Apa saja jenis-jenis sistem pemilihan umum yang ada ?

Pemilihan Umum (Pemilu)

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan publik, komunikasi massa, lobi dan lain-lain kegiatan

Apa saja jenis-jenis sistem pemilihan umum yang ada ?

Di seluruh dunia terdapat dua sistem pemilu yaitu, sistem pemilu dan sistem pemilu distrik. Berikut adalah penjelasan mengenai sistem distrik atau Sistem pluralitas-mayoritas (plurality-majority). Dalam sistem pluralitas-mayoritas, terdapat satu karakteristik utama, yaitu hampir selalu menerapkan distrik berwakil tunggal. Oleh karena itu sistem ini memiliki kelebihan sekaligus kelemahan. Beberapa kelebihan yang terdapat dalam sistem pluralitas-mayoritas adalah memiliki akuntabilitas tinggi perwakilan pada konstituen; mendorong terciptanya stabilitas politik yaitu mengarah kepada sistem dua partai; dan partai-partai kecil cenderung melakukan koalisi untuk memeroleh kursi.

Kelebihan lainnya, sistem ini memberikan gambaran bahwa perhitungan suara jauh lebih sederhana dan kurang menimbulkan kompleksitas perselisihan. Salah satu konsekuensi dari sistem pluralitas-mayoritas adalah anggota parlemen memiliki kecenderungan orientasi kepada daerah pemilihannya (konstituensi) daripada orientasi nasional.

Adapun kelemahan utama sistem pluralitas-mayoritas adalah sebagian suara akan hilang karena prinsip perwakilan tunggal/ single member constituency (meskipun ada juga yang berwakil banyak). Parpol juga menjadi kurang berperan dalam kontrol atas wakil mereka di lembaga legislatif serta fragmentasi politik besar di tingkat lokal. Di daerah yang ketahanan sosialnya rendah, potensi disintegrasi lebih tinggi.

Secara kategoris, terdapat beberapa varian dalam sistem pluralitas-mayoritas, yaitu:

  1. First Past The Post (FPTP)

    Sistem ini merupakan varian yang paling banyak digunakan di dunia yang menggunakan sistem pemilu pluralitas-mayoritas seperti di Inggris Raya dan negara-negara yang banyak dipengaruhi oleh Inggris. Varian ini juga digunakan oleh Kanada, India, Selandia Baru, dan Amerika serikat serta beberapa negara Karibia. Dalam sistem FPTP ini calon anggota legislatif yang menang adalah yang memeroleh suara terbanyak di satu daerah pemilihan (distrik) berapapun selisihnya.

    Sistem ini sangat sederhana dan memudahkan pemilih dalam menentukan pilihannya. Salah satu kelemahan utamanya adalah banyaknya suara terbuang atau tidak terkonversi menjadi kursi jika calon yang berkompetisi di distrik tersebut banyak tetapi yang diperebutkan hanya satu kursi. Dengan demikian suara dan calon lain yang suaranya di bawah calon yang memeroleh suara terbanyak tidak dapat mengkonversi suaranya dan berarti menyingkirkan calon dan partai politik lainnya. Kelebihan lain selain sederhana adalah akan memunculkan pemerintahan kuat atau tunggal dan sebaliknya memunculkan kelompok oposisi yang kuat pula.

  2. Block Vote (BV)

    Block Vote (BV) mirip dengan FPTP tetapi berwakil banyak. Para pemilih diberikan kesempatan untuk memilih sebanyak kursi yang dialokasikan di distrik tersebut. Biasanya pemilih akan mengacak siapa yang akan dipilih tanpa memperhatikan asal parpolnya. Dalam varian BV ini pemilih bebas menentukan sebanyak atau sesedikit mungkin pilihan yang diinginkan.

  3. Alternative Vote (AV)

    Varian ini merupakan varian yang relatif jarang dikenal di dunia karena hanya digunakan di Australia dan Nauru dengan sedikit modifikasi. Varian ini digunakan pada sistem distrik berwakil tunggal sama halnya seperti varian FPTP. Tetapi varian AV memberikan kesempatan dan pilihan kepada pemilih lebih besar yang menandai suara lebih dari satu. Dalam varian AV ini pemilih dapat mengurutkan pilihannya (para calon anggota legislatif) sesuai dengan pilihan mereka dengan cara memberi tanda ”1” untuk calon yang paling disukai dan seterusnya. Model ini memungkinkan para pemilih menentukan sesuai selera yang paling disukai yang biasa disebut prefential voting (pemilihan berdasarkan perferensi).

  4. Two Round System (TRS)

    Varian lain dalam sistem pluralitas-mayoritas adalah two round system (TRS) atau sistem dua putaran atau biasa disebut sistem run-off atau double ballot. Varian ini dilakukan dalam dua putaran dan jarak antar-putaran sekitar satu hingga dua minggu. Putaran pertama dilaksanakan seperti varian FPTP tetapi hasilnya harus mayoritas absolut. Jika tidak mencapai mayoritas absolut, maka dilaksanakan putaran kedua dan pemenangnya adalah yang memeroleh suara terbanyak.

Kemudian sistem pemilu selain distrik adalah sistem pemilu proporsional. Berikut adalah penjelasan dari sitem pemilu proporsional. Proportional representation system (sistem perwakilan berimbang). Dalam sistem perwakilan berimbang atau proportional representation, partai memiliki fungsi dan kendali yang dominan atas wakil-wakilnya, baik dalam proses pencalonan maupun setelah duduk di parlemen. Partai memiliki kekuatan sehingga menjadi sehat dalam menjadikan parpol sebagai pilar demokrasi yang kokoh. Dalam sistem ini, tidak ada suara pemilih yang hilang (terutama jika diterapkan sistem perwakilan berimbang atau proportional representation murni) karena semua suara akan terkonversi menjadi kursi.

Selanjutnya, sistem perwakilan berimbang (proportional representation) memungkinkan tokoh nasional atau lokal yang memiliki kualitas dan kapabilitas baik menjadi wakil rakyat, karena parpol melakukan rekrutmen secara terorganisasi. Hal yang utama dari sistem perwakilan berimbang (proportional representation) adalah memberikan peluang kepada parpol kecil untuk tumbuh menjadi besar, sehingga tidak mematikan aspirasi politik dan aspirasi kekuasaan untuk ikut memengaruhi proses politik. Kecenderungan sistem ini adalah anggota parlemen lebih berorientasi ke tingkat nasional dibanding ke daerah pemilihannya.

Dalam sistem perwakilan berimbang (proportional representation) terdapat beberapa kelemahan mendasar yang mengakibatkan derajat keterwakilan (degree of representativeness) menjadi rendah. Hasil Kajian Makmur Keliat dkk menyatakan bahwa kelemahan utama sistem ini adalah:

  • Akuntabilitas kepada konstituen (pemilih) lemah, karena wakil terpilih lebih tergantung kepada kekuasaan pusat (DPP parpol)

  • Peluang untuk politik uang (_money politic_s) dan penyalahgunaan kekuasaan sangat besar, karena calon tergantung parpol, bukan konstituen

  • Fragmentasi politik di tingkat nasional sangat besar, memungkinkan parpol kecil memengaruhi proses politik

  • Besar kemungkinan terjadi distorsi dan manipulasi penghitungan suara dari TPS hingga ke tingkat nasional. Dalam sistem representasi proporsional terdapat varian, yaitu:

    • Perwakilan Berimbang Daftar (Proportional Representation List System)

      Varian ini adalah varian yang paling sederhana dari sistem proporsional dengan kegiatan utama parpol menyajikan daftar nama calon anggota legislatif kepada pemilih, untuk selanjutnya pemilih memilih satu parpol pilihannya.

    • Mixed Member Proportional (MMP)

      Varian ini merupakan campuran antara sistem proporsional berimbang (proportional representation) dan sistem pluralitas mayoritas seperti yang berlaku di Jerman, Selandia Baru, Bolivia, Italia, Venezuela, dan Hongaria. Varian ini mencoba menggabungkan ciri-ciri positif dari sistem pluralitas-mayoritas maupun sistem proportional representation. Sebagian anggota parlemen dipilih berdasarkan sistem pluralitas-mayoritas (biasanya distrik berwakil tunggal), sementara sisanya dipilih berdasarkan proportional representation list system. Kursi dalam varian ini terutama yang menggunakan sistem proporsional daftar dapat mengkompensasi disproporsionalitas yang dihasilkan dengan sistem pluralitas-mayoritas.

      Melalui cara ini parpol yang tidak memeroleh kursi dari sistem pluralitas mayoritas dapat memerolehnya dari sistem proporsional daftar. Kelebihan utama varian MMP ini adalah menjamin para pemilih terwakili secara geografis. Selain itu para pemilih mendapatkan keuntungan karena dapat memilih dua kali (2 suara). Satu suara untuk parpol dan satu suara untuk wakil mereka. Kelemahannya adalah suara bagi calon anggota legislatif kurang penting dibanding suara bagi parpol dalam pengalokasian kursi parlemen secara keseluruhan.

    • Single Transferable Vote (STV)

      Varian ini merupakan varian dalam sistem proportional representation yang menarik karena implementasinya menggunakan metode yang membutuhkan kecermatan bagi para pemilih. Ahli pemilu asal Inggris dan Denmark bernama Thomas Hare dan Carl Andru menciptakan prinsip dasar STV ini. Varian ini menggunakan distrik berwakil majemuk di mana pemilih mengurutkan calon anggota legislatif berdasarkan preferensi mereka dalam kertas suara. Biasanya pemilih hanya diminta menandai satu nama calon anggota legislatif saja tanpa harus mengurut semua calon. Setelah itu jumlah total suara preferensi pertama dihitung, kemudian beralih ke kuota suara yang diperlukan untuk pemilihan seorang calon anggota legislatif.

      Langkah pertama adalah menghitung jumlah total preferensi pertama bagi masing-masing calon anggota legislatif. Setiap calon anggota yang memeroleh suara preferensi pertama melebihi kuota langsung terpilih. Jika tidak ada satu calon pun yang mencapai kuota, calon yang memeroleh suara preferensi pertama terendah tadi dicoret dari daftar dan suara preferensi keduanya dibagikan lagi kepada para calon yang tertinggal. Pada saat yang sama, jumlah kelebihan suara calon terpilih dibagikan lagi menurut preferensi kedua pada kertas suara. Agar adil, semua kertas suara calon dibagi lagi tetapi masingmasing menurut persentase dari satu suara, sehingga total suara yang dibagikan sama dengan sisa kelebihan suara. Proses ini diteruskan sampai semua kursi untuk satu daerah pemilihan terisi.

Terhadap beberapa varian dalam sistem proporsional atau perwakilan berimbang ini, Indonesia menggunakan varian pertama yaitu perwakilan berimbang daftar (PR list system). Secara konseptual, Asfar menyebut bahwa terdapat beberapa model list system yaitu open list, closed list, dan free list.

  • Open List Proportional Representation adalah ketika kepada pemilih diberikan preferensial untuk menentukan pilihannya atas daftar kandidat (calon) yang sudah disusun oleh partai politik. Pilihan tersebut juga bermakna bagi partai politik yang mengusung dalam arti suara pemilih menjadi suara partai politik tersebut.

  • Closed List Proportional Representation dimaknai Asfar jika pemilih hanya memilih partai politik saja dan pemilih tidak dapat menentukan pilihannya secara preferensial atas daftar kandidat (calon) yang dibuat partai politik yang bersangkutan.

  • Free List Proportional Representation yakni jika pemilih dapat menentukan pilihannya kepada lebih dari satu kandidat (calon) dalam daftar calon yang berisi wakil dari partai politik yang berbeda.

Sistem perwakilan berimbang (proportional representation) memiliki turunan, yaitu sistem semi-proporsional, sehingga dalam sistem ini terdapat dua jenis sistem pemilu, yaitu sistem perwakilan berimbang (proportional representation) dan sistem semiproporsional.

Selanjutnya, menurut David M. Farrel, ciri dari sistem Proportional Representation (PR) ini adalah

  • setiap distrik (daerah pemilihan) berwakil banyak;
  • setiap partai politik menyajikan daftar kandidat (calon) dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan jumlah kursi yang tersedia;
  • pemilih memilih salah satu kandidat;
  • partai politik memperoleh kursi sebanding dengan suara yang diproleh;
  • kandidat (calon) yang dapat mewakili adalah yang berhasil mencapai dan melampaui ambang batas (dalam hal ini BPP).

Selanjutnya sistem semi-proporsional memiliki beberapa varian yaitu:

  • Sistem Single non-Transferable Vote (SNTV)
    Dalam varian SNTV ini, setiap pemilih memilih satu suara, tetapi ada beberapa kursi yang harus diisi dalam distrik tersebut dan calon anggota legislatif yang memeroleh suara terbanyak dapat mengisi kursi tersebut.

  • Sistem Paralel
    Varian ini menggunakan dua sistem utama baik daftar-daftar proporsional maupun distrik-distrik pluralitas-mayoritas. Dalam varian ini sistem proporsional tidak memberikan imbangan atas setiap disproporsionalitas dalam distrik mayoritarian.

  • Sistem Limited Vote (LV)
    Varian LV ini terletak antara SNTV dan Block Vote karena dalam varian ini ada distrik wakil majemuk dan para calon anggota legislatif yang menang semata-mata adalah mereka yang mengumpulkan paling banyak suara. Para pemilih dapat memberikan suara yang jumlahnya lebih sedikit dari jumlah kursi yang harus diisi tetapi lebih dari satu suara.

Sumber: Syafiie, Inu Kencana.(2012).Sistem Politik Indonesia.Bandung:Refika Aditama

Sistem Pemilu yang digunakan oleh negara-negara di dunia sangat variatif. Sebuah negara dengan karakter demografis dan geografis yang sama belum tentu menganut sistem Pemilu yang sama. Negara yang menganut bentuk dan sistem pemerintahan yang sama belum tentu juga mengadopsi sistem Pemilu yang sama, demikian pula sebaliknya.

