Apa pengaruh Sepsis terhadap Sistem Hematologi anak?

Sepsis neonatorum adalah sindrom klinik penyakit sistemik disertai bakteremia pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Sepsis neonatorum dapat dibedakan menjadi sepsis awitan dini (SAD) yang timbul dalam 72 jam pertama kehidupan dan sepsis awitan lambat (SAL) yang timbul setelah umur 72 jam.

Apa pengaruh Sepsis terhadap Sistem Hematologi ?

Akibat respon inflamasi terhadap sepsis, maka perubahan pada sistem hematologi dapat terjadi, yaitu terdapatnya perubahan baik morfologi maupun jumlah dari eritrosit, leukosit, maupun trombosit (Warren dan Ward, 2005).

Perubahan sistem hematologi yang terkait dengan sistem skoring hematologi adalah perubahan jumlah leukosit, morfologi leukosit, serta jumlah trombosit.

Perubahan jumlah leukosit

Perubahan jumlah seperti peningkatan jumlah atau justru penurunan jumlah leukosit dapat terjadi pada keadaan infeksi. Jumlah leukosit dapat meningkat sampai puluhan ribu dan menyebabkan terjadinya reaksi leukemoid yaitu bila leukosit lebih dari 50.000/mm3. Peningkatan cepat ini dipacu oleh adanya infeksi yang menyebabkan pelepasan leukosit khususnya neutrofil dari sumsum tulang dan juga karena kontrol granulosit-macrophage colony stimulating factor (GCSF) yang dikeluarkan oleh limfosit dan monosit pada saat terjadi infeksi (Warren dan Ward, 2005).

Jumlah leukosit akan meningkat melebihi nilai normal terutama sel neutrofil pada infeksi bakteri. Peningkatan jumlah neutrofil ini disebut juga sebagai neutrofilia. Neutrofilia juga dapat disebabkan oleh inflammatory bowel disease, rheumatoid arthritis, vaskulitis (Kawasaki disease), keganasan, pemberian kortikosteroid, dan splenektomi (Warren dan Ward, 2005).

Pelepasan sel neutrofil muda ke dalam sirkulasi juga terjadi pada keadaan infeksi, sehingga terjadi peningkatan jumlah neutrofil muda dalam sirkulasi yang menyebabkan rasio sel muda dan total neutrofil meningkat, bahkan dapat terjadi peningkatan sel muda neutrofil secara absolut. Peningkatan jumlah sel muda ini adalah juga akibat adanya penghentian sementara pematangan sel neutrofil oleh mediator TNF sehingga sel muda neutrofil menjadi banyak (Warren dan Ward, 2005).

Penurunan jumlah leukosit khususnya sel polymorphonuclear (PMN) ini disebabkan karena peningkatan destruksi sel PMN setelah fagositosis bakteri serta adanya agregasi PMN akibat pengaruh komplemen yang menyebabkan peredarannya dalam sirkulasi berkurang. Cadangan neutrofil neonatus dalam sumsum tulang lebih kecil dibandingkan dewasa sehingga pada keadaan sepsis akan cepat habis. Sel stem pada neonatus juga tidak mampu meningkatkan proliferasinya untuk memenuhi kebutuhan neutrofil di sirkulasi akibat dari sepsis (Warren dan Ward, 2005). Penurunan jumlah neutrofil dapat disebabkan oleh stres neonatal ketika proses persalinan, asfiksia, neutropenia isoimun, neutropenia kongenital, pemberian obat antitiroid, atau karena inborn error of metabolism (Mally dkk., 2014).

Perubahan morfologi leukosit

Perubahan bentuk dari leukosit juga terjadi khususnya sel neutrofil seperti adanya peningkatan granulasi toksik atau hipergranulasi, adanya Dohle bodies, dan vakuolisasi. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi mikroorganisme dan bertugas untuk melakukan fagosit partikel kecil dengan aktif. Granula-granula spesifik banyak didapatkan dalam sitoplasma neutrofil yang mengandung enzim-enzim pencerna. Salah satu macam granula yang terkandung dalam neutrofil adalah granula azurophilic yang mengandung enzim lisozom dan peroksidase.

