Apa saja faktor risiko dan penyebab penyakit tuberkulosis?

Tuberkulosis (Tuberculosis) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacteri yang merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian di sebagaian besar Negara di seluruh dunia.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit Tuberkulosis dan menjadi penyebab penyakit tuberkulosis antara lain :

1. Karakteristik individu

Karakteristik individu yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain :

  • Jenis kelamin
    Penyakit Tuberkulosis paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, karena kebiasaan merokok dan minum alcohol sehingga system pertahanan tubuh menurun dan lebih mudah terpapar dengan agen penyebab Tuberkulosis paru (Aditama, 2000) sedangkan menurut Crofton (2002) hampir tidak ada perbedaan diantara anak laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas. Bayi dan anak kecil pada kedua jenis kelamin sama-sama memiliki daya tahan tubuh yang lemah.

    Hasil Riskesdas 2007 menyatakan bahwa prevalensi Tuberkulosis paru BTA (+) pada laki-laki sebesar 1,08% dan pada perempuan sebesar 0.90%. Sedangkan Riskesdas tahun 2010 dilaporkan bahwa periode prevalensi Tuberkulosis paru BTA (+) laki-laki sebesar 0,819% dan perempuan 0,634%.

    Penelitian Desy di RS. Khusus paru Surabaya menunjukkan bahwa jenis kelamin anak laki-laki lebih berisiko (OR=0,7) dari pada anak perempuan.

  • Umur
    Umur termasuk variable penting dalam mempelajari suatu masalah kesehatan karena ada kaitannya dengan daya tahan tubuh, ancaman kesehatan dan kebiasaan hidup (Azwar, 1999 dalam Octaviany, 2008). Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit penyebab kesakitan dan kematian pada semua usia di seluruh negara terutama negara berkembang. Insiden tertinggi tuberculosis biasanya banyak mengenai usia dewasa muda. Angka pada pria selalu lebih tinggi pada semua kelompok usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui masa subur. Pada wanita, prevalensi mencapai maksimum pada usia 40 – 50 tahun dan kemudian berkurang. Pada pria, prevalensi terus meningkat sampai mencapai 60 tahun (Crofton, 2002). Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun, system imunologis seseorang menurun, sehingga rentan terhadap berbagai penyakit , termasuk penyakit Tuberkulosis paru (Helen, 2006).

    Infeksi pada anak tidak mengenal usia (0-14), tetapi sebagian besar kasus terjadi pada usia antara 1 – 14 tahun (WHO, 2006a). hal ini disebabkan pada usia yang sangat muda, awal kelahiran dan pada usia 10 tahun pertama kehidupan, system pertahanan tubuh sangat lemah. Kemungkinan anak untuk terinfeksi menjadi sangat tinggi (Crofton, 2002).

    Resiko infeksi tersebut berkembang menjadi Tuberkulosis paru BTA (+) juga tergantung pada pertahanan imun host (Varaine, Henkes, Grouzard, 2010). Risiko berkembangnya penyakit paling tinggi pada anak di bawah usia 5 tahun (biasanya terjadi dalam jangka waktu 2 tahun, namun pada bayi terinfeksi dapat berubah menjadi sakit Tuberkulosis dalam beberapa minggu saja) (WHO, 2006a), dan paling rendah pada usia akhir masa kanak-kanak. Hasil penelitian yang dilakukan di 7 RS Pusat Pendidikan di Indonesia selama tahun 1998 – 2002 menyebutkan bahwa kelompok usia terbanyak penderita Tuberkulosis 12 – 60 bulan (42,9%) (Depkes RI, 2008).

    WHO menyatakan bahwa penderita Tuberkulosis paru BTA (+) paling banyak pada umur produktif yaitu pada umur 15-55 tahun. Di Indonesia 75% penderita Tuberkulosis paru BTA (+) adalah kelompok usia produktif 15 – 55 tahun.

  • Pendidikan
    Tingkat pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menyerap dan menerima informasi. Mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi umumnya lebih mudah menyerap dan menerima informasi masalah kesehatan disbanding dengan yang berpendidikan lebih rendah, sehingga berpengaruh terhadap keputusan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia (Mahpudin, 2006)

    Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang, diantaranya pengetahuan mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan terhadap Tuberkulosis Paru. Sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaanya. (Prabu, 2008).