Sistem pemilu di dunia ini dapat dikategorikan kedalam 3 sistem besar, yaitu

  1. Plurality/Majority System (Sistem Pluralitas/Mayoritas)
    Disebut juga sistem distrik. Dalam sistem ini wilayah negara dibagi ke dalam beberapa distrik pemilihan yang biasanya berdasar atas jumlah penduduk. Setiap distrik diwakili oleh satu orang wakil, kecuali pada varian Block Vote dan Party Block Vote. Kandidat yang memiliki suara terbanyak akan mengambil seluruh suara yang diperolehnya. Varian dari sistem ini adalah First Past the Post, Alternative Vote, Two Round System dan Block Vote

  2. Proportional System (Sistem Proporsional)
    Dalam sistem ini proporsi kursi yang dimenangkan oleh Partai Politik dalam sebuah daerah pemilihan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut. Varian dari sistem ini adalah Proporsional Representation dan Transferable Vote.

  3. Sistem Campuran
    Merupakan perpaduan penerapan antara Plurality/Majority System dan Proportional System. Varian dari sistem ini adalah Parallel System dan Mix Member Proportional.

Berikut adalah bagan rumpun sistem pemilu yang digunakan di dunia.


Gambar Rumpun sistem pemilu

Sistem Pluralitas/Mayoritas


Prinsip sistem pluralitas/mayoritas itu sederhana. Setelah suara diberikan dan dihitung jumlah seluruhnya, para kandidat atau partai-partai dengan suara terbanyak dinyatakan sebagai pemenang (mungkin juga ada syarat-syarat tambahan). Bagaimanapun juga, cara tercapainya tujuan itu sangat beragam dalam prakteknya. Ada lima macam sistem pluralitas/mayoritas yang bisa diidentifikasi: First Past The Post (FPTP), Block Vote (BV), Party Block Vote (PBV), Alternative Vote (AV), dan Two- Round System (TRS)

First Past The Post (FPTP)

First Past The Post adalah bentuk paling sederhana sistem pluralitas/mayoritas, menggunakan daerah pemilihan berwakil tunggal dan pemungutan suara berorientasi pada kandidat. Pemilih disodori nama-nama kandidat yang diusulkan dan memberi suara dengan memilih satu, dan hanya satu, dari nama-nama tersebut. Kandidat yang menang adalah orang yang meraih suara terbanyak; menurut teori dia bisa dipilih dengan dua suara, jika tiap-tiap kandidat yang lain cuma mendapat satu suara.

Saat ini, sistem FPTP terutama dijumpai di Inggris dan negara-negara yang secara historis dipengaruhi oleh Inggris. Bersama Inggris, kasus-kasus yang paling sering dianalisis adalah Kanada, India dan Amerika Serikat. FPTP juga digunakan di sejumlah negara Karibia; di Amerika Lain dipakai oleh Belize; di Asia dipakai oleh lima negara: Bangladesh, Burma, India, Malaysia, dan Nepal; dan oleh banyak negara-negara pulau kecil di Pasifik Selatan. Di Afrika terdapat 15 negara, sebagian besar bekas jajahan Inggris, menggunakan sistem FPTP. Secara keseluruhan, dari 213 negara yang tercantum dalam lampiran A (termasuk negara-negara transisional dan negara-negara tanpa pemilihan umum langsung) 22 persen menggunakan sistem FPTP.

Kelebihan First Past The Post

First Past The Post, seperti sistem-sistem pemilu pluralitas/mayoritas lainnya, terutama pada dasar kesederhanaan dan kecenderungannya menghasilkan pemenang yang merupakan wakil-wakil yang bertanggung jawab atas wilayah-wilayah geografis yang sudah ditentukan. Kelebihan yang paling sering dikutip adalah:

  • Sistem ini memberikan pilihan tegas bagi para pemilih antara dua partai utama. Kekurangan bawaan yang dihadapi partai-partai ketiga dan minoritas yang terpecah- pecah di bawah sistem FPTP dalam banyak kasus menyebabkan sistem partai ini condong pada sebuah partai “kiri” dan partai “kanan”, yang berganti-ganti berkuasa. Partai-partai ketiga sering menyusut dan nyaris tidak pernah mencapai level dukungan populer yang cukup untuk menjadikan suara nasional mereka mencapai persentase relatif kursi di badan legislatif.

  • Sistem ini melahirkan pemerintahan satu partai. “Bonus kursi” bagi partai terbesar yang lazim dalam FPTP (misalnya, ketika sebuah partai meraih 45 persen suara nasional tetapi memperoleh 55 persen kursi) menunjukkan bahwa pemerintahan koalisi adalah perkecualian, bukan kelaziman. Keadaan ini dipuji karena menghasilkan kabinet yang tidak terbelenggu oleh keharusan harus tawar-menawar dengan mitra koalisi minoritas.

  • Sistem ini melahirkan sebuah oposisi koheren dalam parlemen. Secara teoretis, kelemahan pemerintahan satu partai yang kuat adalah oposisi juga diberi kursi yang cukup untuk melakukan peran kontrol kritis dan menampilkan diri sebagai alternatif realistis bagi pemerintah yang berkuasa.

  • Sistem ini menguntungkan partai-partai politik dengan basis luas. Dalam masyarakat yang terbelah tajam secara etnis dan kedaerahan, FPTP dipuji karena mendorong partai-partai politik agar “terbuka”, menampung banyak unsur masyarakat, khususnya ketika hanya ada dua partai besar dan banyak kelompok-kelompok kemasyarakatan yang berlainan. Partai-partai itu kemudian bisa menyaring banyak sekali kandidat yang beragam untuk pemilihan umum. Di Malaysia, misalnya, pemerintahan Barisan Nasional dibangun dari sebuah gerakan payung berbasis luas yang menampung kandidat-kandidat Melayu, Cina dan India di daerah-daerah dengan karakter etnis beraneka ragam.

  • Sistem ini mengesampingkan partai-partai ekstremis dari perwakilan di lembaga legislatif. Kecuali mempunyai dukungan pemilih yang terkonsentrasi secara geografis, mustahil sebuah partai ekstremis mendapat kursi dalam sistem FPTP. (Sebaliknya, dalam sebuah sistem Daftar PR dengan daerah pemilihan tingkat nasional tunggal, 1 persen saja dari perolehan suara nasional bisa memastikan representasi dalam badan legislatif.)

  • Sistem ini memajukan sebuah hubungan antara konstituen dan wakil-wakil mereka, karena ia menghasilkan sebuah lembaga legislatif yang terdiri atas wakil-wakil wilayah geografis. Anggota-anggota terpilih mewakili wilayah kota besar, kota kecil atau daerah yang sudah ditentukan, bukan hanya label partai. Beberapa pengamat mengatakan bahwa “akuntabilitas geografis” ini terutama penting dalam masyarakat agraris dan di negara-negara yang sedang berkembang.

  • Sistem ini memungkinkan pemilih untuk memilih di antara orang-orang yang ada, bukan di antara partai-partai yang ada. Para pemilih bisa menilai kinerja kandidat- kandidat perorangan dan bukan hanya sekadar menerima daftar kandidat yang disodorkan sebuah partai, seperti yang terjadi dalam beberapa sistem pemilu daftar PR.

  • Sistem ini memberi peluang bagi kandidat-kandidat independen populer untuk dipilih. Barangkali ini penting khususnya dalam sistem-sistem partai yang sedang berkembang, di mana politik masih banyak berputar-putar di sekitar ikatan keluarga besar, klan atau kekerabatan dan tidak didasarkan pada organisasi-organisasi politik partai yang kuat.

  • Terakhir, sistem FPTP tertentu, dipuji karena sederhana untuk digunakan dan dipahami. Sebuah suara yang sah hanya membutuhkan satu penanda di samping nama atau simbol seorang kandidat. Sekalipun ada banyak jumlah kandidat dalam surat suara, penghitungannya mudah dilakukan bagi para penyelenggara pemilu.

Kekurangan First Past The Post

Bagaimanapun juga, FPTP sering dikritik karena sejumlah kekurangannya, yang meliputi:

  • Sistem ini mengesampingkan partai-partai kecil dari representasi yang “adil”, dalam arti suatu partai yang meraih sekitar, katakanlah, 10 persen suara akan mendapatkan sekitar 10 persen kursi legislatif. Dalam pemilihan federal tahun 1993 di Kanada, kubu Konservatif Progresif meraih 16 persen suara tetapi hanya mendapatkan 0,7 persen kursi, dan dalam pemilihan umum 1998 di Lesotho Partai Nasional Basotho meraih 24 persen suara tetapi hanya mendapat 1 persen kursi. Inilah pola yang selalu berulang dalam sistem FPTP.

  • Sistem ini mengesampingkan kelompok-kelompok minoritas dari representasi yang adil. Lazimnya, partai-partai dalam sistem FPTP memasang kandidat-kandidat yang paling bisa diterima di suatu distrik tertentu agar tidak mengalienasi mayoritas pemilih. Sehingga jarang, misalnya, seorang kandidat kulit hitam mendapatkan nominasi sebuah partai besar di sebuah distrik dengan mayoritas penduduk kulit putih di Inggris atau Amerika Serikat, dan ada bukti kuat bahwa minoritas etnis dan ras di seluruh dunia jauh lebih kecil kemungkinannya terwakili dalam badan legislatif yang dipilih dengan sistem FPTP. Akibatnya, jika perilaku pemungutan suara memang cocok dengan pembagian etnis, tentunya pengesampingan dari representasi terhadap anggota kelompok-kelompok minoritas etnis bisa mendestabilisasi sistem politik secara keseluruhan.

  • Sistem ini mengesampingkan perempuan dari badan legislatif. Sindrom “kandidat yang paling diterima secara luas” juga mempengaruhi kemampuan perempuan untuk dipilih dalam jabatan legislatif karena mereka sering kali sangat kecil kemungkinannya terpilih sebagai kandidat dalam struktur partai yang didominasi laki-laki. Bukti dari seluruh dunia menunjukkan bahwa lebih kecil kemungkinannya perempuan terpilih dalam badan legislatif dalam sistem pluralitas/mayoritas daripada dalam sistem PR. Studi tentang perempuan dalam parlemen yang dilakukan Inter-Parliamentary Union mendapati bahwa, hinga Juni 2004, rata-rata 15,6 persen wakil-wakil di badan legislatif majelis rendah adalah perempuan. Sementara di negara-negara demokrasi mapan pada 2004, yang menggunakan FPTP, terdapat rata-rata 14,4 persen perempuan yang menjadi anggota badan legislatif, tetapi angkanya nyaris berlipat ganda—27,6 persen— di negara-negara yang menggunakan suatu bentuk PR. Pola ini juga terlihat di negara- negara demokrasi baru, terutama di Afrika.

  • Sistem ini bisa mendorong pengembangan partai-partai politik berdasarkan klan, etnisitas atau daerah, yang bisa mendasarkan kampanye dan platform politik mereka pada konsepsi-konsepsi yang menarik mayoritas orang di distrik atau daerah mereka tetapi mengesampingkan atau memusuhi yang lainnya. Inilah problem berkepanjangan di negara-negara Afrika seperti Malawi dan Kenya, di mana kelompok-kelompok komunal besar cenderung terkonsenrasi secara kadearahan. Oleh karena itu negara terbelah menjadi kubu-kubu partai yang terpisah secara geografis, dengan insentif yang tidak banyak bagi partai-partai untuk menarik perhatian di luar daerah asal dan basis budaya-politik mereka.

  • Sistem ini memperparah fenomena “daerah kekuasaan tuan tanah regional” di mana satu partai menyapu bersih semua kursi di sebuah provinsi atau wilayah. Jika sebagai partai memiliki dukungan kuat di bagian tertentu suatu negara, meraih sebuah pluralitas suara, ia akan meraih semua, atau hampir semua, kursi legislatif untuk wilayah tersebut. Ini mengesampingkan kelompok-kelompok minoritas di wilayah itu dari representasi dan memperkuat persepsi bahwa politik adalah medan tempur yang didefinisikan oleh siapa anda dan di mana anda tinggal, bukan apa yang anda yakini. Hal ini sudah lama dikemukakan sebagai argumen dalam menentang FPTP di Kanada.

  • Sistem ini menghasilkan banyak suara terbuang yang tidak dipakai untuk pemilihan kandidat yang mana pun. Hal ini akan sangat berbahaya jika digabungkan dengan daerah kekuasaan tuan tanah regional, sebab para pendukung partai minoritas di daerah tersebut mungkin mulai merasa bahwa mereka tidak punya harapan realitis untuk memilih kandidat pilihan mereka. Sistem ini juga bisa berbahaya ketika alienasi dari sistem politik meningkatkan kemungkinan bagi para ekstremis untuk memobilisasi gerakan-gerakan anti-sistem.

  • Sistem ini bisa menyebabkan perpecahan suara. Ketika dua partai atau kandidat yang serupa bersaing dalam sistem FPTP, suara para pendukung mereka sering terpecah di antara mereka, dengan demikian memungkinkan sebuah partai atau kandidat yang tidak begitu populer meraih kursi.

  • Sistem ini mungkin saja tidak responsif terhadap perubahan opini publik. Sebuah pola dukungan pemilih yang terkonsentrasi secara geografis di suatu negara menyebabkan sebuah partai bisa melanggengkan kontrol eksekutif ekslusif walaupun mengalami penurunan substansial dukungan populer secara keseluruhan. Di beberapa negara demokrasi yang menggunakan FPTP, penurunan 60 persen menjadi 40 persen porsi suara populer suatu partai secara nasional bisa menghasilkan penurunan dari 80 persen menjadi 60 persen jumlah kursi yang dikuasai, yang tidak berpengaruh pada posisi dominannya secara keseluruhan. Jika tidak cukup kursi yang sangat kompetitif, sistem ini bisa tidak sensitif terhadap perubahan opini publik.

  • Akhirnya, sistem FPTP bergantung pada penetapan batas-batas daerah pemilihan. Semua batas perbatasan daerah pemilihan memiliki konsekuensi politik: tidak ada proses teknis untuk menghasilkan satu “jawaban tepat” yang terbebas dari pertimbangan politis atau pertimbangan-pertimbangan lain (sebagaimana dipaparkan dalam lampiran E). Penetapan batas mungkin membutuhkan banyak waktu dan sumber daya jika dikehendaki hasilnya mempunyai legitimasi. Mungkin juga ada tekanan untuk memanipulasi perbatasan melalui gerrymandering1* atau pendistribusian perwakilan yang timpang. Hal ini tampak sangat jelas dalam pemilihan-pemilihan di Kenya pada tahun 1993 ketika disparitas besar dalam ukuran daerah pemilihan— yang paling besar memiliki 23 kali lebih banyak jumlah pemiliha daripada yang paling kecil—membantu Partai Uni Nasional Afrika Kenya yang berkuasa meraup mayoritas besar dalam badan legislatif hanya dengan 30 persen suara populer.

