Apa saja jenis terapi modalitas keperawatan jiwa?

Keperawatan jiwa butuh pendekatan yang berbeda dengan cabang keperawatan lainnya.

Apa saja jenis terapi modalitas keperawatan jiwa?

Terapi modalitas adalah berbagai macam alternatif terapi yang dapat diberikan pada pasien gangguan jiwa. Gangguan jiwa merupakan berbagai bentuk penyimpangan perilaku dengan penyebab pasti belum jelas. Oleh karenanya, diperlukan pengkajian secara mendalam untuk mendapatkan faktor pencetus dan pemicu terjadinya gangguan jiwa. Selain itu, masalah kepribadian awal, kondisi fisik pasien, situasi keluarga, dan masyarakat juga memengaruhi terjadinya gangguan jiwa.

Maramis mengidentifikasi penyebab gangguan dapat berasal dari masalah fisik, kondisi kejiwaan (psikologis), dan masalah sosial (lingkungan). Apabila gangguan jiwa disebabkan karena masalah fisik, yaitu terjadinya gangguan keseimbangan neurotransmiter yang mengendalikan perilaku manusia, maka pilihan pengobatan pada farmakologi. Apabila penyebab gangguan jiwa karena masalah psikologis, maka dapat diselesaikan secara psikologis. Apabila penyebab gangguan karena masalah lingkungan sosial, maka pilihan terapi difokuskan pada manipulasi lingkungan. Dengan demikian, berbagai macam terapi dalam keperawatan kesehatan jiwa dapat berupa somatoterapi, psikoterapi, dan terapi lingkungan (Maramis, 1998).

Terapi Modalitas
Gambar Terapi Modalitas

Konsep terapi modalitas dalam keperawatan kesehatan jiwa terus mengalami perkembangan disesuaikan dengan masalah yang dialami pasien, intervensi keperawatan disesuaikan dengan penyebab utama terjadinya masalah keperawatan.

Pada pemberian somatoterapi (terapi somatik), peran perawat difokuskan pada pengenalanjenisfarmakoterapiyangdiberikan,mengidentifikasiefeksamping,dankolaborasi penanganan efek samping obat. Pada pemberian terapi kejang listrik (electroconvulsive therapy—ECT) peran perawat adalah menyiapkan pasien dan mengevaluasi kondisi pasien setelah mendapatkan terapi kejang listrik.

Pada kelompok psikoterapi, perawat dapat memberikan berbagai upaya pencegahan dan penanganan perilaku agresif, intervensi krisis, serta mengembangkan terapi kognitif, perilaku, dan berbagai terapi aktivitas kelompok. Pada kelompok terapi lingkungan, perawat perlu mengidentifikasi perlunya pelaksanaan terapi keluarga, terapi lingkungan, terapi okupasi, dan rehabilitasi.

Bagan berikut menggambarkan sinkronisasi berbagai alternatif terapi medis dan keperawatan, yang sering disebut dengan istilah terapi modalitas.


Gambar Macam-macam Terapi Modalitas

Pemilihan terapi yang akan dilaksanakan bergantung pada kondisi pasien dengan berbagai macam latar belakang kejadian kasusnya. Pilihan salah satu terapi dapat dikombinasikan dengan terapi lain. Jarang sekali untuk pasien gangguan jiwa dapat diselesaikan dengan satu (single) terapi.

CONTOH KASUS
Pasien wanita, dewasa muda, belum menikah, dirawat di rumah sakit jiwa selama dua minggu. Kondisi sudah stabil dan membaik, sehingga oleh dokter yang merawat sudah diizinkan pulang. Oleh perawat dilakukan tindakan persiapan pulang (discharge planning) untuk menyiapkan berbagai aktivitas dan keterampilan rutin harian yang harus dilakukan pasien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Pasien sudah siap dan boleh pulang.

Hari pertama, pada awalnya pasien menjalankan aktivitas di rumah tidak ada kendala. Bangun pagi, mandi, salat, membersihkan kamar, dan menyapu dalam rumah. Kegiatan dilanjutkan menyapu halaman, tetapi dilarang oleh ibunya (ibunya malu takut ketahuan tetangga). Anak terpaksa harus mengikuti larangan ibunya.

Sejenak kemudian, melihat ibunya membawa tas siap berbelanja ke pasar, anak mencoba menawarkan untuk membawakan tas belanja. Namun, lagi-lagi ditolak, serta disuruh menunggu saja di rumah.

