Apa Saja Alasan Dilakukannya Penundaan Eksekusi Putusan Perdata?

Apakah eksekusi yang dilakukan oleh pengadilan harus dilakukan ? Tidak dapatkah eksekusi tersebut ditunda ? Apabila bisa, apa saja yang dapat menunda proses eksekusi yang dilakukan pengadilan ?

Suatu sengketa atau perkara yang telah diputuskan oleh pengadilan belumlah sempurna apabila belum dilaksanakan. Karena sebenarnya tujuan para pihak mengajukan suatu gugatan ke pengadilan adalah agar perkara itu dapat ditentukan hukumnya melalui putusan pengadilan, yang kemudian putusan itu dapat dilaksanakan. Oleh karena itulah, maka suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dapat dilaksanakan secara paksa.

Tindakan eksekusi yang akan dilakukan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak selamanya berjalan dengan lancar. Pada umumnya terhadap setiap eksekusi selalu ada reaksi permintaan penundaan. Tidak ada eksekusi yang luput dari permintaan penundaan. Adakalanya permintaan penundaan datang langsung dari pihak tereksekusi sendiri, atau dari pihak ketiga.

Djazuli Bachar mengemukakan bahwa hambatan-hambatan eksekusi cukup beragam, contoh yang menjadi penghambat terlaksananya eksekusi adalah [1] :

  1. Putusan-putusan yang saling bertentangan
  2. Biaya eksekusi yang sangat mahal sehingga pemohon eksekusi tidak mempunyai biaya meskipun hanya untuk membayar panjar
  3. Hambatan karena tindakan penguasa
  4. Hambatan di lapangan seperti batas tanah yang membingungkan
  5. Perlawanan fisik yang membahayakan keselamatan petugas oleh tereksekusi, lelang yang tidak ada pembelinya dan lain-lain

Menurut M. Yahya Harahap, penundaan eksekusi haruslah diterapkan secara kasuistik dan eksepsional.[2] Praktik peradilan dan yurisprudensi juga membenarkan penundaan atau penangguhan eksekusi.82
Penundaan eksekusi bersifat kasuistik, hal itu disebabkan karena tidak ada patokan umum yang digunakan untuk menunda eksekusi.83 Suatu alasan dapat saja berbeda penerapan dan penilaiannya sehingga alasan itu tidak berlaku umum untuk semua penundaan eksekusi. Suatu alasan mungkin dapat dibenarkan menunda eksekusi pada kasus tertentu, tetapi belum tentu dapat dipergunakan untuk menunda eksekusi pada kasus yang lain.

Harus diperhatikan bahwa pada prinsipnya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat segera dimintakan eksekusi. Sehingga terhadap permohonan eksekusi tersebut tidak dapat dilakukan penundaan Walaupun demikian, menurut M. Yahya Harahap terhadap permohonan eksekusi suatu putusan dapat terjadi penundaan eksekusi. Beliau tidak keberatan terhadap penerapan penundaan eksekusi. Tetapi beliau tidak setuju atas keleluasaan mempergunakan alasan penundaan eksekusi tanpa mengaitkan dengan cara penerapan kasuistik pada satu segi dan sifat eksepsional pada segi lain. Kaitan antara cara penerapan yang kasuistik dengan sifat pengabsahan yang sangat eksepsional, harus dijadikan landasan mempertimbangkan pengabulan penundaan eksekusi. Dengan pola pertimbangan yang mengaitkan penerapan kasuistik dengan pengabsahan yang sangat eksepsional sebagai konsepsi tidak akan lepas kendalinya dari jalur penegakan kepastian hukum

Sebagai contoh adalah kasus mengenai pembongkaran suatu bangunan. Apabila kasus tersebut diajukan peninjauan kembali dan disertai dengan permohonan penundaan eksekusi. Maka secara kasuistik, peninjauan kembali tersebut dapat dijadikan alasan untuk menunda eksekusi. Akan lebih masuk akal untuk melakukan penundaan eksekusi, karena apabila eksekusi pembongkaran telah dijalankan dan kemudian hasil peninjauan kembali memenangkan pihak tereksekusi maka akan timbul masalah baru. Yaitu siapa yang bertanggung jawab atas kerugian pihak tereksekusi karena bangunannya telah dibongkar oleh pemohon eksekusi. Penundaan eksekusi juga bersifat eksepsional.85 Artinya, pengabulan penundaan eksekusi merupakan tindakan pengecualian dari aturan umum.

