Sistem Representasi Proporsional
Penjelasan rasional yang mendasari sistem PR adalah proses mengkonversi proporsi suara partai menjadi proporsi kursi di lembaga legislatif. Ada dua tipe utama sistem PR—Daftar PR dan Single Transferable Vote (STV). PR mensyaratkan penggunaan daerah pemilihan dengan lebih dari satu wakil: tidak mungkin membagi satu kursi terpilih untuk satu kesempatan secara proporsional. Di beberapa negara, seperti Israel dan Belanda, seluruh negara merupakan satu daerah pemilihan berwakil majemuk. Di negara-negara lain, misalnya Argentina atau Portugal, daerah-daerah pemilihan didasarkan pada provinsi, sedangkan Indonesia menetapkan ukuran-ukuran yang diperbolehkan bagi daerah pemilihan dan tugas penetapan itu diserahkan kepada lembaga penyelenggara pemilunya.
Sistem PR adalah pilihan lazim di banyak negara demokrasi baru, dan 23 negara demokrasi mapan menggunakan semacam varian PR (lihat Tabel 2). Sistem PR dominan di Amerika Latin, Afrika dan Eropa. Sebagian besar dari 72 sistem PR yang diidentifikasi dalam buku ini menggunakan semacam bentuk Daftar PR; hanya dua yang menggunakan STV.
Ada banyak isu penting yang bisa berdampak besar terhadap bekerjanya sistem PR dalam prakteknya. Semakin besar jumlah wakil yang harus dipilih dari satu daerah pemilihan (lihat paragraf 113–118 tentang besaran daerah pemilihan), akan semakin proporsional sistem pemilunya. Sistem PR juga berbeda dalam cakupan pilihan yang berikan kepada pemilih, apakah pemilih bisa memilih partai politik, kandidat perorangan, atau keduanya.
Representasi proporsional menghendaki penggunaan daerah-daerah pemilihan dengan lebih dari satu wakil.
Kelebihan Representasi Proporsional
Dalam banyak hal, argumentasi-argumentasi paling kuat yang mendukung PR berasal dari cara sistem ini menghindari hasil-hasil anomali sistem- sistem pluralitas/mayorias dan mampu menghasilkan dengan lebih baik sebuah badan legislatif yang representatif. Bagi banyak negara-negara demokrasi baru, terutama yang menghadapi perpecahan kemasyarakatan serius, penyertaan semua kelompok signifikan dalam badan legislatif bisa menjadi syarat yang mendasar bagi konsolidasi demokratis. Ketidakmampuan memastikan agar minoritas dan mayoritas sama-sama punya andil dalam mengembangkan sistem politik bisa membawa konsekuensi sangat merusak (lihat studi kasus Lesotho).
Sistem PR pada umumnya dipuji karena caranya:
-
Mengonversi dengan konsisten perolehan suara menjadi kursi yang diraih, dan dengan demikian menghindari hasil-hasil yang lebih mendestabilisasi dan “tidak adil” yang dimunculkan sistem-sistem pluralitas/mayoritas. “Bonus kursi” untuk partai- partai besar diminimalkan dan partai-partai kecil bisa mendapatkan akses pada badan legislatif dengan menjaring jumlah suara kecil.
-
Mendorong atau menghendaki pembentukan partai politik atau kelompok-kelompok kandidat berpandangan sama untuk mengajukan daftar. Ini bisa menjelaskan perbedaan-perbedaan kebijakan, ideologi atau kepemimpinan dalam masyarakat, terutama ketika, seperti di Timor-Leste saat kemerdekaan, tidak ada sistem partai yang mapan.
-
Hanya menghasilkan sangat sedikit suara terbuang. Ketika ambang batas rendah, hampir semua suara yang diberikan dalam pemilihan-pemilihan PR masuk ke kandidat yang dipilih. Ini meningkatkan persepsi pemilih bahwa tidak sia-sia pergi ke tempat pemungutan suara saat pemilihan, sebab mereka bisa merasa lebih yakin bahwa suara mereka akan membuat perbedaan dalam hasil pemilihan, betapapun kecilnya.
-
Memfasilitasi akses partai-partai kecil terhadap representasi. Kecuali ambang batasnya luar biasa tinggi, atau besaran daerah pemilihan bukan main rendahnya, setiap partai politik dengan persentasi suara kecil sekalipun bisa mendapatkan representasi di badan legislatif. Ini memenuhi prinsip inklusi, yang bisa sangat penting bagi stabilitas dalam masyarakat terkotak-kotak dan bermanfaat bagi pembuatan keputusan di negara- negara demokrasi mapan.
-
Mendorong partai-partai untuk berkampanye di luar daerah pemilihan di mana mereka kuat atau di mana hasilnya mendekati diharapkan. Insentif dalam sistem PR adalah untuk memaksimalkan keseluruhan suara tanpa memandang dari mana asalnya. Setiap suara, bahkan dari daerah di mana sebuah partai lemah secara elektoral, dipakai untuk mendapatkan kursi lain.
-
Membatasi pertumbuhan “wilayah kekuasaan tuan tanah regional”. Karena sistem PR memberi minoritas kursi kepada partai-partai minoritas, kecil kemungkinannya sistem ini menimbulkan situasi di mana sebuah partai menguasai seluruh kursi di suatu provinsi atau daerah pemilihan. Hal ini bisa sangat penting bagi kelompok-kelompok minoritas di sebuah provinsi yang tidak memiliki konsentrasi regional signifikan atau titik-titik akses alternatif terhadap kekuasaan.
