Apa Makna Yang Terkandung di Dalam Surat AT Tin?

Surah At-Tin adalah surah ke-95 dalam al-Qur’an. Surah ini terdiri atas 8 ayat dan termasuk golongan surah Makkiyah. Surah ini diturunkan setelah surah Al-Buruj. Nama At-Tin diambil dari kata At-Tin yang terdapat pada ayat pertama surah ini yang artinya buah Tin.

Isi kandungan QS. At-Tiin adalah sebagai berikut :

  1. Buah tin dan zaitun merupakan kinayah (ungkapan) tentang Damaskus (tempat diutusnya Nabi Nuh as) dan Baitul Maqdis (tempat diutusnya Nabi Isa as).

  2. Bukit Sinai yaitu sebuah gunung (bukit) tempat Allah berbicara langsung kepada Nabi Musa as.

  3. Yang dimaksud dengan negeri yang aman adalah Kota Mekkah. Allah bersumpah dengan tiga tempat tersebut sebagai isyarat perintah untuk mengetahui dan mempercayai turunnya wahyu Allah kepada para Ulul ‘Azmi dari kalangan Rasul

  4. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling baik diantara makhluk lainnya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Ia dapat berdiri tegak, berbicara, berilmu, mengatur lagi bijak. Hal itu disebabkan manusia dibekali dengan akal pikiran dan hati yang dapat berfungsi dengan baik. Sehingga memungkinkan bagi manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.

  5. Manusia akan berubah menjadi makhluk yang hina dan rendah derajatnya di hadapan Allah apabila ia tidak bersyukur, selalu bermaksiat, dan tidak mentaati perintah Allah SWT. Tempat kembalinya adalah neraka yang menyengsarakan.

  6. Manusia yang akan selamat dari kehinaan adalah orang yang beriman dengan sungguh-sungguh dan membuktikannya dengan ibadah dan amal shaleh. Mereka akan mendapatkanpahala yang tidak ada putus-putusnya, yaitu balasan surga dengan segala kenikmatannya dan kekal di dalamnya.

  7. Melalui Rasulullah sebagai pembawa risalah dan uswatun hasanah, kita menjadi tahu tentang ajaran Islam. Kita tidak boleh mendustakan ajaran yang dibawa oleh beliau, karena mendustakan ajarannya berarti sama saja mendustakan Allah dan balasannya adalah neraka.

  8. Allah adalah hakim yang paling adil, manusia akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang telah diusahakannya salama hidup di dunia. Jika baik amalnya maka akan dibalas dengan kebaikan pula yaitu surga dan ridho-Nya, dan jika buruk amalnya maka akan mendapat balasan yang buruk pula yaitu neraka dan murka-Nya

Referensi :

Tema utama surah At Tin adalah uaraian tentang manusia dari aspek kesempurnaan penciptaan dan jati dirinya serta sebab-sebab kejatuhannya.

Mengenai surat Al-Tin, diriwayatkan dari al-Barra bin Azib, “Dalam suatu perjalanan, Rasulullah saw. pernah membaca sebuah surah dalam salah satu rakaat shalatnya, wa al-tīni wa al-zaitūn. Aku tidak pernah mendengar seseorang yang suara dan bacaannya lebih bagus dan mantap daripada beliau.” Dikeluarkan oleh al-Jamaah.

Sedangkan, asbab al-nuzūl ayat ke 5 adalah, Ibnu Abbas meriwayatkan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan beberapa orang yang dipanjangakan usianya hingga menjadi pikun pada zaman Rasulullah. (HR Ibnu Jarir)

Tujuan utamanya adalah mengingatkan manusia bahwa kesempurnaan penciptaan mengandung konsekuensi kewajiban menggunakan semua potensi yang dimiliki sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt. Sang Pencipta. Kejatuhan manusia dari kesempurnaan menuju lembah kehinaan adalah akibat pengabaiannya terhadap potensi-potensi ruhaniahnya.

Kandungan Surat Al-Tīn dan Munāsabah Ayat

Surat Sebelumnya (Alam Nasyrah), mengandung uraian tentang Rasulullah saw., yang telah dianugerahi sekian banyak keistimewaan oleh Allah Swt., antara lain kelapangan dada, keringanan beban, keharuman nama, dan lain-lain. Keistimewaan-keistimewaan tersebut menjadikan beliau manusia sempurna (insān kamīl). Dalam surat Al-Tin ini, diuraikan tentang jenis manusia dengan potensi baik-buruknya, dan bahwa bila mereka ingin mengembangkan potensi baiknya, maka wajar bila mereka menjadikan Nabi Muhammad saw, yang merupakan insan kamil (manusia sempurna) itu, sebagai suri tauladan.

Surah ini dimulai dengan sumpah Allah Swt., menyangkut empat hal:

  • Al-Tin, yakni pohon/buah Tin atau tempat tumbuhnya atau tempat seorang nabi menerima wahyu ilahi.

  • Al-Zaitun, yakni pohon/buah Zaitun, atau tempat tumbuhnya, atau tempat Nabi Isa as. memeperoleh wahyu.

  • Bukit Sinai sebagai tempat Nabi Musa as. memperoleh wahyu.

  • Kota Mekkah yang dilukiskan sebagai tempat yang aman; tempat Nabi Muhammad saw., pertama kali menerima wahyu.

Demi keempat hal di atas, Allah Swt., menegaskan bahwa: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

Jadi, kandungan yang terdapat pada surat Al-Tin ayat 1-4 yaitu:

  • Dengan bersumpah meneyebut tempat-tempat memancarnya cahaya Tuhan yang benderang, ayat-ayat di atas seakan-akan menyampaikan pesan bahwa manusia yang diciptakan Allah Swt., dalam bentuk yang sebaik-baiknya akan bertahan dalam keadaan seperti itu, selama mereka mengikuti petunjuk- petunjuk yang disampaikan kepada para nabi tersebut di tempat-tempat suci itu.

  • Manusia diciptakan dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya untuk melaksanakan fungsi kekhalifahan, yakni beribadah kepada-Nya dengan membangun dunia ini sesuai kehendak Allah Swt.

    Firman-Nya bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya tidak harus dipahami bahwa manusia adalah semulia-mulia makhluk Allah Swt. Ini bukan saja karena di tempat lain manusia hanya dilukiskan sebagai diberi keutamaan oleh Allah Swt., atas banyak makhluk-makhluk yang Diciptakan-Nya (QS. Al-Isra‟: 70), tetapi karena Allah Swt. menegaskan juga bahwa Dia yang Membuat segala sesuatu yang Dia Ciptakan sebaik-baiknya dan yang Memulai penciptaan manusia dari tanah (QS. Al-Sajadah: 7). Atas dasar itu, penciptaan manusia dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya dalam arti yang sebaik-baiknya untuk berfungsi sesuai fungsi masing-masing.

