Apa saja hambatan-hambatan yang terjadi dalam manajemen perubahan pada organisasi?

Perubahan keorganisasian merupakan tindakan berallihnya sesuatu organisasi dari kondisi yang berlaku kini, menuju ke kondisi masa yang akan datang yang diinginkan guna meningkatkan efektivitasnya.

Apa saja hambatan-hambatan yang terjadi dalam manajemen perubahan pada organisasi ?

Banyak hal yang menjadi alasan mengapa organisasi lebih suka mempertahankan status quo yang ada dan menolak untuk melakukan perubahan. Penolakan terhadap perubahan suatu hal yang sering terjadi dan bersifat alamiah. Menurut Handoko H.T., Reksohadiprodjo (1997) penyebab timbulnya penolakan adalah: kepentingan pribadi, salah pengertian, norma, dan kesimbangan kekuatan serta adanya berbagai perbedaan seperti nilai dan tujuan.

Adanya rasa kehilangan rasa nyaman, kekuasaan, uang keamanan serta identitas dan keuntungan-keuntungan lain yang ditimbulkan. Dengan adanya perubahan akan menimbulkan penolakan, selain itu salah pengertian sebagai akibat dari salah informasi menjadikan orang enggan untuk menerima perubahan.

Hal ini akan terjadi jika tidak diikut sertakan dalam diskusi dan penyusunan rencana perubahan sehingga tidak mengetahui Dampak Implementasi Change… (Lianna Sugandi) 319 tujuan, proses dan akibat potensial yang ditimbulkan. Aturan-aturan dan norma-norma yang sudah tertanam kuat juga akan menghambat adanya suatu perubahan. Soerjogoeritno E.R… (2004) mengidentifikasi beberapa penyebab adanya penolakan terhadap perubahan di antaranya:

  1. tidak adanya pemahaman akan kebutuhan untuk berubah;

  2. tidak kondusifnya lingkungan perubahan;

  3. perubahan yang akan dilakukan bertentangan dengan nilainilai dasar organisasi;

  4. kesalahan dalam memahami perubahan dan implikasi-implikasinya;

  5. adanya pemahaman bahwa perubahan yang akan dilakukan merupakan bukan pilihan yang terbaik bagi organisasi;

  6. tidak adanya keyakinan bagi orang-orang yang mengajukan rencana perubahan;

  7. adanya ketidakadilan dalam menjalankan proses perubahan.

Sikap menolak atas perubahan bisa terjadi karena informasi perlunya dan dampak bila tidak melakukan perubahan sangat kurang. Bentuk dari penolakan atas perubahan tidak selalu tampak secara langsung dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa dengan jelas terlihat (eksplisit) dan segera misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi dan sejenisnya, atau bisa juga tersirat (implicit) dan lambat laun misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat tingkat absensi meningkat dan lain-lain. Hal yang lain juga bisa menjadi masalah seperti tidak tersedianya informasi konfigurasi pada insfrakstruktur yang up to date.

Ada beberapa teori yang menyatakan faktor penyebab penolakan terhadap perubahan (T. Hani Handoko, 1996):

  1. Orang mungkin menyangkal bahwa perubahan sedang terjadi. Bila ini terjadi organisasi kemungkinan akan terus kehilangan efektifitasnya.

  2. Orang mungkin mengabaikan perubahan. Manajer mungkin menangguhkan keputusan-keputusan dengan harapan bahwa masalah yang terjadi akan hilang dengan sendirinya.

  3. Orang mungkin menolak perubahan. Karena berbagai alasan manajer dan karywan mungkin menentang perubahan.

  4. Orang mungkin menerima perubahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

  5. Orang juga mungkin mengantisipasi perubahan dan merencanakannya, seperti yang banyak dilakukan perusahan-perusahaan progresif.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Yeung dan Brockbank (1996) ditemukan beberapa alasan yang menyebabkan kegagalan reengineering (reengineering adalah salah satu cara atau pendekatan melakukan transformasi organisasional), salah satunya adalah an endemic fear of change.

Oleh karena itu, dari kelima faktor tersebut di atas, faktor penyebab yang paling relevan dalam konteks resistensi terhadap transformasi organisasional adalah orang mungkin menyangkal bahwa perubahan sedang terjadi, dan orang mungkin menolak perubahan dengan berbagai alasan. Alasan yang menyebabkan orang menolak dan takut terhadap perubahan inilah yang harus diketahui oleh organisasi, karena hal tersebut merupakan akar penyebab resistensi terhadap transformasi organisasional.

Beberapa penelitian, dan pendapat berikut ini mungkin dapat membantu organisasi memahami alasan ketakutan seseorang terhadap perubahan:

  1. Kirkman and Shapiro (1997) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan resistensi terhadap Globalized SMWT adalah budaya yang dibawa karyawan masuk ke dalam organisasi.

