Apa Peran PBB dalam Melaksanakan Intervensi Kemanusiaan pada Konflik Bersenjata?

Peran PBB dalam Melaksanakan Intervensi Kemanusiaan pada Konflik Bersenjata

PBB merupakan organisasi yang paling besar selama ini dalam sejarah pertumbuhan kerja sama semua negara di dunia di dalam berbagai sektor kehidupan internasional.

Apa Peran PBB dalam Melaksanakan Intervensi Kemanusiaan pada Konflik Bersenjata?

PBB merupakan organisasi yang paling besar selama ini dalam sejarah pertumbuhan kerja sama semua negara di dunia di dalam berbagai sektor kehidupan internasional. Menjaga perdamaian dan keamanan internasional erat kaitannya dengan prinsip kewajiban untuk melindungi ( Responsibility to Protect ) merupakan tanggung jawab semua negara untuk melindungi rakyatnya sendiri, serta tanggung jawab masyarakat internasional untuk membantu negara-negara mewujudkan hal tersebut. Bila suatu negara gagal melindungi rakyatnya, maka sejumlah cara, baik itu politik, ekonomi, maupun diplomatik akan digunakan untuk membantu negara tersebut. Hal ini dilakukan dengan menggunakan banyak cara termasuk negoisasi, mediasi, dan penerapan sanksi. Intervensi militer hanya mungkin digunakan sebagai upaya terakhir untuk menghentikan kekejaman massal yang dilakukan secara multilateral dengan persetujuan Dewan Keamanan.

Bab VI dan Bab VII Piagam PBB menjelaskan tentang penyelesaian pertikaian secara damai dan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menjaga perdamaian internasional, dapat dilakukan dengan upaya sebagai berikut :

  • Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum bisa menunjuk misi pencari fakta ( fact-finding mission ) untuk menyelidiki dan melaporkan dugaan pelanggaran hukum internasional. Dewan HAM PBB juga dapat mengirim misi pencari fakta serta menunjuk perwakilan khusus atau pelapor khusus untuk memberikan saran mengenai situasi tertentu;

  • Misi-misi tersebut dapat sekaligus memberikan peringatan dini tentang krisis kemanusiaan yang terjadi dan bernegosiasi dengan para pemimpin negara di mana krisis tersebut berlangsung untuk mencari cara penyelesaian;

  • Pemutusan hubungan ekonomi, komunikasi, serta hubungan diplomatik apabila dalam perundingan tersebut tidak ditemukan penyelesaiannya; dan

  • Pertimbangan PBB untuk menggunakan kekuatan militer guna menghadapi kekerasan massal yang mendesak dan bersifat aktual. Hal penting yang harus diingat bahwa penggunaan kekuatan militer ini harus merupakan upaya terakhir bila suatu negara dipandang gagal melindungi warganya dan bila cara-cara damai yang ditempuh juga mengalami kegagalan.

Intervensi kemanusiaan sering disorot atas legitimasinya. Oleh karena itu, sebagian pakar hukum internasional berpendapat bahwa intervensi kemanusiaan tetap bisa dilakukan selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • Intervensi kemanusiaan harus di dasarkan atas alasan dan tujuan yang jelas, yaitu untuk melindungi hak asasi manusia;

  • Harus dilakukan dengan memperhatikan syarat proporsionalitas, dan tidak eksesif; dan

  • Harus di dasarkan aturan yang jelas untuk menghindari terjadinya eksploitasi oleh satu negara terhadap wilayah yang didudukinya.

Ketentuan yang terdapat dalam Bab VII Piagam PBB merupakan legitimasi dari intervensi kolektif terhadap suatu wilayah negara oleh PBB. Bahkan dengan tegas Sekjen PBB sebelumnya, Koffi Annan mengatakan bahwa :

Our job is to intervene: to prevent conflict where we can, to put a stop to it when it has broken out, or when neither of those things is possible – at least to contain it and prevent it from spreading ”.

Salah satu bentuk intervensi dalam konflik bersenjata yang terjadi adalah konflik bersenjata yang terjadi di Rwanda dan Bosnia Herzegovina (bekas negara Yugoslavia). Bosnia adalah pecahan dari negara federal Yugoslavia. Negara ini mempunyai catatan konflik berkepanjangan.

Sejak Serbia dipimpin oleh Slobodan Milosevic terjadi kerusuhan etnis, kerusuhan etnis memuncak ketika disahkannya amandemen undang- undang dasar Republik Serbia, yang menyatakan bahwa otonomi Kosovo berada di bawah pengawasan pemerintah Republik Serbia (Maret 1989). Dengan adanya keinginan etnis Albania untuk merdeka dan menjadikan Republik Kosovo sebagai negara yang berdaulat terpisah dari Serbia maka menimbulkan aksi agresif Slobodan Milosevic menumpas gerilyawan dan mengusir etnik Albania dari Kosovo, Milosevic menggelar KLA (Tentara Pembebasan Kosovo) untuk memberantas kelompok separatis yang mengupayakan kemerdekaan Kosovo. Sedangkan Serbia berpendapat Kosovo secara historis berada dalam kawasan dan sebagai bagian Serbia, dan bagi mereka UCK adalah kelompok teroris yang harus dihancurkan. Dengan adanya aksi brutal tersebut, mengakibatkan banyak korban berjatuhan dari warga sipil Albania.