Block Vote (BV)

Block Vote sesungguhnya hanyalah penggunaan pemungutan suara pluralitas di daerah pemilihan berwakil majemuk. Para pemilih mempunyai suara sebanyak kursi yang harus diisi di daerah pemilihan mereka, dan biasanya bebas memilih kandidat- kandidat perorangan tanpa memandang afiliasi partai. Dalam kebanyakan sistem BV mereka bisa menggunakan sebanyak, atau sesedikit, suara yang mereka kehendaki.

Block Vote adalah sebuah sistem pluralitas/mayoritas yang digunakan di daerah pemilihan berwakil majemuk. Para pemilih memiliki suara sebanyak kandidat yang dipilih. Para kandidat dengan keseluruhan suara terbanyak mendapatkan kursi. Biasanya para pemilih memberi suara untuk kandidat, bukan partai, dan dalam kebanyakan sisem bisa menggunakan sebanyak, atau sesedikit, suara yang mereka kehendaki.

Block Vote lazim dipakai di negara-negara dengan partai-partai politik yang lemah atau tidak ada partai sama sekali. Pada tahun 2004, Kepulauan Cayman, Kepulauan Falkland, Guernsey, Kuwait, Laos, Lebanon, Maladewa, Palestina, Republik Arab Syria, Tonga, dan Tuvalu, menggunakan sistem pemilu Block Vote. Sistem ini juga digunakan di Yordania pada tahun 1989, di Mongolia pada 1992, dan di Filipina serta ftailand hingga 1997, tetapi diubah di semua negara yang disebut belakangan ini karena kesulitan dengan hasil yang diperoleh.

Kelebihan Block Vote

Block Vote sering dipuji karena mempertahankan kemampuan pemilih untuk memberikan suara bagi kandidat-kandidat perorangan dan memungkinkan adanya daerah pemilihan yang berukuran wajar secara geografis, sementara pada saat yang sama meningkatkan peran partai lebih besar daripada FPTP dan memperkuat partai-partai yang memperlihatkan paling banyak koherensi dan kemampuan organisasional.

Kekurangan Block Vote

Meski begitu, Block Vote bisa memberi dampak tidak terduga dan sering tidak diinginkan bagi hasil-hasil pemilihan. Misalnya, ketika para pemilih memberikan suara mereka bagi kandidat-kandidat suatu partai, sistem itu cenderung memperparah sebagian besar kekurangan FPTP, terutama dalam hal disproporsionalitas.

Ketika partai-partai mengusulkan seorang kandidat untuk setiap tempat yang tersedia dalam sebuah sistem Block Vote dan mendorong para pemilih untuk mendukung setiap anggota dalam daftar mereka, disproporsionalitas semacam itu sangat mungkin terjadi. Di Mauritius pada 1982 dan 1995, misalnya, partai yang beroposisi sebelum pemilihan meraih setiap kursi legislatif hanya dengan suara, dalam masing-masing pemilihan, 64 persen dan 65 persen suara. Hal ini membimbulkan kesulitan serius bagi efektivitas fungsi sebuah sistem parlementer yang didasarkan pada konsep pemerintah dan oposisi. Penggunaan kursi “best loser” di Mauritius hanya mengimbangi sebagian kelemahan ini.

Di tailand, Block Vote dipandang mendorong fragmentasi sistem partai. Karena BV memungkinkan pemilih memberikan suara bagi para kandidat dari lebih satu partai di daerah pemilihan yang sama, para anggota satu partai yang sama bisa terdorong untuk saling bersaing mendapatkan dukungan. Oleh karena itulah Block Vote kadang- kadang dipandang sebagai kontributor faksionalisme internal partai dan korupsi.

Oleh sebab itu, dalam tahun-tahun belakangan, sejumlah negara meninggalkan Block Vote dan berpindah ke sistem-sistem lain. Tailand dan Filipina beralih dari BV ke sebuah sistem campuran pada akhir 1990-an. Dalam kedua kasus itu, alasan utama perpindahan adalah desakan untuk memerangi jual beli suara dan memperkuat pembangunan partai-partai politik.

Party Block Vote (PBV)

Dalam sistem Party Block Vote, tidak seperti FPTP, dikenal adanya daerah pemilihan berwakil majemuk. Pemilih mempunyai satu suara, dan memilih daftar kandidat dari partai, bukan memilih perorangan. Partai yang meraih suara terbanyak mendapatkan semua kursi di suatu distrik, dan seluruh daftar kandidat dipilih sebagaimana yang diharapkan. Seperti dalam FPTP, tidak ada syarat bahwa pemenang harus meraih mayoritas absolut suara. Hingga tahun 2004, PBV dipakai sebagai satu-satunya sistem atau komponen utama sistem di empat negara—Kamerun, Chad, Djibouti dan Singapura.

Kelebihan Party Block Vote

PBV sederhana dan karena itu mudah digunakan, mendorong partai- partai menjadi kuat dan memungkinkan partai-partai menyodorkan daftar campuran guna memudahkan representasi minoritas. Sistem ini bisa digunakan untuk membantu memastikan keterwakilan etnis yang berimbang, karena memungkinkan partai- partai menyediakan daftar kandidat yang beragam secara etnis untuk pemilihan dan mungkin memang dirancang agar mereka melakukan hal itu.

Di Djibouti setiap daftar partai harus mencakupi campuran kandidat dari kelompok-kelompok etnis berlainan. Di Singapura, sebagian besar anggota parlemen (MPs) dipilih dari daerah- daerah pemilihan berwakil majemuk yang dikenal sebagai konstituensi representasi kelompok. Dari para kandidat dalam setiap partai atau daftar kelompok, setidak- tidaknya harus ada seorang anggota Melayu, India atau komunitas minoritas tertentu lainnya. Singapura juga menggunakan kursi-kursi “best loser” bagi kandidat-kandidat oposisi dalam situasi tertentu. Negara-negara lain, misalnya, Senegal dan Tunisia, menggunakan Party Block Vote sebagai bagian pluralitas/mayoritas dari sistem Paralel mereka (lihat studi kasus Senegal).

Kekurangan Party Block Vote

Biar bagaimanapun, Party Block Vote juga memiliki sebagian besar kekurangan FPTP, dan bahkan bisa saja memberi hasil sangat tidak proporsional ketika sebuah partai meraup hampir semua kursi dengan mayoritas kecil suara. Dalam pemilihan di Djibouti pada tahun 1997, koalisi Union for the Presidential Majority merebut setiap kursi, menyebabkan dua partai oposisi tidak punya wakil di parlemen.

Alternative Vote (AV)

Pemilihan-pemilihan yang menggunakan sistem Alternative Vote biasanya diselenggarakan di daerah pemilihan dengan satu wakil, seperti pemilihan-pemilihan FPTP. Namun, AV memberi pemilih lebih banyak opsi daripada FPTP ketika menandai surat suara mereka. Bukan hanya menunjukkan kandidat-kandidat pilihan mereka, dalam sistem AV pemilih mengurutkan para kandidat sesuai pilihan mereka, dengan memberi tanda “1” untuk favorit mereka, “2” untuk pilihan kedua mereka, “3” untuk pilihan ketiga mereka dan seterusnya. Sehingga sistem ini memungkinkan pemilih mengungkapkan preferensinya di antara para kandidat, bukan sekadar pilihan pertamanya. Oleh karena itulah sistem ini sering disebut “pemungutan suara preferensial” di negara-negara yang menggunakannya. (Borda Count, STV dan Suara Suplementer juga merupakan sistem preferensial.)

Alternative Vote adalah sistem pluralitas/mayoritas preferensial yang dipakai di daerah pemilihan dengan satu wakil. Para pemilih menggunakan angka untuk menandai preferensi mereka di surat suara. Seorang kandidat yang memperoleh sebuah mayoritas absolut (50 persen plus 1) suara preferensi-pertama yang sah dinyatakan terpilih. Jika tidak ada kandidat yang mencapai mayoritas absolut preferensi pertama, kandidat yang paling tidak berhasil akan disisihkan dan suara mereka direalokasi menurut preferensi kedua mereka sampai satu kandidat mendapat mayoritas absolut. Para pemilih memberi suara untuk kandidat, bukan partai politik

AV juga berbeda dari FPTP dalam cara penghitungan suara. Seperti FPTP atau TRS, seorang kandidat yang meraih mayoritas absolut suara (50 persen plus 1) langsung dinyatakan terpilih. Meski begitu, jika tidak ada kandidat yang mendapatkan mayoritas absolut, kandidat dalam sistem AV dengan jumlah preferensi pertama paling sedikit akan “disisihkan” dari penghitungan, dan surat suaranya diperiksa untuk preferensi yang kedua. Tiap-tiap surat suara ke kandidat mana pun yang memiliki preferensi tertinggi dalam urutan yang ditandai dalam surat suara. Proses ini diulang-ulang hingga satu kandidat mendapat mayoritas absolut, dan dinyatakan terpilih menurut ketentuan yang berlaku. Dengan demikian AV adalah sebuah sistem mayoritas.

Dimungkinkan, tetapi tidak mendasar, dalam sistem preferensial seperti AV untuk mensyaratkan pemilih untuk menomori semua, atau sebagian besar, kandidat di surat suara. Ini menghindari kemungkinan suara menjadi “terbuang” dalam tahapan penghitungan karena sudah tidak lagi memiliki preferensi yang sah lebih lanjut. Tetapi hal itu bisa menyebabkan peningkatan jumlah suara tidak sah, dan kadang-kadang memberi arti penting substansial bagi preferensi antara kandidat-kandidat yang tidak dipedulikan pemilih atau yang sangat tidak dia sukai.

AV digunakan di Australia, Fiji dan Papua Nugini. Dengan demikian inilah contoh bagus percampuran regional sistem-sistem pemilu di dibicarakan di atas (lihat paragraf 74): seluruh contoh tingkat nasional Alternative Vote saat ini berlangsung di Oseania. Kendati demikian, sejumlah yurisdiksi sub-nasional di Eropa dan Amerika Utara juga menggunakan varian-varian AV, dan dipakai untuk pemilihan presiden di Republik Irlandia.

Kelebihan Alternative Vote

Salah satu kelebihan mengalihkan perolehan suara adalah memungkinkan suara beberapa kandidat berakumulasi sehingga kepentingan-kepentingan yang beragam tetapi saling berkaitan bisa digabungkan untuk mendapatkan representasi. AV juga memungkinkan para pendukung kandidat dengan harapan tipis terpilih untuk mempengaruhi, melalui preferensi kedua dan selanjutnya mereka, pemilihan seorang kandidat utama. Karena alasan inilah kadang-kadang dikemukakan bahwa AV adalah sistem yang terbaik untuk memajukan politik sentris sebab bisa memaksa para kandidat untuk tidak hanya mencari suara dari para pendukung mereka tetapi juga “preferensi kedua” para pemilih lain. Untuk menarik preferensi ini, para kandidat harus mengerahkan daya tarik berbasis luas dan tidak hanya berfokus pada isu-isu lebih sempit. Pengalaman AV di Australia cenderung mendukung argumen-argumen ini: partai-partai besar, misalnya, lazim melakukan tawar-menawar dengan partai-partai kecil bagi preferensi kedua para pendukung mereka sebelum suatu pemilihan—sebuah proses yang dikenal dengan istilah “pertukaran preferensi”. Lebih dari itu, karena syarat dukungan mayoritas, AV meningkatkan persetujuan yang diberikan kepada anggota- anggota terpilih, dan karena itu menambah legitimasi mereka.

Pengalaman AV di Papua Nugini dan Australia menunjukkan bahwa sistem ini bisa memberikan insentif signifikan bagi politik akomodatif dan kooperatif. Dalam tahun- tahun belakangan AV, atau variannya Suara Suplementer, juga dipakai untuk pemilihan presiden dan wali kota di Bosnia, London, dan San Francisco (lihat paragraf 182–186).

Kekurangan Alternative Vote

Bagaimanapun juga, AV juga punya sejumlah kekurangan. Pertama, ia mensyaratkan tingkat melek huruf dan angka cukup tinggi agar bisa digunakan secara efektif, dan karena beroperasi di daerah pemilihan dengan satu wakil sistem ini sering bisa memberikan hasil yang tidak proporsional jika dibandingkan dengan sistem-sistem PR—atau bahkan dalam beberapa kasus dibandingkan dengan FPTP. Selain itu, potensi AV dalam memajukan hasil-hasil sentris sangat bergantung pada kondisi-kondisi sosial dan demografis yang mendasari: walaupun berhasil memajukan akomodasi antar-etnis di Papua Nugini selama tahun 1960-an dan 1970-an dan kini dipakai kembali di sama, AV dikritik di negara Pasifik lain, Fiji, sejak diberlakukan di sana pada 1997. Bukan hanya itu, sebagaimana diperlihatkan dalam pembahasan sebelumnya tentang penggunaannya di Senat Australia dari tahun 1919 hingga 1946, AV tidak berfungsi dengan baik ketika diterapkan di daerah pemilihan yang lebih besar dan berwakil majemuk.

Sistem Dua Putaran - Two Round System (TRS)

Ciri utama sistem dua putaran adalah seperti nama sistem ini: yaitu bukan satu kali pemilihan, melainkan pemilihan yang dilakukan dalam dua putaran, sering kali berjarak sepekan atau dua pekan. Putaran pertama dilakukan sama seperti pemilihan pluralitas/mayoritas satu putaran. Dalam bentuknya yang paling lazim, TRS dilakukan menggunakan FPTP. Namun, mungkin juga menyelenggarakan TRS di daerah- daerah pemilihan berwakil majemuk menggunakan Block Vote (seperti di Kiribati) atau Party Block Vote (seperti di Mali). Seorang kandidat atau partai yang menerima proporsi suara tertentu langsung dinyatakan terpilih, tanpa memerlukan pemungutan suara kedua. Proporsi ini normalnya adalah mayoritas absolut perolehan suara sah, walaupun beberapa negara menggunakan angka yang berbeda ketika menggunakan TRS untuk memilih seorang presiden. Jika tidak ada kandidat atau partai yang mendapatkan sebuah mayoritas absolut, makan pemungutan suara putaran kedua diselenggarakan dan pemenang dalam putaran ini dinyatakan terpilih.