Adanya asam amino D oksidase dalam granula azurophilic penting dalam pencernaan dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Enzim peroksidase juga dibentuk selama proses fagositosis yang dilakukan oleh neutrofil. Mieloperoksidase yang terdapat dalam neutrofil akan berikatan dengan peroksida dan halida yang kemudian bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya. Peningkatan granulasi dalam sitoplasma neutrofil yang dinamakan granulasi toksik didapatkan pada infeksi bakteri. Granulasi toksik memberikan gambaran butiran biru kehitaman yang tampak dalam sitoplasma neutrofil pada pemeriksaan blood smear (Hutchison dan Abraham, 2007).

Neutrofil yang mengandung granulasi toksik juga dapat berisi bakteri yang telah difagositosis. Neutrofil yang telah teraktivasi oleh infeksi bakteri ini dapat memberikan gambaran vakuola atau mengambil warna yang lebih basa dari normal. Vakuola yang terbentuk ini dikenal sebagai vakuola fagositosis karena mengandung bakteri yang telah difagositosis. Bentukan granulasi toksik dan vakuola ini juga dapat dijumpai pada luka bakar dan keracunan (Hutchison dan Abraham, 2007).

Neutrofil juga dapat mengandung massa biru pucat yang besar dan bulat di bagian tepi sitoplasmanya dan disebut Dohle bodies. Massa ini dapat dijumpai pada infeksi yang berat, luka bakar, keganasan, atau lisis sel yang ekstensif. Bakteri yang telah difagositosis akan dicerna kemudian diproses dalam retikulum endoplasma kasar pada infeksi. Dohle bodies merupakan kumpulan dari retikulum endoplama kasar yang diaktifkan oleh adanya infeksi (Sacher dkk., 2000).

Perubahan jumlah trombosit

Infeksi juga dapat menyebabkan terjadinya trombositopenia, yaitu jumlah trombosit kurang dari nilai normal. Hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi terlihat pada keadaan sepsis. Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi tissue factor (TF) yang secara langsung mengaktifkan jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik. Hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut saling berkaitan dan sama, yaitu protrombin diubah menjadi trombin dan fibrinogen diubah menjadi fibrin. Akibat konsumsi berlebihan faktor-faktor koagulasi ini maka sepsis sering menyebabkan komplikasi yang disebut Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).

Trombosit akhirnya dipakai secara berlebihan dalam proses DIC tersebut sehingga menyebabkan jumlahnya berkurang dalam sirkulasi. Trombositopenia juga terjadi akibat proses destruksi yang berlebihan, serta penekanan pada sumsum tulang sehingga terjadi kegagalan produksi trombosit. Trombositopenia ini sering merupakan petanda awal dari sepsis (Warren dan Ward, 2005).

Keadaan lain yang menyebabkan trombositopenia adalah anemia aplastik, mielofibrosis (penggantian unsur-unsur sumsum tulang dengan jaringan fibrosa), leukemia akut, dan karsinoma metastatik lain yang mengganti unsur-unsur sumsum tulang normal. Keadaan defisiensi vitamin B12 dan asam folat akan mempengaruhi terbentuknya megakariosit besar yang hiperlobulus. Agen-agen kemoterapi terutama bersifat toksik terhadap sumsum tulang akan menekan produksi trombosit. Segala kondisi yang menyebabkan splenomegali (lien yang membesar) dapat disertai dengan trombositopenia, yaitu meliputi keadaan seperti sirosis hati, limfoma, dan penyakit-penyakit mieloproliferatif.

Trombosit dapat juga dihancurkan oleh produksi antibodi yang diinduksi oleh obat, seperti yang ditemukan pada quinidin dan emas atau oleh autoantibodi (antibodi yang bekerja melawan jaringan sendiri). Antibodi ini ditemukan pada penyakit-penyakit seperti lupus eritematosus, leukemia limfositik kronis, dan purpura trombositopenia idiopatik (Warren dan Ward, 2005).