  • Ada peranan orang tua dalam kelahiran anak dan dalam kesempurnaan penciptaannya. Itu dipahami dari penggunaan kata “Kami” pada ayat 4 di atas. Oleh sebab itu, ibu bapak harus berusaha mengikuti tuntunan yang berkaitan dengan kelahiran pertumbuhan/pengembangan dan pendidikan anak-anaknya.

Selanjutnya, ayat 5 melukiskan bahwa manusia yang telah diciptakan Allah Swt. dalam bentuk yang sebaik-baiknya itu, akaibat satu dan lain hal, dikembalikan Allah Swt. akibat ulah manusia itu sendiri ke (tingkat) yang serendah-rendahnya. Sedangkan ayat 6 mengecualikan dengan menyatakan, tetapi orang-orang yang beriman dengan keimanan yang benar dan membuktikan kebenaran imannya dengan mengerjakan amal-amal shaleh, maka bagi mereka secara khusus pahala agung yang tiada putus-putusnya.

Jika demikian itu halnya, yakni Allah Swt. memberi ganjaran dan balasan, maka ayat 7 dan 8 mengecam para pendurhaka dengan menyatakan: Maka apakah yang menyebabkanmu wahai manusia durhaka mengingkari keniscayaan Hari Pembalasan sesudah jelanya keterangan-keterangan itu ? Bukankah Allah Swt. yang telah mencipta manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan mengutus para nabi untuk menunjukkan manusia jalan lurus serta memberi balasan dan ganjaran yang adil, bukankah Dia sebijaksana-sebijaksana dan seadil-adil Hakam/Hakim Pemutus Perkara dan Pengatur segala sesuatu?

Sedangkan kandungan dari ayat 5-8, antara lain:

Manusia mencapai tingkat yang setinggi-tingginya (ahsan taqwīm) bila dia berhasil memadukan secara seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohaninya, fisik dan jiwa. Bila dia hanya memerhatikan dan melayani kebutuhan- kebutuhan jasmaninya saja, atau melayaninya secara tidak seimbang, maka dia akan kembali atau dikembalikan kepada proses awal kejadiaannya sebelum Ruh Ilahi itu menyentuh fisiknya.

Kejatuhan manusia ke tingkat serendah-rendahnya itu adalahkarena ulahnya sendiri. Keterlibatan Allah Swt. dalam kejadian itu berkaitan dengan sitem yang ditetapkan-Nya, yang manusia lebih memilih jalan yang ditempuhnya.

Allah Swt. adalah sebaik-baik hakam, yakni semua ketetapan-Nya mengandung hikmah termasuk penciptaan manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin Dia mempersamakan antara yang taat dengan yang durhaka. Tidak mungkin pula Dia membiarkan mereka tanpa balasan. Karena itu, sungguh mengherankan jika ada yang meragukan adanya Hari Pembalasan.

Penafsiran Surat Al-Tīn menurut para Ulama’ Tafsir secara Umum

Firman Allah:

Artinya: “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun". (QS Al-Tīn:1)

Dalam Tafsir Al-Maragi dijelaskan bahwa menurut Imam Muhammad Abduh, “Tīn” yang dimaksud adalah pohon tempat Nabi Adam bernaung tatkala di surga. Al-Maragi menjelaskan bahwa Allah bersumpah dengan masa Tin Nabi Adam-bapak manusia. Yaitu zaman ketika Nabi Adam dan istrinya menutupi tubunya dengan pohon Tin. Ini seraya dengan pendapat yang dicantumkan Sayyid Quthb dalam Tafsir Fii Dzilal Al-Qur‟an bahwa tin yang dimaksud mengandung isyarat yang menunjuk kepada pohon Tin tempat nabi Adam dan istrinya (Hawa) pergi mengambil daun-daunnya untuk menutupi kemaluannya di surga yang mereka tempati sebelum turun ke kehidupan dunia.

Pendaat lain mengatakan bahwa pohon Tin merupakan pohon yang menjadi pertanda surutnya banjir pada zaman Nabi Nuh. Ketika itu, Nabi Nuh mengutus seekor burung dan kembali membawa daun pohon dan Zaitun, hal ini menandakan banjir telah mulai surut dari permukaan bumi.

Syaikh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya “Al-Qurthubi” menyatakan bahwa ayat ini membahas tiga masalah:

  • Pertama , Firman Allah Ta’ala “ Demi Tin dan Zaitun .” Ibnu Abbas, Al- Hasan, Mujahid, Ikrimah, Ibrahim, Al-Nakha‟i, Atha bin Abu Rabah, Jabir bin Zaid, Muqatil, dan Al-Kalbi berkata bahwa ”Itu adalah buah Tin yang kalian makan, dan buah zaitun yang kalian peras untuk dijadikan minyak, Allah Ta‟la berfirman:

    Artinya: “Dan pohon kayu keluar dari Thurisina (pohon zaitun), yang menghasilkan minyak, dan pemakan makanan bagi orang-orang yang makan.” (QS. Al-Mu’minun: 20)

    Abu Dzar berkata, “Aku memberi hadiah kepada Nabi Muhammad saw. sekeranjang buah Tin, lalu beliau berkata: “Makanlah!” beliaupun ikut memakannya, kemudian beliau bersabda,

    Jikalau aku mengatakan sesungguhnya buah telah turun dari surga, maka aku katakan inilah ia karena buah di surga tidak berbiji, maka makanlah oleh kalian, karena buah itu mencegah penyakit bawasir, dan berguna bagi naqris (sejenis penyakit tulang).

    Dari Muaz RA bahwasannya ia bersiwak dengan dahan Zaitun, ia berkata, “Aku mendengar Nabi Muhammad saw. bersabda,

    Sebaik-baik siwak adalah Zaitun! Ia berasal dari pohon yang diberkati, mengahrumkan mulut, dan menghilangkan warna kuning pada gigi, ia adalah siwakku dan siwak para nabi sebelumku.

    Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Tin adalah masjidnya Nabi Nuh as. yang beliau bangun di atas bukit Judiy , dan Zaitun adalah masjid Baitul maqdis. Al-Dhahhak berkata,”Tin adalah Masjid Al-Haram, dan Zaitun adalah masjid Al-Aqsa.

    Menurut Ibnu Zaid, Tin adalah Masjid Damaskus, dan Zaitun adalah Baitul Maqdis. Menurut Qatadah, Tin adalah gunung di Damskus yang banyak tumbuh pohon Tin, dan Zaitun adalah gunung di Baitul Maqdis yang banyak tumbuh Zaitun. Muhammad bin Ka‟ab berkata, “Tin adalah masjid Ashabul Kahfi, dan Zaitun adalah Eilia. Ka‟abAl-Ahbar, Qatadah, Ikrimah, dan Ibnu Zaid berkata “Tin adalah Damskus, dan Zaitun adalah Baitul Maqdis,” pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Al-Thabari.

