Apa saja dampak atau reaksi seseorang apabila mengalami stres?

Stres

Stres merupakan suatu kondisi internal seseorang yang dirasakan membahayakan, tidak terkontrol ataupun kejadian diluar batas kemampuan individu yang disebabkan oleh fisik atau lingkungan dan situasi sosial. Stres merupakan keadaan atau kejadian yang tegang atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya.

Situasi stres akan menghasilkan reaksi emosional tertentu pada individu. Reaksi tersebut dapat meliputi reaksi positif (jika stres dapat ditangani) dan reaksi negatif seperti kecemasan, kemarahan dan depresi. Reaksi negatif timbul jika stres yang dialami individu tidak dapat ditangani (Atkinson, 2000).

Reaksi-reaksi emosi yang mungkin muncul saat menghadapi situasi stres adalah sebagai berikut:

  • Kecemasan
    Kecemasan merupakan salah satu respon yang muncul ketika individu dihadapkan pada situasi stres. Kecemasan dalam bahasa sehari-harinya dapat didefinisikan sebagai emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai oleh perasaan khawatir, perasaan tidak nyaman, tegang dan takut. Reaksi-reaksi ini umumnya dialami individu ketika mengalami stres tetapi dengan intensitas yang berbeda-beda. Pada keadaan tertentu, kecemasan dapat menjadi berat dan akhirnya membuat orang tersebut menarik diri dari lingkungan (Gunarsa, 2002).

  • Kemarahan dan Agresi
    Reaksi umum lain yang timbul ketika individu dihadapkan pada situasi stres adalah kemarahan yang mungkin akan mengarah pada perilaku agresi (Atkinson, 2000). Perasaan marah yang dirasakan individu dapat membangkitkan perilaku agresi, seperti menendang, memukul.

    Hal ini sejalan dengan hipotesa frustrasi-agresi (Dollard dalam Morgan, 1986) bahwa frustrasi yang timbul akibat kegagalan individu dalam mencapai tujuannya, dapat menyebabkan agresi. Orang dewasa umumnya mengekspresikan agresi mereka secara verbal daripada secara fisik, mereka lebih mungkin untuk melontarkan hinaan daripada pukulan (Atkinson, 2000).

  • Apati dan Depresi
    Apati merupakan bentuk respon umum lainnya yang muncul ketika berhadapan dengan situasi stres. Atkinson (2000) mengatakan bahwa apati adalah keadaan tanpa gairah, sikap acuh dan menarik diri. Ketidakmampuan individu dalam mencapai tujuan menyebabkan individu bertindak apatis. Jika keadaan ini terus berkelanjutan dan individu tidak berhasil untuk mengatasinya maka apati dapat berkembang menjadi depresi (Atkinson, 2000).

  • Gangguan kognitif
    Individu sering menunjukkan gangguan kognitif ketika berhadapan dengan situasi stres. Gangguan kognitif dapat berupa kesulitan dalam berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran secara logis sehingga performansi tidak dapat optimal. Gangguan kognitif yang terjadi selama periode stres ini sering menyebabkan seseorang mengikuti pola perilaku yang kaku karena mereka tidak dapat mempertimbangkan pola-pola alternatif (Atkinson, 2000).

Situasi stres menghasilkan reaksi emosional mulai dari kegembiraan (jika peristiwa menuntut tetapi dapat ditangani) sampai emosi umum seperti kecemasan, kemarahan, kekecewaan, dan depresi. Jika situasi stres terus terjadi, emosi kita mungkin berpindah bolak- balik diantara emosi-emosi tersebut, tergantung pada keberhasilan kita bagaimana bisa menyelesaikannya.

Anxiety

Kecemasan yang dimaksud adalah emosi yang tidak menyenangkan yang dikenal dengan beberapa istilah seperti ‘kekhawatiran’, ‘kegelisahan’, ‘ketegangan‘, dan ‘ketakutan’, semuanya kita alami dalam taraf yang berbeda. Orang yang mengalami peristiwa-peristiwa dibawah batas normal ‘ambang penderitaan manusia’ terkadang memiliki pola yang kuat atas anxiety-related symptoms yang disebut postraumatik stress disorder.

Adapun gejalanya adalah sebagai berikut:

  • Mati rasa terhadap dunia, kehilangan ketertarikan terhadap aktivitas sebelumnya dan perasaan asing kepada orang lain.

  • Pelepasan (lessen) trauma dalam ingatan dan mimpi yang berulang kali

  • Gangguan tidur, susah berkonsentrasi, dan overalertness .

  • Beberapa orang merasa bersalah jika bisa selamat sementara yang lain tidak selamat.

Sebuah studi tentang korban yang selamat dari kamp Nazi: 97%nya masih menderita anxiety setelah 20 tahun kebebasan mereka. Banyak yang masih tersiksa oleh mimpi-mimpi; ketakutan akan diri dan anak-anak mereka akan mengalami hal buruk jika lepas dari pandangan mereka.

