Apa Prinsip-prinsip GATT/WTO yang Berkaitan dengan Kerja Sama ASEAN di Bidang Ekonomi?

Prinsip-prinsip GATT/WTO yang Berkaitan dengan Kerja Sama ASEAN di Bidang Ekonomi

Apa Prinsip-prinsip GATT/WTO yang Berkaitan dengan Kerja Sama ASEAN di Bidang Ekonomi ?

Prinsip-prinsip GATT/WTO yang Berkaitan dengan Kerja Sama ASEAN di Bidang Ekonomi


Dalam hukum perdagangan internasional, GATT atau WTO berpedoman pada beberapa prinsip utama yang merupakan perwujudan asas non-diskriminasi dan asas timbal balik (reciprocity). Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah:

  1. Prinsip Most Favoured Nation
    Prinsip ini diatur dalam Pasal 1 GATT/WTO yang secara garis besar mengatur bahwa semua negara anggota WTO terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat atau diajukan kepada semua anggota WTO. Berkaitan dengan kerja sama ASEAN di bidang ekonomi, khususnya AFTA, ASEAN mengenyampingkan prinsip MFN ini. Dalam perdagangannya, ASEAN membedakan perlakuannya antara sesama anggota ASEAN dengan negara lainnya. Hal ini diperbolehkan oleh Enabling Clause sebagai dasar pembentukan AFTA. Namun untuk hal lain seperti di sektor investasi (ACIA), HKI dan jasa (AFAS) di ASEAN masih menerapkan prinsip MFN ini.

  2. Prinsip National Treatment
    Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal III GATT. Prinsip ini berlaku juga terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Penggunaan prinsip ini juga berlaku di kawasan ASEAN. Hal ini dapat dilihat dari besarnya pajak yang dikenakan terhadap suatu produk yang sudah masuk ke dalam suatu negara (ASEAN), diserahkan sepenuhnya kepada negara tersebut dan berlaku sama bagi negara ASEAN maupun non-ASEAN. Selain di sektor barang, di sektor investasi, HKI dan jasa juga didasarkan pada prinsip National Treatment. Di sektor investasi, para penanam modal asing dijamin akan diperlakukan sama seperti penanam modal dalam negeri.

  3. Prinsip Transparansi
    Prinsip Transparansi ini mensyaratkan keterbukaan atau transparansi hukum atau perundang-undangan nasional dan praktik perdagangan suatu negara. Prinsip ini diatur pada pasal X GATT atau WTO terhadap kebijakan dan peraturan perdagangan yang mempengaruhi perdagangan barang. Prinsip ini dapat ditemui pada kerangka kerja sama ASEAN di bidang jasa, HKI dan investasi .

  4. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan Kuantitatif)
    Ketentuan ini diatur dalam beberapa pasal di dalam GATT. Pada pasal XI, diatur:

No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licences or other measures…

Namun, pada praktiknya, terkadang pembatasan kuantitatif masih dilakukan dengan didasarkan beberapa alasan antara lain: untuk mencegak terkurasnya produk-produk esensial dari negara yang mengekspor, melindungi produk-produk pertanian dan perikanan, untuk mencegah tingkat impor yang berlebihan, atau untuk melindungi negara pembayaran luar negerinya.

Berdasarkan pasal XIII GATT, meskipun pembatasan kuantitatif diperbolehkan, hal tersebut harus diterapkan dengan prinsip non-diskriminatif. Pasal ini menyatakan bahwa jika suatu negara melakukan larangan atau hambatan kuatitatif atas impor barang ke wilayahnya atau ekspor barang ke wilayah negara peserta lain, hal serupa harus dilakukan terhadap ekspor-impor produk yang serupa ke negara ketiga.

Dalam mewujudkan pasar tunggal ASEAN, baik hambatan tarif maupun non tarif akan dihapuskan dengan target waktu pada tahun 2015. Dikaitkan dengan prinsip ini, maka ASEAN pun menerapkan larangan adanya pembatasan kuantitatif sebagai bentuk penghapusan hambatan non-tarif.

Prinsip-prinsip hukum dari perdagangan internasional yang diatur dalam GATT/WTO yaitu:

  • Prinsip Non-Diskriminasi (Non-Discrimination Principle)

Terdapat dua prinsip non diskriminasi dalam hukum organisasi perdagangan dunia (WTO/GATT) yaitu kewajiban the Most-Favoured Nation (MFN) Treatment dan kewajiban the National Treatment. Prinsip Most-Favoured Nation (MFN), diatur dalam Article 1 section.

(1) GATT 1947, yang mensyaratkan bahwa anggota-anggota WTO harus memberikan perlakuan keuntungan yang sama terhadap semua anggota WTO. Suatu negara anggota WTO tidak diperbolehkan untuk membedabedakan mitra dagang dari negara-negara manapun, misalnya memberikan kemudahan pada produk impor dari satu negara lebih diuntungkan dari negara lainnya dalam memasuki akses pasar ke negara tersebut. Kewajiban MFN treatment merupakan ketentuan yang paling penting dalam hukum WTO.