    Di dalam Tafsir Al-Qurthubi juga dijelaskan bahwa dalam Jamī‟ Al Bayān (30/154) di dalamnya tertulis: pendapat yang benar mengenai hal itu menurut kami pendapat yang mengatakan bahwa Tin adalah buah yang dimakan, dan Zaitun adalah buah yang diperas untuk dijadikan minyak, karena itu yang dikenal di kalangan bangsa Arab, dan tidak diketahui ada sebuah gunung yang bernama Tin, dan tidak pula ada gunung yang dinamakan Zaitun, melainkan seseorang hendaknya berkata, Tuhan kita yang Maha Terpuji telah bersumpah dengan Tin dan Zaitun, dan yang dimaksud dalam ayat adalah qasam (sumpah) dengan tanaman Tin dan Zaitun, maka pendapat itu menjadi sebuah kepercayaan, walaupun maksudnya tidak pasti shahih sebagai dalil atas jelas turunnya ayat, dan tidak diambil dari pendapat yang tidak membolehkan pendapat lain, karena di Damaskus terdapat tanaman Tin, begitu pula di Baitul Maqdis terdapat tanaman Zaitun.

    Al Farra berkata,”Aku mendengar seorang adari penduduk Syam berkata, Tin adalah gunung yang berada di antara Hulwan sampai Hamadzan, dan Zaitun adalah pegunungan Syam, ada yang mengatakan bahwa kedua gunung itu adalah dua gunung yang berada di Syam yang dikenal dengan Tur Zaitan dan Tur Tinan (di Al-Suryaniyyah), dinamakan dengan nama tersebut karena di dua gunung itu tumbuh dua pohon tersebut, demikian Abu Makin meriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata.”Tin dan Zaitun adalah dua gunung di Syam.”

  • Kedua , di antara pendapat yang ada, pendapat pertama adalah yang paling benar, karena ia adalah hakikat, dan hakikat tidak dapat dipalingkan kepada majas kecuali dengan dalil, sesungguhnya Allah Swt. bersumpah kepada Tin, karena ia merupakan penutup aurat Nabi Adam as. di surga, berdasarkan firman Allah Ta‟ala,Keduanya menutupinya dengan daun-daun surga.” (Al-A‟rāf: 22), daun itu adalah daun buah Tin.

    Ada yang mengatakan, Allah Ta’ala bersumpah dengannya untuk menerangkan sisi anugerah yang agung pada buah tersebut, karena ia indah dilihat, rasanya lezat, harum semerbak, mudah dipetik, dan mudah dikunyah.

    Selain itu, Allah Ta‟ala bersumpah dengan Zaitun karena ia digambarkan oleh Nabi Ibrahim as. pada firman-Nya (QS. Al-Nūr: 35)

    Ia merupakan bumbu yang sering dipakai oleh mayoritas penduduk Syam dan Maroko, mereka memakai bumbu dengan Zaitun, dan menggunakannya untuk masakan mereka, mereka juga memakainya sebagai lampu penerang, selain itu mereka menggunakannya untuk mengobati penyakit mulut, bisul, dan berbagai luka, ia memiliki khasiat yang sangat banyak, Nabi Muhammada saw. bersabda,

    Makanlah Zaitun dan pakailah minyaknya karena ia berasal dari pohon yang diberkati.”

  • Ketiga , Ibnu Arabi berkata, “Atas dasar karunia Allah Ta‟ala yang Maha Pencipta, atas agungnya anugerah yang diberikan pada buah Tin, dan ia merupakan buah yang dapat dijadikan makanan yang dapat disimpan, oleh karenanya kami berpendapat bahwa mengeluarkan zakatnya adalah suatu yang wajib, sebenarnya mayoritas ulama enggan mentapkan kewajiban zakatnya, untuk menyelamatkan dari penyimpangan para penguasa, karena mereka bertindak lalim terhadap harta-harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, mereka sangat suka mengambilnya, sesuai apa yang telah diperingatkan oleh seseorang Nabi yang jujur, Muhammad saw.

    Oleh karena itu, para ulama tidak suka untuk memberikan jalan bagi mereka untuk bertindak aniaya terhadap harta yang lain, akan tetapi seyogyanya mestilah mengeluarkan zakat atas nikmat yang telah diberikan oleh Tuhannya dengan melaksanakan haknya, Imam Syafi‟i mengatakan alasan ini dan lainnya,”tidak ada zakat pada Zaitun,” akan tetapi pendapat yang shahih adalah wajib mengeluarkan zakat pada keduanya.

Artinya: “Dan demi bukit Sinai (2). Dan demi kota (Makkah) ini yang aman (3) .” (QS Al-Tīn: 2 dan 3)

Menurut Al-Maragi, Turisin adalah nama sebuah gunung. Di tempat itu Allah Swt. berdialog secara langsung dengan Nabi Musa a.s. Sedangkan Al-Balad al-Amīn adalah Makkah yang dimuliakan Allah dengan adanya Ka’bah.

Bukit ini mengingatkan kepada diturunkannya ayat-ayat Ilahiah, yang ditampakkan secara jelas kepada Nabi Musa as. dan kaum-nya. Serta peristiwa diturunkannya Kitab Taurat kepada Nabi Musa setelah kejadian itu dan bersinarnya nur tauhid , yang pada masa sebelum itu dikotori oleh akidah wasaniyah (keyakinan berhalaan). Para Nabi setelah Musa as. tetap mengajak kaumnya agar berpegangan pada syari’at tauhid ini. Namun, dengan berlalunya masa demi masa, ajaran ini telah dikotori dengan berbagai bid’ah, hingga Nabi Isa as. datang menyelamatkan ajaran tauhid ini. Tetapi kaum Nabi Isa as. tertimpa apa yang menimpa kaum Nabi sebelumnya, yaitu timbulnya perselisihan dalam agama, hingga tiba masanya Allah Swt. menganugerahkan kepada umat manusia nur Muhammad saw.

Kota Makkah yang dimuliakan Allah dengan dilahirkannya Muhammad saw. dan dengan keberadaan Ka‟bah (bait Allah) padanya. Syaikh Imam Al- Qurthubi menmbahkan bahwa Allah menyebut Makkah ini dengan Al-Amin karena aman, seperti firmannya “

Sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman. ” (QS. Al- Ankabūt: 67),

maka Al-Amīn bermakna aman, menurut Al-Farra‟ dan lainnya. 14

Selanjutnya, firman Allah

Artinya: “ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”. (QS Al-Tīn: 4-5)

Setelah Allah bersumpah dengan menyebut empat hal sebagaimana ayat- ayat sebelumnya, ayat-ayat di atas menjelaskan untuk sumpah itu.

