nafkah lahir dan batin/pergaulan suami istri

Ajaran Islam menetapkan bahwa suami bertanggung jawab untuk menafkahi istrinya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.

  • Nafkah lahir

    Rasulullah saw bersabda:

    "Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Adi bin Tsabit ia berkata; Aku mendengar Abdullah bin Yazid Al Anshari dari Abu Mas’ud Al Anshari maka aku berkata; Dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jika seorang muslim memberi nafkah pada keluarganya dengan niat mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah sedekah.

    Walaupun memberi nafkah itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang merupakan kepala rumah tangga, tetapi sesuai dengan dalil yang di atas, memberi nafkah itu tidak boleh berlebih-lebihan, dalam artian melewati batas kemampuan suami itu, yang nantinya akan membuat suami itu sengsara. Dan tidak boleh juga kurang, yang nantinya akan berakibat memberatkan sang istri.

  • Nafkah batin / Pergaulan Suami Istri

    Tidak dapat dipungkiri bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki nafsu syahwat, dengan adanya nafsu syahwat itu maka setiap orang ingin memiliki keturunan, yang akhirnya disyariatkanlah perkawinan. Ada ulama berpendapat bahwa hukum memberikan nafkah batin (hubungan suami istri) bagi seorang suami apabila tidak ada halangan adalah wajib. Ada juga yang mengatakan bahwa melakukan hubungan suami istri itu wajib dilakukan setiap empat hari sekali, tetapi ada juga yang berpendapat enam hari sekali.

    Sebenarnya berbagai macam pendapat ulama di atas itu sejalan dengan anjuran Rasulullah saw. yang melarang setiap suami meninggalkan istrinya dalam waktu yang terlalu lama, walaupun untuk tujuan berzikir, beribadah dan jihad. Karena perbuatan yang demikian itu pada hakikatnya akan menyiksa perasaan istri.

    Selain hanya untuk memenuhi kebutuhan nafsu syahwat, memiliki keturunan merupakan salah satu tujuan dari ikatan perkawinan. Oleh karena itu, salah satu dari suami atau istri tidak boleh menghalangi yang lainnya untuk memenuhi hak berhubungan suami istri. Hak berhubungan suami istri ini ditetapkan oleh syara.

Dalam memenuhi kebutuhan keluarga hendaklah seorang suami mencari nafkah dengan cara yang halal agar diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala dan mendapat pahala karena telah memenuhi kebutuhan keluarganya.

2. Mempergauli istri dengan baik

Islam memandang rumah tangga dengan mengidentifikasinya sebagai tempat ketenangan, keamanan dan kesejahteraan. Islam juga memandang hubungan dan jalinan suami-istri dengan menyifatinya sebagai hubungan cinta, kasih dan sayang, dan menegakkan unsur ini di atas pilihan dan kemauan mutlak agar semuanya dapat berjalan dengan sambut menyambut, sayang menyayangi dan cinta mencintai.

Suami harus memperbaiki pergaulannya dengan istri, untuk itu harus menggauli mereka dengan cara yang mereka senangi. Jangan memperketat nafkah mereka, jangan menyakiti mereka melalui perkataan maupun perbuatan. Atau menyambut mereka dengan wajah yang muram dan menyambut mereka dengan mengerutkan dahi.

Dan apabila suami tidak menyenangi istrinya karena keaiban akhlak atau fisik mereka yang tidak menyenangkan, bersabarlah, karena Allah menjadikan kebaikan itu menyeluruh, menyangkut segala sesuatu, termasuk pada mereka yang tidak disukai itu.

Orang-orang saleh pernah berkata, Seorang istri itu laksana botol, maka penuhilah botol itu dengan minuman yang engkau sukai… Orang saleh yang lain pernah berkata, Dalam menghadapi seorang wanita, kita memerlukan sedikit humor, tutur kata yang lembut, melipur lara, dan perhatian yang cukup… Juga diingat, tutur kata yang baik termasuk sedekah.

Islam melarang suami melukai perasaan istri dengan perkataan. Karena hal itu yang akan membuka terjadinya pemukulan dan kekerasan lain oleh suami kepada istri, akibatnya istri akan tersakiti secara fisik juga mentalnya, walaupun dalam batas-batas yang dibenarkan oleh syariat karena istri tidak taat kepada suaminya boleh memukulnya. Karena memukul merupakan perubahan hukum dari kesulitan kepada kemudahan karena suatu alas an disebabkan latar belakang hukum asli. Sebab larangan itu merupakan rasa kasihan dan sayang kepada mereka.