-
Menghasilkan kontinuitas dan stabilitas kebijakan yang lebih besar. Pengalaman Eropa Barat menunjukkan bahwa sistem PR parlementer memberikan hasil lebih baik berkenaan dengan umur kekuasaan pemerintahan, partisipasi pemilih dan kinerja ekonomi. Alasan di balik klaim ini adalah pergantian reguler dalam pemerintahan antara partai yang terpolarisasi secara ideologis, seperti yang bisa terjadi dalam sistem- sistem FPTP, menjadikan perencanaan ekonomi jangka panjang lebih sulit dilakukan, sedangkan pemerintahan-pemerintahan koalisi PR luas membantu menumbuhkan stabilitas dan koherensi dalam pembuatan keputusan yang memungkinkan pembangunan nasional.
-
Menjadikan pembagian kekuasaan antara partai-partai dan kelompok-kelompok kepentingan lebih jelas. Di banyak negara-negara demokrasi baru, pembagian kekuasaan antara mayoritas numerik populasi yang memegang kekuasaan politik dan sebuah minoritas kecil yang memegang kekuasaan ekonomi adalah realitas yang tak terhindarkan. Ketika mayoritas numerik mendominasi badan legislatif dan sebuah minoritas melihatkepentingannya tersalur dalam kontrol atas bidang ekonomi, negosiasi antara blok-blok kekuasaan yang berbeda kurang begitu jelas, kurang transparan dan kurang bisa dipertanggungjawabkan (misalnya di Zimbabwe selama 20 tahun pertama kemerdekaannya). Dinyatakan bahwa PR, termasuk semua kepentingan di lembaga legislatif, menawarkan harapan lebih baik bahwa keputusan-keputusan akan diambil di bawah pengawasan publik dan dilakukan oleh wakil-wakil masyarakat yang lebih inklusif.
Kekurangan Representasi Proporsional
Sebagian besar kritik terhadap PR pada umumnya didasarkan di sekitar kecenderungan sistem PR dalam memunculkan pemerintahan koalisi dan sistem partai yang terkotak-kotak. Argumen-argumen menentang PR yang paling sering dikutip adalah sistem ini menghasilkan:
-
Pemerintah koalisi, yang pada gilirannya menimbulkan kebuntuan legislatif dan, kosekuesninya, ketidakmampuannya menjalankan kebijakan-kebijakan yang koheren. Terdapat beberapa risiko sangat tinggi terutama yang terjadi di masa transisi pasca- konflik, ketika pengharapan rakyat terhadap pemerintahan yang baru begitu tinggi. Pembuatan keputusan yang cepat dan koheren bisa terhalang oleh koalisi kabinet dan pemerintahan persatuan nasional yang terbelah oleh faksi-faksi.
-
Fragmentasi yang mendestabilisasi sistem partai. Sistem PR bisa mencerminkan dan memfasilitasi fragmentasi sistem partai. Bisa saja pluralisme ekstrem memungkinkan parai-partai minoritas mungil menahan partai-partai besar dengan tuntuan negosiasi koalisi. Dalam hal ini inklusivitas PR disebut-sebut sebagai kelemahan sistem tersebut. Di Israel, misalnya, partai-partai keagamaan ekstrem sering kali berperan penting dalam pembentukan pemerintahan, sementara Italia mengalami tahun-tahun pergantian tidak stabil dari satu pemerintahan koalisi ke yang lainnya. Negara-negara yang sedang dalam proses demokratisasi sering cemas PR akan memberi peluang partai-partai berbasis personal dan perpecahan etnis tumbuh subur dalam sistem-sistem partai mereka yang belum maju.
-
Sebuah platform bagi partai-partai ekstremis. Dalam sebuah argumen terkait, sistem-sistem PR sering dikritik karena memberi pentas di badan legislatif bagi partai- partai ekstremis kiri maupun kanan. Dikatakan bahwa runtuhnya Jerman Weimar untuk sebagiannya disebabkan oleh sistem pemilu PR-nya yang memberi pijakan bagi kelompok-kelompok ekstrem kiri dan kanan.
-
Mengelola koalisi yang tidak memiliki cukup dasar bersama dalam hal kebijakan maupun basis dukungan. Koalisi-koalisi pragmatis ini kadang-kadang dikontraskan dengan koalisi komitemen yang dihasilkan oleh sistem-sistem lain (misalnya melalui penggunaan AV), di mana partai-partai cenderung bergantung pada suara pendukung satu sama lain untuk pemilihan mereka, dan dengan demikian koalisi bisa lebih kuat.
-
Partai-partai kecil mendapat kekuasaan yang besarnya tidak proporsional. Partai- partai besar mungkin terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai yang jauh lebih kecil, memberi sebuah partai dengan dukungan cuma persentase kecil suara kekuasaan untuk memveto usulan apa pun yang datang dari partai-partai besar.
-
Ketidakmampuan pemilih untuk mendesakkan akuntabilitas dengan menggusur sebuah partai dari kekuasaan. Dalam sebuah sistem PR mungkin akan sangat sulit menggusur partai pusat yang cukup besar dari kekuasaan. Ketika pemerintahan biasanya berbentuk koalisi, beberapa partai politik selalu ada dalam pemerintahan, walaupun kinerja elektoral mereka selalu lemah. Partai Demokrat Bebas (FDP) di Jerman adalah anggota koalisi yang memerintah kecuali delapan periode selama 50 tahun dari 1949 hingga 1998, walaupun partai ini tidak pernah mencapai lebih dari 12 persen suara.
-
Kesulitan-kesulitan bagi para pemilih untuk memahami atau bagi penyelenggara pemilu untuk melaksanakan peraturan-peraturan tersebut yang kadang-kadang rumit. Beberapa sistem PR dianggap lebih sulit daripada sistem non-PR dan mungkin membutuhkan lebih banyak pendidikan pemilih dan pelatihan para petugas tempat pemungutan suara agar berfungsi dengan baik.