Harus diingat bahwa pada prinsipnya suatu permohonan peninjauan kembali tidak dapat menunda suatu eksekusi. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

Menurut aturan umum yang berlaku : [3]
a. Pada setiap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap melekat kekuatan eksekutorial
b. Eksekusi atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya
c. Yang dapat menunda eksekusi hanya perdamaian

Alasan-alasan Dilakukannya Penundaan Eksekusi

Menurut M. Yahya Harahap, ada beberapa alasan yang dapat digunakan untuk melakukan penundaan eksekusi yaitu:

1. Penundaan Eksekusi Atas Alasan Perikemanusiaan

Alasan perikemanusiaan sering digunakan sebagai alasan permohonan penundaan eksekusi, terutama eksekusi riil pembongkaran, pengosongan, dan penyerahan suatu tempat. Sekalipun dasar perikemanusiaan dapat dijadikan alasan terobosan terhadap penundaan sementara eksekusi secara limitatif, penerapannya tidak boleh digunakan secara umum. Tidak selamanya alasan perikemanusiaan dapat dijadikan dasar penundaan eksekusi. Penerapannya harus kasuistik.

Mengenai alasan perikemanusiaan ini maka kita harus merujuk kepada Pasal 36 ayat (4) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.

Sebagai contoh, kasus mengenai pembongkaran dan pengosongan rumah dan tanah. Tereksekusi merupakan orang yang tidak mampu. Pada saat eksekusi hendak dijalankan, bertepatan suami dan istri sedang berada di luar kota. Yang anak yang belum dewasa. Kepergian orang tua ke luar kota sebelum aanmaning dilakukan, sehingga kepergiannya bukan dengan sengaja menghindari eksekusi. Maka sudah selayaknya eksekusi ditunda untuk memberi kesempatan anak agar memberitahukan kepada orang tua sehingga mereka dapat mencari tempat tinggal baru.

Alasan perikemanusiaan yang digunakan oleh orang yang lebih mampu dari pemohon eksekusi, bukan membela perikemanusiaan, bahkan dianggap melanggar nilai-nilai perikemanusiaan. Penundaan eksekusi bersifat sementara dan limitatif. Dalam penetapan eksekusi, dengan tegas ditetapkan jangka waktu penundaan. Jangka waktu tersebut tergantung kepada keadaan yang dibutuhkan. Biasanya waktu yang dibutuhkan untuk mendapat tempat baru serta persiapan pindah, memadai dalam jangka waktu 3 bulan atau 6 bulan.[4]

Memberikan jangka waktu lebih dari itu, dianggap berlebihan dan bertentangan dengan kepentingan penegakan dan kepastian hukum. Sebaliknya, memberikan waktu yang tidak memadai, bertentangan dengan tujuan pemberian kesempatan kepada tereksekusi.

Dalam hal penundaan eksekusi, apabila jangka waktu yang ditentukan dalam penundaan eksekusi telah dilampaui, maka eksekusi mesti dilaksanakan tanpa diperlukan aanmaning. Penetapan secara tegas jangka waktu penundaan merupakan suatu peringatan terhadap pihak tereksekusi. Jangka waktu tersebut merupakan peringatan kepada pihak tereksekusi akan kewajibannya untuk mengosongkan objek eksekusi dalam jangka waktu yang ditentukan. Penetapan jangka waktu penundaan tersebut juga memberikan kepastian hukum kepada pihak pemohon eksekusi bahwa eksekusi pasti akan dilaksanakan, apabila tereksekusi melanggar batas jangka waktu penundaan yang diberikan.