Sistem dua putaran adalah sistem pluralitas/mayoritas di mana sebuah pemilihan putaran kedua diselenggarakan jika tidak ada kandidat atau partai yang mencapai tingkat suara tertentu, yang paling umum adalah sebuah mayoritas absolut (50 persen plus 1), dalam pemilihan putaran pertama. Sebuah sistem Dua Putaran bisa menggunakan sebuah bentuk mayoritas-pluralitas— lebih dari dua kandidat bertanding dalam putaran kedua dan yang meraih jumlah suara terbanyak dalam putaran kedua dinyatakan terpilih, tanpa memandang apakah mereka memenangkan sebuah mayoritas absolut—atau sebuah bentuk mayoritas mutlak (majority run-off)—hanya dua kandidat teratas dalam kompetisi putaran pertama yang bisa masuk kompetisi putaran kedua.

Detail tentang bagaimana putaran kedua dilaksanakan berbeda dalam prakteknya dari satu kasus dengan kasus lainnya. Metode yang paling umum adalah pertarungan langsung kedua antara dua peraih suara terbanyak dalam putaran pertama; ini disebut mayoritas mutlak TRS. Metode ini memberikan hasil yang benar-benar majoritarian dalam arti dua peserta harus mencapai sebuah mayoritas absolut suara dan dinyatakan sebagai pemenang. Metode kedua, TRS mayoritas/pluralitas. digunakan untuk pemilihan legislatif di Prancis, negara yang paling sering dihubungkan dengan sistem dua putaran. Dalam pemilihan-pemilihan ini setiap kandidat yang mendapatkan suara di atas 12,5 persen dari pemilih terdaftar dalam putaran pertama bisa maju dalam putaran kedua. Siapa pun yang meraih jumlah suara tertinggi dalam putaran kedua dinyatakan menang, tanpa memandang mereka mendapatkan mayoritas absolut atau tidak. Tidak seperti mayoritas mutlak, sistem ini bukan majoritarian yang sesungguhnya, karena mungkin ada lima atau enam kandidat yang bertarung dalam pemilihan putaran kedua.

Sistem dua putaran digunakan untuk memilih 22 badan legislatif nasional dan merupakan metode yang paling lazim digunakan di seluruh dunia untuk pemilihan presiden langsung (lihat paragraf 178). Di samping Prancis, banyak negara lain yang menggunakan adalah wilayah dependensi Republik Prancis atau secara historis dipengaruhi Prancis dengan satu dan lain cara. Untuk pemilihan legislatif, TRS digunakan oleh Republik Afrika Tengah, Kongo (Brazzaville), Gabon, Mali, Mauritania dan Togo di Afrika Sub-Sahara berbahasa Prancis, oleh Mesir di Afrika Utara, oleh Kepulauan Komoros, Haiti, Iran, Kiribati, dan Vietnam, dan oleh beberapa republik pasca-Soviet (Belarus, Kyrgyzstan, Turkmenistan dan Uzbekistan). Beberapa negara lain seperti Georgia, Kazakhstan dan Tajikistan juga menggunakan TRS untuk memilik wakil-wakil distrik sebagai bagian dari sistem pemilu campuran.

Kelebihan Sistem Dua Putaran

  • Pertama dan terutama, TRS memungkinkan pemilih mempunyai kesempatan kedua untuk memberi suara bagi kandidat terpilih mereka, atau bahkan mengubah keputusan mereka antara putaran pertama dan kedua. Dengan demikian sistem ini memiliki beberapa ciri yang sama dengan sistem preferensial seperti suara alternatif, di mana para pemilih diminta mengurutkan kandidat-kandidat, di samping memungkinkan para pemilih membuat pilihan yang sama sekali baru dalam putaran kedua kalau dikehendaki.

  • TRS bisa mendorong berbagai kepentingan yang beragam untuk bersatu di belakang kandidat-kandidat yang sukses dari putaran pertama menyongsong putaran kedua pemungutan suara, dengan demikian mendorong tawar-menawar dan pertukaran kompromis antara berbagai partai dan kandidat. Sistem ini juga memungkinkan partai- partai dan pemilih bereaksi terhadap perubahan-perubahan dalam lanskap poltik yang terjadi antara pemungutan suara putaran pertama dan putaran kedua.

  • TRS mengurangi persoalan-persoalan “pemecahan suara”, situasi yang umum di banyak sistem pluralitas/mayoritas di mana dua partai atau kandidat serupa memecah gabungan suara mereka, dengan demikian memungkinkan kandidat yang kurang populer untuk mendapatkan kursi. Selain itu, karena para pemilih tidak harus mengurutkan para kandidat untuk mengungkapkan pilihan kedua mereka, TRS mungkin lebih cocok di negara-negara di mana buta huruf masih luas menyebar daripada sistem yang menggunakan penomoran preferensial seperti Suara Alternatif atau Single Transferable Vote.

Kekurangan Sistem Dua Putaran

  • TRS memberi penekanan kuat pada administrasi elektoral dengan mensyaratkannya melaksanakan sebuah pemilihan kedua tak lama setelah yang pertama, dengan demikian meningkatkan secara signifikan biaya seluruh proses pemilihan dan waktu yang berlalu antara penyelenggaraan sebuah pemilihan dan pengumuman hasilnya. Hal ini bisa menimbulkan instabilitas dan ketidakpastian. TRS juga memberi beban tambahan bagi pemilih, kadang-kadang terjadi kemerosotan jumlah partisipan antara putaran pertama dan kedua.

  • TRS memiliki banyak kelemahan seperti yang dimiliki FPTP. Penelitian menunjukkan bahwa di Prancis sistem ini memberikan hasil paling tidak proporsional di negara demokrasi Barat mana pun, dan cenderung memecah belah sistem partai di negara-negara demokrasi baru.

  • Salah satu permasalahan paling serius dengan TRS adalah implikasinya terhadap masyarakat yang sangat terbelah. Di Angola pada tahun 1992, dalam sebuah pemilihan yang diharapkan menciptakan perdamaian, pemimpin pemberontak Jonas Savimbi meraih tempat kedua dalam putaran pertama pemilihan presiden menyusul Jose dos Santos. Savimbi mengantongi 40 persen suara, sedangkan dos Santos meraup
    49 persen suara. Karena jelas pasti kalah dalam fase berikutnya, Savimbi tidak punya banyak insentif untuk memainkan permainan oposisi demokrtais dan segera menyulut perang saudara di Angola, yang berlangsung hingga dekade berikutnya. Di Kongo (Brazzaville) pada tahun 1993, prospek kemenangan telak pemerintah dalam putaran kedua pemilihan TRS memicu oposisi untuk memboikot putaran kedua itu dan mengangkat senjata. Dalam kedua kasus itu, isyarat jelas bahwa salah satu pihak akan kalah dalam pemilihan menjadi pemicu kekerasan. Di Aljzair pada tahun 1992, kandidat Front Penyelamatan Islam (Front Islamique du Salut, FIS) memimpin dalam putaran pertama, dan militer campur tangan untuk membatalkan putaran kedua.

Sistem Representasi Proporsional


Penjelasan rasional yang mendasari sistem PR adalah proses mengkonversi proporsi suara partai menjadi proporsi kursi di lembaga legislatif. Ada dua tipe utama sistem PR—Daftar PR dan Single Transferable Vote (STV). PR mensyaratkan penggunaan daerah pemilihan dengan lebih dari satu wakil: tidak mungkin membagi satu kursi terpilih untuk satu kesempatan secara proporsional. Di beberapa negara, seperti Israel dan Belanda, seluruh negara merupakan satu daerah pemilihan berwakil majemuk. Di negara-negara lain, misalnya Argentina atau Portugal, daerah-daerah pemilihan didasarkan pada provinsi, sedangkan Indonesia menetapkan ukuran-ukuran yang diperbolehkan bagi daerah pemilihan dan tugas penetapan itu diserahkan kepada lembaga penyelenggara pemilunya.

Sistem PR adalah pilihan lazim di banyak negara demokrasi baru, dan 23 negara demokrasi mapan menggunakan semacam varian PR (lihat Tabel 2). Sistem PR dominan di Amerika Latin, Afrika dan Eropa. Sebagian besar dari 72 sistem PR yang diidentifikasi dalam buku ini menggunakan semacam bentuk Daftar PR; hanya dua yang menggunakan STV.

Ada banyak isu penting yang bisa berdampak besar terhadap bekerjanya sistem PR dalam prakteknya. Semakin besar jumlah wakil yang harus dipilih dari satu daerah pemilihan (lihat paragraf 113–118 tentang besaran daerah pemilihan), akan semakin proporsional sistem pemilunya. Sistem PR juga berbeda dalam cakupan pilihan yang berikan kepada pemilih, apakah pemilih bisa memilih partai politik, kandidat perorangan, atau keduanya.

Representasi proporsional menghendaki penggunaan daerah-daerah pemilihan dengan lebih dari satu wakil.

Kelebihan Representasi Proporsional

Dalam banyak hal, argumentasi-argumentasi paling kuat yang mendukung PR berasal dari cara sistem ini menghindari hasil-hasil anomali sistem- sistem pluralitas/mayorias dan mampu menghasilkan dengan lebih baik sebuah badan legislatif yang representatif. Bagi banyak negara-negara demokrasi baru, terutama yang menghadapi perpecahan kemasyarakatan serius, penyertaan semua kelompok signifikan dalam badan legislatif bisa menjadi syarat yang mendasar bagi konsolidasi demokratis. Ketidakmampuan memastikan agar minoritas dan mayoritas sama-sama punya andil dalam mengembangkan sistem politik bisa membawa konsekuensi sangat merusak (lihat studi kasus Lesotho).

Sistem PR pada umumnya dipuji karena caranya:

  • Mengonversi dengan konsisten perolehan suara menjadi kursi yang diraih, dan dengan demikian menghindari hasil-hasil yang lebih mendestabilisasi dan “tidak adil” yang dimunculkan sistem-sistem pluralitas/mayoritas. “Bonus kursi” untuk partai- partai besar diminimalkan dan partai-partai kecil bisa mendapatkan akses pada badan legislatif dengan menjaring jumlah suara kecil.

  • Mendorong atau menghendaki pembentukan partai politik atau kelompok-kelompok kandidat berpandangan sama untuk mengajukan daftar. Ini bisa menjelaskan perbedaan-perbedaan kebijakan, ideologi atau kepemimpinan dalam masyarakat, terutama ketika, seperti di Timor-Leste saat kemerdekaan, tidak ada sistem partai yang mapan.

  • Hanya menghasilkan sangat sedikit suara terbuang. Ketika ambang batas rendah, hampir semua suara yang diberikan dalam pemilihan-pemilihan PR masuk ke kandidat yang dipilih. Ini meningkatkan persepsi pemilih bahwa tidak sia-sia pergi ke tempat pemungutan suara saat pemilihan, sebab mereka bisa merasa lebih yakin bahwa suara mereka akan membuat perbedaan dalam hasil pemilihan, betapapun kecilnya.

  • Memfasilitasi akses partai-partai kecil terhadap representasi. Kecuali ambang batasnya luar biasa tinggi, atau besaran daerah pemilihan bukan main rendahnya, setiap partai politik dengan persentasi suara kecil sekalipun bisa mendapatkan representasi di badan legislatif. Ini memenuhi prinsip inklusi, yang bisa sangat penting bagi stabilitas dalam masyarakat terkotak-kotak dan bermanfaat bagi pembuatan keputusan di negara- negara demokrasi mapan.

  • Mendorong partai-partai untuk berkampanye di luar daerah pemilihan di mana mereka kuat atau di mana hasilnya mendekati diharapkan. Insentif dalam sistem PR adalah untuk memaksimalkan keseluruhan suara tanpa memandang dari mana asalnya. Setiap suara, bahkan dari daerah di mana sebuah partai lemah secara elektoral, dipakai untuk mendapatkan kursi lain.

  • Membatasi pertumbuhan “wilayah kekuasaan tuan tanah regional”. Karena sistem PR memberi minoritas kursi kepada partai-partai minoritas, kecil kemungkinannya sistem ini menimbulkan situasi di mana sebuah partai menguasai seluruh kursi di suatu provinsi atau daerah pemilihan. Hal ini bisa sangat penting bagi kelompok-kelompok minoritas di sebuah provinsi yang tidak memiliki konsentrasi regional signifikan atau titik-titik akses alternatif terhadap kekuasaan.

  • Menghasilkan kontinuitas dan stabilitas kebijakan yang lebih besar. Pengalaman Eropa Barat menunjukkan bahwa sistem PR parlementer memberikan hasil lebih baik berkenaan dengan umur kekuasaan pemerintahan, partisipasi pemilih dan kinerja ekonomi. Alasan di balik klaim ini adalah pergantian reguler dalam pemerintahan antara partai yang terpolarisasi secara ideologis, seperti yang bisa terjadi dalam sistem- sistem FPTP, menjadikan perencanaan ekonomi jangka panjang lebih sulit dilakukan, sedangkan pemerintahan-pemerintahan koalisi PR luas membantu menumbuhkan stabilitas dan koherensi dalam pembuatan keputusan yang memungkinkan pembangunan nasional.

  • Menjadikan pembagian kekuasaan antara partai-partai dan kelompok-kelompok kepentingan lebih jelas. Di banyak negara-negara demokrasi baru, pembagian kekuasaan antara mayoritas numerik populasi yang memegang kekuasaan politik dan sebuah minoritas kecil yang memegang kekuasaan ekonomi adalah realitas yang tak terhindarkan. Ketika mayoritas numerik mendominasi badan legislatif dan sebuah minoritas melihatkepentingannya tersalur dalam kontrol atas bidang ekonomi, negosiasi antara blok-blok kekuasaan yang berbeda kurang begitu jelas, kurang transparan dan kurang bisa dipertanggungjawabkan (misalnya di Zimbabwe selama 20 tahun pertama kemerdekaannya). Dinyatakan bahwa PR, termasuk semua kepentingan di lembaga legislatif, menawarkan harapan lebih baik bahwa keputusan-keputusan akan diambil di bawah pengawasan publik dan dilakukan oleh wakil-wakil masyarakat yang lebih inklusif.

