Pada dasarnya untuk membedakan sebuah tindakan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum, dapat dilihat dari ada atau tidaknya suatu perjanjian sebagai alas dari hubungan para pihak. Namun ternyata hal tersebut tidak sesederhana itu. Perbedaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum telah mengalami penipisan. Suatu sengketa yang telah beralaskan perjanjian yang dibatalkan sepihak dapat digugat dengan konsep perbuatan melawan hukum. Hal ini memperlihatkan adanya kemungkinan hubungan atau kemiripan konsep antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum, karena kedua-duanya pada dasarnya merupakan perbuatan yang melanggar asas kepatutan dalam masyarakat, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Jika dilihat secara sepintas, dalam unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang disebutkan dalam pasal 1365 KUH Perdata, konsep wanprestasi juga termasuk di dalamnya, karena konsep wanprestasi sepintas telah memenuhi unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata.
Menurut Yahya Harahap “wanprestasi adalah bentuk khusus dari perbuatan melawan hukum.“[1] Sedangkan menurut Rutten, “wanprestasi merupakan species dari genus perbuatan melawan hukum yaitu mengenai pelanggaran terhadap hak subjektif.“ Dengan perkataan lain wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum adalah merupakan ’Lex Specialis Derogat Legi Generali’ .[2]
Bertentangan dengan pendapat Yahya Harahap dan Rutten, menurut Meyers, perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian, tidak dapat dimasukkan ke dalam onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum). Perikatan karena undang-undang (verbintenis uit de wet) yang juga mencakup perikatan karena perjanjian. Kedua bidang ini adalah hal berbeda. Perbedaan kedua macam pengertian ini adalah tidak berarti bahwa suatu perbuatan tidak dapat masuk ke dalam kedua pengertian itu sekaligus.
Jadi, suatu perbuatan yang berupa perbuatan tidak memenuhi perjanjian, pada saat yang sama juga dapat masuk perbuatan melawan hukum. Hal ini mungkin, jika disamping tidak memenuhi perjanjian, perbuatan yang sama juga melanggar kewajiban hukum. Umpamanya orang yang berutang atau suatu hak subjektif penagih diluar hak gugatnya yang berdasar perjanjian itu. Jika yang dilanggar adalah kewajiban hukum yang menjadi akibat dari suatu perjanjian, maka yang dapat dilakukan hanyalah gugatan karena tidak ditepatinya perjanjian, jika yang dilanggar adalah kewajiban, yang juga ada di luar setiap perjanjian terhadap pemilik barang- barang, maka gugatan berdasarkan perbuatan bertentangan dengan hukum juga dapat diterima.[3]
Maka dalam hal ini jika dikaitkan dengan pendapat Meyers, salah satu pertimbangan pembatalan perjanjian sepihak dapat digugat dengan gugatan perbuatan melawan hukum, karena dianggap pembatalan sepihak tidak didasari dengan alasan yang dibenarkan menurut kesepakatan mereka untuk dapat dibatalkan, serta dapat dikatakan telah melanggar kewajiban hukum yang juga ada di luar setiap perjanjian, yakni untuk selalu beritikad baik dan bertindak sesuai dengan kepatutan dan asas kehati-hatian.
Pemutusan perjanjian, memang diatur dalam KUH Perdata, yakni pasal 1266, haruslah memenuhi syarat-syarat bahwa perjanjian tersebut bersifat timbal balik, harus ada wanprestasi dan pembatalannya harus memintakan pada hakim (pengadilan). Namun jika pembatalan yang dilakukan tidak memenuhi syarat- syarat tersebut, maka dapat dikatakan perbuatan pembatalan tersebut melanggar undang-undang, yakni pasal 1266 KUH Perdata tadi. Selain itu jika dapat dilihat dari alasan pembatalan perjanjian, jika pembatalan tersebut mengandung kesewenang-wenangan, atau menggunakan posisi dominannya untuk memanfaatkan posisi lemah (keadaan merugikan) pada pihak lawan, maka hal tersebut termasuk dalam perbuatan melawan hukum, karena kesewenang- wenangan atau memanfaatkan posisi lemah atau keadaan merugikan dari pihak lawan di luar dari pelaksanaan kewajiban yang diatur dalam perjanjian, sehingga bukan merupakan wanprestasi, namun lebih ke arah melanggar kewajiban hukumnya untuk selalu beritikad baik dalam perjanjian.
Itikad baik dapat dilihat dari dua tolak ukur, pertama dilihat dari isi perjanjian, apakah hak dan kewajiban para pihak rasional atau tidak, patut atau tidak. Yang kedua dapat dilihat dari pelaksanaan perjanjiannya. Dalam hal pembuktian unsur-unsur perbuatan melawan hukumnya pada pembatalan perjanjian sepihak, hendaknya kembali merujuk pada perspektif teoritis pengertian konsep melawan hukum, yakni dengan menggunakan pengertian konsep melawan hukum dalam arti luas, seperti yang telah diputuskan oleh Hoge Raad dalam kasus Linden baum versus Cohen, yakni bahwa perbuatan melawan hukum bukan hanya melanggar suatu peraturan tertulis, namun juga dapat disebabkan oleh pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melanggar kaidah dan tata susila, serta bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta orang lain dalam arti bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.[4]
Selain melanggar kewajiban hukum untuk beritikad baik, tindakan kesewenang-wenangan/ memanfaatkan posisi lemah pihak lain ini juga dapat dikatakan melanggar kepatutan. Kepatutan itu tergantung dari rasional masyarakat menilai tindakan tersebut. Jadi pembatalan perjanjian sepihak tanpa alasan yang sah, yakni tidak memenuhi syarat yang tertera dalam pasal 1266 KUH Perdata, termasuk dalam perbuatan melawan hukum, apalagi jika pembatalan perjanjian tersebut sebagai akibat memanfaatkan posisi dominannya untuk melakukan kesewenang-wenangan kepada pihak lain yang lebih lemah atau mempunyai kedudukan yang merugikan. Hal ini termasuk dalam perbuatan melawan hukum.
Hal ini sejalan dengan pendapat Suharnoko, bahwa suatu pelanggaran perjanjian atau pemutusan perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak, dapat juga berupa suatu pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang atau suatu perbuatan yang melanggar kepatutan dan kehati-hatian yang harus diperhatikan dalam hubungan antara warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.[5]
Selain itu untuk melihat dasar pertimbangan konsep perbuatan melawan hukum dalam pembatalan perjanjian sepihak, di samping harus dibuktikan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang terkandung dalam pasal 1365 KUH Perdata, juga harus harus diperhatikan apakah pembatalan perjanjian tersebut bebas dari hal-hal yang menghilangkan sifat perbuatan melawan hukumnya.
Jadi jika dikaitkan dengan keputusan Hoge Raad tahun 1919, pendapat Meyers juga Suharnoko, konsep perbuatan melawan hukum dapat diterapkan pada perkara pembatalan perjanjian secara sepihak, dan salah satu pertimbangan hukumnya adalah bahwa suatu pembatalan sepihak dapat dikatakan merupakan suatu pelanggaran terhadap kepatutan dan bertentangan dengan sikap baik dalam masyarakat.
Referensi:
[1] Suharnoko. Hukum perjanjian, Teori dan Analisa Kasus. Cet. 1. Jakarta:Kencana, 2004. hal 131.
[2] Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Cet.1. Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. hal. 45.
[3] Rosa Agustina, *Op., Cit.,*hal. 43
[4] Ibid., hal. 19 lihat juga Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum. Cet. 2. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005. hal. 32.
[5] Suharnoko, Op., Cit., hal. 131.