Kata َ(Kami) yang menjadi kata ganti nama itu menunjuk kepada jamak, tetapi bisa juga digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja. Para raja biasa menunjuk dirinya dengan menggunakan kata “kami”. Allah juga sering kali menggunakan kata tersebut untuk menunjuk diri-Nya.

Sesungguhnya penggunaan kata ganti bentuk jamak itu (Kami) yang menunjuk kepada Allah mengisyaratkan adanya keterlibatan selain Allah dalam perbuatan yang ditunjuk oleh kata yang dirangkakan dengan kata ganti tersebut. Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah Bapak-Ibu. Sebab, dalam penciptaan manusia, Bapak Ibu memiliki peran, namun hanya sebagai perantara.

Ibu–Bapak mempunyai peranan yang cukup berarti dalam penciptaan anak- anaknya, termasuk dalam penyempurnaan keadaan fisik dan psikisnya. Para ilmuan mengakui bahwa keturunan, bersama dengan pendidikan, mereupakan dua faktor yang sangat dominan dalam pembentukan fisik dan kepribadian anak.

Kata manusia yang dimaksud oleh ayat ini menurut Al-Qurthubi adalah manusia-manusia yang durhaka kepada Allah. Pendapat ini ditolak oleh banyak pakar tafsir dengan alasan lain antara lain adanya pengecualian yang ditegaskan oleh ayat berikutnya yaitu “ kecuali orang-orang yang beriman .”

Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksud oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum, mencakup yang mukmin maupun yang kafir.

Sedangkan kata taqwīm berakar dari kata qawama yang darinya terbentuk kata qāimah , istiqāmah, aqīmū, dan sebagainya yang keseluruhannya menggambarkan kesempurnaan sesuatu sesuai objeknya. Kata Ahsan taqwīm berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang menyebabkan manusia dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin.

Kata radadnāhu terdiri atas kata radada yang dirangkaiakan dengan kata ganti dalam bentuk jamak serta kata ganti yang berkedudukan sebagai objek hu. Uraian tentang kata ganti serupa dengan kata ganti sebelumnya, yang menggambarkan adanya keterlibatan manusia dalam “kejatuhannya” ke tempat yang serendah-rendahnya itu. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa keterlibatan manusia di sini amatlah besar.

Radada antara lain berati mengalihkan, memalingkan, atau mengembalikan. Keseluruhan makan tersebut dapat disimpulkan sebagai “perubahan keadaan sesuatu seperti keadaan sebelumnya.” Atas dasar ini, kata tersebut dapat pula diartikan “menjadikannya kembali”.

Timbul pertanyaan, bagaimana keadaan manusia sebelum dialihkan, dipalingkan, atau dikembalikan itu? Bagaimanakah keadaannya sebelum ia mencapai tingkat ahsan taqwīm ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, marilah kita telusuri pendapat para pakar tafsir tentang arti asfala sāfilīn “(tingkat) yang serendah rendahnya.”

Paling tidak, ada tiga pendapat menyangkut kalimat tersebut,:

  • Pertama, keadaan kelemahan fisik dan psikis di saat tuanya, seperti di kala ia masih bayi. Pendapat ini ditolak oleh sementara pakar, berhubung ada pengecualian pada ayat berikut, kecuali orang-orang beriman dan beramal shaleh. Karena orang beriman pun mengalami keadaan serupa. Makna ini dapat diterima jika kata illā diterjemahkan tetapi bukan kecuali.

  • Kedua, neraka dan kesengsaraan. Pendapat ini pun disoroti dengan suatu pertanyaan, yaitu apakah apakah sebelum ini manusia pernah berada di sana? Kalau tidak, dan memang tidak, maka mengapa dikatakan “Kami mengembalikannya?” Pendapat ini dapat diterima jika kata radadnāhu dipahami dalam arti mengalihkannya atau menjadikannya.

  • Ketiga, keadaan ketika ruh ilahi belum lagi menyatu dengan diri manusia. Pendapat ini yang menurut Quraish Shihab lebih tepat. Seperti diketahui, proses kejadian manusia melalui dua tahap utama; penyempurnaan fisiknya dan penghembusan ruh ilahi kepadanya (QS. Al-Ḥijr: 29 dan Ṣad: 72). Dalam QS. Al-Mu‟minūn: 12-14 dijelaskan proses reproduksi manusia: dari saripati tanah, kemudian nuṭfah (pertemuan sperma dan ovum) kemudian „ alaqah (berdempetnya zigot ke dinding rahim) kemudian muḍgah dan iẓām (segumpal daging dan tulang). Inilah proses kejadian fisiknya. Kemudian “Dijadikan ia oleh Allah makhluk yang berbeda dari yang lain”, yaitu dengan jalan menghembuskan ruh Ilahi kepadanya.

    Fisik, darah, dan daging, mendorong manusia melakukan aktivitas untuk mempertahankan hidup jasmani dan keturnannya seperti makan, minum, dan hubungan seksual. Sedangkan “ruh ilahi” mengantarnya berhubungan dengan Pencipta-Nya, karena jiwa tersebut bersumber langsung dari-Nya atau menurut istilah al-Qur’an min rūhī. Dan inilah yang mengantar dia berusaha menundukkan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya sesuai dengan tuntunan ilahi. Ruh ilahi adalah daya tarik yang mengangkat manusia ke tingkat kesempurnaan, ahsan taqwīm. Apabila manusia melepaskan diri dari daya tarik tersebut, ia akan jatuh meluncur ke tempat sebelum daya tarik tadi berperan dan ketika itu terjadilah kejatuhan manusia.

Manusia mencapai tingkat yang setinggi-tingginya ( ahsan taqwīm ) apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Tetapi apabila ia hanya memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya saja, maka ia akan kembali atau dikembalikan kepada proses kejadiannya, sebelum ruh ilahi itu menyentuh fisiknya, ia kembali ke asfala sāfilīn.

Jadi, dalam dua ayat ini dibahas dua masalah:

  • Pertama , Firman Allah “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia, ini adalah jawaban Qasam (sumpah), yang dimaksud dengan Al-Insān (manusia) adalah orang kafir. Ada yang mengatakan ia adalah Al-Walid bin Al-Mughirah. Ada yang mengatakan Kaladah bin Asid, atas dasar inilah ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan. Ada yang mengatakan yang dimaksud dengan Al-Insān (manusia) adalah Nabi Adam as. dan keturunannya.

