Apa Makna Yang Terkandung Didalam Surat At-Taubah ayat 60?

Surat at-Taubah

”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang- orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Surat at-Taubah ayat 60

Apa makna yang terkandung didalam Surat at-Taubah ayat 60 ?

Ayat ini merupakan dasar pokok menyangkut delapan asnaf sebagai mustahiq zakat, dilihat dari redaksi ayat ini yang berkaitan dengan ayat sebelumnya dimana orang-orang munafik menyebutkan keluhan dan celaan terhadap Rasulullah Saw. yang berkaitan dengan pembagian zakat. Allah Swt. menjelaskan bahwa Allah-lah yang mengatur pembagian zakat tersebut dan tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada selain-Nya. Allah membaginya hanya untuk mereka yang disebutkan dalam ayat di atas. Karena itu tidak boleh dibagikan kecuali kepada yang ditetapkan-Nya.

Menurut Ibn Katsir, yang termasuk fi sabilillah , diantaranya adalah orang-orang yang dalam peperangan, sedangkan mereka tidak digaji oleh lembaga terkait (pemerintah). Hal senada juga diungkapkan oleh Jalaluddin as-Suyuti. Menurut Imam Ahmad, al-Hasan dan Ishaq, bahwa haji termasuk fi sabilillah. Ibnu Katsir dalam ayat ini memaknai fi sabilillah tergolong mudayyiqin (Menyempitkan makna).

Ahmad Mustafa Al-Maraghi berpendapat bahwa jalan Allah adalah jalan menuju keridhaan dan pahala-Nya. Yang dimaksud ialah orang-orang yang berperang dan mempersiapkan dirinya untuk berjihad dan menjadikan haji termasuk fi sabilillah berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad. Termasuk dalam hal ini ialah seluruh kebaikan untuk kemaslahatan umum kaum muslim, yang karenanya luruslah Agama dan Negara dan bukan urusan individual. Seperti mengafani orang mati, membangun jembatan, membangun rumah sakit, membangun benteng, memakmurkan masjid, mengamankan perjalanan ibadah haji serta sarana ibadah haji lainnya dan tidak termasuk di dalamnya untuk kepentingan haji secara individu, karena ibadah haji diwajibkan hanya atas orang mampu saja. Dilihat dari penjelasan al-Maraghi pada ayat ini, beliau cenderung muwassain (meluaskan makna).

Sedangkan Buya Hamka memaknai fi sabilillah juga bersifat muwassain atau umum. Beliau menjelaskan bahwa tidaklah boleh hanya dibatasi satu macam saja. Termasuk di dalamnya segala usaha-usaha yang baik seperti memberi kafan pada jenazah orang miskin, membuat jembatan penghubung dua pinggir sungai, membangun masjid, rumah sakit, membelanjai para mubaligh Islam untuk menyebarkan Islam kepada masyarakat dan membiayai pemuda Islam yang berbakat untuk menambah ilmu pengetahuan dan lain-lain.

Pendapat ini dikuatkan oleh Sayid Shabiq Khan Bahadur di dalam kitabnya “ Fathul Bayan”, dan di dalam Kitab Fiqihnya beliau yang bernama ” Ar-Raudhatun Nadiyah”, Beliau menyatakan pendapat bahwa Ulama-ulama yang telah mengorbankan seluruh waktunya untuk memperdalam pengetahuan agama dan menyebarkannya kepada orang banyak, maka ia berhak mendapat bagian zakat dari sabilillah ; biarpun dia kaya apalagi kalau dia miskin.

Begitu juga Muhammad Rasyid Ridha yang mengembangkan maksud fi sabilillah itu untuk kemaslahatan umum.

M. Quraish Shihab memberikan pendapat bahwa mayoritas ulama mengartikan fi sabilillah adalah para pejuang yang terlibat dalam peperangan baik keterlibatannya langsung maupun tidak, dan termasuk pula yang berhubungan dengan pertahanan negara, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Dan banyak juga ulama kontemporer memasukkan dalam kelompok ini semua kegiatan sosial, baik yang dikelola oleh perorangan maupun organisasi-organisasi Islam, seperti membangun lembaga pendidikan, rumah sakit dan lain-lain, dengan alasan bahwa kata fi sabilillah dari segi kebahasaan mencakup segala aktivitas yang mengantar menuju jalan dan keridhaan Allah. “ Ini adalah pintu yang sangat luas mencakup semua kemaslahatan umum.” Demikian tulisan Sayyid Qutub dalam tafsirnya.

