Apa saja Faktor-faktor Khayalan-khayalan Megah (Grandiose Fantasies)?

Faktor-faktor Khayalan-khayalan Megah (Grandiose Fantasies)

Menurut Walgito (2002) yang dimaksud khayalan-khayalan megah (fantasi) adalah kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan atau bayangan-bayangan baru. Dengan kekuatan fantasi manusia dapat melepaskan diri dari keadaan yang dihadapinya dan menjangkau ke depan, ke keadaan-keadaan yang akan mendatang.

Apa saja Faktor-faktor Khayalan-khayalan Megah (Grandiose Fantasies) ?

Faktor-faktor Khayalan-khayalan Megah (Grandiose Fantasies)


Kecenderungan Narsistik Masing-masing subjek memiliki khayalan-khayalan megah yang berbeda Sam Vaknin (2015) menjelaskan ada beberapa faktor-faktor khayalan-khayalan megah dibawah ini, yaitu:

1. Omnipotence (kemahakuasaan)
Omnipotence yaitu subjek sangat percaya pada kemahakuasaannya dan mengetahui bahwa dialah yang maha kuasa (berkuasa). Subjek yakin bahwa ia dapat melakukan apapun yang ia ingin lakukan dan unggul dalam hal tersebut. Apa yang subjek lakukan, ia unggul dalam bidang apa, apa yang ia capai, hanya tergantung pada kehendaknya. Dalam pemikirannya, tidak ada faktor penentu yang lain. Karena itu kemarahannya berhadapan dengan pertentangan atau perlawanan. Tidak hanya karena keberaniannya, yang jelas inferior (lebih rendah), musuh-musuh, namun karena hal itu mengancam pandangan dunianya, menantang kemahakuasaanya.

Subjek sering menantang dengan bodoh, sangat berani, dan ingin tahu. Subjek terkejut dan merasa tak berdaya ketika dia gagal, saat “alam semesta” tidak menata ulang dirinya sendiri, secara ajaib, untuk menampung khayalannya yang tidak berbatas, ketika dunia (dan orangorang didalamnya) tidak menuruti harapan dan keinginannya.

2. Kemahatahuan
Kemahatahuan yaitu subjek sering berpura-pura mengetahui segala sesuatu yang ada atau perlu diketahui di dalam setiap bidang usaha manusia. Subjek berbohong dan berdusta untuk menghindari ketidaktahuannya. Subjek mengusahakan banyak sekali alasan untuk mendukung kemahatahuannya yang seperti Dewa. Bila pengetahuannya yang diklaim menggagalkannya, dia berpura-pua berwibawa, memalsukan keunggulan, dan mengutip dari sumber yang tidak ada. Saat subjek bertambah tua, kualitas ketidakpuasan ini bisa surut atau lebih, berubah. Subjek bisa mengklaim keahlian yang lebih terbatas (tapi lebih dalam), dia bisa tidak lagi malu untuk mengakui ketidaktahuannya di luar bidang dari pengetahuan nyatanya atau yang dia umumkan sendiri. Namun “perkembangan” ini hanya yang terlihat. Dalam “wilayah” intelektualnya sendiri, orang-orang narsis masih tetap berhayal dengan ganas dan sedefensif seperti biasanya.

Banyak orang-orang narsis diakui otodidak, tidak mau menundukkan pengetahuan dan wawasan mereka untuk penelitian yang sama (sebanding) atau dalam hal ini untuk pemeriksaan apapun. Orang yang narsis terus menemukan kembali dirinya sendiri, menambah bidang “keahlian” ke dalam daftarnya sembari dia berjalan. Penggabungan intelektual yg merambat ini merupakan cara yang tidak langsung kembali pada masa lalunya dan selalu menyombongkan gambar sebagai “Manusia Renaisans” yang terpelajar.