    Dalam bentuk yang sebaik-baiknya, ” yaitu bentuknya yang lurus dan kemudaannya yang seimbang, demikian seperti apa yang dikatakan oleh mayoritas ahali tafsir, ia adalah ciptaan yang sebaik-baiknya, karena Allah Ta‟ālā menciptakan segala sesuatu itu bersandar padatujuannya danmenciptakannya dengan ciptaan yang lurus, yang memiliki lidah yang licin, dan memiliki tangan dan jari-jari untuk menggenggam.

    Abu Bakar bin Thahir berkata:”dihiasi dengan akal, diberikan anugerah untuk mebedakan yang baik dan buruk, perawakannya tinggi, dan ia menyantap makanan dengan tangannya.”

    Ibnu Arabi berkata, “Allah Ta’ala tidak memiliki ciptaan yang lebih baik daripada manusia, sesungguhnya Allah Ta‟ālā menciptakannya bisa hidup dan mengetahui, memiliki kemampuan, mempunyai kehendak dan dapat berbicara, dapat mendengar dan melihat, dapat mengatur dan bersikap bijaksana, dan ini adalah sifat Allah, pendapat itu diungkapkan sebagian ulama.

    Al-Mubarak bin Abdul Jabbar Al-Azadi telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, “Al-Qadhi Abu Al-Qasim Ali bin Abu Ali Al-Qadhi Al-Muhsin meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata, “Dahulu Isa bin Musa Al-Hasyimi sangat mencintai istrinya, pada suatu hari ia berkata kepada istrinya,”Engkau terkena talak tiga jikalau engkau tidak bisa menjadi lebih indah dari bulan,” istrinya pun berdiri dan menjauh darinya, istrinya berkata,”Ceraikan aku!”. Malam itu terasa berat dilalui, ketika keesokan paginya, Isa pergi ke kediaman Al-Manshur, ia pun memberitahunya ihwal tersebut, dan menerangkan kepada Al-manshur kegelisahannya yang amat besar, lantas ia pun meminta kehadiran ahli fiqh dan meminta fatwa mereka, semua yang hadir saat itu mengatakan, engkau telah menjatuhkan talak, kecuali salah seorang dari pengikut Abu Hnaifah, saat itu ia diam, lantas Al-Manshur pun berkata kepadanya, “Kenapa engkau diam saja?” laki-laki itupun menjawab, bismillāhirrahmānirrahīm,

    Wahai amirul mu‟minin, karena itulah manusia adalah ciptaan yang paling indah, tidak satu pun yang paling indah daripadanya, maka Al-Manshur pun berkata kepada Isa bin Musa, “Perkara ini seperti apa yang dikatakan oleh lelaki ini, temuilah istrimu!”Abu Ja‟far Al-Manshur pun menulis surat kepada istri Isa bin Musa, taatlah kepada suamimu dan janganlah engkau menentangnya, ia tidak menceraikanmu.”

    Kisah ini menunjukkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah Ta’ala yang paling indah secara lahir dan batin, keindahan bentuknya, susunannya yang mengagumkan, kepala dan apa yang ada di dalamnya, perut dan apa yang dikandungnya, kemaluan dan apa yang dilipatnya, kedua tangan dan apa yang ditindaknya, kedua kaki dan apa yang dipikulnya, karena itulah para Filosof berkata, “Sesungguhnya ia adalah alam yang paling kecil, karena setiap yang ada pada setiap makhluk telah terkumpul padanya.”

  • Kedua, Firman Allah Ta’ala, ”Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya ” yakni kehidupan paling buruk, yaitu tua renta setelah muda, lemah setelah kuat, sehingga kembali menjadi seperti bayi pada awalnya, menurut Al-Dhahhak, Al-Kalbi, dan lainnya. Ibnu Abu Najih meriwayatkan dari Mujahid, ” Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya, ” ke neraka, yaitu orang kafir menurut Abu Al-Aliyah.

    Ada yang mengatakan, tatkala Allah Ta’ālā menggambarkannya dengan sifat-sifat luhur tersebut yang tersusun pada diri manusia, manusia pun melampaui batas dan angkuh, sehingga Allah pun berfirman, “ Akulah Tuhanmu yang paling tinggi. ” (Al-Nazi’at: 24), ketika Allah Ta’ala mengetahui keadaan hamba-Nya ini, dan Qadha- Nya berasal dari sisi-Nya. Dia mengembalikannya ke tempat yang serendah-rendahnya, dengan menjadikannya penuh dengan kotoran, dimuati dengan najis, dan membuang najis tersebut dalam bentuk lahirnya, dibuang dengan cara keji, terkadang dengan bentuk pilhan, dan terkadang dalam bentuk paksaan, sehingga jika hamba-Nya bersaksi bahwa hal itu adalah perintah Allah, ia akan kembali kepada Qadar nya.

    Allah Ta’ala berfirman, “Tempat yang serendah-rendahnya ,” dalam bentuk jamak, karena Al-Ihsan (manusia) bermakna jamak, jika Allah Ta‟ālā berkata سافم أسفم bisa saja, karena lafazh Al-Ihsan itu tunggal.

    Ada yang mengatakan bahwa makna, “ Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya ”, yakni Kami kembalikan dia kepada kesesatan, seperti firman Allah Ta’ala :

    Artinya: Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalehdan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran.” (QS. Al-Aṣr: 2- 3), yakni kecuali mereka, maka mereka itu tidak akan dikembalikan kepada keadaan tersebut.

Firman Allah:

Artinya: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. Al- Tīn: 6)

Ayat yang lalu menetapkan pengembalian manusia ke tingkat yang serendah-rendahnya. Ayat di atas mengecualikan sekelompok dari mereka. Allah berfirman: Kecuali atau tetapi orang-orang yang beriman dengan keimanan yang benar dan membuktikan kebenaran imannya dengan mengerjakan amal-amal yang shaleh; maka bagi mereka secara khusus pahala agung yang tiada putus- putusnya.

Kata illā umumnya berarti kecuali. Makna pertama menjadikan yang dikecualikan merupakan bagian dari kelompok yang disebut sebelumnya, sedang kedua ( tetapi ) menjadikan yang dikecualikan bukan anggota kelompok sebelumnya.

Mufassir Al-Thabari memahami kata illā di atas dalam arti tetapi dan atas dasar itu ia mengartikan asfala sāfilīn dengan arti ynag pertama disebut di atas, yakni “Orang-orang tua yang berimandan beramal shaleh,pahal amal kebaikan mereka bersinambung, walau ia tidak mampu mengerjakannya lagi karena udzurnya.”