Daftar Representasi Proporsional (Daftar PR)
Dalam sistem Daftar Representasi Proporsional setiap partai atau kelompok mengajukan daftar kandidat untuk daerah pemilihan berwakil majemuk, para pemilih memilih partai, dan partai- partai memperoleh kursi sesuai proporsi keseluruhan porsi mereka dalam perolehan suara. Selama beberapa sistem (daftar tertutup) para kandidat yang menang diambil dari daftar sesuai urutan mereka dalam daftar. Jika daftarnya “terbuka” atau “bebas” pemilih bisa mempengaruhi urutan kandidat dengan menandai preferensi individual.
Dalam bentuknya yang paling sederhana, daftar PR melibatkan tiap-tiap partai yang menyodorkan sebuah daftar kandidat kepada pemilih di tiap-tiap daerah pemilihan berwakil majemuk. Para pemilih memberikan suara untuk sebuah partai, dan partai-partai memperoleh kursi sesuai proporsi keseluruhan porsi mereka dalam perolehan suara di daerah pemilihan. Para kandidat yang menang diambil dari daftar sesuai uruan mereka dalam daftar.
Pilihan daftar PR tidak dengan sendirinya menguraikan secara menyeluruh sistem pemilu ini: banyak detail yang harus ditetapkan. Sistem yang digunakan untuk menghitung alokasi kursi setelah suara dihitung bisa rata-rata tertinggi (Highest Average) atau Metode Largest Remainder (penghitungan dengan sisa suara terbesar). Rumus yang dipilih memiliki efek kecil tetapi kadang-kadang sangat penting terhadap hasil pemilihan dalam sistem PR. Di Kamboja pada tahun 1998, sebuah perubahan dalam rumusan beberapa pekan sebelum hari pemungutan suara ternyata berefek memberi partai terbesar 64 kursi, bukan 59 kursi, di Majelis Nasional yang memiliki 121 kursi. Perubahan itu tidak dipublikasikan dengan baik, dan pihak oposisi sulit menerima hasil tersebut. Contoh ini dengan jelas memperlihatkan pentingnya detail-detail yang tampaknya remeh bagi para perancang sistem pemilu.
Ada beberapa isu penting lain yang perlu dipertimbangkan dalam mendefinisikan dengan tepat bagaimana sebuah sistem daftar PR akan berfungsi. Sebuah ambang batas formal mungkin diperlukan bagi perwakilan dalam badan legislatif: sebuah ambang batas yang tinggi (misalnya 10 persen, seperti yang digunakan di Turki) kemungkinan besar akan menyisihkan partai-partai kecil, sementara ambang batas rendah (misalnya 1,5 persen, seperti yang digunakan di Israel) bisa mendongkrak representasi mereka. Di Afrika Selatan, tidak ada ambang batas formal, dan pada tahun 2004 Partai Demokrat Kristen Afrika meraih enam dari 400 kursi hanya dengan 1,6 persen suara nasional. Berbagai sistem daftar PR juga berbeda-beda tergantung apakah dan bagaimanakah pemilih bisa memilih antara berbagai kandidat maupun partai, dengan kata lain, apakah daftarnya tertutup, terbuka, atau bebas ( panachage ) (lihat paragraf 122–126). Pilihan ini memiliki implikasi bagi kompleksitas surat suara.
Pilihan-pilihan lain meliputi penatalaksaan bagi “pengumpulan suara” formal atau informal; cakupan bagi persetujuan antara berbagai partai, seperti yang disediakan oleh sistem-sistem yang menggunakan apparentement; dan definisi batas-batas daerah pemilihan.
Kelebihan Daftar Representasi Proporsional
Di samping kelebihan-kelebihan yang melekat pada sistem-sistem PR pada umumnya, daftar PR membawa kemungkinan lebih besar bahwa perwakilan budaya/kelompok minoritas akan terpilih. Ketika, sebagaimana yang sering terjadi, perilaku pemberian suara sejalan dengan pembangian kultural dan sosial suatu masyarakat, sistem pemilu daftar PR bisa membantu memastikan bahwa badan legislatif meliputi para anggota kelompok-kelompok mayoritas maupun minoritas. Hal ini dikarenakan partai-partai bisa didorong oleh sistem tersebut untuk menyusun daftar kandidat berimbang yang menarik bagi seluruh spektrum kepentingan suara. Pengalaman sejumlah negara demokrasi (misalnya Afrika Selatan, Indonesia, Sierra Leone) menunjukkan bahwa daftar PR memberi ruang politik yang memungkinkan partai-partai mengajukan daftar kandidat multirasial dan multi-etnis. Majelis Nasional Afrika Selatan yang terpilih pada tahun 1994 terdiri atas 52 persen anggota kulit hitam (11 persen Zulu, selebihnya adalah keturunan Xhosa, Sotho, Venda, Tswana, Pedi, Swazi, Shangaan dan Nbebele), 32 persen kulit putih (sepertiga berbahasa Inggris, dua pertiga berbahasa Afrikaans), 7 persen keturunan Campuran dan 8 persen India. Parlemen Namibia sama beragamnya, dengan wakil-wakil dari komunitas Ovambo, Damara, Herero, Nama, Baster dan kulit putih (berbahasa Inggris dan Jerman).