3. Omnipresence (kehadiran dimana-mana)
Omnipresence yaitu subjek tidak bisa berpura-pura secara fisik hadir dimana-mana pada waktu yang sama. Sebaliknya, dia merasa bahwa dia adalah pusat dan poros “alam semesta”-nya, bahwa segala sesuatu dan keadaan berputar disekelilingnya, dan bahwa disintegrasi akan terjadi jika dia menghilang atau kehilangan minat pada seseorang atau sesuatu. Subjek yakin, contohnya, subjek adalah topik utama, jika bukan satu-satunya topik pembicaraan pada ketidakhadirannya. Subjek sering terkejut dan menemukan bahwa subjek belum disebutkan. Saat diundang pada pertemuan dengan banyak peserta, subjek menganggap kedudukan bijaksana, guru, atau pengajar atau pembimbing yang memiliki arti kata yang mengandung arti yang berbobot. Ciptaannya (buku, artikel, karya seni) dibagikan dan menyalin eksistensinya sendiri dan dalam perasaan yang terbatas ini, dia nampak ada dimana-mana. Dengan kata lain, melalui reputasi dan usaha kreatifnya, subyek “menandai” lingkungannya.

4. Narcissist the Omnivore (Perfectionism and Completeness atau kelengkapan dan kesempurnaan)
Narcissist the Omnivore yaitu ada komponen “ omni ” yang lain dalam grandiositas. Subjek serakah dan terus membaca pengalaman-pengalaman orang, prestasi karyanya, waktu luangnya, kesenangan dan harta miliknya. Subyek tidak mampu menikmati apapun karena subjek terus mengejar kelengkapan dan kesempurnaan.

Subjek yang bermutu tinggi berinteraksi dengan dunia sebagai pemangsa dan mangsanya. Subjek ingin mempunyai semuanya, ada dimana-mana, merasakan segalanya. Subjek tidak bisa menunda kepuasan. Subjek tidak bisa menjawab “tidak”. Dan subjek tidak puas dengan apapun yang kurang ideal, yang agung, termasuk semua, yang melimpah, yang mencakup semua, sempurna, paling luas, paling indah, paling pintar, terkaya, dan paling cemerlang.

Subjek tidak berdaya ketika dia menemukan bahwa koleksi yang subjek punya tidak lengkap, seperti istri dari teman kuliahnya lebih mempesona, anaknya lebih pintar darinya dalam matematika, tetangganya punya mobil baru yang mengkilat, teman sekamarnya dapat promosi, kekasihnya menandatangani kontrak rekaman. Hal itu bukan kecemburuan lama yang biasa, bahkan iri hati sekalipun (meskipun ini jelas merupakan bagian dari susunan psikologis narsistik). Ini adalah penemuan bahwa narsistik tidak lebih unggul, sempurna, ideal, atau lengkap.

Subjek menekankan kecenderungan-kecenderungan dan bakat-bakatnya yang mana tidak menyesuaikan diri dengan melambungkan pandangan pada keunikannya, kecerdasannya, kekuatannya, kemampuannya yang diatas rata-rata dan kedudukanya di masyarakat. Kurangnya perhatian pada diri sendiri adalah tipikal dari orang yang narsistik, kesalahanya dia hanya akrab dengan dirinya, yang dibangun dengan teliti sejak bertahun-tahun, kebohongan dan melakukan tipuan.

Sejatinya narsistik itu tersimpan, merusak dan mengganggu, jauh dalam pikirannya. Kepalsuan diri ada dimana-mana, kreatif, cerdik, tak tergoyahkan, dan bersemangat. Subjek jarang mengakui kelemahannya, ketidaktahuannya, atau kekurangannya.

Subjek menyaring informasi yang bertentangan dengan citra dirinya dan persepsi dirinya. Sebuah gangguan kognitif dengan konsekuensi serius. Subjek cenderung secara tidak sengaja membuat klaim yang meningkat dan tidak jelas tentang kecakapan seksual, kekayaan, koneksi, sejarah, atau prestasi mereka.

Semua ini sangat memalukan bagi orang terdekatnya, koleganya terdekat, teman, tetangga, atau bahkan hanya penonton. Narsisis berpura-pura menjadi ekonom, insinyur, atau dokter medis padahal tidak. Tapi mereka juga bukan seniman dalam pengertian klasik dan terencana. Mereka sangat percaya bahwa, meskipun mengajar sendiri paling baik, mereka lebih berkualitas daripada profesional yang benar. Subjek percaya pada sihir dan fantasi.