Quraish Shihab dalam tafsir “Al-Misbah” menyatakan cenderung tidak menerima pendapat tersebut sebab penggunaan kata insān oleh Alqur‟an tidak terbatas pada arti fisik semata-mata. Dan juga kata illā dalam arti kecuali yakni bahwa manusia yang beriman dan beramal shaleh dikecualikan dari kejatuhan ke tempat yang serendah-rendahnya itu karena ia mempertahankan kehadiran iman dalam kalbunya dan beramal shaleh dalam kehidupan sehari-harinya.

Kata iman biasa diarttikan dengan pembenaran. Sementara ulam mendefinisikan īmān dengan “pembenaran hati terhadap seluruh yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.” Dengan demikian, īmān tidak terbatas pada pengakuan akan keesaan Tuhan, tetapi mencakup pembenaran banyak hal. Bahkan tidak sedikit pekar yang menkankan tiga aspek pembenaran, yaitu hati, lidah, dan perbuatan. Seorang beriman dituntut untuk mengucapkan pembenran tersebut, tidak hanya disimpan dalam hati, melainkan harus dapat dibuktikan dengan perbuatan.

Abdul karîm al-Khatîb menulis lebih jauh dalam bukunya, Qadhiyat al- Ulūhiyah baina al-Dīn wa al-Falsafah , bahwa iman bagaikan rasa cinta yang menggelora. Seseorang selalu ingin dekat kepada yang dicintainya dan pada saat yang sama ada semacam tanda tanya di dalam dirinya, apakah si kekasih juga benar-benar cinta atau tetap cinta padanya. Iman dalam tahap ini terus bergelora dan hati pun ketika itu belum mencapai kemantapannya. Keadaan semacam ini pernah dialami oleh Nabi Ibrahim as., sebagaimana diungkapkan oleh Al-Qur‟an.

Kata amilu terambil dari kata amal yang biasa digunakan untuk “menggambarkan suatu aktivitas ynag dilakukan dengan sengaja dan maksud tertentu.” Kata ini tidak mengharuskan wujudnya suatu pekerjaan dalam bentuk konkret di alam nyata. Niat atau tekad untuk melaksanakan suatu perbuatan, walau belum terlaksana, juga dapat dinamai amal. Rasul saw. menjelaskan bahwa niat baik akan dinilai sebagai amal shaleh dan tercatat dalam kitab amalan. Berbeda halnya dengan niat buruk. Demikianlah niat dinilai sebagai amal karenanya, dikenal dengan sitilah “perbuatan hati” ( mal al-qalb ), di samping perbuatan anggota.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kata amal dalam bahasa Alqur’an mencakup segala macam perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan mempunyai tujuan tertentu, walau hanya dalam bentuk niat atau tekad. Atau penggunaan daya-daya manusia baik daya fisik, pikir, kalbu, dan hidup. Amal yang diterima dan dipuji oleh Allah swt. disebut amal shaleh dan orang-orang yang mengerjakannya dilukiskan dengan kalimat amilû al-shalihât.

Kata al-shāihāt adalah berbentuk jamak dari kata al-shālih /baik. Suatu amal menjadi shālih yang memenuhi pada dirinya nilai-nilai tertentu sehingga ia dapat berfungsi sesuia dengan tujuan kehadirannya

Kata mamnun terambil dari kata manana yang antara lain berarti memutus atau memotong. Denagn demikian ghair mamnun berarti tidak putus-putusnya.

Kata minnah dalam arti nikmat atau karunia juga terambil dari akar kata yang sama, karena dengan adanya nikmat maka terputuslah krisis krisis atau kesulitan yang dihadapi si penerima.

Bisa juga kata mamnûn berasal dari kata manna-yamunnu yang berarti menyebut-nyebut pemberian kepada yang diberi sehingga menjadikan si penerima malu, rikuh, atau bahkan sakit hati. Arti yang demikian ditemukan pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah: 264. Sebenarnya makna ini pun dapat juga kembali kepada arti “memotong” atau “memutus”. Itu karena mereka yang melakukan hal itu sesungguhnya telah memutuskan kesinambungan pahala yang sewajarnya akan mereka terima dari Allah swt. Kalau demikian, kalimat ajr gair mamnūn di samping dapat berarti ganjaran yang tiada putus-putusnya, dapat juga diartikan sebagai “ganjaran yang tidak disebut-sebut sehingga tidak menyakitkan hati si penerima.”

Firman Allah:

Artinya: “Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” (QS Al-Tin: 7 dan 8)

Kata każżaba terambil dari kata każaba yang antara lain bermakana berbohong, melemah, mengkhayal, dan lain-lain. Kebohongan yang menunjukkan kelemahan si pelaku karena ia tidak mampu menyampaikan kenyataan yang diketahuinya akaibat rasa takut, atau karena adanya kebutuhan lain sehingga ia terpaksa dalam penyampaian tersebut mengkhayalkan hal-hal yang tidak pernah ada.

Kata al-dīn menggambarkan hubungan anatar dua pihak, pihak pertama kedududkannya lebih tinggi dari pihak kedua. Dari sini, kata ini mempunyai pengertian yang berbeda-beda, antara lain pembalasan, agama, ketaatan, dan lain-lain. Dalam ayat ini kata tersebut lebih sesuai bila diartikan pembalasan.

Kata ba’du berarti sesudah. Dalam susunan kalimat ayat di atas, kata ini memerlukan kalimat lain sesuai konteks, untuk menjelaskan maksudnya. Kalimat dimaksud misalnya: Sesudah (datangnya/ adanya keterangan-keterangan itu.)

Keterangan yang dimaksud adalah yang tersurat dan yang tersirat pada kandungan sumpah yang terdapat dalam surat ini ayat (4-6). Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, kemudian karena ulah mereka sendiri, Allah menjatuhkan atau mengembalikan mereka ke tempat yang serendah-rendahnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keterangan-keterangan tersebut adalah yang disampaikan oleh para nabi, khususnya Nabi Muhammad.

Kata berarti apa. Yaitu apa yang menyebabkan manusia mengingkari hari Pembalasan padahal keterangan sudah sedemikian gamblang? Ada juga yang memahaminya dalam arti siapa. Seakan-akan ayat di atas bertanya kepada nabi Muhammad saw.: “Siapakah yang mendustakan yakni menyatakan bahwa engkau berbohong sehingga mereka mengingkari hari Pembalasan."

Kata ahkam dan hākimīn terambil dari kata hakam a. Kata yang menggunakan huruf-huruf ḥa‟, khaf , mim berkisar maknanya pada menghalangi seperti hukum, yang berfungsi menghalangi terjadinya penganiayaan. Kendali bagi hewan dinamai ḥakamah, karena ia menghalangi hewan mengarah ke arah yang tidak diinginkannya, atau liar . Hikmah adalah sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan sehingga mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan. Allah sebgaia Hakam adalah adalah “Dia yang melerai antara kebenaran dan kebatilan, yang menetapkan siapa yang taat dan durhaka, serta yang memberi balasan setimpal bagi setiap usaha, yang semua itu berdasar ketetapan-Nya.”