Daftar PR memberi kemungkinan lebih besar perempuan akan terpilih. Sistem- sistem pemilu PR hampir selalu lebih ramah pada pemilihan perempuan daripada sistem pluralitas/mayoritas. Pada intinya, partai-partai bisa menggunakan daftar tersebut untuk mempromosikan kemajuan politisi perempuan dan memberi para pemilih ruang untuk memilih kandidat-kandidat perempuan namun tetap mendasarkan pilihan mereka pada pertimbangan-pertimbangan politis selain gender. Seperti yang sudah disampaikan di atas, di daerah-daerah pemilihan dengan satu wakil sebagian besar partai didorong untuk mengajukan kandidat yang “paling bisa diterima kalangan luas”, dan kandidat seperti jarang yang perempuan. Di seluruh dunia sistem PR memang lebih baik daripada sistem FPTP dalam hal jumlah perempuan perempuan yang terpilih dan 14 dari 20 negara teratas dalam hal representasi perempuan menggunakan daftar PR. Pada tahun 2004, jumlah perempuan di lembaga legislatif yang terpilih melalui sistem daftar PR mencapai 4,3 poin persentase lebih tinggi daripada rata-rata 15,2 persen seluruh lembaga legislatif, sedangkan untuk lembaga legislatif yang dipilih melalui FPTP adalah 4,1 poin persentase lebih rendah.
Kekurangan Daftar Representasi Proporsional
Di samping isu-isu umum yang sudah diidentifikasi terkait sistem-sistem PR, kekurangan-kekurangan lain berikut ini bisa direnungkan:
-
Hubungan yang lemah antara para anggota lembaga legislatif terpilih dan konstituen mereka. Ketika sistem PR digunakan dan kursi dialokasikan di satu daerah pemilihan nasional, sepertidi Namibiaatau Israel, sistem tersebut dikritik karena merusak hubungan antara para pemilih dan wakil-wakil mereka. Ketika daftar ditutup para pemilih tidak punya peluang untuk menentukan identitas orang-orang yang akan mewakili mereka dan tidak ada wakil yang bisa dikenali bagi kota, distrik atau desa mereka, juga tidak mudah bagi mereka menolak wakil perorangan jika mereka menganggap dia menunjukkan kinerja buruk dalam jabatannya. Lebih jauh, di beberapa negara sedang berkembang di mana kebanyakan masyarakat bersifat pedesaan, identifikasi pemilih dengan daerah tempat tinggal mereka kadang-kadang dianggap lebih kuat daripada identifikasi mereka dengan partai politik atau kelompok mana pun. Tetapi kritik ini mungkin lebih berkaitan dengan pembedaan antara sistem di mana pemilih memilih partai dan sistem di mana mereka memilih kandidat.
-
Penempatan secara berlebihan kekuasaan di kantor pusat partai dan di tangan para pemimpin senior partai—khususnya dalam sistem daftar tertutup. Posisi seorang kandidat dalam daftar partai, dan karena itu kemungkinannya untuk berhasil, tergantung pada hubungan baik mereka dengan pemimpin-pemimpin partai, dimana hubungan mereka dengan pemilih tidak terlalu penting. Dalam sebuah dinamika tak lazim dalam sistem daftar PR, di Guyana partai-partai menerbitkan daftar kandidat yang tidak diberi peringkat tetapi hanya diurutkan menurut alfabet. Hal ini memberi para pemimpin partai makin banyak cakupan untuk mengganjar kesetiaan dan menghukum independensi karena kursi hanya dialokasikan kepada individu-individu begitu hasil suara diketahui.
-
Kebutuhan bagi adanya semacam partai atau kelompok politik yang diakui. Ini terutama membuat sulit daftar PR dipakai dalam masyarakat yang tidak memiliki partai atau punya partai yang masih embrio dan struktur partai yang longgar, misalnya banyak masyarakat di negara-negara pulau Pasifik.
Single Transferable Vote (STV)
Sudah lama STV didukung para ilmuwan politik sebagai salah satu sistem pemilu yang paling menarik, tetapi penggunaannya untuk pemilihan legislatif terbatas pada sedikit kasus saja—Republik Irlandia sejak 1921, Malta sejak 1947, dan sekali di Estonia pada 1990. Sistem ini juga digunakan untuk pemilihan Senat Federal Australia dan di beberapa negara bagian Australia, dan untuk pemilihan di Eropa serta pemilihan lokal di Irlandia Utara. Sistem ini juga dipilih sebagai rekomendasi Majelis Warga British Columbia (lihat studi kasus British Columbia).
Single Transferable Vote adalah sebuah sistem preferensial di mana pemilih menyusun peringkat para kandidat di daerah pemilihan berwakil majemuk dan para kandidat yang melampaui kuota suara preferensi pertama yang ditentukan langsung dinyatakan terpilih. Dalam penghitungan- penghitungan suara selanjutnya, suara didistribusikan dari kandidat yang perolehan suaranya paling sedikit, yang tersingkir, dan surplus suara dari kuota didistribusikan kembali dari para kandidat yang lolos, hingga kandidat-kandidat yang memadai dinyatakan terpilih. Para pemilih biasanya memilih kandidat bukannya partai politik, walaupun opsi daftar partai mungkin saja ada.
Prinsip inti sistem ini ditemukan secara terpisah pada abad ke-19 oleh ftomas Hare di Inggris dan Carl Andræ di Denmark. STV menggunakan daerah pemilihan berwakil majemuk, dan pemilih mengurutkan para kandidat sesuai preferensi dalam surat suara sama seperti dalam sistem Alternative Vote. Dalam sebagian besar kasus pemberian tanda preferensi ini bersifat sukarela, dan para pemilih tidak diminta memberi peringkat seluruh kandidat; kalau mau mereka bisa menandai satu saja.
Setelah seluruh jumlah suara preferensi pertama dicatat, penghitungan kemudian dimulai dengan menetapkan kuota suara yang disyaratkan bagi pemilihan satu kandidat perorangan. Kuota yang digunakan lazimnya adalah kuota Droop, dihitung dengan rumus sederhana:
Hasilnya ditentukan melalui serangkaian penghitungan. Dalam penghitungan pertama, jumlah seluruh suara preferensi pertama untuk tiap-tiap kandidat dipastikan. Setiap kandidat yang memiliki jumlah preferensi pertama lebih besar dari atau sama dengan kuota langsung dinyatakan terpilih.