Kekurangan Representasi Proporsional

Sebagian besar kritik terhadap PR pada umumnya didasarkan di sekitar kecenderungan sistem PR dalam memunculkan pemerintahan koalisi dan sistem partai yang terkotak-kotak. Argumen-argumen menentang PR yang paling sering dikutip adalah sistem ini menghasilkan:

  • Pemerintah koalisi, yang pada gilirannya menimbulkan kebuntuan legislatif dan, kosekuesninya, ketidakmampuannya menjalankan kebijakan-kebijakan yang koheren. Terdapat beberapa risiko sangat tinggi terutama yang terjadi di masa transisi pasca- konflik, ketika pengharapan rakyat terhadap pemerintahan yang baru begitu tinggi. Pembuatan keputusan yang cepat dan koheren bisa terhalang oleh koalisi kabinet dan pemerintahan persatuan nasional yang terbelah oleh faksi-faksi.

  • Fragmentasi yang mendestabilisasi sistem partai. Sistem PR bisa mencerminkan dan memfasilitasi fragmentasi sistem partai. Bisa saja pluralisme ekstrem memungkinkan parai-partai minoritas mungil menahan partai-partai besar dengan tuntuan negosiasi koalisi. Dalam hal ini inklusivitas PR disebut-sebut sebagai kelemahan sistem tersebut. Di Israel, misalnya, partai-partai keagamaan ekstrem sering kali berperan penting dalam pembentukan pemerintahan, sementara Italia mengalami tahun-tahun pergantian tidak stabil dari satu pemerintahan koalisi ke yang lainnya. Negara-negara yang sedang dalam proses demokratisasi sering cemas PR akan memberi peluang partai-partai berbasis personal dan perpecahan etnis tumbuh subur dalam sistem-sistem partai mereka yang belum maju.

  • Sebuah platform bagi partai-partai ekstremis. Dalam sebuah argumen terkait, sistem-sistem PR sering dikritik karena memberi pentas di badan legislatif bagi partai- partai ekstremis kiri maupun kanan. Dikatakan bahwa runtuhnya Jerman Weimar untuk sebagiannya disebabkan oleh sistem pemilu PR-nya yang memberi pijakan bagi kelompok-kelompok ekstrem kiri dan kanan.

  • Mengelola koalisi yang tidak memiliki cukup dasar bersama dalam hal kebijakan maupun basis dukungan. Koalisi-koalisi pragmatis ini kadang-kadang dikontraskan dengan koalisi komitemen yang dihasilkan oleh sistem-sistem lain (misalnya melalui penggunaan AV), di mana partai-partai cenderung bergantung pada suara pendukung satu sama lain untuk pemilihan mereka, dan dengan demikian koalisi bisa lebih kuat.

  • Partai-partai kecil mendapat kekuasaan yang besarnya tidak proporsional. Partai- partai besar mungkin terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai yang jauh lebih kecil, memberi sebuah partai dengan dukungan cuma persentase kecil suara kekuasaan untuk memveto usulan apa pun yang datang dari partai-partai besar.

  • Ketidakmampuan pemilih untuk mendesakkan akuntabilitas dengan menggusur sebuah partai dari kekuasaan. Dalam sebuah sistem PR mungkin akan sangat sulit menggusur partai pusat yang cukup besar dari kekuasaan. Ketika pemerintahan biasanya berbentuk koalisi, beberapa partai politik selalu ada dalam pemerintahan, walaupun kinerja elektoral mereka selalu lemah. Partai Demokrat Bebas (FDP) di Jerman adalah anggota koalisi yang memerintah kecuali delapan periode selama 50 tahun dari 1949 hingga 1998, walaupun partai ini tidak pernah mencapai lebih dari 12 persen suara.

  • Kesulitan-kesulitan bagi para pemilih untuk memahami atau bagi penyelenggara pemilu untuk melaksanakan peraturan-peraturan tersebut yang kadang-kadang rumit. Beberapa sistem PR dianggap lebih sulit daripada sistem non-PR dan mungkin membutuhkan lebih banyak pendidikan pemilih dan pelatihan para petugas tempat pemungutan suara agar berfungsi dengan baik.

Daftar Representasi Proporsional (Daftar PR)

Dalam sistem Daftar Representasi Proporsional setiap partai atau kelompok mengajukan daftar kandidat untuk daerah pemilihan berwakil majemuk, para pemilih memilih partai, dan partai- partai memperoleh kursi sesuai proporsi keseluruhan porsi mereka dalam perolehan suara. Selama beberapa sistem (daftar tertutup) para kandidat yang menang diambil dari daftar sesuai urutan mereka dalam daftar. Jika daftarnya “terbuka” atau “bebas” pemilih bisa mempengaruhi urutan kandidat dengan menandai preferensi individual.

Dalam bentuknya yang paling sederhana, daftar PR melibatkan tiap-tiap partai yang menyodorkan sebuah daftar kandidat kepada pemilih di tiap-tiap daerah pemilihan berwakil majemuk. Para pemilih memberikan suara untuk sebuah partai, dan partai-partai memperoleh kursi sesuai proporsi keseluruhan porsi mereka dalam perolehan suara di daerah pemilihan. Para kandidat yang menang diambil dari daftar sesuai uruan mereka dalam daftar.

Pilihan daftar PR tidak dengan sendirinya menguraikan secara menyeluruh sistem pemilu ini: banyak detail yang harus ditetapkan. Sistem yang digunakan untuk menghitung alokasi kursi setelah suara dihitung bisa rata-rata tertinggi (Highest Average) atau Metode Largest Remainder (penghitungan dengan sisa suara terbesar). Rumus yang dipilih memiliki efek kecil tetapi kadang-kadang sangat penting terhadap hasil pemilihan dalam sistem PR. Di Kamboja pada tahun 1998, sebuah perubahan dalam rumusan beberapa pekan sebelum hari pemungutan suara ternyata berefek memberi partai terbesar 64 kursi, bukan 59 kursi, di Majelis Nasional yang memiliki 121 kursi. Perubahan itu tidak dipublikasikan dengan baik, dan pihak oposisi sulit menerima hasil tersebut. Contoh ini dengan jelas memperlihatkan pentingnya detail-detail yang tampaknya remeh bagi para perancang sistem pemilu.

Ada beberapa isu penting lain yang perlu dipertimbangkan dalam mendefinisikan dengan tepat bagaimana sebuah sistem daftar PR akan berfungsi. Sebuah ambang batas formal mungkin diperlukan bagi perwakilan dalam badan legislatif: sebuah ambang batas yang tinggi (misalnya 10 persen, seperti yang digunakan di Turki) kemungkinan besar akan menyisihkan partai-partai kecil, sementara ambang batas rendah (misalnya 1,5 persen, seperti yang digunakan di Israel) bisa mendongkrak representasi mereka. Di Afrika Selatan, tidak ada ambang batas formal, dan pada tahun 2004 Partai Demokrat Kristen Afrika meraih enam dari 400 kursi hanya dengan 1,6 persen suara nasional. Berbagai sistem daftar PR juga berbeda-beda tergantung apakah dan bagaimanakah pemilih bisa memilih antara berbagai kandidat maupun partai, dengan kata lain, apakah daftarnya tertutup, terbuka, atau bebas ( panachage ) (lihat paragraf 122–126). Pilihan ini memiliki implikasi bagi kompleksitas surat suara.

Pilihan-pilihan lain meliputi penatalaksaan bagi “pengumpulan suara” formal atau informal; cakupan bagi persetujuan antara berbagai partai, seperti yang disediakan oleh sistem-sistem yang menggunakan apparentement; dan definisi batas-batas daerah pemilihan.

Kelebihan Daftar Representasi Proporsional

Di samping kelebihan-kelebihan yang melekat pada sistem-sistem PR pada umumnya, daftar PR membawa kemungkinan lebih besar bahwa perwakilan budaya/kelompok minoritas akan terpilih. Ketika, sebagaimana yang sering terjadi, perilaku pemberian suara sejalan dengan pembangian kultural dan sosial suatu masyarakat, sistem pemilu daftar PR bisa membantu memastikan bahwa badan legislatif meliputi para anggota kelompok-kelompok mayoritas maupun minoritas. Hal ini dikarenakan partai-partai bisa didorong oleh sistem tersebut untuk menyusun daftar kandidat berimbang yang menarik bagi seluruh spektrum kepentingan suara. Pengalaman sejumlah negara demokrasi (misalnya Afrika Selatan, Indonesia, Sierra Leone) menunjukkan bahwa daftar PR memberi ruang politik yang memungkinkan partai-partai mengajukan daftar kandidat multirasial dan multi-etnis. Majelis Nasional Afrika Selatan yang terpilih pada tahun 1994 terdiri atas 52 persen anggota kulit hitam (11 persen Zulu, selebihnya adalah keturunan Xhosa, Sotho, Venda, Tswana, Pedi, Swazi, Shangaan dan Nbebele), 32 persen kulit putih (sepertiga berbahasa Inggris, dua pertiga berbahasa Afrikaans), 7 persen keturunan Campuran dan 8 persen India. Parlemen Namibia sama beragamnya, dengan wakil-wakil dari komunitas Ovambo, Damara, Herero, Nama, Baster dan kulit putih (berbahasa Inggris dan Jerman).

Daftar PR memberi kemungkinan lebih besar perempuan akan terpilih. Sistem- sistem pemilu PR hampir selalu lebih ramah pada pemilihan perempuan daripada sistem pluralitas/mayoritas. Pada intinya, partai-partai bisa menggunakan daftar tersebut untuk mempromosikan kemajuan politisi perempuan dan memberi para pemilih ruang untuk memilih kandidat-kandidat perempuan namun tetap mendasarkan pilihan mereka pada pertimbangan-pertimbangan politis selain gender. Seperti yang sudah disampaikan di atas, di daerah-daerah pemilihan dengan satu wakil sebagian besar partai didorong untuk mengajukan kandidat yang “paling bisa diterima kalangan luas”, dan kandidat seperti jarang yang perempuan. Di seluruh dunia sistem PR memang lebih baik daripada sistem FPTP dalam hal jumlah perempuan perempuan yang terpilih dan 14 dari 20 negara teratas dalam hal representasi perempuan menggunakan daftar PR. Pada tahun 2004, jumlah perempuan di lembaga legislatif yang terpilih melalui sistem daftar PR mencapai 4,3 poin persentase lebih tinggi daripada rata-rata 15,2 persen seluruh lembaga legislatif, sedangkan untuk lembaga legislatif yang dipilih melalui FPTP adalah 4,1 poin persentase lebih rendah.

Kekurangan Daftar Representasi Proporsional

Di samping isu-isu umum yang sudah diidentifikasi terkait sistem-sistem PR, kekurangan-kekurangan lain berikut ini bisa direnungkan:

  • Hubungan yang lemah antara para anggota lembaga legislatif terpilih dan konstituen mereka. Ketika sistem PR digunakan dan kursi dialokasikan di satu daerah pemilihan nasional, sepertidi Namibiaatau Israel, sistem tersebut dikritik karena merusak hubungan antara para pemilih dan wakil-wakil mereka. Ketika daftar ditutup para pemilih tidak punya peluang untuk menentukan identitas orang-orang yang akan mewakili mereka dan tidak ada wakil yang bisa dikenali bagi kota, distrik atau desa mereka, juga tidak mudah bagi mereka menolak wakil perorangan jika mereka menganggap dia menunjukkan kinerja buruk dalam jabatannya. Lebih jauh, di beberapa negara sedang berkembang di mana kebanyakan masyarakat bersifat pedesaan, identifikasi pemilih dengan daerah tempat tinggal mereka kadang-kadang dianggap lebih kuat daripada identifikasi mereka dengan partai politik atau kelompok mana pun. Tetapi kritik ini mungkin lebih berkaitan dengan pembedaan antara sistem di mana pemilih memilih partai dan sistem di mana mereka memilih kandidat.

  • Penempatan secara berlebihan kekuasaan di kantor pusat partai dan di tangan para pemimpin senior partai—khususnya dalam sistem daftar tertutup. Posisi seorang kandidat dalam daftar partai, dan karena itu kemungkinannya untuk berhasil, tergantung pada hubungan baik mereka dengan pemimpin-pemimpin partai, dimana hubungan mereka dengan pemilih tidak terlalu penting. Dalam sebuah dinamika tak lazim dalam sistem daftar PR, di Guyana partai-partai menerbitkan daftar kandidat yang tidak diberi peringkat tetapi hanya diurutkan menurut alfabet. Hal ini memberi para pemimpin partai makin banyak cakupan untuk mengganjar kesetiaan dan menghukum independensi karena kursi hanya dialokasikan kepada individu-individu begitu hasil suara diketahui.

  • Kebutuhan bagi adanya semacam partai atau kelompok politik yang diakui. Ini terutama membuat sulit daftar PR dipakai dalam masyarakat yang tidak memiliki partai atau punya partai yang masih embrio dan struktur partai yang longgar, misalnya banyak masyarakat di negara-negara pulau Pasifik.

Single Transferable Vote (STV)

Sudah lama STV didukung para ilmuwan politik sebagai salah satu sistem pemilu yang paling menarik, tetapi penggunaannya untuk pemilihan legislatif terbatas pada sedikit kasus saja—Republik Irlandia sejak 1921, Malta sejak 1947, dan sekali di Estonia pada 1990. Sistem ini juga digunakan untuk pemilihan Senat Federal Australia dan di beberapa negara bagian Australia, dan untuk pemilihan di Eropa serta pemilihan lokal di Irlandia Utara. Sistem ini juga dipilih sebagai rekomendasi Majelis Warga British Columbia (lihat studi kasus British Columbia).

Single Transferable Vote adalah sebuah sistem preferensial di mana pemilih menyusun peringkat para kandidat di daerah pemilihan berwakil majemuk dan para kandidat yang melampaui kuota suara preferensi pertama yang ditentukan langsung dinyatakan terpilih. Dalam penghitungan- penghitungan suara selanjutnya, suara didistribusikan dari kandidat yang perolehan suaranya paling sedikit, yang tersingkir, dan surplus suara dari kuota didistribusikan kembali dari para kandidat yang lolos, hingga kandidat-kandidat yang memadai dinyatakan terpilih. Para pemilih biasanya memilih kandidat bukannya partai politik, walaupun opsi daftar partai mungkin saja ada.