3. Kewajiban membina dan mendidik mereka.

Al-Imam As-Sa‟di Ra, berkata: “Tidak akan selamat seorang hamba kecuali jika ia telah menunaikan perintah Allah terhadap dirinya dan terhadap siapa saja yang dibawah tanggung jawabnya dari para istri dan putra-putrinya, serta yang lainnya yang dibawah kewenangan dan pengaturannya. Engkau sebagai kepala rumah tangga, wajib menjaga dirimu dan keluargamu, istri dan putra- putrimu dari dahsyatnya api neraka jahannam. Dengan menegakkan amar ma’rûf nahî munkar dalam rumah tanggamu, mengajak mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kejelekan. Engkau harus berupaya semaksimal mungkin dalam mengondisikan keluargamu untuk menjalankan kewajiban yang Allah perintah kepada mereka. Diantaranya kewajiban shalat, maka kepala rumah tangga harus memerintahkan keluarganya untuk melaksanakannya”.

Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman :

“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat”.

4. Kewajiban Bergaul dengan Mereka Secara Baik

Hendaknya seorang suami dalam membina keluarganya dengan cara yang baik, lemah lembut dan penuh kasih sayang, bukan dengan kekerasan. Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memerintahkan yang demikian itu dalam firman-Nya (artinya),

“bergaullah dengan mereka secara patut.”

Berkata Al-Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut, “Maniskanlah perkataan kalian terhadap mereka, baguskanlah perbuatan dan penampilan kalian sebagaimana kalian senang jika istri-istri kalian seperti itu, maka berbuatlah engkau untuk dia seperti itu pula.”

Demikian pula, engkau harus membersihkan rumah tanggamu dari berbagai sarana yang dapat merusak aqidah, akhlak, dan juga sarana yang membuat mereka lalai dari berdzikir kepada Allah.

Dunia benar-benar fitnah, telah terbuka lebar-lebar pintu fitnah yang membuat lalai bani Adam. Waktu shalat telah tiba, adzan dikumandangkan, beberapa orang saja yang sudi menjawab panggilan adzan dan mau mengerjakan shalat diawal waktu. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang tidak shalat. Mereka masih asyik ada di mal-mal, warnet-warnet, pasar-pasar atau yang lain.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang menaati suaminya, yang memelihara (merahasiakan) segala apa yang terjadi antara suami dan isteri berdasar perintah Allah dan (terhadap) perempuan yang kamu khawatir akan berbuat (durhaka) kepadamu, maka berilah nasehat, jangan tidur seranjang dengannya, dan pukullah mereka Jika mereka kembali menaatimu, janganlah kamu berlaku curang terhadap mereka sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Besar” An-Nisâ Ayat 34

Kewajiban suami di dalam perkawinan, Menurut kitab fikih sunnah karya Sayyid Sabiq adalah:

  1. memberikan nafkah kepada isteri.
  2. Berlaku adil terhadap semua isteri bagi suami yang mempunyai isteri lebih dari satu.

Kewajiban suami dapat dilihat juga dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

  1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.

  2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

  3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.

  4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

    a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri
    b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
    c. Biaya pendidikan bagi anak.

  5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.

  6. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

  7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada nomer (2) gugur apabila isteri nusyuz.

  8. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya.

  9. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan.

  10. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.

  11. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Pada dasarnya antara kewajiban dan hak suami istri merupakan suatu yang timbal balik, yakni apa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak bagi istri, dan apa yang menjadi kewajiban istri merupakan hak bagi suami.

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah ayat 228).

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut” (QS. Al-Nisa’ ayat 19).

Baik suami maupun istri, keduanya dituntut untuk melaksanakan kewajiban masing-masing dengan baik. Di samping ada kewajiban masing-masing pihak, di sisi lain juga ada kewajiban yang menjadi tanggung jawab bersama suami dan istri. Dan kewajiban masing-masing pihak ini hendaknya jangan dianggap sebagai beban, namun dianggap sebagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan.

Secara garis besar, kewajiban suami terhadap istri ada dua macam yaitu : kewajiban yang bersifat meteriil dan kewajiban imateriil. Kewajiban yang bersifat materiil yaitu mahar dan nafkah, sedangkan kewajiban imateriil yaitu pergaulan yang baik dan mu’amalah yang baik serta keadilan.

Kewajiban dan hak yang bersifat materiil


1. Mahar

Mahar yaitu harta yang menjadi hak istri yang harus dipenuhi oleh suami karena adanya akad atau dukhul. Setidaknya ada sembilan nama lain dari mahar, yaitu shadaq atau shaduqah, nihlah, ajr, faridhah, hiba’, ‘uqr, ‘alaiq, thaul dan nikah.