Dalam penghitungan kedua dan selanjutnya, surplus suara kandidat yang terpilih (yaitu suara di atas kuota) didistribusikan kembali menurut preferensi kedua dalam surat suara. Agar adil, semua surat suara kandidat yang bersangkutan didistribusikan kembali, tetapi masing-masing didasarkan pada persentase pecahan dari satu suara, sehingga total suara yang didistribusikan kembali setara dengan surplus kandidat yang bersangkutan (kecuali di Republik Irlandia, yang menggunakan sampel yang disesuaikan secara statistik). Jika seorang kandidat memiliki 100 suara, misalnya, dan surplusnya adalah lima suara, maka tiap-tiap surat suara akan didistribusikan kembali pada nilai 1/20 sebuah suara.
Setelah penghitungan yang mana pun, jika tidak ada kandidat yang memiliki surplus suara di atas kuota, kandidat dengan total perolehan suara terendah disisihkan. Suaranya kemudian didistribukan kembali dalam penghitungan berikutnya untuk para kandidat yang masih bertanding menurut yang diperlihatkan preferensi kedua kemudian berikutnya. Proses penghitungan berturut-turut, setelah tiap-tiap surplus suara didistribusikan kembali atau seorang kandidat disingkirkan, berlanjut sampai semua kursi untuk daerah pemilihan diisi kandidat-kandidat yang menerima kuota, atau jumlah kandidat yang tersisa dalam penghitungan hanya satu kali lebih banyak dari jumlah kursi yang harus diisi, di mana semua kandidat yang tersisa kecuali satu terpilih tanpa menerima kuota penuh.
Kelebihan Single Transferable Vote
Kelebihan yang dikatakan dimiliki PR pada umumnya berlaku untuk sistem-sistem STV. Di samping itu, sebagai sebuah mekanisme bagi pemilihan perwakilan, STV barangkali adalah yang paling canggih dari semua sistem pemilu, memungkinkan bagi pilihan antara partai-partai dan antara para kandidat dalam partai. Hasil akhirnya memberikan kadar proporsionalias yang memadai, dan fakta bahwa dalam sebagian besar contoh aktual STV daerah pemilihan berwakil majemuk relatif kecil menunjukkan dipertahankannya hubungan geografis antara pemilih dan wakilnya. Lebih jauh, para pemilih bisa mempengaruhi komposisi koalisi pasca-pemilihan, sebagaimana yang terjadi di Republik Irlandia, dan sistem ini memberi insentif bagi akomodasi antar-partai melalui pertukaran timbal balik preferensi antara berbagai partai. STV juga memberi peluang lebih baik bagi pemilihan kandidat-kandidat independen populer dibandingkan dengan daftar PR, karena para pemilih memilih kandidat-kandidat yang ada, bukan partai (walaupun opsi daftar partai bisa ditambahkan dalam sebuah pemilihan STV; hal ini dilakukan untuk pemilihan Senat Australia).
Kekurangan Single Transferable Vote
Kekurangan yang dianggap terdapat dalam PR umumnya juga berlaku untuk sistem STV. Di samping itu:
-
STV kadang-kadang dikritik karena pemungutan suara preferensi tidak familiar dalam banyak masyarakat, dan menuntut, setidak-tidaknya, kadar melek huruf dan melek angka yang memadai.
-
Kerumitan penghitungan STV sangat kompleks, yang juga dilihat sebagai sebuah kelemahan. Hal ini disebut sebagai salah satu alasan mengapa Estonia memutuskan untuk meninggalkan sistem ini setelah pemilihan umum pertamanya. STV menghendaki penghitungan kembali terus-menerus surplus pengalihan nilai dan semacamnya. Karena itulah, suara dalam STV harus dihitung di pusat-pusat penghitungan, bukan dihitung langsung di tempat pemungutan suara. Ketika integritas pemilihan menjadi isu yang menonjol, penghitungan di tempat pemungutan suara aktual mungkin diperlukan untuk memastikan legitimasi suara, dan akan muncul kebutuhan untuk memilih sistem pemilu yang sesuai.
-
STV, tidak seperti daftar PR, kadang-kadang menghasilkan tekanan bagi partai politik untuk terpecah secara internal karena pada anggota partai yang sama bersaing satu sama lain, juga bersaing dengan partai lain, memperebutkan suara. Ini bisa meningkatkan politik “klientalistik” di mana para politisi menawarkan suap bagi kelompok-kelompok pemilih tertentu.
-
STV bisa menyebabkan sebuah partai dengan pluralitas suara justru mendapatkan lebih sedikit kursi dibanding lawan-lawannya. Malta mengamandemen sistemnya pada pertengahan 1980-an dengan memberikan beberapa kursi kompensasi kepada sebuah partai jika hal semacam itu terjadi.
Banyak dari yang dikritik itu, pada kenyataannya, tidak terlalu menjadi persoalan dalam praktek. Pemilihan-pemilihan STV di Republik Irlandia dan Malta cenderung menghasilkan pemerintah relatif stabil dan memiliki legitimasi yang terdiri atas satu atau dua partai besar.