    Kegiatan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat antara lain penyuluhan kesehatan masyarakat melalui berbagai jalur dan media, sehingga masyarakat tahu, paham dan sadar terhadap penyakit Tuberkulosis paru BTA (+).

  • Perilaku
    Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita Tuberkulosis paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit yang pada akhirnya berakibat menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya

    Perilaku merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatnya risiko untuk mendapatkan kanker paru-pau, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena Tuberkulosis paru sebanyak 2,2 kali.

    Kegiatan yang menunjang untuk mengurangi atau menghilangkan kebiasaan merokok adalah dengan memberikan penyuluhan kesehatan masyarakat melalui berbagai jalur dan media, sehingga diharapkan masyarakat tahu, dan sadar bahaya merokok terutama sebagai faktor yang memperparah kejadian penyakit Tuberkulosis paru BTA (+).

  • Status imunisasi BCG
    BCG (Bacille Calmette Guerin) adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang dihilangkan virulensinya (attenuated) (Crofton, 2002). Vaksin hidup yang dilemahkan diproduksi dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit di laboratorium. Mikroorganisme vaksin yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menimbulkan penyakit. Walau vaksin hidup dilemahkan menyebabkan penyakit, umumnya bersifat ringan dibandingkan dengan penyakit alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian samping (Suyitno, 2001). Basil ini berasal dari suatu strain Tuberkulosis bovin yang dibiakkan selama beberapa tahun dalam laboratorium (Crofton, 2002).

    Vaksin BCG merupakan salah satu vaksin tertua yang mulai dikembangkan sejak tahun 1921 (WHO, 2006a). Sejak ditemukannya vaksin ini, dunia merasa optimis bahwa penyakit Tuberkulosis akan dapat dieliminasi dengan segera. Kasus Tuberkulosis mengalami penurunan. Namun 50 tahun kemudian, Tuberkulosis meningkat lagi (disamping karena muncul penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan peningkatan jumlah penderita Tuberkulosis seperti HIV/AIDS, serta banyaknya kasusTuberkulosis yang resisten terhadap obat-obatan), sehingga timbul pertanyaan apakah kasus Tuberkulosis bisa dikurangi hanya dengan vaksin BCG (Achmadi, 2006)

    Kontroversi dari penggunaan vaksin tersebut dalam mencegah penyakit Tuberkulosis hingga kini masih dipertanyakan. Efikasi dari vaksin tersebut berkisar antara 0 – 80% pada beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai belahan dunia. Alasan dari variasi efikasi ini sangat beragam, termasuk di antaranya perbedaan tipe BCG yang digunakan di beberapa wilayah, perbedaan strains M. tuberculosis di berbagai daerah, perbedaan level keterpaparan dan status imunisasi terhadap Mikobakteria dan perbedaan praktek imunisasi (WHO, 2006)

    Meskipun terdapat kontroversi terhadap pemberian vaksin BCG, terutama dalam hal kemampuan perlindungan terhadap serangan Tuberkulosis, ada kesepakatan bahwa pemberian vaksin BCG dapat mencegah timbulnya komplikasi seperti radang otak atau meningitis yang diakibatkan oleh Tuberkulosis anak. Dengan demikian, BCG masih bermanfaat khususnya dalam menegah timbulnya cacat pasca meningitis (Achmadi, 2006). Dengan alasan tersebut The WHO Expandee Programme on Imunization tetap merekomendasikan vaksinasi BCG pada bayi segera setelah lahir terutama pada negara dengan prevalensi Tuberkulosis tinggi (WHO, 2006).

    Terdapat 2 hal yang harus dipisahkan ketika membahas kegunaan BCG, yaitu keefektifannya pada level individu dan pengaruh epidemiologi Tuberkulosis dengan adanya vaksin tersebut.