  2. Wellins and Rick (1995) berpendapat usaha-usaha reengineering seringkali gagal diimplementasikan karena perusahaan terlalu fokus pada proses dan pekerjaan, mengabaikan faktor manusia yang terlibat dalam proses tersebut.

  3. Pernyataan yang senada dikemukakan oleh Yeung dan Brockbank (1996) perubahan radikal dalam proses reengineering mempunyai resiko akan ditolak oleh status quo saat ini, oleh karena itu proses HR juga harus di-reengineering agar dapat mendukung perubahan budaya organisasi.

Alasan seseorang untuk takut terhadap perubahan ternyata dipengaruhi oleh faktor budaya yang dibawa oleh karyawan itu sendiri (budaya dan nilai-nilai individual), serta organisasi yang mengabaikan faktor manusia yang menjadi obyek proses perubahan tersebut. Artinya, organisasi sendiri belum berupaya untuk membangun budaya organisasi yang dapat mendukung proses transformasi organisasional. Pada Gambar di bawah digambarkan alur berpikir timbulnya resistensi terhadap transformasi organisasional sebagai berikut:


Gambar Resistensi Terhadap Tranformasi

Jadi, ada dua faktor penyebab resistensi terhadap transformasi organisasional, yaitu: budaya yang dibawa masuk oleh karyawan dalam organisasi, dan belum adanya upaya untuk membangun budaya organisasi yang dapat mendukung proses perubahan tersebut.

Upaya perubahan dalam suatu organisasi kerap kali terkendala oleh adanya penolakan dari orang-orang di dalam organisasi (Kotter, 1997). Selain itu juga karena ketidakmampuan atau keengganan untuk mendiskusikan atau menerima perubahan organisasi yang dirasa dalam beberapa cara seperti mengancam atau merusak individu (Huczynski and Buchanan, 2007).

Dalam menghadapi perubahan ada individu yang menanggapinya positif sebagai tantangan dan ada yang malah bereaksi negatif dan menjadi sumber konflik. Pada dasarnya perubahan merupakan pergeseran dari kondisi status quo ke kondisi yang baru. Saat organisasi mengalami resistensi maka rencana perubahan tidak dapat terlaksa. Resistensi perubahan merupakan suatu kontinum dari penerimaan perubahan secara antusias sampai dengan tingkat penolakan dengan melakukan sabotase.

Tingkatan resistensi dari yang paling lemah sampai pada yang paling kuat adalah sebagai berikut:

  • Acceptance
    Kesediaan menerima perubahan ditunjukkan oleh sikap antusias kesediaan bekerja sama, kerja sama di bawah tekanan manajemen, atau kesediaan menerima perubahan.

  • Indifference
    Sikap tidak acuh ditunjukkan oleh sikap apatis, hilangnya minat bekerja, bekerja dan hanya jika diperintah, serta merosotnya perilaku keryawan.

  • Passive resistence
    Ditunjukkan oleh adanya sikap tidak mau belajar, melakukan protes, dan melakukan kegiatan sedikit mungkin.

  • Active resistence
    Ditunjukkan dengan cara bekerja lambat, memperpanjang waktu istirahat kerja, meninggalkan pekerjaan, melakukan kesalahan, mengganggu atau sabotase.

Resistensi Individu


Terdapat beberapa faktor pendorong bagi timbulnya resistensi individu dalam organisasi, yaitu:

  • Ketidaknyamanan ekonomis , bagi orang-orang dengan kinerja rendah, perubahan dapat menyebabkan ketidakpastian dan berdapak negatif pada kelangsungan masa depannya, seperti kehilangan pekerjaan. Ini mengakibatkan ketidaknyamanan ekonomis.

  • Ketakutan atas hal yang tidak diketahui , merupakan gangguan atas pola yang sudah mapan yang dapat berakibat pada perpindahan unit kerja dan perubahan sistem kerja sehingga menyebabkan ketidaknyamanan.

  • Ancaman pada hubungan sosial , perubahan organisasi dapat mengancam integritas persahabatan kelompok dan merusak tatanan hubungan sosial yang diharapkan.

  • Kebiasaaan , kebiasaan yang sudah ada harus disesuaikan lagi dengan adanya perubahan.

  • Kegagalan kebutuhan untuk berubah , kurangnya pemahaman akan arti pentingnya perubahan yang biasanya karena didominasi kepentingan membuat orang susah menerima perubahan.

  • Proses informasi selektif , individu membentuk dunianya melalui persepsinya. Mereka hanya mendengar informasi yang sesuai dengan persepsinya. Pemilihan informasi secara selektif menyebabkan mereka tidak mengetahui dan tidak menyadari apa yang akan terjadi.