Prinsip inti sistem ini ditemukan secara terpisah pada abad ke-19 oleh ftomas Hare di Inggris dan Carl Andræ di Denmark. STV menggunakan daerah pemilihan berwakil majemuk, dan pemilih mengurutkan para kandidat sesuai preferensi dalam surat suara sama seperti dalam sistem Alternative Vote. Dalam sebagian besar kasus pemberian tanda preferensi ini bersifat sukarela, dan para pemilih tidak diminta memberi peringkat seluruh kandidat; kalau mau mereka bisa menandai satu saja.

Setelah seluruh jumlah suara preferensi pertama dicatat, penghitungan kemudian dimulai dengan menetapkan kuota suara yang disyaratkan bagi pemilihan satu kandidat perorangan. Kuota yang digunakan lazimnya adalah kuota Droop, dihitung dengan rumus sederhana:

image

Hasilnya ditentukan melalui serangkaian penghitungan. Dalam penghitungan pertama, jumlah seluruh suara preferensi pertama untuk tiap-tiap kandidat dipastikan. Setiap kandidat yang memiliki jumlah preferensi pertama lebih besar dari atau sama dengan kuota langsung dinyatakan terpilih.

Dalam penghitungan kedua dan selanjutnya, surplus suara kandidat yang terpilih (yaitu suara di atas kuota) didistribusikan kembali menurut preferensi kedua dalam surat suara. Agar adil, semua surat suara kandidat yang bersangkutan didistribusikan kembali, tetapi masing-masing didasarkan pada persentase pecahan dari satu suara, sehingga total suara yang didistribusikan kembali setara dengan surplus kandidat yang bersangkutan (kecuali di Republik Irlandia, yang menggunakan sampel yang disesuaikan secara statistik). Jika seorang kandidat memiliki 100 suara, misalnya, dan surplusnya adalah lima suara, maka tiap-tiap surat suara akan didistribusikan kembali pada nilai 1/20 sebuah suara.

Setelah penghitungan yang mana pun, jika tidak ada kandidat yang memiliki surplus suara di atas kuota, kandidat dengan total perolehan suara terendah disisihkan. Suaranya kemudian didistribukan kembali dalam penghitungan berikutnya untuk para kandidat yang masih bertanding menurut yang diperlihatkan preferensi kedua kemudian berikutnya. Proses penghitungan berturut-turut, setelah tiap-tiap surplus suara didistribusikan kembali atau seorang kandidat disingkirkan, berlanjut sampai semua kursi untuk daerah pemilihan diisi kandidat-kandidat yang menerima kuota, atau jumlah kandidat yang tersisa dalam penghitungan hanya satu kali lebih banyak dari jumlah kursi yang harus diisi, di mana semua kandidat yang tersisa kecuali satu terpilih tanpa menerima kuota penuh.

Kelebihan Single Transferable Vote

Kelebihan yang dikatakan dimiliki PR pada umumnya berlaku untuk sistem-sistem STV. Di samping itu, sebagai sebuah mekanisme bagi pemilihan perwakilan, STV barangkali adalah yang paling canggih dari semua sistem pemilu, memungkinkan bagi pilihan antara partai-partai dan antara para kandidat dalam partai. Hasil akhirnya memberikan kadar proporsionalias yang memadai, dan fakta bahwa dalam sebagian besar contoh aktual STV daerah pemilihan berwakil majemuk relatif kecil menunjukkan dipertahankannya hubungan geografis antara pemilih dan wakilnya. Lebih jauh, para pemilih bisa mempengaruhi komposisi koalisi pasca-pemilihan, sebagaimana yang terjadi di Republik Irlandia, dan sistem ini memberi insentif bagi akomodasi antar-partai melalui pertukaran timbal balik preferensi antara berbagai partai. STV juga memberi peluang lebih baik bagi pemilihan kandidat-kandidat independen populer dibandingkan dengan daftar PR, karena para pemilih memilih kandidat-kandidat yang ada, bukan partai (walaupun opsi daftar partai bisa ditambahkan dalam sebuah pemilihan STV; hal ini dilakukan untuk pemilihan Senat Australia).

Kekurangan Single Transferable Vote

Kekurangan yang dianggap terdapat dalam PR umumnya juga berlaku untuk sistem STV. Di samping itu:

  • STV kadang-kadang dikritik karena pemungutan suara preferensi tidak familiar dalam banyak masyarakat, dan menuntut, setidak-tidaknya, kadar melek huruf dan melek angka yang memadai.

  • Kerumitan penghitungan STV sangat kompleks, yang juga dilihat sebagai sebuah kelemahan. Hal ini disebut sebagai salah satu alasan mengapa Estonia memutuskan untuk meninggalkan sistem ini setelah pemilihan umum pertamanya. STV menghendaki penghitungan kembali terus-menerus surplus pengalihan nilai dan semacamnya. Karena itulah, suara dalam STV harus dihitung di pusat-pusat penghitungan, bukan dihitung langsung di tempat pemungutan suara. Ketika integritas pemilihan menjadi isu yang menonjol, penghitungan di tempat pemungutan suara aktual mungkin diperlukan untuk memastikan legitimasi suara, dan akan muncul kebutuhan untuk memilih sistem pemilu yang sesuai.

  • STV, tidak seperti daftar PR, kadang-kadang menghasilkan tekanan bagi partai politik untuk terpecah secara internal karena pada anggota partai yang sama bersaing satu sama lain, juga bersaing dengan partai lain, memperebutkan suara. Ini bisa meningkatkan politik “klientalistik” di mana para politisi menawarkan suap bagi kelompok-kelompok pemilih tertentu.

  • STV bisa menyebabkan sebuah partai dengan pluralitas suara justru mendapatkan lebih sedikit kursi dibanding lawan-lawannya. Malta mengamandemen sistemnya pada pertengahan 1980-an dengan memberikan beberapa kursi kompensasi kepada sebuah partai jika hal semacam itu terjadi.

Banyak dari yang dikritik itu, pada kenyataannya, tidak terlalu menjadi persoalan dalam praktek. Pemilihan-pemilihan STV di Republik Irlandia dan Malta cenderung menghasilkan pemerintah relatif stabil dan memiliki legitimasi yang terdiri atas satu atau dua partai besar.

Masalah-masalah Terkait PR

Besaran Daerah Pemilihan

Terdapat kesepakatan nyaris universal di kalangan ahli sistem pemilu bahwa hal krusial yang menentukan kemampuan sistem pemilu dalam mengonversi suara menjadi kursi yang diraih secara proporsional adalah besaran daerah pemilihan, yakni jumlah wakil yang dipilih di tiap-tiap daerah pemilihan. Dalam sebuah sistem seperti FPTP, AV atau Sistem Dua Putaran, terdapat sebuah besaran daerah pemilihan satu; para pemilih memilih satu wakil. Sebaliknya, semua sistem PR, sebagian sistem pluralitas/ mayoritas seperti Block Vote dan PBV, dan sebagian yang lain seperti Suara Terbatas dan SNTV, mensyaratkan daerah-daerah pemilihan yang memilih lebih dari satu wakil. Dalam semua sistem proporsional, jumlah wakil yang dipilih di tiap distrik menentukan, secara cukup signifikan, seberapa proporsional hasil pemilihan yang dimunculkan.

Sistem-sistem yang menawarkan kadar proporsionalitas tinggi akan menggunakan daerah pemilihan yang sangat besar, karena daerah-daerah pemilihan semacam itu mampu memastikan bahwa partai sangat kecil sekalipun terwakili dalam badan legislatif. Di daerah-daerah pemilihan lebih kecil, ambang batas efektifnya lebih tinggi. Misalnya, dalam sebuah daerah pemilihan di mana hanya ada tiga wakil untuk dipilih, sebuah partai harus mendapatkan setidak-tidaknya 25 persen + 1 suara agar bisa dipastikan mendapat sebuah kursi. Sebuah partai yang hanya memiliki 10 persen dukungan kecil kemungkinan akan mendapat kursi, dan suara para pendukung partai ini dengan demikian dikatakan terbuang. Dalam sebuah daerah pemilihan dengan sembilan kursi, sebaliknya, 10 persen +1 suara akan menjamin sebuah partai meraih setidak-tidaknya satu kursi.

Persoalannya, daerah-daerah pemilihan dibuat semakin besar—dalam jumlah kursi dan, karena itu, sering kali dalam ukuran geografis juga—sehingga hubungan antara wakil yang terpilih dan konstituensinya semakin lemah. Hal ini bisa membawa konsekuensi serius dalam masyarakat di mana faktor-faktor lokal memainkan peran penting dalam politik atau para pemilih mengharapkan wakil-wakil mereka menjaga hubungan erat dengan pemilih dan bertindak sebagai “utusan” mereka dalam badan legislatif.
115. Karena hal inilah terdapat perdebatan sengit tentang besaran daerah pemilihan yang terbaik. Sebagian besar ahli sepakat, sebagai sebuah prinsip umum, bahwa besaran daerah pemilihan antara tiga dan tujuh kursi cenderung berfungsi dengan sangat baik, dan disarankan penggunaan bilangan-bilangan ganjil seperti tiga, lima dan tujuh yang dalam prakteknya berfungsi lebih baik daripada bilangan genap, khususnya dalam sistem dua partai. Bagaimanapun juga, ini cuma dugaan kasar, dan ada banyak situasi di mana bilangan lebih besar bisa jadi lebih dikehendaki maupun diperlukan untuk menjamin representasi dan proporsionalitas yang memuaskan. Di banyak negara, daerah pemilihan mengikuti pembagian administratif yang ada, bisa batas-batas negara atau provinsi, yang menyebabkan ada perbedaan besar ukuran. Meski begitu, pendekatan ini menyingkirkan kebutuhan untuk membuat batas-batas tambahan bagi pemilihan dan memungkinkan dihubungkannya daerah-daerah pemilihan dengan komunitas-komunitas yang ada yang sudah teridentifikasi dan bisa diterima.

Bilangan-bilangan pada titik tinggi dan titik rendah spektrum cenderung memberikan hasil yang lebih ekstrem. Di satu ujung spektrum, satu negara bisa menjadi satu daerah pemilihan, yang lazimnya berarti bahwa jumlah suara yang diperlukan untuk pemilihan sangat rendah dan partai-partai sangat kecil sekalipun. Di Israel, misalnya, satu negara bisa menjadi satu daerah pemilihan dengan 120 wakil, yang berarti bahwa hasil-hasil pemilihan sangat proporsional, tetapi juga berarti bahwa partai-partai dengan porsi suara kecil saja bisa mendapatkan representasi dan bahwa hubungan antara seorang wakil yang terpilih dan kawasan geografis yang mana pun sangat lemah. Dan di ujung lain spektrum, sistem PR bisa diberlakukan pada situasi-situasi di mana ada sebuah daerah pemilihan yang besarannya hanya dua. Misalnya, sebuah sistem daftar PR diberlakukan pada daerah pemilihan berwakil dua di Cile. Sebagaimana diperlihakan oleh studi kasus, hasil yang diberikan sangat tidak proporsional, karena hanya dua partai yang bisa meraih representasi di tiap-tiap daerah pemilihan. Ini cenderung mengurangi manfaat PR dalam hal representasi dan legitimasi.

Contoh-contoh tadi, dari ujung-ujung berlawanan spektrum, menggarisbawahi sangat pentingnya besaran daerah pemilihan dalam sistem pemilu PR yang mana saja. Bisa dikatakan itulah pilihan kelembagaan paling penting ketika merancang sebuah sistem PR, dan juga sangat penting bagi sejumlah sistem non-PR. Single Non- Transferable Vote, misalnya cenderung memberikan hasil yang cukup proporsional sekalipun pada dasarnya bukan sebuah formula proporsional, terutama karena ia digunakan di daerah-daerah pemilihan berwakil majemuk. Begitu pula, ketika Single Transferable Vote dipakai di daerah-daerah pemilihan dengan satu wakil ia menjadi Alternative Vote, yang mempertahankan beberapa kelebihan STV tetapi bukan proporsionalitasnya. Dalam sistem Party Block Vote dan Block Vote, ketika besaran daerah pemilihan meningkat, proporsionalitas kemungkinan akan turun. Ringkasnya, ketika merancang sebuah sistem pemilu, besaran daerah pemilihan dalam banyak hal merupakan faktor kunci dalam menentukan bagaimana sistem tersebut akan berfungsi pada prakteknya, kekuatan hubungan antara pemilih dan wakil-wakil yang terpilih, dan keseluruhan proporsionalitas hasil pemilihan.

Selain itu, besaran partai (jumlah rata-rata kandidat yang sukses dari partai yang sama di daerah pemilihan yang sama) merupakan faktor penting dalam menentukan siapa yang akan terpilih. Jika hanya satu kandidat dari sebuah partai terpilih di sebuah daerah pemilihan, sangat boleh jadi kandidat itu adalah laki-laki dan anggota etnis atau kelompok sosial mayoritas di daerah pemilihan tersebut. Jika dua atau lebih yang terpilih, paket yang berimbang mungkin memiliki efek lebih besar, kemungkinan akan ada lebih banyak perempuan atau kandidat dari kelompok-kelompok minoritas yang memperoleh kesuksesan. Daerah-daerah pemilihan lebih besar (dengan tujuh atau lebih kursi) dan jumlah partai yang relatif sedikit akan meningkatkan besaran partai.

Ambang Batas

Semua sistem pemilu memiliki ambang batas representasi: yakni tingkat minimum dukungan yang dibutuhkan suatu partai untuk mendapatkan representasi. Ambang batas bisa diberlakukan secara legal (ambang batas formal) atau ada sebagai sebuah perangkat matematis sistem pemilu (ambang batas efektif atau alami).

Ambang batas formal dituangkan dalam konstitusi atau ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur sistem PR. Dalam sistem-sistem campuran di Jerman, Selandia Baru dan Rusia, misalnya, berlaku 5 persen ambang batas untuk bagian PR: partai- partai yang gagal meraih 5 persen suara tingkat nasional tidak berhak mendapatkan kursi dari daftar PR. Asal mula konsep ini adalah keinginan untuk membatasi pemilihan kelompok-kelompok ekstremis di Jerman, dan dirancang untuk menghalangi partai-partai sangat kecil mendapatkan representasi. Meski begitu, di Jerman maupun Selandia Baru ada jalur “pintu belakang” agar sebuah partai berhak mendapat kursi dari daftar; dalam kasus Selandia Baru sebuah partai harus meraih setidak-tidaknya satu kursi konstituensi, sedangkan di Jerman tiga kursi, untuk menerobos persyaratan ambang batas. Di Rusia pada tahun 1995 tidak ada jalur pintu belakang, dan hampir separuh suara daftar partai terbuang.