Berkaitan dengan pembahasan ini, kata fi sabilillah pada surat at-Taubah ayat 60, di kalangan sebagian ulama memandang sebagai lafal yang ‘ aam (umum).

Referensi :

  • Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Manar, (Beirut: Dar al- Ma’rifah, t.th), Jilid 10.
  • M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah , (Jakarta: Lentera Hati, 2002)

Mayoritas ulama tafsir berpendapat bahwa Ayat-ayat tentang fi sabilillah menjelaskan bahwa fi sabilillah adalah jihad (perang di jalan Allah) dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat di kalangan mufassirin mengenai definisi " fi sabilillah " yang terdapat pada surat at-Taubah ayat 60 yaitu ayat yang membahas tentang asnaf penerima zakat.:

”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang- orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Ada Ulama Tafsir yang mendefinisikan dalam arti sempit yaitu hanya "jihad" (perang melawan orang kafir) dan ada juga Ulama Tafsir yang mendefinisikan dalam arti luas yaitu "segala bentuk kebaikan di jalan Allah" (semua kegiatan sosial).

Penyempitan makna fi sabilillah pada surat at-Taubah ayat 60 di atas, Di diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya yakni Tafsir al-Qur’an al- ‘Azhim,26 dan juga mufassir lainya seperti Jalaliddin as-Suyuti,27

Selain itu, terdapat juga para mufassir yang telah meluaskan arti fi sabilillah pada surat at-Taubah ayat 60 ini seperti : Mustafa al-Maraghi, Buya Hamka, dan ulama tafsir lainya seperti, Ar Razi, Rasyid Ridha30.

Setelah mengkaji perbedaan-perbedaan pendapat mufassir pada surat at-Taubah ayat 60 ini dan juga merujuk pengertian kata fi sabilillah yang tertera dalam ayat-ayat Al-Qur’an, maka penulis cenderung berpendapat yang dianggap kuat bahwa makna umum dari fi sabilillah itu tidak layak dimaksud dalam ayat ini, karena dengan keumumannya ini meluas pada aspek-aspek yang banyak sekali, tidak terbatas sasarannya dan apalagi terhadap orang-orangnya. Makna umum ini meniadakan pengkhususan fi sabilillah sebagai bagian dari kelompok penerima zakat yang delapan.

Dapat juga diperhatikan alasan para fuqaha yang konkret serta ilmiah dalam menentukan maksud fi sabilillah pada surat at-Taubah ayat 60 yakni sebagai berikut :

Takhsis al-‘am ; ayat zakat menunjukkan lafaz yang umum yaitu fi sabilillah yang berfungsi mengumumkan makna tersebut yaitu merangkum semua kebajikan untuk jalan Allah. Tetapi ayat yang bersifat umum ini telah ditakhsiskan oleh hadis yang menerangkan makna fi sabilllah, seperti sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud sebagai berikut:

“Diceritakan oleh Muhammad bin 'Au al-Tha-iy, dari al-Firyabiy, Sufyan menceritakan dari Imran al-barig; dari At-Thiyah, dari Abu Saida ia berkata : berkata Rasul Saw.: " Shadaqah itu tidak halal bagi orang kaya, kecuali bagian fi Sabilillah, atau Ibnu sabil, atau tetangga yang fakir, dan jika diberi, ia akan memberikan hadiah atau memanggil kaumnya; kepadamu (H.R. Abu Daud).

Rasulullah mentakhsiskan keumuman makna kata fi sabilillah dalam ayat zakat.

Apabila berlawanan maksud dalam al-Qur’an dan Sunnah antara definisi dari segi bahasa dan syarak maka hendaklah diutamakan definisi syarak dahulu. Ini bermakna maksud fi sabilillah dari segi syaraknya adalah jihad atau perang pada jalan Allah, karena pembahasan zakat merupakan pembahasan syarak bukan pembahasan bahasa.