Kata Allah adalah sebaik-baik hakam yang semua ketetapan-Nya mengandung hikmah; termasuk penciptaan manusia, maka tidak mungkin Dia mempersamakan antara yang taat dan durhaka. Tidak mungkin pula Dia memberikan mereka tanpa balasan. Dari sini ayat di atas mempertanyakan, masih adakah orang yang mengingkari adanya hari Pembalasan setelah jelas semua itu?

Surat Al-Tin ini diakhiri dengan suatu pertanyaan yang mengandung makna bahwa sesungguhnya Allah Maha Bijaksana dalam segala hal, termasuk dalam putusan-putusan-Nya menyangkut wujud dan masa depan manusia.

Referensi :

  • Muhammad Jamāluddīn Al-Qāsimī, Tafsir Al-Qāsimī al-Masammī Maḥāsin al-Ta‟wīl Juz 17 , Dār al-Fikr, Bairūt, 1978.
  • Yayasan Penyelenggara/Penafsir Al-Qur‟an. Al-Hidayah Al-Qur‟an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, Departemen Agama, 2011.
  • M. Quraish Shihab, Al-Lubāb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al- Qur‟an , Lentera Hati, Tangerang, 2012, h. 679
  • Sayyid Quthb, Fī Ẓilāl al-Qurān di Bawah Naungan Al-Qur‟an (Surah Al-Ma‟arij-Al-Nās) Jilid 12 , Terj. As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Gema Insani, Jakarta, 2013.
  • Ahmad Mustafa Al-Maragi. Tafsir Al-Maragi, Bahrun Abubakar, Karya Toha Putra Semarang, Semarang, 1993.
  • M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 15 Juz „Amma, Lentera Hati, Jakarta, 2002.

Tafsir Imam Jamaluddin Al-Qasimi Surat Al-Tīn dalam Kitab Tafsir Mahāsin Al- Taʹwīl

At Tīn diartikan sebagai sesuatu yang dimakan dan zaitun sebagai sesuatu yang diperas. Mereka berkata bahwa kedua buah tersebut banyak faedahnya dan besar manfaatnya. Qatadah mengartikan “al-tin” sebagai gunung yang di atasnya adalah Damaskus, sedangkan “al-zaitun” adalah Bait al-Maqdis. Ka’ab dan Ibnu Zaid mengartikan “al-tin” adalah Masjid Damaskus dan “al-zaitun” adalah Bait al-Maqdis. Sedangkan Ibnu Abbas “al-tin” adalah masjid Nuh yang dibangun dia atas Judiy dan “al-zaitun” adalah Bait al-maqdis.

Sesungguhnya jelas bahwa kedua pohon tersebut sudah diketahui, begitupun dua gunung dan dua masjid. Ibnu Jarir membenarkan perkataan demikian bahwa “al-tin” adalah sesuatu yang dimakan dan “al-zaitun” adalah sesuatu yang diperas. Karena hal itu telah diketahui oleh orang-orang Arab. Tidak dikenal gunung yang bernama tin maupun zaitun.

Ibnu Katsir berpendapat bahwa sebagian ulama mengatakan, “Ini adalah tiga tempat yang Allah mengutus pada setiap tempat tersebut seorang nabi dan rasul dari kalangan Ulul Azmi dan pemilik syariat-syariat yang agung, yaitu:

  • Tempat adanya buah tiin dan zaitun, yaitu Baitul Maqdis, tempat diutusnya Nabi „Isa ‘alaihi al-salām.

  • Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa bin Imran ‘alaihi al-salām.

  • Negeri Mekah yang penuh rasa aman, tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Di dalam kitab Taurat disebutkan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala datang dari gunung Sinai: yakni yang di situ Allah berbicara langsung kepada Musa. Dan bersinarlah dari Sa’ir: yakni gunung Baitul Maqdis tempat di utusnya Isa as, serta menampakkan / mengumumkan dari gunung-gunung Faran yakni gunung-gunung Mekah tempat Allah mengutus Muhammad saw. Jadi mereka disebutkan secara berurutan sesuai dengan urutan zaman di utusnya. Oleh karena itu Allah swt bersumpah dengan sesuatu yang mulia, kemudian lebih mulia, lantas yang paling mulia.

Sebagian ulama, Syaikh al-Islam al-Imam Ibnu Taimiyah, di dalam kitabnya “ Al-Jawāb al-Ṣahīh Liman Baddala dīn al-Masīh ” (Jawab yang jitu untuk siapa yang menukar-nukar Agama Allah Al-Masih), menerangkan juga di dalam Taurat ini: Bertemu di dalam “Kitab Ulangan”, pasal 33, ayat 2, Al-kitab cetakan terahir dalam bahasa Indonesia, katanya: Bahwa Tuhan telah datang dari Tursina dan telah terbit bagi mereka itu dari Sa’ir: kelihatanlah Ia dengan gemerlapan cahayanya dari gunung-gunung Paran.

Maka datanglah komentar dari ulama-ulama besar Islam yang didapat dalam keterangan Abu Muhammad Ibnu Qutaibah: “Dengan ini tidak tersembunyi lagi bagi barang siapa yang sudi memperhatikan. Karena Tuhan datang dari Tursina ialah turunnya Taurat kepada Musa di Thursina, sebagimana yang dipegangi oleh ahli al-Kitab dan oleh kita Kaum Muslimin. Demikian juga tentang terbitnya Sa’ir bumi Jalil di sebuah desa itulah pengikut Al-Masih menamakna diri mereka Nashrani. Maka sebagaimana sudah pastinya bahwa Dia terbit di Se’ir mengisyaratkan kedatangan Al-Masih, maka dengan sendirinya gemerlapan cahayanya di bukit Paran itu ialah turunnya Alqur’an kepada Muhammad saw di bukit-bukit Paran, yaitu bukit-bukit Makkah.

Ibnu Taimiyah berkata selanjutnya: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara Kaum Muslimin dengan Ahlu al-Kitab bahwa gunung/bukit Paran itu ialah Makkah. Kalau mereka hendak memungkiri bahwa Paran itu ialah Makkah, dan itu bisa saja terjadi karena mereka tidak keberatan mengubah isi kitabnya atau membuat dusta, bukankah di Taurat juga dinyatakan bahwa Ibrahim menempatkan Hajar dan Ismail di Paran? (Kejadian pasal 21 ayat 19-21). Dan Dia katakan: tunjukkanlah kepada kami suatu tempat yang gemerlapan cahayanya di sana. Dan adakah timbul di sana seorang Nabi “gemerlapan” cahayanya sesudah Isa Al-Masih yang menyerupai tersebarnya Islam di Timur dan di Barat ?