Adapun ayat-ayat yang menunjukkan kewajiban membayar mahar yaitu:

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” QS al-Nisa’ ayat 4

Ayat ini turun sebagai teguran terhadap kebiasaan seorang lelaki pada masa Nabi yang menikahi wanita hamba sahaya tanpa memberikan mahar. Malah sebaliknya yang terjadi, pihak wanitalah yang dimintai mahar, maka turunlah ayat di atas.

Kalau melihat asbab al-Nuzul di atas maka dapat kita ketahui bahwa tema sentral ayat di atas adalah perintah memberikan mahar kepada wanita yang dinikahi. Menurut al-Qurthubi ayat ini ditujukan kepada para suami. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas, Qatadah, Ibnu Juraih dan Zaid. Namun Ibnu Shalih berpendapat bahwa yang menjadi saran khitab ayat adalah para wali. Karena pada mulanya para wali mengambil mahar dari anak mereka tanpa memberi bagian sedikitpun.

Menurut Muhammad Thahir Ibn Asyur, sebagaimana dikutip oleh Qurasih Shihab, kata yang menunjukkan kewajiaban mahar dalam ayat ini adalah bentuk jamak dari akar kata yang berarti “kebenaran”. Ini karena maskawin didahului oleh janji, maka pemberian itu merupakan bukti dari kebenaran janji.

Bisa juga dikatakan bahwa maskawin bukan saja lambang yang membuktikan kebenaran dan ketulusan suami untuk menikah dan menanggung kebutuhan hidup istrinya, tetapi lebih dari itu, ia adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia dalam rumah tangga, khususnya rahadia terdalam yang tidak dibuka oleh seorang wanita kecuali kepada suaminya. Dari segi kedudukan, maskawin sebagai lambang kesanggupan suami untuk menanggung kebutuhan. kehidupan istri, maka maskawin hendaknya sesuatu yang bernilai materi, meskipun hanya sekedar cicncin besi. Dan dari segi kedudukannya sebagai lambang kesetiaan suami istri, maka maskawin boleh merupakan pengajaran ayat-ayat al-Quran.

Ayat lain yang berbicara tentang perintah memberikan mahar adalah ayat 25 dari surat al-Nisa’:

”Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang- orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Maskawin atau mahar dilukiskan dengan sesuatu yang diwajibkan bagi suami. Maskawin harus diberikan sesuai dengan ukuran masyarakat setempat serta tidak memberikan suami dan
tidak juga merugikan istri.

Dalam tafsir Jalalain diartikan bahwa sebaiknya mahar yang diserahkan kepada istri tidak terlalu kecil dan juga tidak berlebihan. Muhhammad Ali al-Shabuni menafsirkannya dengan memberikan mahar berupa sesuatu yang berharga dan tidak menguranginya.

Menurut Quraish Shihab menyatakan bahwa mahar atau maskawin disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Selain itu, mahar juga harus disesuaikan dengan kemampuan suami dengan tidak berlebihan.

Memberikan mahar hendaknya dengan cara yang baik, selain itu mahar harus berupa barang yang patut dan berharga. Karena kalau kita melihat definisi mahar dari kalangan ulama madzhab mengidentikkan mahar sebagai ganti dari pihak suami kepada istri atas dukhul. Adapun jumlah mahar yang diberikan tidak terikat jumlah tertentu. Hal ini didasarkan pada kesepakatan pihak yang bersangkutan. Hanya saja disunahkan tidak melebihi mahar yang pernah diberikan Nabi Muhammad saw. Kepada istri-istrinya, dan mahar anak perempuannya, yakni maksimal 500 dirham.

Mahar harus dibayarkan atau dilunasi oleh suami yang telah mencampuri istrinya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 19. Menurut Ibnu Qudamah mahar yang dibayar memang wajib dalam perkawinan, tetapi tidak harus ada ketika melaksanakan akad. Dan suami tidak wajib membayarnya sebelum menyentuh atau mencampuri istri. Dengan menyebut adanya kewajiban membayar mahar ketika sudah berhubungan, sama artinya dengan menyatakan belum wajib membayar mahar sebelum melakukan sentuhan (mafhum mukhalafah). Suami dilarang mengambil mahar yang telah diberikan kepada istri. Hal ini berdasarkan firman Allah al-Nisa ayat 21 dan al-Nur 32.

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. dan mereka (istri- istrimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” QS. al-Nisa ayat 21

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang- orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba- hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” QS al-Nur 32

2. Nafkah

Dasar kewajiban membayar nafkah kepada istri antara lain:

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” QS. Al-Baqarah ayat 233.

Tema sentral ayat di atas adalah masalah penyususan anak. Adapaun kaitannya dengan kewajiban suami terhadap istri yang berupa nafkah adalah dalam menyusui anak tentunya seorang ibu membutuhkan biaya. Biaya inilah yang menjadi kewajiban suami. Suami berkewajiban memberikan makan dan pakaian kepada para ibu. Ayat di atas merupakan perintah, namun dengan redaksi berita (al-Amru bishighah al-khabar) bentuk redaksi kalimat seperti ini bertujuan untuk menguatkan (li al-Mubalaghah).

Kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga merupakan kewajiban atas dasar suami adalah kepala keluarga. Kewajiban memberi makan dan pakaian itu hendaknya dilaksanakan dengan cara yang ma’ruf, yakni dengan dijelaskan maknanya dengan penggalan ayat berikutnya ”seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya” yakni jangan sampai ayah mengurangi hak yang wajar bagi seorang ibu dalam pemberian nafkah dan penyediaan pakaian, karena mengandalkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Dan juga seorang ayah jangan sampai menderita karena ibu anak-anaknya menuntut sesuatu di atas kemampuan sang ayah, dengan dalih kebutuhan anak yang disusukannya.

Menurut al-Baidhawi, pemberian yang dimaksud dalam ayat ini berarti, “selama itu masih bisa dilaksanakan oleh sang suami”. Al-Baghawi menafsirkan kata ini dengan pemberian yang sesuai dengan kemampuan suami.

Menurut Ibnu katsir berarti sesuai dengan adat kebiasaan, sosio-kultural masyarakat setempat tidak terlalu minim dan juga tidak berlebihan, dan tentunya sesuai dengan kemampuan suami.

Sedangkan al-Tsa’alibi menafsirkannya nafkah yang sesuai standar makanan yang baik dan kemampuan suami untuk memenuhinya serta sesuai dengan kebutuhan istri.

Menurut Ibnu Qudamah seorang berhak mendapatkan nafkah dari seorang suami dengan dua syarat.

  • Pertama, wanita tersebut sudah dewasa dan siap melakukan hubungan seksual dengan suami. Ada tidaknya nafkah tergantung pada ada atau tidaknya hubungan atau istimta’. Kalau ada hubungan maka nafkah wajib diberikan.

  • Kedua, istri menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami. Sebaliknya istri yang tidak menyerahkan dirinya atau wali tidak merestui maka nafkah tidak wajib.

Kewajiban dan hak yang bersifat imateriil


Adapun hak yang bukan benda yang harus ditunaikan seorang suami terhadap istri disimpulkan dari surat al-Nisa’ ayat 19:

”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Melalui ayat di atas memerintahkan kepada suami untuk memperlakukan dan bergaul dengan istri dengan cara yang baik. Ada sebagian ulama yang memahaminya dalam arti perintah untuk berbuat baik kepada istri yang dicintai maupun tidak. Pemahaman mereka mencakup tidak mengganggu tidak memaksa, dan juga lebih dari itu, yakni berbuat ihsan dan berbaik-baik kepadanya.

Al-Sya’rawi, sebagaimana dikutip Quraish Shihab mempunyai pandangan lain. Dia menjadikan perintah di atas tertuju kepada para suami yang tidak lagi mencintai istrinya.

Al-Sya’rawi mengingatkan kaum muslim dalam ayat di atas agar kehidupan rumah tangga tidak berantakan hanya karena cinta suami istri telah pupus. Ketika ada suami yang hendak menceraikan istrinya dengan alasan ia tidak mencintainya lagi, Umar Ibn Khatab mengancamnya sambil berkata “apakah rumah tangga hanya dibina atas dasar cinta? Kalau demikian mana nilai- nilai luhur? Mana pemeliharaan? Mana amanat yang engkau terima?

Menurut Azar Basyir, menggauli istri dengan baik ini mencakup:

  1. Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan;

  2. Melindungi dan menjaga nama baik istri. Hal ini tidak berarti suami harus menutup-nutupi kesalahan istri. Namun menjadi kewajiban untuk tidak membeberkan kesalahan atau keburukan istri kepada orang lain.

  3. Memenuhi kebutuhan biologis yang merupakan kodrat pembawa hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak istri, dalam hal ini ketenteraman dan keserasian perkawinan antara lain ditentukan oleh hajat biologis ini.

Kewajiban suami terhadap istri mencakup kewajiban materi berupa kebendaan dan kewajiban yang bukan berupa kebendaan.

Sesuai dengan penghasilannya, suami mempunyai kewajiban terhadap istri:

  1. Memberi nafkah, kiswah dan tempat tinggal. Seorang suami diberi beban untuk memberikan nafkah kepada istri berupa sandang, pangan, papan dan pengobatan yang sesuai dengan lingkungan, zaman dan kondisinya.

  2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

  3. Biaya pendidikan bagi anak.

Sedangkan kewajiban yang terkait dengan non-kebendaan, seorang suami wajib memberikan kepasan batin seorang istri.