2. Penundaan Eksekusi Atas Alasan Derden verzet

Bila kita melihat isi Pasal 195 ayat (6) HIR, maka Pasal ini memberi kemungkinan bagi pihak ketiga untuk mengajukan perlawanan terhadap eksekusi yang akan dijalankan. Misalnya, A mengadakan jual beli tanah dengan B. A sudah membayar lunas tetapi belum terjadi penyerahan/penggantian akta tanah sampai berbulan-bulan. Kemudian A menggugat B dengan gugatan wanprestasi. Setelah proses persidangan, C tiba-tiba datang sebelum ada putusan dan mengklaim tanah yang disengketakan adalah tanah miliknya dengan membawa sejumlah bukti. Dalam hal ini, pihak ketiga yaitu C dapat mengajukan perlawanan dan berbarengan dengan perlawanan tersebut, C dapat meminta agar eksekusi ditunda sampai putusan perlawanan memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Pasal 195 ayat (6) berbunyi :
(6) Perlawanan terhadap keputusan, juga dari orang lain yang menyatakan bahwa barang yang disita miliknya, dihadapkan serta diadili seperti segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan oleh pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi penjalanan keputusan itu.

Salah satu syarat agar perlawanan dapat dijadikan sebagai alasan untuk menunda eksekusi, adalah harus diajukan sebelum eksekusi dijalankan. Kalau eksekusi sudah selesai dijalankan, upaya yang dapat diajukan pihak ketiga untuk membatalkan eksekusi harus melalui gugatan. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa penggunaan derden verzet untuk menunda eksekusi harus berdasarkan alasan hak milik. Ketentuan ini ditegaskan Pasal 195 ayat (6) HIR. Pasal tersebut membatasi alasan apa yang diperbolehkan untuk mengajukan perlawanan terhadap eksekusi, hanya didasarkan pada hak milik.

Akan tetapi terhadap ketentuan Pasal 195 ayat (6) dapat diperluas sebagai berikut : [5]

  • Berdasarkan alasan barang yang hendak dieksekusi dijaminkan kepada pelawan
  • Berdasarkan alasan barang yang hendak dieksekusi sedang berada di bawah sita jaminan atau sita eksekusi

Derden verzet tidak boleh diterapkan secara umum untuk menunda eksekusi. Bahkan kalau berpedoman kepada ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR, tidak disinggung mengenai kemungkinan derdenverzet menunda eksekusi. Menurut M. Yahya Harahap, ketentuan Pasal 195 (6) tidak mengatur mengenai pelarangan untuk menunda eksekusi atas alasan derdenverzet sehingga Pasal ini sebenarnya tidak melarang penggunaan derdenverzet sebagai alasan penundaan suatu eksekusi. Menurut beliau yang dilarang adalah mempergunakan derdenverzet secara generalisasi untuk menunda eksekusi. Penerapan secara generalisasi tersebut tidak dibolehkan. Sebagai contoh yang telah disebutkan sebelumnya, A mengadakan jual beli tanah dengan B. A sudah membayar lunas tetapi belum terjadi penyerahan/penggantian akta tanah sampai berbulan-bulan. Kemudian A menggugat B dengan gugatan wanprestasi. Proses persidangan pun berjalan. Tapi tiba-tiba C datang sebelum ada putusan dan mengklaim bahwa tanah yang disengketakan merupakan tanah miliknya. Bahwa tanah tersebut masih dalam sengketa perebutan harta warisan. Sehingga tanah tersebut bukanlah tanah si B. Dalam kasus ini cukup alasan untuk menunda eksekusi.

Penundaan eksekusi dalam kasus yang demikian dianggap relevan dan dapat dipertanggungjawabkan dari sudut eksepsional. Apabila eksekusi tetap dipaksakan pelaksanaannya, dapat diperkirakan akan menimbulkan kesulitan kelak dikemudian hari. Karena sebetulnya tanah tersebut masih berada dalam sengketa.