Abu Hasyim bin Thafar berkata: “Sa’ir adalah sebuah gunung/bukit di Syam, tempat lahirnya Al-Masih. Kataku: “Di dekat Baitlehem, desa tempat Al-Masih dilahirkan, sampai sekarang ada sebuah desa bernama Sa’ir. Berdasar kepada ini telah tersebutlah tiga gunung. Yaitu Gunung Hira, yang di sekeliling Makkah tidak ada gunung yang lebih tinggi dari dia. Di sanalah mula turunnya wahyu kepada Muhammad saw. Dan bertali-tali dengan gunung-gunung itu terdapat lagi gunung yang lain. Kumpulan semuanya dinamai Paran sampai kini.

Di sanalah mula turunnya Alqur’an dan dataran luas di antara Makkah dengan Thursian itu dinamai dataran Paran. Kalau akan dikatakan bahwa di daratan itulah Nabi yang dimaksud, maka sampai sekarang tidaklah ada Nabi timbul di daratan itu.

Di dalam ayat dalam Ulangan tersebut bertemu tiga ayat:

  1. Tuhan telah datang di Torsina,
  2. telah terbit,
  3. telah gemerlapan cahayanya.

Maka datangnya Taurat adalah laksana terbitnya fajar atau yang lebih jelas dari itu. Dan turunnya Injil semisal bersinarnya matahari yang menambah cahaya dan petunjuk. Dan adapun turunnya Alqur‟an adalah jelasnya matahari di langit. Terbit di bukit Seir, adalah matahari telah terbit, dan gemerlapan cahayanya ialah bahwa Matahari Al-Qur‟an telah naik memancar tinggi, sehingga menerangi seluruh alam Masyriq dan Maghrib, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW sendiri:

Telah dibentangkan bagiku muka bumi ini seluruhnya, sehingga aku lihat Timurnya dan Baratnya. Akan sampailah ummatku ke seluruh bumi yang terbentang itu.” (Riwayat Muslim)

Menurut Ibnu Taimiyah, makna “firman Tuhan Demi buah tin, demi buah zaitun. Demi Bukit Thursina. Demi negeri yang aman ini adalah sumpah kemuliaan yang dianugerahkan Tuhan kepada ketiga tempat yang mulia lagi agung, yang di sana sinar Allah dan petunjuk-Nya dan di ketiga tempat itu diturunkan ketiga kitab-Nya; Taurat, Injil, Alqur’an. Sebagaiaman yang telah disebutkannya ketiga tempat itu dalam Taurat: “Datang Allah dari Thursina, telah terbit di Sa’ir dan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran.”

Sebagian ulama kontemporer menjelaskan bahwa al-Tin yang dimaksud adalah pohon, yaitu pohon Bodhi tempat bersemedinya pendiri agama Budha ketika ia mencari hikmat tertinggi. Buddha adalah pendiri dari agama Budha yang di kemudian harinya telah banyak berubah dari hakikat asli ajrannya. Sebab ajarannya itu tidak ditulis pada zamannya melainkan lama sesudah matinya. Dia hanya diriwayatkan sebagai hadits-hadits dengan riwayat mulut ke mulut, lama kemudian baru ditulis, setelah pemeluk-pemeluknya bertambah maju.

Kemudian mereka berkata, “Dan orang-orang yang berkuasa di antara kita bahkan yang memiliki hak mengesahkan tafsir kita pada ayat ini bahwa ada nabi yang benar yang disebut Sakiamuni atau Gaotama. Awal kebangkitannya adalah ketika ia berteduh bersemedi di bawah pohon Tin yang besar dan di waktu itulah turun wahyu kepadanya, lalu ia diutus menjadi Rasul Allah. Setan berkali-kali mencoba memperdayakannya, tetapi tidak berhasil. Pohon besar itu menjadi pohon yang suci pada kepercayaan penganut agama Budha, yang mereka namai juga Acapala.”

Selanjutnya mereka pun berkata bahwa dalam ayat ini Allah menyebut empat agama terbesar manusia sebagai wahyu dari-Nya sebagai petunjuk mereka, kemanfaatan mereka dalam agamanya dan dunianya. Kemudian sumpah dalam ayat ini bagaikan bentangan karena firman Allah setelahnya:

Dikatakan oleh Ahli agama-agama, yang empat tersebut merupakan umat terbesar di muka bumi, mereka terbanyak jumlah dan bilangannya. Dan secara urut disebutkan dalam ayat ini, itu berdasarkan pertimbangan derajat keshahihannya dengan hubungan karena pokok-pokok yang utama. Maka Allah memulai dengan sumpah dengan Budha, karena sesungguhnya Budha lebih sedikit derajat keshahehannya dan agama yang lebih kuat melenceng dari asalnya. Sebagaimana manusai mengawali sumpahnya dengan sesuatu yang kecil. Kemudian maju dengan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi. Kemudian Nashrani lebih sedikit menyimpangnya daripada Yahudi. Kemudian Yahudi lebih sah dari Nashrani, kemudian Islam yang lebih sah dari semuanya.

Dan kelebihan ayat yang mulia ini daripada yang lain adalah telah disebutkan dua agama yang utama yaitu Budha dan Masehi, kemudian agama yang adil, yaitu Yahudi dan Islam, untuk mengisyaratkan pada kebijaksanaan dengan mengajarkan keutamaan dan memaafkan sesama manusia. Kemudian mengajarkan kekuatan dan keadilan. Dan Islam memulai dengan halus dan pemaaf kemudian kemudian keras dan hukuman. Dan tidak samar atas pembahasan yang serupa antara Budha dan Isa beserta agama mereka. Dan demikian pula keserupaan antara Musa dan Muhammad serta agama mereka. Oleh karena dikumpulkan keduanya. Dan Budha dahulukan atas Isa sebagai yang pertama. Sebagaimana didahulukaannya madzhab Musa atas Muhammad.

Dan kelebihan ayat ini lagi adalah merupakan simbol dan tanda pada dua agama kerahmatan dengan buah-buahan, dan dua agama adil dengan gunung dan daerah pegunungan (Makkah) yaitu negara yang aman. Termasuk istilah indah di antara lafal-lafal ayat sesungguhnya tin dan zaitun banyak tumbuh di lereng- lereng gunung. Seperti halnya zaitun di gunung Syam dan Thursina, dan keduanya terkenal di Mekkah.

Ayat ini dijadikan sumpah dengan awal turunnya wahyu, dan mulya- mulyanya tempat luhurnya Tuhan atas nabi-nabinya yang empat, yang syariatnya masih sampai sekarang. Dan Allah mengutus mereka yang tercipta dalam bentuk yang sebaik-baiknya.