Perkataan fi sabilillah jika diperluas maknanya menyebabkan berlakunya fenomena pengulangan terhadap ayat Allah tanpa faedah sedangkan Allah Maha Suci daripada sifat yang sedemikian. Sekiranya kehendak fi sabilillah merangkum semua amal kebaikan maka tidak perlu lagi Allah menyebutkan asnaf yang tujuh selain fi sabilillah. Ini bermakna penetapan kedelapan asnaf tersebut mempunyai tujuan dan hikmah yaitu mengkhususkan fi sabilillah untuk tujuan jihad atau perang fi sabilillah saja. Ini dikuatkan lagi dengan penggunaan kalimat إﻧﻤﺎ yang bermaksud hanya, yaitu delapan golongan tersebut sajalah yang berhak menerima zakat. Karena itu, pastilah yang dimaksud di sini adalah makna yang khusus.

Melihat perkembangan sosial masyarakat, maka ulama zaman sekarang yakni seperti Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa jihad atau perang fi sabilillah yang dimaksud di sini perlu dikembangkan sesuai dengan zaman sekarang, hal ini sesuai penjelaskan oleh mufassirin pada surat al-Anfal ayat 60. Akan tetapi pengembangan jihad ini harus senantiasa mengacu pada tujuan syara’ dan dilandasi roh jihad yaitu untuk menegakkan Agama Allah Swt. Sehingga dengan jalan itu pendapat Mufassir yang mempersempit makna fi sabilillah tetap dapat dipertahankan.

Dr. Yusuf Qardhawi istiqomah dalam mengemukakan pendapatnya, meskipun banyak di antara ulama yang berpendapat bahwa makna sabilillah adalah semua bentuk sarana kebaikan yang mengantarkan kepada keridhaan Allah. Tindakan Dr. Yusuf al-Qardhawi ini juga dipandang sebagai tindakan jalan tengah, tidak terlalu sempit menafsirkan kalimat fi sabilillah hanya untuk para tentara perang dan tidak pula terlalu memperluas maknanya seperti untuk semua jenis kebaikan sebagai pedekatan diri kepada Allah.33

Memperluas arti jihad ini tidak hanya terbatas pada peperangan dan pertempuran dengan senjata saja, namun termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan mempertahankan aqidah Islam, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para mufassir dalam surat al-Hujarat ayat 15. Perang yang dilakukan termasuk jihad fi sabilillah apabila berkaitan dengan pembelaan Islam dan dengan tujuan Islam.

Maka dari itu sesungguhnya jihad dalam Islam tidak terbatas pada perang dan pertempuran dengan senjata saja, akan tetapi kadang kala bisa dilakukan dengan tulisan dan ucapan, dan kadangkala dilakukan dalam bidang pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi, politik sebagaimana halnya dilakukan dengan kekuatan bala tentara. Karena orang-orang kafir sekarang tidak lagi memerangi umat muslim secara fisik, namun sekarang mereka memerangi kita menggunakan intelektual. Jenis perang atau jihad ini juga membutuhkan bantuan dan dorongan materi.

Oleh karena itu dapat dipahami bahwa kewajiban jihad adalah kewajiban sarana yakni cara dan jalan, bukan tujuan. Sedangkan tujuan jihad adalah menegakkan Islam dan mencapai derajat tertinggi. Sebagaimana ayat-ayat fi sabilillah selalu diiringi dengan kata infak, hijrah, perang, jihad itu sendiri dan lain-lain. Seandainya jalan yang ditempuh untuk menyampaikan hidayah Allah Swt. bisa sampai dengan dalil dan tanpa kekerasan serta peperangan, maka hal itu lebih utama.

Dapat kita ketahui bahwa perang-perang yang dilakukan oleh Rasulullah merupakan jalan yang terakhir yang ditempuh untuk menyampaikan Agama Allah Swt. dan disyariatkannya berperang atau berjihad dengan fisik di medan tempur sebab tidak adanya jalan lain lagi menuju kemenangan agama dan karena kezhaliman kaum musyrikin terhadap kaum muslimin. Karena dikatakan oleh Rasulullah Saw. bahwa sebenarnya perang itu buruk, dan tidak diperkenankan oleh akal yang sehat, kecuali untuk melenyapkan keburukan yang lebih berbahaya, karena itu nilai segala perkara ditentukan dengan maksud dan tujuannya.

Di waktu damai seperti sekarang ini, jihad itu artinya membangun, menegakkan, dan menyusun. Maka di waktu damai inilah sebenarnya jihad fi sabilillah yang besar dan berbahaya apabila kalah, yang juga memakan waktu dan tenaga yang harus di perhitungkan seperti halnya berperng di medan perang.