Lain halnya kalau pelawan tidak mampu membuktikan dalil gugatan perlawanan. Atau di samping pelawan tidak mampu membuktikan dalil perlawanan, terkesan ada persekongkolan antara pihak Pelawan dengan tereksekusi. Dalam kasus yang demikian, derden verzet tidak bernilai untuk menunda eksekusi.

Untuk menghadapi permohonan penundaan eksekusi atas alasan derdenverzet, Hakim harus melihat alasan perlawanan dari si pelawan. Kalau si pelawan dapat membuktikan alasan yang dikemukan maka eksekusi dapat ditunda. Tetapi, apabila pelawan tidak dapat membuktikan alasan yang dijadikan alasan untuk mengajukan perlawanan maka eksekusi tetap dilaksanakan tanpa adanya penundaan.[6]
Oleh karenanya maka penundaan eksekusi atas alasan derden verzet harus dilihat secara kasuistik. Permohonan penundaan eksekusi dengan alasan derden verzet harus dikaitkan dengan proses pemeriksaan perlawanan sampai perlawanan diputus oleh hakim Pengadilan Negeri. Sebelum perlawanan diputus oleh Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri lebih baik bersikap menunggu, jangan dulu menentukan sikap untuk menolak atau mengabulkan penundaan eksekusi. Ketua Pengadilan Negeri baru mengambil sikap, setelah perlawanan diputus. Kalau perlawanan dikabulkan, sebaiknya eksekusi ditunda. Sebaliknya, kalau perlawanan ditolak, eksekusi dilaksanakan terus.

3. Penundaan Eksekusi Atas Alasan Barang Objek Eksekusi Masih Dalam Proses Perkara Lain

Dalam kenyataan, kasus barang objek eksekusi yang masih disengketakan dalam perkara lain sering ditemukan. Kasus yang seperti itu dijumpai dimana- mana. Contoh yang dikemukakan oleh M. Yahya Harahap, misalnya adalah A menggugat B atas dalil utang-piutang dan jaminannya sebidang tanah. Putusan telah berkekuatan hukum tetap dan eksekusi penjualan lelang hendak dijalankan. Datang bantahan dari C atas alasan tanah objek eksekusi adalah miliknya sendiri dan perkara mengenai gugatan hak milik antara C dan B masih tergantung dalam tingkat pemeriksaan banding. Dalam kasus yang demikian lebih baik eksekusi ditunda atas alasan objek barang yang hendak dieksekusi masih tergantung dalam proses perkara lain. Apalagi jika objek barang yang hendak dieksekusi terlibat dalam berbagai proses perkara dengan berbagai pihak terlibat di dalamnya. Lebih tepat menunda eksekusi sampai semua perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.[7]

M. Yahya Harahap juga menjabarkan contoh mengenai perkara lain yang tidak memengaruhi eksekusi sehingga tidak perlu ditunda. Misalnya, A menggugat B atas sejumlah utang. Agunan utang, sebidang tanah dan rumah yang ada di atasnya. Gugatan A dikabulkan dan telah berkekuatan hukum tetap. Pada saat eksekusi hendak dijalankan, timbul sengketa antara B dan C mengenai tanah dan rumah tersebut. Pokok sengketa mereka mengenai hubungan sewa-menyewa atas tanah dan rumah yang menjadi objek eksekusi. Dalam kasus ini, perkara antara B dan C sama sekali tidak memengaruhi eksekusi penjualan lelang atas tanah dan rumah terperkara. Sekiranya pun dalam perkara B dan C pengeksekusian dan penjualan lelang atas tanah dan rumah. Sebab Pasal 1576 KUHPer telah mengatur prinsip-prinsip jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa. Kecuali pokok sengketa antara B dan C berdasarkan dalil hak milik.[8]

4. Penundaan Eksekusi Putusan Atas Alasan Peninjauan Kembali

Lembaga PK berfungsi sebagai upaya hukum yang bersifat luar biasa, yaitu upaya hukum yang bertujuan untuk mengoreksi kembali putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kalau ada dugaan kuat putusan Pengadilan tersebut ternyata mengandung cacat berat karenanya adanya kekeliruan dan kesesatan hakim yang menyolok ketika menjatuhkan putusan tersebut.