Di tempat lain, ambang batas legal berkisar dari 0,67 persen di Belanda hingga 10 persen di Turki. Partai-partai yang meraih kurang dari persentase suara ini disingkirkan dari penghitungan. Contoh mencolok kasus ini adalah pemilihan umum Turki pada 2002, di mana begitu banyak partai tidak mampu memenuhi ambang batas 10 persen hingga 46 persen dari seluruh suara terbuang. Dalam semua kasus tadi keberadaan ambang batas formal cenderung meningkatkan total angka disproporsionalitas, karena suara bagi partai-partai mestinya meraih representasi, jika ambang batas itu tidak ada, menjadi terbuang.
Di Polandia pada tahun 1933, bahkan dengan ambang batas relatif rendah 5 persen untuk partai dan 8 persen untuk koalisi, lebih dari 34 persen suara diberikan untuk partai dan koalisi yang tidak mampu melewati ambang batas tersebut.

Sebuah ambang batas efektif, tersembunyi atau alami diciptakan sebagai produk sampingan matematis sifat-sifat khas sistem pemilu, di mana besaran distrik adalah yang paling penting. Misalnya, dalam sebuah daerah pemilihan dengan empat kursi menggunakan sebuah sistem PR, kandidat mana pun yang meraih lebih dari 20 persen suara akan terpilih, sedangkan kandidat dengan kurang dari sekitar 10 persen (angka tepatnya bisa sangat beragam tergantung pada konfigurasi partai, kandidat dan suara) tampaknya tidak akan terpilih.

Daftar Terbuka, Tertutup, dan Bebas

Walaupun sistem daftar PR didasarkan pada prinsip-prinsip bahwa partai atau kelompok politik mengajukan kandidat, dimungkinkan untuk memberi pemilih pilihan tertentu dalam Daftar PR antara para kandidat yang diajukan maupun antara berbagai partai. Pada dasarnya ada tiga opsi yang bisa dipilih—daftar terbuka, tertutup, dan bebas.

Mayoritas sistem daftar PR di dunia bersifat tertutup, artinya urutan kandidat yang dipilih dalam daftar ditetapkan oleh partai yang bersangkutan, dan pemilih tidak bisa mengungkaplan preferensi bagi kandidat tertentu. Sistem PR yang digunakan di Afrika Selatan adalah contoh bagus daftar tertutup. Surat suara memuat berbagai nama dan lambang partai, dan sebuah foto pemimpin partai, tetapi tidak ada nama- nama kandidat perorangan. Para pemilih hanya memilih partai yang mereka sukai; para kandidat perorangan yang dipilih sudah ditentukan terlebih dahulu oleh partai masing-masing. Ini berarti partai bisa menyertakan beberapa kandidat (mungkin anggota kelompok etnis dan bahasa minoritas, atau perempuan) yang boleh jadi akan sulit terpilih jika tidak dengan cara demikian.

Aspek-aspek negatif daftar tertutup adalah para pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa wakil dari partai mereka. Daftar tertutup juga tidak responsif terhadap perubahan pesat yang terjadi. Dalam pemilu di Jerman Timur sebelum unifikasi pada tahun 1990, kandidat peringkat tertinggi salah satu partai diketahui adalah seorang informan polisi rahasia hanya empat hari sebelum pemilihan, dan dikeluarkan seketika dari partai; tetapi karena daftarnya tertutup para pemilih tidak punya pilihan selain memilihnya sekiranya mereka ingin mendukung bekas partai sang informan yang ketahuan itu.

Kebanyakan sistem daftar PR di Eropa Barat menggunakan daftar terbuka, di mana para pemilih bisa menunjukkan tidak hanya partai unggulan mereka tetapi juga kandidat unggulan mereka dalam partai tersebut. Dalam sebagian kasus sistem tersebut suara untuk kandidat maupun partai bersifat opsional dan, karena kebanyakan pemilih hanya memilih partai dan bukan kandidat, opsi pilihan kandidat surat suara sering kali terbatas efeknya. Kendati demikian, di Swedia lebih dari 25 persen pemilih secara teratur memilih seorang kandidat sekaligus partai, dan sejumlah individu yang terpilih pasti tidak akan terpilih jika daftarnya tertutup.

Finlandia, bertolak belakang dengan Brazil di mana para pemilih memberikan suara mereka untuk seorang kandidat atau sebuah partai politik, mereka harus memilih kandidat: jumlah kursi yang diperoleh masing-masing partai ditentukan oleh total jumlah suara yang diraih kandidat-kandidatnya, dan urut-urutan di mana kandidat-kandidat partai dipilih untuk menduduki kursi ditentukan oleh jumlah suara individual yang mereka raup. Walaupun memberi pemilih kebebasan jauh lebih besar atas pemilihan kandidat mereka, sistem ini juga memiliki beberapa efek yang tidak begitu disukai. Karena para kandidat dari partai yang sama bertarung sesama mereka demi memperebutkan suara, bentuk daftar terbuka ini bisa menimbulkan konflik internal dan perpecahan partai. Ini juga berarti bahwa keuntungan-keuntungan potensial bagi partai yang memiliki daftar yang menampilkan deretan kandidat yang beragam bisa disingkirkan. Dalam pemilihan-pemilihan PR daftar terbuka di Sri Lanka, misalnya, berbagai upaya partai-partai besar Sinhala untuk menyertakan kandidat-kandidat minoritas Tamil dalam posisi mungkin menang pada dafar partai mereka menjadi tidak efektif karena banyak pemilih yang sengaja memberi suara untuk kandidat-kandidat Sinhala yang berada di urutan bawah. Di Kosovo perubahan dari daftar tertutup menjadi daftar terbuka benar-benar meningkatkan kehadiran lebih banyak kandidat-kandidat ekstremis. Lagi pula, daftar terbuka kadang-kadang terbukti merugikan bagi keterwakilan perempuan dalam masyarakat yang sangat patriarkal, walaupun di Polandia para pemilih menunjukkan kesediaan mereka menggunakan daftar terbuka untuk memilih lebih banyak perempuan daripada yang akan dihasilkan oleh nominasi yang diajukan partai-partai jika yang digunakan adalah daftar tertutup.

Perangkat-perangkat lain digunakan di beberapa yurisdiksi untuk menambahkan fleksibilitas ekstra bagi sistem daftar terbuka. Di Luksemburg dan Swiss, para pemilih memiliki suara sebanyak kursi yang harus diisi dan bisa mendistribusikannya ke kandidat-kandidat entah itu dalam satu partai atau dalam beberapa daftar partai yang mereka anggap cocok. Kapasitas memberi suara untuk lebih dari satu kandidat dalam daftar-daftar yang berlainan (dikenal sebagai panachage) atau memberikan lebih dari satu suara untuk satu kandidat yang sangat diinginkan (dikelan sebagai kumulasi) ternyata sama-sama merupakan langkah kontrol tambahan bagi pemilih dan dikategorikan di sini sebagai sistem daftar bebas.

Apparentement

Ambang batas efektif yang tinggi dapat dipakai untuk mendiskriminasikan partai-partai kecil—bahkan, dalam beberapa kasus memang itulah tujuan eksplisit dari diterapkannya ambang batas efektif. Tetapi dalam banyak kasus diskriminasi yang sengaja dilakukan dengan menerapkan ambang batas efektif ini terhadap partai-partai kecil dipandang sebagai sesuatu yang tidak diinginkan, terutama ketika beberapa partai kecil dengan basis dukungan serupa “memecah” gabungan suara mereka dan karena itu merosot di bawah ambang batas, ketika salah satu kelompok aliansi akan mendapatkan cukup suara gabungan untuk meraih beberapa kursi di lembaga legislatif. Untuk mengatasi persoalan ini, beberapa negara yang menggunakan sistem daftar PR juga mengizinkan partai-partai kecil untuk berkelompok untuk kepentingan elektoral, dengan demikian membentuk sebuah kartel—atau apparentement atau stembusaccoord—untuk bertarung dalam pemilihan. Ini berarti partai-partai itu sendiri tetap merupakan entitas-entitas terpisah, dan dicantumkan dalam daftar terpisah di surat suara, tetapi suara yang diperoleh masing-masing partai dihitung layaknya milik seluruh kartel, dengan demikian meningkatkan peluang bagi total suara gabungan itu berada di atas ambang batas dan karena itu mereka bisa mendapatkan representasi tambahan. Perangkat ini menjadi ciri sejumlah sistem Daftar PR di Eropa daratan, di Amerika Latin (di mana partai-partai payung disebut lema) dan di Israel. Tetapi perangkat ini jarang dijumpai dalam sistem-sistem di Afrik dan Asia, dan dihapus di Indonesia pada tahun 1999 setelah beberapa partai kecil mendapati bahwa, walaupun kartel mereka meraih representasi secara keseluruhan, sebagai partai-partai sesungguhnya mereka tidak mendapatkan kursi.

Sistem Campuran

Sistem pemilu campuran berusaha menggabungkan sisi-sisi positif sistem pluralitas/mayoritas (atau “lain”) dan sistem-sistem pemilu PR. Dalam sebuah sistem campuran terdapat dua sistem pemilu yang menggunakan formula berbeda yang berjalan berdampingan. Suara diberikan oleh para pemilih yang sama dan memberikan kontribusi bagi pemilihan perwakilan dengan menggunakan semua sistem. Salah satu dari sistem-sistem itu adalah sistem pluralitas/mayoritas (atau kadang-kadang sebuah sistem “lain”), biasanya sebuah sistem daerah pemilihan dengan satu wakil, dan satunya lagi sebuah sistem daftar PR. Ada dua bentuk sistem campuran. Ketika hasil dari dua tipe pemilihan berkaitan. dengan alokasi kursi di tingkat PR bergantung pada apa yang terjadi dalam kursi-kursi daerah pemilihan pluralitas/mayoritas (atau yang lain) dan mengimbangi setiap disproporsionalitas yang muncul, sistem itu disebut sistem Mixed Member Proportional (MMP). Ketika kedua kursi pemilihan bisa dipisahkan dan dibedakan dan tidak tergantung satu sama lain untuk alokasi kursi, sistemnya disebut sistem paralel. Jika sebuah sistem MMP biasanya memberikan hasil proporsional, sebuah sistem paralel kemungkinan besar memberikan hasil di mana proporsionalitas berada di antara hasil sistem pluralitas/mayoritas dan sistem PR.

Mixed Member Proportional (MMP)


Dalam sistem MMP, kursi-kursi PR diberikan sebagai kompensasi bagi setiap disproporsionalitas yang disebabkan oleh hasil kursi daerah pemilihan. Misalnya, jika satu partai meraih 10 persen suara nasional tetapi tidak memperoleh kursi daerah pemilihah, ia akan diberi cukup kursi dari daftar PR agar representasinya menjadi 10 persen kursi di lembaga legislatif. Pemilih bisa mendapat dua pilihan terpisah, seperti di Jerman dan Selandia Baru. Alaternatifnya, pemilih bisa membuat hanya satu pilihan, dengan jumlah total perolehan partai berasal dari perolehan total dari kandidat- kandidat daerah pemilihan individual.

Tabel Negara-negara yang Menggunakan Sistem MMP
Negara-negara yang Menggunakan Sistem MMP

MMP digunakan di Albania, Bolivia, Jerman, Hongaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru dan Venezuela. Di semua kecuali satu negara-negara ini, kursi daerah pemilihan dipilih menggunakan FPTP. Hongaria menggunakan TRS dan metode Iralia jauh lebih rumit: seperempat kursi di majelis rendah dicadangkan sebagai kompensasi bagi suara terbuang di daerah-daerah pemilihan dengan satu wakil.

Di Venezuela terdapat 100 kursi FPTP dan selebihnya adalah kursi Daftar PR Nasional serta kursi kompensasi ekstra. Di Meksiko (lihat studi kasus) 200 kursi Daftar PR disediakan sebagai kompensasi untuk ketidakseimbangan dalam hasil 300 kursi FPTP, yang biasanya tinggi. Sistel elektoral pasca-konflik Lesotho berisi 80 kursi FPTP dan 40 kursi kompensasi.

Walaupun MMP dirancang untuk memberikan hasil proporsional, tetapi mungkin saja terdapat disproporsionalitas yang begitu besar pada daerah pemilihan yang berwakil tunggal sehingga kursi-kursi daftar tidak sepenuhnya bisa memberi kompensasi. Kemungkinan besar ini terjadi ketika daerah-daerah pemilihan PR ditentukan bukan di tingkat nasional melainkan di tingkat daerah atau provinsi. Sebuah partai dengan demikian bisa meraih lebih banyak kursi pluralitas/mayoritas daripada suara partai di daerah di mana ia mestinya menang. Untuk mengatasi hal ini, proporsionalitas bisa lebih didekati jika ukuran badan legislatif sedikit ditambah: kursi ekstra yang disebut mandat eksesif atau Überhangsmandaten. Ini terjadi dalam sebagian besar pemilihan di Jerman dan juga mungkin di Selandia Baru. Di Lesotho, sebaliknya, ukuran lembaga legislatifnya tetap, dan hasil-hasil pemilhan MMP pertama pada tahun 2002 tidak sepenuhnya proporsional (lihat studi kasus).

Kelebihan dan Kekurangan Member Proportional

Selain mempertahankan keunggulan proporsionalitas sistem-sistem PR, MMP juga memastikan wakil-wakil terpilih terhubung dengan daerah-daerah pemilihan secara geografis. Meski begitu, ketika pemilih mempunyai dua suara—satu untuk partai dan satu lagi untuk wakil lokal mereka—tidak selalu dipahami bahwa suara bagi perwakilan lokal tidak sepenting suara partai dalam menentukan keseluruhan alokasi kursi di badan legislatif. Lebih dari itu, MMP bisa menciptakan dua kelas legislator—satu kelompok yang terutama bertanggung jawab dan mempunyai kewajiban terhadap sebuah konstituensi, dan satunya dari daftar partai nasional tanpa ikatan geografis dan mempunyai kewajiban terhadap partai. Barangkali ini berimplikasi pada kohesivitas kelompok wakil-wakil partai yang terpilih.