    1. Efektivitas BCG pada level individu
      BCG tidak memberikan kekebalan seumur hidup. 85% daya kekebalan yang ditimbulkan oleh pemberian vaksin BCG semasa lahir akan menurun efektivitasnya ketika anak menjelang dewasa. Penelitian lain mengatakan rata-rata kekebalan ketika dewasa hanya tinggal 50% (Achmadi, 2006). Meskipun demikian, harus diakui bahwa pemberian BCG sebelum adanya infeksi primer (misalnya sesaat setelah bayi lahir), memberikan daya lindung hingga 40 - 70% untuk periode 10 hingga 15 tahun. Vaksin ini juga memberikan proteksi berkembangnya bentuk Tuberkulosis yang lebih parah pada anak-anak (Tuberkulosis milier atau Tuberkulosis meningitis) hingga 80% (Varaine, Henkes, Guozard, 2010).

    2. Pengaruh vaksin BCG terhadap epidemiologi Tuberkulosis
      Analisis data statistic kesehatan dari beberapa Negara di Eropa menunjukkan bahwa vaksin BCG menurunkan jumlah kasus Tuberkulosis pada subyek yang divaksin dibandingkan dengan subyek yang tidak di vaksin. Namun penurunan kasus ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap transmisi basil Tuberkulosis di populasi dan tidak berdampak pada Annual Risk of Tuberkulosis Infection (ARTI). sehingga diambil kesimpulan bahwa dari sudut pandang epidemiologi, vaksin BCG hanya terbukti memiliki efek proteksi terhadap Tuberkulosis berat pada anak, tetapi tidak dapat dijadikan sebagai alat yang tepat untuk mengurangi transmisi (Varaine, Henkes, Guozard, 2010).

    Dosis BCG untuk bayi dan anak < 1 tahun adalah 0,05 ml. cara pemberian BCG adalah dengan melakukan penyuntikan pada intrakutan didaerah insersio M. deltodeus kanan. Apabila BCG diberikan pada umur >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu (Hadinegoro, 2001). 2-6 minggu setelah imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi selama 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut/scar BCG. Vaksin ini juga menimbulkan sensitivitas terhadap tuberculin (Rahajoe, 2001).

    Kegiatan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan cakupan imunisasi BCG antara lain dengan imunisasi keliling di Posyandu dan juga pemberian penyuluhan kepada ibu-ibu hamil di BKIA ataupun Posyandu agar masyarakat tahu dan sadar pentingnya imunisasi BCG untuk mencegah terjadinya penularan TuberkulosisC kepada bayi yang baru lahir.

  • Status gizi
    Defisiensi gizi sering dihubungkan dengan infeksi. Kedua-duanya juga dapat bermula dari hal yang sama, yaitu kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi yang buruk. Infeksi dapat berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara, misalnya dengan mempengaruhi nafsu makan, kehilangan bahan makanan karena diare atau muntah, mempengaruhi metabolisme makanan dan banyak cara lainnya lagi. Sebaliknya defisiensi gizi meningkatkan risiko infeksi. Defisiensi gizi merupakan awal gangguan defisiensi sistem kekebalan, hal ini menyebabkan terhambatnya reaksi imunologis dan bertambah buruknya kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi, sehingga meningkatkan prevalensi dan keparahan penyakit infeksi (Alisyahbana, 1985). Oleh Karena itu salah salah satu daya tangkal yang baik terhadap penyakit atau infeksi adalah status gizi yang baik pada perempuan, laki-laki, anak-anak maupun dewasa (Achmadi, 2005).

    Berkaitan tentang penyakit Tuberkulosis, status gizi merupakan variable yang sangat berperan dalam timbulnya penyakit tersebut. (Achmadi, 2005). Tuberkulosis dan kurang gizi seringkali ditemukan bersamaan. Infeksi Tuberkulosis menimbulkan penurunan berat badan dan penyusutan tubuh, sedangkan kekurangan makanan akan meningkatkan risiko infeksi dan penyebaran penyakit Tuberkulosis karena berkurangnya fungsi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini (Crafton, 2002)

    Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai risiko 3,7 kali untuk menderita Tuberkulosis paru berat dibandingkan dengan orang yang gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon imunnologik terhadap penyakit.