  • Kecendurungan individu , kecenderungan ini bersifat pribadi dan berakar yang merupakan pertumbuhan bagaimana seseorang belajar mengendalikan perubahan dan ambiguitas. Umumnya individu bersifat resisten pada perubahan.

  • Iklim ketidakpercayaan , terjadi saling curiga mencurigai dan saling tidak percaya antara atasan dan bawahan, yang berdampak pada resistensi dari bawahan.

  • Ketakutan akan kegagalan , perubahan cara melakukan pekerjaan akan menyebabkan karyawan meragukan kapabilitasnya. Keraguan diri mengikis percaya diri dan melumpuhkan pertumbuhan dan pengembangan pribadi.

  • Tekanan teman sekerja , seseorang yang tidak secara langsung terkena oleh perubahan mungkin aktif menolak perubahan untuk melindungi kepentingan temannya.

  • Konflik pribadi , perubahan berakibat berubahnya kondisi lingkungan yang terkadang tidak sesuai dengan kepribadian seseorang sehingga menyebabkan resistensi.

  • Kurangnya kebijaksanaan dan/waktu tidak tepat , resistensi perubahan dapat terjadi karena perubahan tidak disampaikan dengan bijaksana, tidak sensitif, atau dilakukan pada waktu yang tidak tepat.

  • Sistem penghargaan tidak memperkuan , orang enggan melakukan perubahan jika tidak melihat adanya penghargaan positif.

Resistensi Organisasi


Perubahan pada tingkat organisasional dapat menghadapi resistensi yang disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

  • Kelembaman struktural , kekuatan organisasional bertindak pada karyawan, mendorong mereka mewujudkan pekerjaannya dalam cara tertentu, sehingga membuat mereka resisten pada perubahan. Organisasi memiliki mekanisme untuk menghasilkan stabilitas. Proses seleksi, pelatihan, teknik sosialisasi dan formalisasi menyediakan job description , aturan dan prosedur yang harus diikuti. Orang dalam organisasi dipilih, dibentuk dan diarahkan berperilaku dalam cara tertentu. Jika organisasi dihadapkan pada perubahan, struktur organisasi bertindak sebagai pengimbang terhadap kelanjutan stabilitas, akibatnya penyesuaian organisasi memerlukan waktu lama.

  • Kelembaman kelompok kerja , kelembaman untuk mewujudkan pekerjaan dengan cara baru, tidak hanya berasal dari pekerjaan mereka sendiri, tetapi juga dari kelompok sosial yang mempengaruhi kelompok kerja dalam organisasi. Walaupun individu ingin mengubah perilakunya, namun tidak dapat dilakukan karena norma kelompok menjadi hambatan.

  • Tantangan keseimbangan kekuatan yang ada , jika perubahan dilakukan dengan memberikan penghargaan kepada merekayang bertanggung jawab, maka mungkin akan terjadi pergeseran keseimbangan kekuatan antara individu dan sub- unit organisasi. Mereka yang sekarang mengontrol sumber daya memiliki keahlian dan memegang kekuasaan, karena takut kehilangan posisi. Kelompok ini cenderung akan menunjukkan resistensi pada perubahan.

  • Usaha perubahan sebelumnya tidak berhasil , kelompok atau seluruh organisasi yang pernah tidak berhasil dalam melakukan perubahan di masa lalu merupakan penghambat perubahan, karena sebagian orang merasa tidak percaya keberhasilan perubahan yang akan dilakukan.

  • Fokus atas perubahan terbatas , organisasi dibuat dari sejumlah sub-sistem yang saling bergantung satu sama lainnya. Kita tidak bisa mengubah yang satu tanpa mempengaruhi lainnya. Jika mengubah proses teknologi tanpa mengubah struktur organisasi secara serempak, maka perubahan teknologi tidak akan diterima atau terlaksana.

  • Ancaman atas keahlian , perubahan juga merupakan ancaman pada kelompok ahli. Dengan adanya perubahan keahlian yang berbeda, maka kelompok ahli tersentralisasi menjadi terdesentaralisasi, sehingga kelompok ahli merasa khawatir akan tersingkir karena merasa tidak berperan.

  • Ancaman pada hubungan kekuasaan yang sudah ada , setiap redistribusi kekuasaan pengambilan keputusan dapat mempengaruhi hubungan kekuasaan yang sudah lama terbentuk. Keputusan partisipatif merupakan jenis perubahan yang dianggap sebagai ancaman oleh manajer menengah, karena merasa kekuasaannya makin berkurang.

  • Ancaman atas alokasi sumber daya yang sudah ada , kelompok yang mengontrol sumber daya melihat perubahan sebagai ancaman. Perubahan dikhawatirkan mempengaruhi alokasi sumber daya di masa mendatang yang merugikan, sehingga menimbulkan resistensi organisasional.