Menurut Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 yang berbunyi :

Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan

Redaksi Pasal 66 ayat (2) tersebut jelas dan mudah dipahami sehingga tidak mengandung kesulitan pengertian dan penafsiran. Pasal ini menegaskan, permohonan peninjauan kembali tidak dapat dijadikan alasan menangguhkan atau menghentikan eksekusi. Menurut M. Yahya Harahap yang dilarang dalam Pasal ini adalah menggunakan alas an peninjauan kembali secara menggeneralisasi untuk menunda eksekusi. Alasan peninjauan kembali hanya dapat digunakan secara kasuistik dan eksepsional.

Tidak semua permohonan peninjauan kembali otomatis menunda atau menghentikan eksekusi. Hanya permohonan peninjauan kembali yang sangat mendasar yang dapat dijadikan alasan untuk menunda atau menghentikan eksekusi. Peninjauan kembali dapat dianggap sungguh-sungguh dan mendasar apabila alasan yang diajukan :[9]

  • Benar-benar sesuai dengan salah satu alasan yang ditentukan Pasal 67 UU tersebut.

    Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung berbunyi :
    a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
    b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
    c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
    d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
    e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
    f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

  • Alasan yang dikemukakan didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan sempurna

  • Dapat diduga majelis hakim yang akan memeriksa peninjauan kembali besar kemungkinan akan mengabulkannya. Hal ini terkait dengan Pasal 74 ayat (1)UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa :

    Dalam hal Mahkamah Agung, mengabulkan permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa serta memutus sendiri perkara.

Kriteria inilah yang harus dipegang sebagai tolok ukur menilai apakah suatu permohonan peninjauan kembali mendasar atau tidak.M Yahya Harahap memberikan contoh mengenai penundaan atas alasan peninjauan kembali. Pada putusan yang pertama, A telah dinyatakan sebagai pemilik tanah terperkara, dan tanah telah diekskusi kepadanya. Kemudian dalam perkara yang kedua, B dinyatakan sebagai pemilik dan sekaligus menghukum A untuk mengosongkan dan menyerahkan tanah terperkara kepada B. Sekiranya dalam kasus ini, A mengajukan peninjauan kembali atas dasar ada dua putusan yang saling bertentangan mengenai subjek dan objek yang sama sesuai dengan alasan peninjauan kembali yang disebutkan dalam Pasal 67 huruf e, jelas peninjauan kembali yang diajukan A tersebut sangat mendasar. Dalam kasus ini, patut sekali untuk menunda eksekusi atas alasan peninjauan kembali.

5. Penundaan Eksekusi Atas Alasan Perdamaian

Dalam ketentuan Pasal 196 dan Pasal 224 HIR, dapat ditarik kesimpulan hanya perdamaian yang dapat dibenarkan menunda atau menghentikan eksekusi. Alasan diluar dasar perdamaian hanya dapat digunakan secara kasuistik dan eksepsional berdasarkan kepatutan.

Yang dimaksud dengan perdamaian dalam uraian Pasal tersebut adalah bentuk perdamaian yang diatur dalam Pasal 1851 KUHPer.

Pasal 1851 KUHPer :
Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis.