Masalah-masalah Terkait PR
Besaran Daerah Pemilihan
Terdapat kesepakatan nyaris universal di kalangan ahli sistem pemilu bahwa hal krusial yang menentukan kemampuan sistem pemilu dalam mengonversi suara menjadi kursi yang diraih secara proporsional adalah besaran daerah pemilihan, yakni jumlah wakil yang dipilih di tiap-tiap daerah pemilihan. Dalam sebuah sistem seperti FPTP, AV atau Sistem Dua Putaran, terdapat sebuah besaran daerah pemilihan satu; para pemilih memilih satu wakil. Sebaliknya, semua sistem PR, sebagian sistem pluralitas/ mayoritas seperti Block Vote dan PBV, dan sebagian yang lain seperti Suara Terbatas dan SNTV, mensyaratkan daerah-daerah pemilihan yang memilih lebih dari satu wakil. Dalam semua sistem proporsional, jumlah wakil yang dipilih di tiap distrik menentukan, secara cukup signifikan, seberapa proporsional hasil pemilihan yang dimunculkan.
Sistem-sistem yang menawarkan kadar proporsionalitas tinggi akan menggunakan daerah pemilihan yang sangat besar, karena daerah-daerah pemilihan semacam itu mampu memastikan bahwa partai sangat kecil sekalipun terwakili dalam badan legislatif. Di daerah-daerah pemilihan lebih kecil, ambang batas efektifnya lebih tinggi. Misalnya, dalam sebuah daerah pemilihan di mana hanya ada tiga wakil untuk dipilih, sebuah partai harus mendapatkan setidak-tidaknya 25 persen + 1 suara agar bisa dipastikan mendapat sebuah kursi. Sebuah partai yang hanya memiliki 10 persen dukungan kecil kemungkinan akan mendapat kursi, dan suara para pendukung partai ini dengan demikian dikatakan terbuang. Dalam sebuah daerah pemilihan dengan sembilan kursi, sebaliknya, 10 persen +1 suara akan menjamin sebuah partai meraih setidak-tidaknya satu kursi.
Persoalannya, daerah-daerah pemilihan dibuat semakin besar—dalam jumlah kursi dan, karena itu, sering kali dalam ukuran geografis juga—sehingga hubungan antara wakil yang terpilih dan konstituensinya semakin lemah. Hal ini bisa membawa konsekuensi serius dalam masyarakat di mana faktor-faktor lokal memainkan peran penting dalam politik atau para pemilih mengharapkan wakil-wakil mereka menjaga hubungan erat dengan pemilih dan bertindak sebagai “utusan” mereka dalam badan legislatif.
115. Karena hal inilah terdapat perdebatan sengit tentang besaran daerah pemilihan yang terbaik. Sebagian besar ahli sepakat, sebagai sebuah prinsip umum, bahwa besaran daerah pemilihan antara tiga dan tujuh kursi cenderung berfungsi dengan sangat baik, dan disarankan penggunaan bilangan-bilangan ganjil seperti tiga, lima dan tujuh yang dalam prakteknya berfungsi lebih baik daripada bilangan genap, khususnya dalam sistem dua partai. Bagaimanapun juga, ini cuma dugaan kasar, dan ada banyak situasi di mana bilangan lebih besar bisa jadi lebih dikehendaki maupun diperlukan untuk menjamin representasi dan proporsionalitas yang memuaskan. Di banyak negara, daerah pemilihan mengikuti pembagian administratif yang ada, bisa batas-batas negara atau provinsi, yang menyebabkan ada perbedaan besar ukuran. Meski begitu, pendekatan ini menyingkirkan kebutuhan untuk membuat batas-batas tambahan bagi pemilihan dan memungkinkan dihubungkannya daerah-daerah pemilihan dengan komunitas-komunitas yang ada yang sudah teridentifikasi dan bisa diterima.
Bilangan-bilangan pada titik tinggi dan titik rendah spektrum cenderung memberikan hasil yang lebih ekstrem. Di satu ujung spektrum, satu negara bisa menjadi satu daerah pemilihan, yang lazimnya berarti bahwa jumlah suara yang diperlukan untuk pemilihan sangat rendah dan partai-partai sangat kecil sekalipun. Di Israel, misalnya, satu negara bisa menjadi satu daerah pemilihan dengan 120 wakil, yang berarti bahwa hasil-hasil pemilihan sangat proporsional, tetapi juga berarti bahwa partai-partai dengan porsi suara kecil saja bisa mendapatkan representasi dan bahwa hubungan antara seorang wakil yang terpilih dan kawasan geografis yang mana pun sangat lemah. Dan di ujung lain spektrum, sistem PR bisa diberlakukan pada situasi-situasi di mana ada sebuah daerah pemilihan yang besarannya hanya dua. Misalnya, sebuah sistem daftar PR diberlakukan pada daerah pemilihan berwakil dua di Cile. Sebagaimana diperlihakan oleh studi kasus, hasil yang diberikan sangat tidak proporsional, karena hanya dua partai yang bisa meraih representasi di tiap-tiap daerah pemilihan. Ini cenderung mengurangi manfaat PR dalam hal representasi dan legitimasi.
Contoh-contoh tadi, dari ujung-ujung berlawanan spektrum, menggarisbawahi sangat pentingnya besaran daerah pemilihan dalam sistem pemilu PR yang mana saja. Bisa dikatakan itulah pilihan kelembagaan paling penting ketika merancang sebuah sistem PR, dan juga sangat penting bagi sejumlah sistem non-PR. Single Non- Transferable Vote, misalnya cenderung memberikan hasil yang cukup proporsional sekalipun pada dasarnya bukan sebuah formula proporsional, terutama karena ia digunakan di daerah-daerah pemilihan berwakil majemuk. Begitu pula, ketika Single Transferable Vote dipakai di daerah-daerah pemilihan dengan satu wakil ia menjadi Alternative Vote, yang mempertahankan beberapa kelebihan STV tetapi bukan proporsionalitasnya. Dalam sistem Party Block Vote dan Block Vote, ketika besaran daerah pemilihan meningkat, proporsionalitas kemungkinan akan turun. Ringkasnya, ketika merancang sebuah sistem pemilu, besaran daerah pemilihan dalam banyak hal merupakan faktor kunci dalam menentukan bagaimana sistem tersebut akan berfungsi pada prakteknya, kekuatan hubungan antara pemilih dan wakil-wakil yang terpilih, dan keseluruhan proporsionalitas hasil pemilihan.