    Salah satu cara untuk mengukur status gizi anak adalah dengan menggunakan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U). Berat badan (BB) merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran status gizi seseorang saat ini dengan memberikan gambaran perubahan masa tubuh yang sangat sensitive terhadap perubahan yang mendadak karena terinfeksi penyakit. Dalam keadaan normal, dimana status kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin, BB akan mengikuti pertumbuhan umur, sebaliknya dalam keadaan abnormal, BB dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat. Penggunaan indeks BB/U ini dalam pengukuran status gizi memiliki beberapa keuntungan, diantaranya lebih mudah dan cepat dimengerti masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi akut/kronis, dapat berfluktuatif dan sangat sensitive terhadap perubahan kecil. Sedangakan kelemahannya adalah rentan terhadap mis-interpretasi apabila terdapat edema/asites, memerlukan data akurat terutama pada anak balita, sering terjadi kesalahan dalam pengukuran karena pengaruh pakaian atau gerak anak saat penimbangan, selain itu pelaksanaan pengukuran BB/U didaerah terpencil sering menemukan kesulitan dakam menaksir umur anak karena pencatatan umur yang belum baik (Supariasa, Bakri, Fajar, 2002).

  • Status penyakit tertentu
    Keberadaan penyakit infeksi lainnya akan memperparah penderita penyakit Tuberkulosis paru. Pada lembar fakta tuberculosis dilaporkan bahwa situasi Tuberkulosis global terdapat 1,4 juta orang yang meninggal karena Tuberkulosis (320.000 diantaranya wanita) termasuk diantaranya 350.000 orang dengan HIV positif atau total 3.800 orang perhari. Pada tahun 2010 terdapat 5,4 juta kasus baru termasuk sejumlah 1,1 juta kasus Tuberkulosis pada orang penderita HIV. (Kemenkes, 2012).

    Kegiatan yang harus dilakukan adalah dengan memberikan pengobatan secara bersama, sehingga tidak menanbah parah kondisi umum penderita Tuberkulosis paru BTA (+).

  • Status sosial
    Lebih dari 95% kasus yang terjadi pada negara berkembang berasal dari keluarga miskin, sementara itu di negara industri, Tuberkulosis menjangkiti kelompok sosial terpinggirkan (Varaine, Henkes, Gouzard, 2010). WHO juga menyebutkan bahwa 90% penderita Tuberkulosis paru di dunia menyerang sosial ekonomi lemah atau miskin.

    Hubungan antara kemiskinan dengan Tuberkulosis bersifat timbal balik, Tuberkulosis merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia rentan kena Tuberkulosis (WHO, 2003). Crofton (2002) dalam bukunya yang berjudul Tuberkulosis Klinis, mengemukakan bahwa morbiditas Tuberkulosis lebih banyak pada penduduk miskit dan daerah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.

    Kondisi sosial ekonomi sendiri mungkin tidak berhubungan langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan (Achmadi, 2005). Kemiskinan juga mengarah pada perumahan yang terlampau padat atau kondisi kerja yang buruk. Keadaan ini dapat menurunkan daya tahan tubuh, yang berakibat pada mudahnya seseorang terjangkit infeksi. Orang-orang hidup dengan kondisi seperti ini juga sering mengalami gizi buruk. (Crofton, 2002). Berkurangnya asupan gizi oleh karena mahalnya harga pokok secara tidak langsung akan melemahkan daya tahan tubuh sehingga mudah seseorang menderita Tuberkulosis (Antariksa, 2008) kompleks kemiskinan tersebut seluruhnya memudahkan infeksi Tuberkulosis berkembang menjadi penyakit (Crofton, 2002).

    Kegiatan yang bisa dilakukan adalah dengan pemberdayaan masyarakat untuk bisa mandiri berupa modal bergilir atau kredit lunak dan pelatihan ketrampilan dalam rangka meningkatkan ekonomi keluarga. Keadaan ekonomi meningkat maka bisa membeli makanan yang bergizi untuk peningkatan daya tahan tubuh terhadap penyakit.

