Apa saja faktor internal yang memicu keruntuhan Islam di Spanyol?

image

Islam di Spanyol mengalami kemunduran disebabkan oleh beberapa faktor dari dalam, yaitu:

  • Perpecahan dan perebutan kekuasaan
    Pada tahap awal semenjak menjadi wilayah Islam, Spanyol masih diwarnai perpecahan dan perebutan kekuasaan sehingga stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna. Hal ini disebabkan perselisihan di antara elite penguasa akibat perbedaan etnis dan golongan. Juga terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Masing-masing mengakui bahwa merekalah yang paling berhak menguasai daerah Spanyol. Oleh karena itu fase awal ini telah terjadi dua puluh kali pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat. Jadi tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya untuk jangka waktu yang agak lama (Yatim, 1994).

    Ketika Abdul al Rahman I (al Dakhil) menduduki jabatan Amir, perpecahan, kerusuhan dan pemberontakan terus berlangsung. Selama beberapa tahun kekuasaannya diperebutkan oleh orang Barbar, Yamaniyah dan Tahiriyah (Mahmudunnasir, tt: 285). Namum perpecahan tersebut dapat diatasi. Demikian halnya pada masa pemelintahan Hisyam, perpecahan terjadi antara saudaranya sendiri. Abdullah dan Sulaiman mengadakan pemberontakan tapi dapat digagalkan oleh Hisyam (Mahmudunnasir, tt.). Pada masa pemerintahan Hakam terjadi kekisruhan akibat ketidakramahannya terhadap fuqaha, ia tidak menghendaki campur tangan fuqaha dalam urusan negara. Akibatnya timbul gerakan fuqaha yang ingin menggulingkan kekuasaan Hakam dan ini melatari terjadinya pemberontakan di Cordova (Ali, 1996).

    Perpecahan dan perebutan kekuasaan semakin parah setelah meninggalnya Hakam II, yang memerintah selama 14 tahun (961-976 M). Ia digantikan oleh putraya Hisyam II yang masih berusia relatif muda yaitu sebelas tahun. Akibatnya ia tidak dapat melaksanakan sistem dan aturan pemelintahan sebagaimana mestinya. Terjadilah silang pendapat di antara pejabat negara yang terbagi ke dalam dua kubu. Kalangan militer berpendapat bahwa untuk melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan kekhalifahan harus diserahkan kepada pamannya al Mughirah Ibnu Abd al Rahman. Sedangkan pihak sipil berpendapat bahwa pemerintahan tetap di tangan Hisyam II, walaupun ia masih anak-anak. Terjadinya perebutan kekuasaan di kalangan pejabat negara mengakibatkan terbunuhnya Mughirah Ibnu Abd al Rahman. Tragedi pembunuhan itu dilakukan oleh kalangan sipil yang dipimpin oleh Ja’far al Mushafi, seorang menteri yang dipercayakan untuk menjalankan urusan pemerintahan ketika Hakam II sakit (al Abbadi, 1964)

    Pada saat-saat terakhir kekuasaan Islam di Spanyol, perebutan kekuasaan terjadi lagi. Wilayah kekuasaan Islam pada saat itu tinggal Granada di bawah pemerintahan Dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). Dinasti ini terkenal dengan sebutan al Hambura yang pernah jaya dan dikagumi, terutama pada masa pemerintahan Abd al Rahman al Nasir. Namun akhirnya melemah karena terjadinya perebutan kekuasaan dan dua putra penguasa Abu Abdullah Muhamammad merasa tidak senang kepada ayahnya, karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja. Dia memberontak dan berusaha merampas kekuasaan. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad bin Sa’ad. Akibatnya kekuasaan Islam terpecah dan melemah (Yatim, 1994). Inilah perebutan kekuasaan yang terakhir dalam kekuasaan Islam Spanyol dan kesempatan emas ini dipergunakan oleh orang Kristen untuk mengusir orang Islam dari Spanyol untuk selama-lamanya.

  • Pribadi dan Kepemimpinan Khalifah
    Salah satu penyebab kemunduran Islam di Spanyol adalah faktor pribadi dan kepemimpinan khalifah. Hal ini tampak ketika Hisyam II naik tahta menggantikan ayahnya Hakam II. Ia termasuk khalifah yang lemah, tidak memiliki kemampuan dan kecakapan untuk mengurus negara, karena menduduki kursi kekhalifahan dalam usia yang relatif muda. Ia tidak mampu membaca dan mengamati gerakan Kristen yang mulai tumbuh dan mengancam kekuasaannya (al Abbadi, 1964).

    Kekuasaannya dapat bertahan lama dalam pemerintahan karena keberadaan Muhammad Ibnu Abi ‘Amir yang menjabat sebagai pelaksana kebijaksanaan politik dan kekuasaan pemerintahan yang cukup disegani kawan maupun lawan. Muhammad Ibnu Abi ‘Amir adalah tokoh militer pada masa pemerintahan khalifah Hakam II dan dengan keperkasaannya ia berhasil memperkecil wilayah kerajaan Kristen yang terletak di sebelah utara Spanyol. Pada masa pemerintahan Hisyam II, ia menjadi perdana menteri dan merebut Maroko dari kekuasaan Fatimiyah (984 M) (Hassan, 1989).