Post-Traumatic Stress Disorder atau yang sering disingkat dengan PTSD menjadi suatu diagnosa yang diterima secara luas setelah keadaan sulit yang dialami para veteran Vietnam. Walaupun sebelumnya sindrom ini telah ditemukan pada PD I ‘shell shock’ dan PD II ‘combat fatigue’ namun veteran Vietnam mengalami long-term symptoms. Salah seorang veteran Vietnam menulis ‘The war is over in history, but it never ended for me’.

Anger and Aggression

Kemarahan memicu dan membawa kepada agresi. Anak-anak seringkali menjadi marah dan menunjukkan perilaku agresi ketika mengalami frustrasi. Asumsi frustration- aggression hypothesis , bahwa ketika upaya seseorang dalam mencapai tujuannya terhambat, maka dorongan agresif menyebabkan motif berperilaku menyakiti -objek atau pun orang- menyebabkan frustrasi.

Agresi secara langsung terhadap sumber frustrasi tdi aklah selalu baik, kadang- kadang sumber tersebut ‘samar’ dan ‘kasat’. Seseorang tidak mengetahui apa yang harus dilawan tetapi merasa marah dan mencari objek untuk melepaskan perasaan ini. Ketika keadaan tidak mengizinkan unut k ‘direct attack’ terhadap sumber frustrasi, agresi ‘displaced’ : Aksi agresi menjadi tertuju pada objek atau orang yang tidak bersangkutan daripada sumbernya langsung.

Apathy and Depression

Apati adalah respon pasif agresi terhadap frustrasi. Jika kondisi stress terus berlangsung dan individu tidak berhasil mengatasinya, maka apati akan berkembang menjadi depresi.

Teori learned-helplessness (Seligman, 1975) menjelaskan bahwa ‘aversive experience’ , ‘ uncontrollable events ’ membawa kepada apati dan depresi; yang dapat membantu kita memahami mengapa orang pasrah dan menyerah pada peristiwa sulit. Gejala learned-helplessness , antara lain: apati, penarikan diri, dan diam. Seperti korban Nazi percaya bahwa tak ada yang dapat dilakukan, menyerah, dan tidak mencoba untuk melarikan diri.

Cognitive Impairment

Gejala adanya gangguan kognitif antara lain adalah sebagai berikut :

  • sukar berkonsentrasi
  • sukar mengorganisasikan pikiran secara logis
  • mudah terganggu
  • performa mereka pada tugas kompleks kurang memuaskan/buruk

Terdapat 2 sumber gangguan kognitif, yaitu:

  • high level of emotional arousal berpengaruh pada pemrosesan informasi

  • distracting thought ketika menghadapi stressor : kita merenung-renungkan kemungkinan- kemungkinan sumber perilaku, khawatir tentang konsekuensi perilaku kita, dan ‘mengutuki’ diri karena tidak dapat mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik.

Gangguan kognitif selama situasi stressful, seringkali membawa orang pada pola perilaku yang kaku dan kuat, karena mereka tidak memiliki dan memikirkan pola perilaku lain.

Menurut Robbins (2003), saat individu mengalami tingkat stres yang tinggi, konsekuensinya adalah munculnya gejala-gejala fisiologis, psikologis, dan perilaku (physiological, psychological, dan behavioral) dari individu tersebut. Berikut penjelasannya :

  • Fisiologis
    Gejala fisiologis/fisik akibat stres yang dialami pekerja, menurut Robbins (2003) dan Cooper & Straw (2002) dapat mencakup meningkatnya laju detak jantung dan pernafasan, mulut dan kerongkongan menjadi kering, kedua tangan menjadi basah oleh keringat, tubuh merasa gerah/panas, otot-otot menjadi tegang, tubuh mengalami gangguan pencernaan, diare, sembelit, badan terasa lelah, kepala menjadi sakit dan tegang, berkedut (bergetarnya urat-urat pada kelopak mata), perasaan sangat gelisah, meningkatnya tekanan darah, dan pada beberapa orang menyebabkan serangan jantung.

  • Psikologis
    Menurut Robbins (2003), efek psikologis yang paling sederhana dan nyata dari stres adalah munculnya ketidakpuasan. Sedangkan gejala- gejala psikologis lain yang dapat muncul mencakup ketegangan, kecemasan, sifat lekas marah, kebosanan, procrastination (suka menunda- nunda), kemarahan dan penyerangan, depresi, perubahan suasana hati atau keadaan jiwanya, dan kesendirian atau menarik diri dari pergaulan orang banyak.

  • Perilaku
    Konsekuensi yang juga dapat timbul dari stres adalah munculnya gejala perilaku seperti perubahan produktivitas, absen, turnover, dan juga perubahan pola makan, meningkatnya konsumsi rokok dan alkohol, bicara cepat, gelisah, dan gangguan tidur (Robbins, 2003). Secara lebih spesifik, gejala perilaku yang muncul di tempat kerja menurut Cooper & Straw (2002) adalah menurunnya tingkat kepuasan kerja, berkurangnya prestasi kerja, hilangnya vitalitas dan energi, rusaknya komunikasi, buruknya pengambilan keputusan, berkurangnya kreativitas dan inovasi, serta terfokusnya perhatian pada tugas-tugas yang justru tidak produktif.