Selain itu, besaran partai (jumlah rata-rata kandidat yang sukses dari partai yang sama di daerah pemilihan yang sama) merupakan faktor penting dalam menentukan siapa yang akan terpilih. Jika hanya satu kandidat dari sebuah partai terpilih di sebuah daerah pemilihan, sangat boleh jadi kandidat itu adalah laki-laki dan anggota etnis atau kelompok sosial mayoritas di daerah pemilihan tersebut. Jika dua atau lebih yang terpilih, paket yang berimbang mungkin memiliki efek lebih besar, kemungkinan akan ada lebih banyak perempuan atau kandidat dari kelompok-kelompok minoritas yang memperoleh kesuksesan. Daerah-daerah pemilihan lebih besar (dengan tujuh atau lebih kursi) dan jumlah partai yang relatif sedikit akan meningkatkan besaran partai.
Ambang Batas
Semua sistem pemilu memiliki ambang batas representasi: yakni tingkat minimum dukungan yang dibutuhkan suatu partai untuk mendapatkan representasi. Ambang batas bisa diberlakukan secara legal (ambang batas formal) atau ada sebagai sebuah perangkat matematis sistem pemilu (ambang batas efektif atau alami).
Ambang batas formal dituangkan dalam konstitusi atau ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur sistem PR. Dalam sistem-sistem campuran di Jerman, Selandia Baru dan Rusia, misalnya, berlaku 5 persen ambang batas untuk bagian PR: partai- partai yang gagal meraih 5 persen suara tingkat nasional tidak berhak mendapatkan kursi dari daftar PR. Asal mula konsep ini adalah keinginan untuk membatasi pemilihan kelompok-kelompok ekstremis di Jerman, dan dirancang untuk menghalangi partai-partai sangat kecil mendapatkan representasi. Meski begitu, di Jerman maupun Selandia Baru ada jalur “pintu belakang” agar sebuah partai berhak mendapat kursi dari daftar; dalam kasus Selandia Baru sebuah partai harus meraih setidak-tidaknya satu kursi konstituensi, sedangkan di Jerman tiga kursi, untuk menerobos persyaratan ambang batas. Di Rusia pada tahun 1995 tidak ada jalur pintu belakang, dan hampir separuh suara daftar partai terbuang.
Di tempat lain, ambang batas legal berkisar dari 0,67 persen di Belanda hingga 10 persen di Turki. Partai-partai yang meraih kurang dari persentase suara ini disingkirkan dari penghitungan. Contoh mencolok kasus ini adalah pemilihan umum Turki pada 2002, di mana begitu banyak partai tidak mampu memenuhi ambang batas 10 persen hingga 46 persen dari seluruh suara terbuang. Dalam semua kasus tadi keberadaan ambang batas formal cenderung meningkatkan total angka disproporsionalitas, karena suara bagi partai-partai mestinya meraih representasi, jika ambang batas itu tidak ada, menjadi terbuang.
Di Polandia pada tahun 1933, bahkan dengan ambang batas relatif rendah 5 persen untuk partai dan 8 persen untuk koalisi, lebih dari 34 persen suara diberikan untuk partai dan koalisi yang tidak mampu melewati ambang batas tersebut.
Sebuah ambang batas efektif, tersembunyi atau alami diciptakan sebagai produk sampingan matematis sifat-sifat khas sistem pemilu, di mana besaran distrik adalah yang paling penting. Misalnya, dalam sebuah daerah pemilihan dengan empat kursi menggunakan sebuah sistem PR, kandidat mana pun yang meraih lebih dari 20 persen suara akan terpilih, sedangkan kandidat dengan kurang dari sekitar 10 persen (angka tepatnya bisa sangat beragam tergantung pada konfigurasi partai, kandidat dan suara) tampaknya tidak akan terpilih.
Daftar Terbuka, Tertutup, dan Bebas
Walaupun sistem daftar PR didasarkan pada prinsip-prinsip bahwa partai atau kelompok politik mengajukan kandidat, dimungkinkan untuk memberi pemilih pilihan tertentu dalam Daftar PR antara para kandidat yang diajukan maupun antara berbagai partai. Pada dasarnya ada tiga opsi yang bisa dipilih—daftar terbuka, tertutup, dan bebas.
Mayoritas sistem daftar PR di dunia bersifat tertutup, artinya urutan kandidat yang dipilih dalam daftar ditetapkan oleh partai yang bersangkutan, dan pemilih tidak bisa mengungkaplan preferensi bagi kandidat tertentu. Sistem PR yang digunakan di Afrika Selatan adalah contoh bagus daftar tertutup. Surat suara memuat berbagai nama dan lambang partai, dan sebuah foto pemimpin partai, tetapi tidak ada nama- nama kandidat perorangan. Para pemilih hanya memilih partai yang mereka sukai; para kandidat perorangan yang dipilih sudah ditentukan terlebih dahulu oleh partai masing-masing. Ini berarti partai bisa menyertakan beberapa kandidat (mungkin anggota kelompok etnis dan bahasa minoritas, atau perempuan) yang boleh jadi akan sulit terpilih jika tidak dengan cara demikian.
Aspek-aspek negatif daftar tertutup adalah para pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa wakil dari partai mereka. Daftar tertutup juga tidak responsif terhadap perubahan pesat yang terjadi. Dalam pemilu di Jerman Timur sebelum unifikasi pada tahun 1990, kandidat peringkat tertinggi salah satu partai diketahui adalah seorang informan polisi rahasia hanya empat hari sebelum pemilihan, dan dikeluarkan seketika dari partai; tetapi karena daftarnya tertutup para pemilih tidak punya pilihan selain memilihnya sekiranya mereka ingin mendukung bekas partai sang informan yang ketahuan itu.