    Dia menyebut dirinya dengan Malik al Mansur Billah (yang dimenangkan oleh Allah), biasa disebut al Manzor di Eropa. Sementara itu khalifah Hisyam II yang sudah dewasa hanya merupakan sebuah boneka, penguasa sebenarnya adalah al Mansur. Hak khalifah saat itu tinggal namanya yang selalu disebutkan di dalam doa dari mimbar-mimbar khutbah pada setiap hari Jum’at, hari raya, dan pembubuhan cap setiap keputusan yang dikeluarkan dan diumumkan oleh Muhammad Ibnu Abi Amir (Sou’yb, 1977).

    Setelah al Mansur meninggal, ia digantikan oleh putranya Abd al Malik Ibnu Muhammad dengan gelar al Muzaffar. Dia seperti bapaknya negarawan yang cakap dan ahli strategi, sehingga pada masa menduduki jabatan keadaan pemerintahan masih tetap berjalan dengan baik (al Abbadi, 1964). Setelah Abd al Malik meninggal pada tahun 1009 M ia digantikan oleh saudaranya Abd al Rahman Ibnu Muhammad. Pada masa pemerintahannya, situasi politik di Cordova mulai memburuk, kekacauan dan pemberontakan semakin bertambah (Mahmudunnasir, tt.).

    Abd al Rahman tidak sama dengan bapak dan saudaranya terdahulu. Ia tidak memiliki kecakapan dan keahlian yang diperlukan bagi jabatannya, Ia haus kebesaran dan kekuasaan. Ia sedemikian cepat memamerkan lambanglambang kebesaran khilafah untuk dirinya. Dan menuntut khalifah Hisyam II untuk menunjuk dan mengumumkannya sebagai khalifah sepeninggalnya kelak. Tuntutannya diperkenankan begitu saja oleh khalifah Hisyam II. Akibatnya kalangan istana menjadi marah yang membawa terjadinya kudeta dan khalifah Hisyam II ditahan. Tetapi kemudian dapat meloloskan diri dan lari ke kota Malaga (Sou’yb, 1977).

    Ketidakmampuan penguasa dan khalifah memelihara stabilitas politik dan pemerintahahn menjadikan para penguasa di tingkat wilayah seperti propinsi, mulai tidak percaya pada kekuasaan khalifah dan mengambil sikap melepaskan diri dari kekhalifahan yang berpusat di Cordova, akibatnya berdirilah dinasti-dinasti kecil yang dikenal dengan Muluk al Tawaif atau reyes de taifas (Hitti, 1974).

  • ** Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil **
    Disintegrasi kekuatan Islam di Spanyol dengan munculnya dinasti-dinasti kecil merupakan salah satu penyebab kemunduran dan kehancuran Islam di Spanyol. Meskipun demikian pada masa ini terjadi pula kecemerlangan kultural. Sejumlah dinasti lokal berkuasa di berbagai bagian Spanyol. Sebagian di antaranya hanyalah negara kota, sebagaian lagi sepeiti Afthasia di barat daya, menguasai wilayah yang amat luas. Dinasti-dinasti ini dari berbagai ras, yang mencerminkan heterogenitas kelas-kelas militer di bawah Umayah dan ketegangan etnis dan persaingan di kalangan kelompok-kelompok ini (Bosworth, 1993: 35). Dinasti-dinasti kecil yang berkuasa di berbagai bagian di Spanyol ini mencapai jumlah dua puluh buah (Hitti, 1974: 121). Data lain menyebutkan berkisar tiga puluh, atau dua puluh tiga (Watt, 1990).

    Antara dinasti-dinasti tersebut sering terjadi konflik bersenjata yang tak segera padam. Mereka bertahan mati-matian untuk mempertahankan wilayahnya, bahkan tidak jarang mereka bersekongkol dan meminta bantuan kepada orang Kristen untuk menyerang sesama Muslim (Syalabi, 1979). Sebagai contoh, Umar al Mutawakkil, Raja Dinasti Afthasia terakhir, siap menyerahkan sebahagian besar wilayah yang dikuasainya kepada Alfonso IV dari Leon dan Castile sebagai imbalan atas bantuan Alfonso kepada Umar ketika ia menghadapi al Murawiyah (Bosworth, 1993). Terjadinya persaingan antara dinasti-dinasti kecil merupakan kesempatan emas bagi penguasa Kristen melakukan politik adu domba, akibatnya mereka saling berperang. Kemudian penguasa Kristen memberikan bantuan kepada pihak yang memerlukan bantuan. Permintaan bantuan dari dinasti Islam kepada penguasa Kristen merupakan suatu kesalahan besar dan fatal, karena kelemahan Islam dapat diketahui secara langsung, sehingga memudahkan penguasa Kristen mencaplok daerah kekuasaan Islam satu persatu, sampai akhimya Islam hilang dari daratan Spanyol.

  • Kesulitan Ekonomi
    Keadaan ekonomi juga dapat menentukan maju mun dur nya suatu negara. Di paruh kedua masa Islam di Spanyol pembangunan kota dan pengembangan ilmu pe nge tahuan sangat gencar dan serius, sehingga lalai mem bi na perekonomian. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang sa ngat mempengaruhi kondisi politik dan militer (Yatim, 1994). Di samping itu pasukan muslim yang menyita harta milik orang-orang kaya di Spanyol dan kekayaan para raja dan pejabat negara, tidak mengembangkan kekayaan tersebut secara baik, akibatnya pendapatan negara merosot. Kemudian lebih parah lagi setelah munculnya khalifah yang lemah yang tidak lagi memperhatikan kemaslahatan rakyatnya, tetapi bergelimang dalam kemewahan dan hanya ingin bersenang-senang semata. Akhirnya penghasilan negara terkuras untuk kepentingan khalifah. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk membiayai peperangan untuk menumpas kerusuhan-kerusuhan.