Dalam suatu kasus, dapat saja terjadi setelah putusan berkekuatan hukum tetap, kedua belah pihak mengadakan perdamaian yang memberi kelonggaran kepada tereksekusi untuk melakukan pembayaran dalam tempo 6 (enam) bulan. Bisa juga berupa perdamaian yang memberikan kewajiban kepada tereksekusi untuk menyerahkan barang lain sebagai pengganti objek ekskusi. Apabila terjadi perdamaian antara kedua belah pihak maka eksekusi ditunda dan penundaan atas penghentian eksekusi atas alasan perdamaian adalah mutlak.[11]

Perdamaian tergolong dalam penundaan eksekusi karena pada dasarnya apabila isi dari perdamaian tersebut tidak dilaksanakan maka bisa saja kemudian dimintakan ke pengadilan agar isi perdamaian tersebut segera dilaksanakan. Ketika terjadi perdamaian maka harus dibuatkan suatu akta perdamaian. Akta perdamaian tersebut kemudian disahkan oleh Hakim. Akta perdamaian tersebut harus dilaksanakan secara sukarela oleh kedua belah pihak. Ketika akta perdamaian tersebut tidak dilaksanakan maka dapat dimintakan bantuan ke pengadilan untuk segera dilaksanakan.

Perdamaian dipenuhi, berarti dengan sendirinya memenuhi isi putusan yang hendak dieksekusi. Mengingkari perdamaian berarti mengingkari pemenuhan putusan secara sukarela. Oleh karena mengingkari perdamaian identik dengan mengingkari pemenuhan putusan pengadilan secara sukarela, maka pemenuhan putusan harus dijalankan melalui eksekusi.[12]

Berkaitan dengan pengingkaran perdamaian, maka Ketua Pengadilan Negeri mengadakan pemeriksaan insidentil apabila ada permintaan eksekusi kembali atas alasan pihak tereksekusi lalai atau ingkar menaati dan memenuhi perdamaian. Tujuan persidangan insidentil dalam kasus seperti ini memberi kesempatan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menilai benar atau tidaknya kelalaian atau keingkaran pihak tereksekusi menaati dan memenuhi isi perdamaian.[13]

Apabila menurut penilaian, tereksekusi benar-benar lalai atau ingkar memenuhi isi perdamaian, Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan pencabutan penundaan dan sekaligus memerintahkan pelaksanaan eksekusi. Kalau dia menilai tidak ada kelalaian dan pengingkaran, bahkan apabila menilai isi perdamaian telah dipenuhi dengan baik oleh pihak tereksekusi, Ketua Pengadilan Negeri :[14]

  • Tetap mempertahankan penetapan penundaan
  • Bila pihak pemohon eksekusi keberatan atas penilaian tersebut :
    • Dapat mengajukan gugatan baru atas dalil pihak tereksekusi ingkar memenuhi perdamaian
    • Sekaligus meminta perdamaian dibatalkan, dan agar putusan semula dijalankan eksekusinya

Demikian cara penyelesaian eksekusinya bila Ketua Pengadilan Negeri menilai bahwa tergugat telah memenuhi isi perdamaian. Oleh karena dia menilai perdamaian telah dipenuhi, berarti Ketua Pengadilan Negeri menganggap eksekusi sudah selesai. Sekiranya pihak pemohon eksekusi keberatan atas penilaian Ketua Pengadilan Negeri, satu-satunya jalan yang dapat menyalurkan keberatan tersebut adalah melalui gugatan baru.[15]

Pada gugatan baru itu digugat kembali pihak tereksekusi atas alasan ingkar memenuhi perdamaian, dan sekaligus meminta agar dijalankan kembali eksekusi sesuai dengan amar putusan semula. Terserah pada penilaian majelis yang memeriksa gugatan baru, apakah benar atau tidak ada kelalaian atau keingkaran memenuhi isi perjanjian.

Referensi:

[1] Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata: Segi Hukum dan Penegakan Hukum (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), hal 109-141.
[2] Harahap, M. Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata.
Jakarta: PT. Gramedia, 1989, hal. 309.
[3] Ibid, hal. 310.
[4] Ibid, hal. 313
[5] Ibid., hal. 315
[6] Ibid., hal. 317
[7] Ibid., hal. 321
[8] Ibid., hal. 322
[9] Ibid., hal 325
[10] Ibid. hal 325
[11] Ibid. hal 326
[12] Ibid., hal. 327
[13] Ibid., hal. 328
[14] Ibid.,
[15] Ibid., hal. 329