2. Faktor kontak

Faktor kontak/hubungan yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain :

  • Lama kontak
  • Keeratan kontak

Penelitian Musdad (2002) di Tangerang melaporkan bahwa rumah tangga yang penderitanya memiliki kebiasan tidur dengan balita mempunyait risiko 2,8 kali dibandingkan yang tidurnya terpisah. Risiko terjadinya Tuberkulosis paru pada Balita yang dirumahnya ada penderita Tuberkulosis paru sebesar 49,762 kali dibandingkan yang tidak ada penderita Tuberkulosis. (Suhardi, 2006).
Kegiatan yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan sosiallisasi kepada penderita dan keluarga untuk mengurangi berdekatan dalam jarak yang bisa dijangkau tangan atau memberikan penutup mulut kepada penderita Tuberkulosis paru BTA (+) serta tidak tidur dalam satu kamar untuk menghindari penularan.

3. Sumber penularan

Sumber penularan yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain :

  • Sumber penularan serumah
  • Sumber penularan tidak serumah

Penelitian Musadad (2002) di Tangerang dilaporkan angka kejadian penularan Tuberkulosis paru didalam rumah tangga sebesar 13 % (33 kasus). Faktor keberadaan penderita Tuberkulosis paru serumah dengan penderita lebih dari 1 sebesar 4 kali.

4. Kondisi fisik lingkungan rumah tempat tinggal

Kondisi fisik lingkungan tempat tinggal yang sehat akan mengurangi risiko terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis. Syarat-syarat rumah yang sehat, antara lain (Depkes, 1999) :

  • Kondisi lantai rumah
    Kondisi lantai ubin atau semen adalah lebih baik daripada lantai tanah. Syarat terpenting adalah tidak berdebu dan basah atau lembab karena sebagai sarang penyakit.

  • Pencahayaan rumah dan kamar
    Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit, seperti bakteri Tuberkulosis paru. Sebaliknya terlalu banyak cahaya akan menyebabkan silau dan akhirnya merusak mata.

    Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60 – 120 lux. Luas jendela yang baik minimal 10 - 20 dari luas lantai.

  • Ventilasi rumah dan kamar
    Ventilasi mempunyai banyak fungsi, antara lain :

    1. Untuk menjaga aliran O2 (oksigen) dalam rumah tetap terjaga, sehingga menimbulkan udara segar didalam rumah,

    2. Untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri pathogen,

    3. Untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban optimum.

    Ukuran ventilasi minimum yang memenuhi syarat sehat adalah 10 % dari luas lantai.

  • Suhu udara
    Suhu udara didalam rumah berfungsi untuk memberikan rasa nyaman pada penghuninya. Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah bertemperatur 18o – 30oC

  • Kelembaban udara
    Kelembaban udara merupakan salah satu media yang baik untuk berkembangbiaknya bakteri-bakteri pathogen didalam rumah. Kelembaban udara yang optimum dan memenuhi syarat sehat berkisar 40% - 70%

  • Kepadatan penghuni rumah
    Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya. Artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan overcrowded . kondisi ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O2 juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3m2 untuk tiap anggota keluarga.

    Kondisi fisik lingkungan rumah tempat tinggal besar sekali pengaruhnya terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis paru. Rumah tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat sehat akan meningkatkan risiko penularan ataupun kejadian dari penyakit Tuberkulosis paru.

    Kondisi fisik lingkungan rumah bisa diperbaiki dengan kegiatan penyehatan perumahan atau penyediaan rumah sehat. Penyediaan genteng kaca atau seng plastic bagi rumah penderita Tuberkulosis paru BTA (+) agar matahari bisa masuk ke dalam rumah sangat penting untuk membunuh bakteri Mycobacterium tuberculosis, selain itu juga berfungsi untuk menghilangkan kelembaban ruangan yang mendukung perkembangbiakan bakter tersebut.

5. Kondisi wilayah

Kondisi wilayah yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain:

  • Iklim yang meliputi suhu udara, kelembaban udara, curah hujan
  • Ketinggian tempat dari permukaan laut
  • Ketersediaan unit pelayanan kesehatan (UPK)
  • Infrastruktur wilayah