Di zaman damai ini bila kita lengah, kebudayaan asing dapat dengan mudah masuk ke tanah air dengan perantaraan buku-buku, misi-misi kebudayaan, film-film, dan lain sebagainya. Akhirnya walau pada lahirnya umat Islim tidak di jajah, tapi tanpa disadari kita telah dijajah oleh kebudayaan mereka. Oleh karena itu jihad di jalan Allah di masa damai tidak boleh berhenti, kita harus tetap berjihad sesuai dengan kondisi zaman sekarang seperti menuntut ilmu untuk mempertahankan soal-soal agama dan mendalaminya serta memelihara al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman hidup. Hal ini termasuk jihad fi sabilillah seperti yang dilakukan oleh sekelompok Ahlush - Suffah pada masa Rasulullah Saw.

Di sisi lain, pada situasi dan kondisi yang berbeda, ketika pada suatu negara di mana pendidikan merupakan masalah utama, dan yayasan pendidikan telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun kaum sekularis maka jihad yang paling utama adalah mendirikan madrasah berdasarkan ajaran Islam yang murni. Ini di- qiyas- kan kepada berperang melawan musuh-musuh Islam dengan mengangkat senjata, dengan illat yang sama yaitu membela agama Allah atau menegakkan kalimat Allah. Jadi dapat disimpulkan bahwa kewajiban mendirikan madrasah berdasarkan ajaran Islam yang murni seperti contoh di atas sama hukumnya dengan kewajiban berperang mengangkat senjata melawan musuh-musuh Islam.

Begitu juga mendirikan percetakan surat kabar Islam, untuk menandingi berita-berita dari media-media yang merusak dan menyesatkan, membela Islam dari kebohongan-kebohongan musuh-musuh Islam yang menjelek- jelekkan Islam dengan media yang mereka miliki, serta untuk menjelaskan Islam secara benar. Kemudian Menolong para da’i yang istiqamah menyeru pada ajaran Islam yang benar.

Semua hal-hal yang telah disebutkan di atas juga termasuk fi sabilillah apabila dilakukan dalam rangka jihad meninggikan kalimat Allah. dan hal ini tidak dapat dilaksanakan hanya dengan harta saja atau diri saja, tapi harus dengan seluruh potensi yang ada, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, yaitu:

Berjuang dengan harta benda dan jiwamu pada jalan Allah

Kata jihad yang bersifat umum mencakup jenis jihad yang diterangkan oleh al-Qur’an dan hadis. Didefinisikan dengan mengerahkan usaha dan kemampuan di jalan Allah dengan nyawa, harta, pikiran, lisan, pasukan dan lainnya. Jihad adalah makna yang berkaitan dengan agama sedangkan perang ( qital) berkaitan dengan dunia yang berarti berkaitan dengan pertarungan militer menggunakan berbagai jenis senjata. Akan tetapi, pada zaman sekarang dikenal dengan perang-perang yang lain, seperti perang kebudayaan, perang media massa, perang ekonomi dan lain-lain yang disebut dengan perang urat saraf38 atau perang dingin. Perang-perang semacam ini bertujuan melumpuhkan semangat dan menghancurkan dari dalam, maka sudah seharusnya umat muslim melakukan hal yang sama untuk melawan perang musuh-musuh Islam.

Menurut Dr. Yusuf Qardhawi apabila umat muslim hanya terfokus memaknai jihad fi sabilillah hanya dengan perang-perang secara fisik menggunakan pedang seperti pada masa Rasulullah Saw. maka hal tersebut tidak cocok lagi pada zaman sekarang.

Maka dari itu menggunakan bagian ini untuk jihad dalam bidang kebudayaan, pendidikan, dan media massa lebih utama di zaman sekarang ini, dengan syarat hendaknya jihad fi sabilillah itu jihad yang benar, sesuai ajaran Islam yang benar, tidak dicampuri unsur-unsur kesukuan dan kebangsaan, dan tidak pula Islamnya dicampuri dengan faham Barat atau Timur atau untuk membela mazhab, sistem, kedudukan atau untuk membela pribadi.

“Allahu ‘alam bishawab”

Referensi : Taufiq Ali Wahbah, Jihad dalam Islam, (Jakarta: Media Dakwa, 1985). Ahli Bahasa Abu Ridha, dari kitab asli judul Jihad fi Islam.