Di samping mengacu kepada sejumlah landasan moral, intervensi yang dilakukan oleh PBB dalam konflik Yugoslavia dibentuk berdasarkan resolusi PBB. Seperti salah satu bentuk dari resolusi tersebut ialah dibentuk Mahkamah Kejahatan Internasional, International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 827 pada tahun 1993 dan International Criminal Tribunal for Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No. 955 pada tahun 1994. PBB juga memberikan andil dengan mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1244 pada 10 Juni 1999 menerangkan bahwa Kosovo ditempatkan di bawah administrasi PBB dengan tugas membentuk pemerintahan sementara untuk Kosovo, agar rakyat Kosovo mendapat otonomi luas dan pemerintahan sendiri.

Pada kasus di Rwanda yang terjadi adalah konflik etnis yang antara suku Hutu dan Tutsi yang memakan korban jiwa dari pihak sipil. Sejak meletusnya perang antara pemerintah dengan pemberontak Front Patriotik Rwanda (FPR) di bulan Oktober 1990, telah dilakukan sejumlah upaya perdamaian dengan melibatkan sejumlah negara dikawasan itu.

Kesepakatan damai tersebut menjelaskan bahwa PBB akan memainkan peranan besar melalui pasukan internasional yang netral ( The Neutral National Forces -NIF). Pasukan ini bertugas mengawasi dan membantu implementasi perjanjian tersebut selama periode transisi yang akan berlangsung dalam kurun waktu 22 bulan.

Berdasarkan rekomendasi dari misi tersebut, intervensi pasukan PBB akan dilakukan dalam empat tahapan. Tahap pertama, pengiriman tim yang terdiri dari 25 personil militer, 18 personil sipil, dan 3 polisi sipil setelah mendapat otorisasi formal dari Dewan Keamanan PBB. Misi ini akan berlangsung 90 hari dengan tugas mengamankan Kigali dan menciptakan kondisi yang diperlukan bagi pembentukan pemerintahan transisi. Tahap kedua, akan memakan waktu 90 hari dengan tugas utama demobilisasi dan integrasi angkatan bersenjata dan polisi nasional ( Gendamerie ). Pada tahap ketiga, memakan waktu sembilan bulan, integrasi angkatan bersenjata Rwanda akan dituntaskan dan kekuatannya dikurangi menjadi 1.240 personil. Pada tahap terakhir yang akan berlangsung selama empat bulan, misi PBB akan dikurangi menjadi berkekuatan 930 personil militer dengan tugas membantu mengamankan iklim yang diperlukan dalam tahapan akhir sampai dengan dilaksanakannya pemilu.

Berdasarkan asas kemanusiaan bahwa manusia memiliki hak yang sama untuk hidup yang merupakan landasan moral untuk dilaksanakannya intervensi, PBB juga melaksanakan intervensi dalam konflik di Rwanda ini juga dapat dibenarkan dengan mengacu pada Bab VI, Bab VII, Pasal 55 dari Piagam PBB dan adanya sejumlah resolusi dan mandat Dewan Keamanan PBB. Selama kurun waktu antara Oktober 1993 sampai dengan Juli 1994, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan sejumlah resolusi dan mandat terkait dengan konflik di negara tersebut.

Berdasarkan Resolusi Nomor 812 PBB akan mendukung upaya untuk menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah Rwanda khususnya untuk mencegah terjadinya konflik kembali. Kemudian PBB membentuk the United Nations Observer Mission Uganda- Rwanda (UNOMOR) melalui Resolusi Nomor 846 untuk memeriksa keadaan disana selama enam bulan. Setelah itu melalui Resolusi 87220 (1993), Dewan Keamanan PBB secara bulat membentuk UNAMIR, pasukan peace keeping berkekuatan 2.500 personil untuk memelihara perdamaian di Rwanda.

Pasukan penjaga perdamaian di Rwanda tersebut setidaknya dapat membantu memulihkan keadaan dan mengurangi jatuhnya korban jiwa kembali. Karena tujuan dari diadakannya intervensi kemanusiaan adalah meminimalisir kekerasan yang terjadi dan mencoba membuat proses perdamaian dan keamanan berlangsung. Apabila kekerasan terus berlangsung, maka jalan satu-satunya adalah meminimalisir korban yang jatuh dengan jalan menyelamatkan pihak yang lemah, biasanya dari kalangan penduduk sipil. Penyerangan terhadap penduduk sipil nonkombatan dapat menyeret pelakunya ke Mahkamah Internasional kejahatan perang untuk diadili.