Dalam mengonversi suara menjadi kursi, MMP bisa sama proporsionalnya dengan sistem pemilu daftar PR murni, dan karena itu mempunyai banyak kesamaan kelebihan dan kekurangan PR yang sudah disebut sebelumnya. Meski begitu, salah satu alasan MMP kadang-kadang dipandang kurang disukai daripada daftar PR yang lugas adalah kemampuannya memunculkan apa yang disebut anomali “pemungutan suara strategis”. Di Selandia Baru pada tahun 1996, di konstituensi Wellington Central, beberapa ahli strategi Partai Nasional mendesak para pemilih agar jangan memilih kandidat Partai Nasional karena mereka memperhitungkan bahwa dalam sistem MMP pilihannya tidak akan memberi Partai Nasional kursi lain melainkan hanya mengganti seorang anggota parlemen yang akan dipilih dari daftar partai mereka. Karena itu lebih baik bagi Partai Nasional mendapati seorang kandidat dipilih dari partai lain, asalkan kandidat itu bersimpati dengan ide-ide dan ideologi Partai Nasional, dari pada suara “dibuang” karena mendukung kandidat mereka sendiri.

Sistem Paralel


Sistem paralel juga menggunakan komponen-komponen sistem PR dan sistem pluralitas/mayoritas, tetapi tidak seperti sistem MMP komponen PR sistem itu tidak memberi kompensasi bagi disproporsionalitas yang terjadi di daerah-daerah pemilihan pluralitas/mayoritas. (Hal ini juga memungkinkan untuk komponen non-PR dari sistem paralel dapat menjadi bentuk lain dari keluarga sistem pemilu, seperti yang ada di Taiwan). Dalam sebuah sistem paralel, seperti dalam MMP, setiap pemilih mungkin menerima satu surat suara yang dipakai untuk memberikan suara bagi seorang kandidat maupun partainya, seperti yang dilakukan di Korea Selatan (Republik Korea), atau dua surat suara terpisah, satu untuk kursi pluralitas/mayoritas dan satu untuk kursi PR, seperti yang dilakukan, misalnya, di Jepang, Lithuania dan ftailand (lihat studi kasus Jepang dan Thailand).

Sebuah Sistem Paralel adalah sebuah sistem campuran di mana pilihan diungkapkan oleh para pemilih digunakan untuk memilih wakil-wakil melalui dua sistem berbeda—satu sistem Daftar PR dan (biasanya) satu sistem pluralitas/mayoritas—tetapi tidak ada pertimbangan tentang kursi- kursi yang dialokasikan dengan sistem pertama ini dalam memperhitungkan hasil-hasil dalam sistem kedua.

Sistem-sistem Paralel saat ini digunakan di 21 negara dan merupakan sebuah ciri desain sistem pemilu selama satu setengah dekade terakhir—mungkin karena tampaknya mereka menggabungkan keunggulan daftar PR dengan keunggulan represenasi pluralitas/mayoritas (atau yang lain). Armenia, Guinea (Conakry), Jepang, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, Rusia, Seychelles, ftailand, Timor Leste dan Ukraina menggunakan daerah pemilihan dengan satu wakil FPTP bersama sebuah komponen Daftar PR, sedangkan Azerbaijan, Georgia, Lithuania dan Tajikistan menggunakan Sistem Dua Putaran untuk komponen daerah pemilihan dengan satu wakil sistem mereka.
Andorra, Senegal (lihat studi kasus) dan Tunisia menggunakan Party Block Vote untuk memilih sejumlah perwakilan mereka. Monaco adalah satu-satunya negara dengan sebuah Sistem Paralel yang menggunakan BV, dan Taiwan juga unik karena menggunakan SNTV berbarengan dengan sebuah kompoben sistem PR.

Perimbangan antara jumlah kursi proporsional dan jumlah kursi pluralitas/ mayoritas sangat bervariasi. Hanya di Andorra, Rusia, dan Ukraina ada pembagian 50:50. Di satu titik ekstrem, 81 persen dari 299 kursi di Korea Selatan dipilih dengan FPTP, dengan hanya 56 anggota berasal dari daftar PR. Di titik ekstrem lainnya, 75 persen kursi di Timor-Leste dipilih secara proporsional dan hanya 13 yang didasarkan pada daerah pemilihan FPTP. Meski begitu, dalam sebagian besar kasus perimbangannya jauh lebih dekat. Misalnya, Jepang memilih lebih sedikit di atas 60 persen wakil-wakilnya dari daerah-daerah pemilihan dengan satu wakil, sedangkan selebihnya berasal dari daftar PR. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel Negara-negara yang Menggunakan Sistem Paralel
Negara-negara yang Menggunakan Sistem Paralel

Kelebihan Sistem Paralel

Dalam hal disproporsionalitas, sistem Paralel biasanya memberikan hasil yang berada di antara sistem pluralitas/mayoritas murni dan sistem PR murni. Salah satu kelebihannya adalah, ketika terdapat cukup kursi PR, partai-partai minoritas kecil yang tidak berhasil dalam pemilihan pluralitas/mayoritas suara masih dihargai dengan mendapatkan kursi dalam alokasi proporsional. Selain itu, sebuah sistem Paralel tidak akan, dalam teorinya, mengkotak-kotakkan partai seperti sistem pemilu PR murni.

Kekurangan Sistem Paralel

Seperti halnya MMP, tampaknya akan tercipta dua kelas perwakilan. Lagi pula, sistem-sistem Paralel tidak menjamin proporsionalitas sepenuhnya, dan beberapa partai masih disingkirkan dari representasi walaupun meraih suara dalam jumlah substansial. Sistem Paralel juga relatif rumit dan bisa membingungkan para pemilih dalam memahami sifat dan operasi dari sistem pemilu ini.

Sistem-sistem lain

Di samping sistem pluralitas/mayoritas, sistem representasi proporsional dan campuran terdapat sejumlah sistem lain yang tidak sesuai dengan kategori tertentu yang mana pun. Di antara sistem-sistem ini terdapat Single Non-Transferable Vote , Limited Vote dan Borda Count yang cenderung mengonversi suara menjadi kursi dalam cara yang bisa dikatakan berada di antara sistem-sistem proporsionalitas PR dan hasil sistem-sistem pluralitas/sistem mayoritas.

Single Non-Transferable Vote (SNTV)


Dalam SNTV setiap pemilih memberikan satu suara untuk satu kandidat tetapi (tidak seperti FPTP) terdapat lebih dari satu kursi untuk diisi di tiap-tiap daerah pemilihan. Kandidat-kandidat dengan total suara terbanyak mengisi posisi-posisi tersebut.

SNTV bisa memberikan tantangan bagi parta-partai politik. Misalnya, di sebuah daerah pemilihan dengan empat wakil, seorang kandidat yang hanya mengantongi lebih dari 20 persen suara sudah dijamin aman dalam pemilihan. Dengan demikian sebuah partai dengan 50 persen suara bisa berharap meraih dua kursi di sebuah daerah pemilihan dengan empat wakil. Jika setiap kandidat menjaring 25 persen, harapan itu akan terwujud. Tetapi jika salah satu kandidat meraup 40 persen dan yang lainnya 10 persen, kandidat kedua mungkin tidak akan terpilih. Jika partai mangajukan tiga kandidat, bahaya “pemecahan suara” makin memperkecil kemungkinan partai tersebut akan meraih dua kursi.

Dalam sistem Single Non-Transferable Vote para pemilih memberikan satu suara di sebuah daerah pemilihan berwakil majemuk. Para kandidat dengan total suara terbanyak dinyatakan terpilih. Para pemilih memilih kandidat, bukan partai politik.

Saat ini SNTV digunakan untuk pemilihan badan legislatif di Afghanistan, Yordania, Kepulauan Pitcairn Islands dan Vanuatu, untuk pemilihan kamar kedua di Indonesia dan ftailand, dan untuk 176 dari 225 kursi dalam sistem Paralel yang digunakan untuk badan legislatif Taiwan. Bagaimanapun juga, penggunaannya yang paling dikenal adalah untuk pemilihan majelis rendah Jepang dari tahun 1948 hingga 1993.

Kelebihan Single Non-Transferable Vote (SNTV)

  • Perbedaan paling penting antara SNTV dan sistem-sistem pluralitas/mayoritas sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya adalah SNTV lebih baik dalam memfasilitasi representasi partai-partai minoritas dan kandidat-kandidat independen. Semakin besar daerah pemilihan (jumlah kursi dalam konstituensi), akan semakin proporsional sistem itu. Di Yordania, SNTV memungkinkan sejumlah kandidat pro-monarkis non-partai yang populer terpilih, dan ini dipandang sebagai kelebihan dalam sistem partai yang masih bersifat embrio.

  • SNTV bisa mendorong partai-partai menjadi sangat terorganisasi dan menginstruksikan para pemilih mereka untuk mengalokasikan suara bagi kandidat- kandidat dengan cara yang memaksimalkan potensi sebuah partai untuk meraih kursi. Selain memberi para pemilih pilihan di antara para kandidat dalam daftar sebuah partai, SNTV disebut-sebut tidak terlalu memecah belah sistem partai seperti yang dihasilkan sistem PR murni. Selama 45 tahun lebih pengalaman menggunakan SNTV, Jepang memperlihatkan sistem “‘satu partai dominan” yang sangat kokoh.

  • Akhirnya, sistem ini dipuji karena mudah digunakan dan dipahami.

Kekurangan Single Non-Transferable Vote (SNTV)

  • Partai-partai kecil yang suaranya tersebar luas mungkin tidak meraih kursi sama sekali, dan partai-partai yang lebih besar bisa mendapatkan bonus kursi besar yang mengubah sebuah pluralitas suara secara nasional menjadi sebuah mayoritas mutlak di lembaga legislatif. Walaupun proporsionalitas sistem ini bisa ditingkatkan dengan menambah jumlah kursi yang harus diisi di daerah-daerah pemilihan berwakil majemuk, hal itu melemahkan hubungan pemilih-anggota parlemen yang begitu dihargai oleh para pendukung daerah pemilihan yang didefinisikan secara geografis. Daerah-daerah pemilihan berwakil majemuk hingga 18 orang di ftailand, misalnya, adalah titik tertinggi yang bisa dikelola.

  • Sama seperti sistem apa pun di mana banyak kandidat dari partai yang sama bersaing memperebutkan satu suara, perpecahan dan perselisihan internal partai boleh jadi dipertegas. Hal ini bahkan bisa mendorong politik klientalistik di mana para politisi menawarkan suap pemilu untuk kelompok-kelompok pemilih tertentu.

  • Partai-partai perlu mempertimbangkan persoalan-persoalan strategis rumit nominasi maupun manajemen suara; mengajukan terlalu banyak kandidat bisa sama tidak produktifnya dengan mengajukan terlalu sedikit, dan perlunya sebuah partai mendisiplinkan para pemilih agar menyebarkan suara mereka secara merata ke seluruh kandidat partai tersebut adalah sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan.

  • Karena SNTV hanya memberi pemilih satu suara, sistem mengandung beberapa insentif bagi politik-partai politik untuk menarik spektrum luas para pemilih dengan cara yang akomodatif. Sejauh mereka memiliki suara inti yang memadai, mereka bisa meraih kursi tanpa harus menyeru “orang luar”.

  • SNTV biasanya menimbulkan banyak suara terbuang, terutama jika persyaratan pencalonan bersifat inklusif, yang memungkinkan banyak kandidat untuk mengajukan diri.

Limited Vote (LV)

Seperti SNTV, Limited Vote (Suara Terbatas) adalah sebuah sistem pluralitas/ mayoritas yang digunakan di daerah-daerah pemilihan berwakil majemuk. Tidak seperti SNTV, para pemilih mempunyai lebih dari satu suara—tetapi suara yang ada lebih sedikit dari para kandidat yang akan dipilih. Penghitungannya identik dengan SNTV, di mana kandidat-kandidat dengan total suara terbanyak mendapatkan kursi.

Sistem ini digunakan untuk berbagai pemilihan tingkat lokal, sedangkan penggunaan- nya di tingkat nasional terbatas di Gibraltar dan Spanyol, di mana sistem ini biasa di- pakai untuk memilih majelis tinggi, Senat, Spanyol sejak 1977. Dalam hal ini, dengan daerah-daerah pemilihan berwakil majemuk yang besar, setiap pemilih memiliki satu suara yang kurang dari jumlah wakil yang dipilih.

Limited Vote adalah sebuah sistem pemilu berorientasi kandidat yang digunakan di daerah pemilihan berwakil majemuk di mana pemilih punya lebih dari satu suara, tetapi suara yang ada lebih sedikit dari ada calon yang akan dipilih. Kandidat-kandidat dengan total suara terbanyak mendapatkan kursi.

Kelebihan dan Kekurangan Limited Vote (LV)

Seperti SNTV, LV sederhana bagi pemilih dan relatif mudah dihitung. Tetapi sistem ini cenderung memberikan hasil yang kurang proporsional dibandingkan dengan SNTV. Banyak argumen terkait dengan kompetisi internal partai, masalah-masalah manajemen partai dan politik klientalistik berlaku untuk LV seperti pada SNTV.

Borda Count (BC)

Sebuah contoh final—dan unik—desain sistem pemilu adalah modifikasi Borda Count yang digunakan di Nauru, sebuah negara yang mungil di Pasifik. Borda Count adalah sebuah sistem pemilu preferensial di mana pemilih menyusun peringkat para kandidat seperti dalam Alternative Vote . Sistem ini dapat dipakai di daerah pemilihan dengan satu wakil maupun daerah pemilihan berwakil majemuk. Hanya ada satu penghitungan, tidak ada penyisihan dan preferensi hanya dihitung sebagai “suara pecahan”: di modifikasi Borda Count yang dirancang oleh Nauru, preferensi pertama bernilai satu, preferensi kedua bernilai setengah, preferensi ketiga bernilai sepertiga dan seterusnya. Angka-angka tersebut dijumlahkan dan kandidat(-kandidat) dengan total suara terbanyak dinyatakan sebagai pemenang.

Sumber : Andrew Reynolds, Ben Reilly, Andrew Ellis, Desain Sistem Pemilu: Buku Panduan Baru International IDEA, International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2005