Kebanyakan sistem daftar PR di Eropa Barat menggunakan daftar terbuka, di mana para pemilih bisa menunjukkan tidak hanya partai unggulan mereka tetapi juga kandidat unggulan mereka dalam partai tersebut. Dalam sebagian kasus sistem tersebut suara untuk kandidat maupun partai bersifat opsional dan, karena kebanyakan pemilih hanya memilih partai dan bukan kandidat, opsi pilihan kandidat surat suara sering kali terbatas efeknya. Kendati demikian, di Swedia lebih dari 25 persen pemilih secara teratur memilih seorang kandidat sekaligus partai, dan sejumlah individu yang terpilih pasti tidak akan terpilih jika daftarnya tertutup.
Finlandia, bertolak belakang dengan Brazil di mana para pemilih memberikan suara mereka untuk seorang kandidat atau sebuah partai politik, mereka harus memilih kandidat: jumlah kursi yang diperoleh masing-masing partai ditentukan oleh total jumlah suara yang diraih kandidat-kandidatnya, dan urut-urutan di mana kandidat-kandidat partai dipilih untuk menduduki kursi ditentukan oleh jumlah suara individual yang mereka raup. Walaupun memberi pemilih kebebasan jauh lebih besar atas pemilihan kandidat mereka, sistem ini juga memiliki beberapa efek yang tidak begitu disukai. Karena para kandidat dari partai yang sama bertarung sesama mereka demi memperebutkan suara, bentuk daftar terbuka ini bisa menimbulkan konflik internal dan perpecahan partai. Ini juga berarti bahwa keuntungan-keuntungan potensial bagi partai yang memiliki daftar yang menampilkan deretan kandidat yang beragam bisa disingkirkan. Dalam pemilihan-pemilihan PR daftar terbuka di Sri Lanka, misalnya, berbagai upaya partai-partai besar Sinhala untuk menyertakan kandidat-kandidat minoritas Tamil dalam posisi mungkin menang pada dafar partai mereka menjadi tidak efektif karena banyak pemilih yang sengaja memberi suara untuk kandidat-kandidat Sinhala yang berada di urutan bawah. Di Kosovo perubahan dari daftar tertutup menjadi daftar terbuka benar-benar meningkatkan kehadiran lebih banyak kandidat-kandidat ekstremis. Lagi pula, daftar terbuka kadang-kadang terbukti merugikan bagi keterwakilan perempuan dalam masyarakat yang sangat patriarkal, walaupun di Polandia para pemilih menunjukkan kesediaan mereka menggunakan daftar terbuka untuk memilih lebih banyak perempuan daripada yang akan dihasilkan oleh nominasi yang diajukan partai-partai jika yang digunakan adalah daftar tertutup.
Perangkat-perangkat lain digunakan di beberapa yurisdiksi untuk menambahkan fleksibilitas ekstra bagi sistem daftar terbuka. Di Luksemburg dan Swiss, para pemilih memiliki suara sebanyak kursi yang harus diisi dan bisa mendistribusikannya ke kandidat-kandidat entah itu dalam satu partai atau dalam beberapa daftar partai yang mereka anggap cocok. Kapasitas memberi suara untuk lebih dari satu kandidat dalam daftar-daftar yang berlainan (dikenal sebagai panachage) atau memberikan lebih dari satu suara untuk satu kandidat yang sangat diinginkan (dikelan sebagai kumulasi) ternyata sama-sama merupakan langkah kontrol tambahan bagi pemilih dan dikategorikan di sini sebagai sistem daftar bebas.
Apparentement
Ambang batas efektif yang tinggi dapat dipakai untuk mendiskriminasikan partai-partai kecil—bahkan, dalam beberapa kasus memang itulah tujuan eksplisit dari diterapkannya ambang batas efektif. Tetapi dalam banyak kasus diskriminasi yang sengaja dilakukan dengan menerapkan ambang batas efektif ini terhadap partai-partai kecil dipandang sebagai sesuatu yang tidak diinginkan, terutama ketika beberapa partai kecil dengan basis dukungan serupa “memecah” gabungan suara mereka dan karena itu merosot di bawah ambang batas, ketika salah satu kelompok aliansi akan mendapatkan cukup suara gabungan untuk meraih beberapa kursi di lembaga legislatif. Untuk mengatasi persoalan ini, beberapa negara yang menggunakan sistem daftar PR juga mengizinkan partai-partai kecil untuk berkelompok untuk kepentingan elektoral, dengan demikian membentuk sebuah kartel—atau apparentement atau stembusaccoord—untuk bertarung dalam pemilihan. Ini berarti partai-partai itu sendiri tetap merupakan entitas-entitas terpisah, dan dicantumkan dalam daftar terpisah di surat suara, tetapi suara yang diperoleh masing-masing partai dihitung layaknya milik seluruh kartel, dengan demikian meningkatkan peluang bagi total suara gabungan itu berada di atas ambang batas dan karena itu mereka bisa mendapatkan representasi tambahan. Perangkat ini menjadi ciri sejumlah sistem Daftar PR di Eropa daratan, di Amerika Latin (di mana partai-partai payung disebut lema) dan di Israel. Tetapi perangkat ini jarang dijumpai dalam sistem-sistem di Afrik dan Asia, dan dihapus di Indonesia pada tahun 1999 setelah beberapa partai kecil mendapati bahwa, walaupun kartel mereka meraih representasi secara keseluruhan, sebagai partai-partai sesungguhnya mereka tidak mendapatkan kursi.