Setelah ibu pulang, anak mencoba membantu masak, tetapi tidak boleh membantu memotong sayur. Ibu takut jika sang anak (bekas pasien) membawa pisau dapat melukai orang di dapur. Selain itu, anak mencoba membantu cuci piring, tetapi tidak boleh karena takut piringnya dipecah, dan sebagainya. Kemudian anak bertanya, “Lha saya harus berbuat apa Bu? Saya sudah dilatih perawat dan bisa melaksanakan kegiatan rutin harian.” Ibu menjawab, “Sudahlah nak, kamu tunggu saja dalam kamar (duduk manis dalam kamar). Nanti jika sarapan sudah siap, akan Ibu antar ke kamar.”

Saat makanan sudah siap, makanan diantar ke kamar, tetapi piring dipilihkan yang tidak dapat pecah (piring plastik) supaya tidak dibanting, sendok dicarikan yang bukan dari logam, karena jika dari logam dapat diasah di lantai menjadi pisau, gelas yang tidak bisa pecah. Anak makan dengan sedikit berpikir, “Ibuku ini bagaimana? dibantu cuci piring tidak boleh, aku dikasih makan dengan piring plastik.” Namun, semua terpaksa harus dilakukan. Jika membantah ibu, bisa kena marah dan dianggap belum sembuh.

Sesaat kemudian, ibu dan bapak pamit bekerja. Anak sudah dipesan harus di dalam kamar saja dan tidak boleh keluar. Anak bingung, “Lho, saya kan jadi gak bisa melaksanakan aktivitas yang bermanfaat. “Gak masalah, yang penting tidak keluar rumah”, jawab ibu. Anak kembali bertanya, “Jika ingin kencing atau buang air besar gimana?” “Panggil pembantu.” jawab ibu.

Saat benar-benar ingin buang air kecil dan buang air besar, anak mengetuk pintu dan memanggil pembantu, “Mbak… pingin kencing”. Pembantu mendengar, tapi tidak berani membuka karena takut. Beberapa waktu kemudian, memanggil lagi dengan sedikit lebih keras, sehingga pembantu tambah takut dan pergi ke rumah tetangga. Panggilan ketiga lebih keras lagi, sehingga tetangga bertanya, “Siapa dari tadi mengetok pintu dan teriak-teriak itu?”. Pembantu menjawab, “Anak ibu yang baru pulang dari rumah sakit jiwa.”

Saat ibu pulang disapa oleh tetangga, “Ibu… maaf, kenapa putrinya belum sembuh sudah dibawa pulang dari rumah sakit jiwa?” Ibu terkejut dan balik bertanya, “Putri yang mana?” “Putri yang tadi teriak-teriak.” jawab tetangga. Sang ibu bergegas menuju rumah, dengan menggerutu. Ibu menuju kamar anak dan membuka kunci pintu kamar. Setelah pintu terbuka, tercium bau feses dan urin.
Spontan ibu marah, “Nak… apa kataku… kamu belum sembuh kan… kenapa kamu tidak nurut sama ibu?”, dan seterusnya. Apapun penjelasan anak tidak didengar.

Kasus di atas menunjukkan bahwa pemilihan orang yang perlu diobati dan terapi apa saja yang perlu digunakan sangatlah penting. Oleh karena itu, pasien yang telah mulai membaik harus mendapat dukungan dari keluarga yang telah siap dan tidak overprotektif, tetangga yang siap, dan lingkungan yang kondusif.

Berdasarkan gambaran kasus di atas, pilihan alternatif terapi adalah sebagai berikut.

  1. Apabila pasien dalam kondisi akut dan kritis, lakukan manajemen krisis, sesuai dengan tindak kegawatdaruratan yang dialami pasien. Tenangkan pasien dengan psikofarmaka. Jika sudah memungkinkan, maka lakukan terapi kognitif dan perilaku. Lanjutkan dengan terapi aktivitas kelompok. Jika secara psikologis pasien kondusif, maka lakukan rehabilitasi psikiatri dengan okupasi terapi.

  2. Untuk keluarga dan lingkungan, lakukan terapi keluarga agar dapat mengembangkan koping yang adaptif, siap menerima pasien, dan menjadi sistem pendukung bagi pasien. Identifikasi kesiapan lingkungan. Usahakan lingkungan menjadi tempat yang kondusif untuk melatih aktivitas rutin harian pasien. Jika memungkinkan, kembangkan bengkel kerja terlindung (sheltered workshop) untuk menyiapkan pasien kembali hidup produktif di masyarakat.

Sumber :
Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati , Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Penerbit Salemba Medika, 2015.