Pengecualian terhadap prinsip MFN sebagaimana diatur dalam Article XXIV GATT 1947 tidak berlaku:

  • Dalam hubungan ekonomi antara negara-negara anggota Free Trade area/Custom Union dengan negara-negara yang bukan anggota, misalnya antara anggota AFTA dengan India.
  • Dalam hubungan dagang antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang melalui GSP (Generalized System of Preferences), sejenis bantuan atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah dari negara maju kepada negara berkembang, seperti Inggris kepada negara anggota commonwealth, pemerintah belanda kepada Indonesia melalui IGGI (International Government Group of Indonesia). Bantuan ini bukan semata-mata ditujukan untuk pengembangan ekonomi, akan tetapi lebih bernuansa politik sebagai salah satu cara guna menekan negara-negara berkembang agar tetap mengikuti kebijakan dari negara-negara maju.

Prinsip the National Treatment (NT), diatur dalam Article III GATT 1947. Prinsip tidak menghendaki adanya diskriminasi antar produk dalam negeri dengan produk serupa di luar negeri. Artinya, apabila suatu produk impor telah memasuki wilayah suatu negara karena di impor, maka produk impor itu harus mendapat perlakuan yang sama seperti halnya perlakuan pemerintah terhadap produk dalam negeri yang sejenis.

  • Prinsip Resiprositas (Reciprocity Principle)

Prinsip Resiprositas ini diatur dalam Article II GATT 1947, mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik diantara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional. Artinya, apabila suatu negara, dalam kebijaksanaan perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk atas produk impor dari suatu negara, maka negara pengekspor produk tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi. Berdasarkan prinsip ini diharapkan setiap negara secara timbal balik saling memberikan kemudahan bagi lalu lintas barang dan jasa. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan setiap negara akan saling menikmati hasil perdagangan internasional yang lancar dan bebas.

  • Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitas (Prohibition of Quantitative Restriction)

Prinsip ini telah diatur dalam Article IX GATT 1947, menghendaki transparansi dan penghapusan hambatan kuantitatif dalam perdaganganinternasional. Hambatan kuantitatif dalam persetujuan GATT/WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan ini adalah kuota dan pembatasan ekspor secara sukarela. Adanya prinsip transparansi membawa akibat bahwa negara-negara anggota WTO apabila hendak melakukan proteksi perdagangan internasional tidak boleh menggunakan kuota sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang diizinkan untuk diterapkan. Oleh karena itu prinsip ini seringkali disebut sebagai tarifikasi hambatan perdagangan.

Ada beberapa pengecualian dari prinsip penghapusan hambatan kuantitatif, yaitu:

  • Negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran diizinkan untuk membatasi impor dengan cara kuota (Article XII-XIV GATT 1947)

  • Karena industri domestik negara pengimpor mengalami kerugian yang serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara itu boleh tidak tunduk pada prinsip ini (Article XIX GATT 1947)

  • Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara pengimpor, negara tersebut diizinkan untukk membebaskan diri dari kewajiban tunduk pada prinsip ini (Article XX dan XXI GATT 1947)

  • Prinsip Perdagangan yang adil (Fairness Principles)

Prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang Dumping (Article VI) dan Subsidi (Article XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain, kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya.

Dumping adalah kegiatan yang dilakukan oleh produsen atau pengekspor yang melakukan penjualan barang di luar negeri dengan harga yang lebih murah dari harga normal produk sejenis di negara bersangkutan sehingga menimbulkan kerugian terhadap negara pengimpor. Subsidi merupakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah terhadap

pengekspor atau produsen dalam negeri, baik berupa bantuan modal, keringanan pajak, dan fasilitas lainnya, sehingga akan berakibat terjadinya kelebihan produksi (over production) yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian baik bagi negara pengimpor maupun pengekspor.

Kerugian bagi negara pengimpor akan mengarah pada kegiatan dumping, sedangkan bagi pengekspor akan menimbulkan ketidakmandirian pengekspor (produsen dalam negeri) karena akan selalu bergantung pada bantuan dari pemerintah.

Oleh karena dumping dan subsidi dinilai sebagai praktik ekonomi yang tidak adil atau curang, maka WTO menentukan bahwa, apabila suatu negara terbukti melakukan praktik tersebut, maka negara pengimpor yang dirugikan oleh praktik itu mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi balasan. Sanksi balasan itu adalah berupa pengenaan bea masuk tambahan yang disebut dengan “bea masuk antidumping” yang dijatuhkan terhadap produk-produk yang di ekspor secara dumping dan countervailing duties atau bea masuk

untuk barang-barang yang terbukti telah diekspor dengan fasilitas subsidi.

  • Prinsip Tarif Mengikat (Binding Tarrif Priciples)

Prinsip ini diatur dalam Article II Section (2) GATT-WTO 1995, bahwa setiap negara anggota WTO harus mematuhi berapapun besarnya tarif yang telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tarif mengikat. Pembatasan perdagangan bebas dengan menggunakan tarif oleh WTO dipandang sebagai suatu model yang masih dapat ditoleransi, misalnya melakukan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui kenaikan tarif (bea masuk).

Perlindungan ini masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Namun demikian, dalam kesepakatan perdagangan internasional tetap diupayakan mengarah kepada sistem perdagangan bebas yang menghendaki pengurangan tarif secara bertahap. Penerapan tarif impor mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :

  • Tarif sebagai pajak, adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang merupakan pungutan oleh negara untuk dijadikan kas negara.
  • Tarif untuk melindungi produk domestik dari praktik dumping yang dilakukan oleh negara pengekspor.
  • Tarif untuk memberikan balasan terhadap negara pengekspor yang melakukan proteksi produk melalui praktik subsidi terhadap produk ekspor.