Apa Makna Yang Terkandung di Dalam Surat Al Ma'un?

Surah Al-Ma’un (“Hal-Hal Berguna”) adalah surah ke-107 dalam Al-Qur’an. Surah ini tergolong surah Makkiyah dan terdiri atas 7 ayat. Kata Al Maa’uun sendiri berarti bantuan penting atau hal-hal berguna, diambil dari ayat terakhir dari surah ini.

Al-Mâ’ȗn termasuk sȗrah makiyyah, di dalam isi pokoknya menerangkan tentang beberapa sifat dan watak manusia yang bisa dianggap sebagai mendustakan agama, yakni menghardik anak yatim dan memenelantarkan mereka dalam kehidupan, tidak mau bersedekah dan tidak menganjurkan orang lain menyantuni fakir miskin.[1]

Menurut Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As- Suyuti mereka mengutip dari Imam Ibnul Mundzir yang mengetengahkan sebuah hadis melalui Tharif Abu Thalhah yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a. yaitu “ bahwasannya ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik, karena mereka selalu memamerkan shalat mereka dihadapan orang-orang mu’min secara ria, sewaktu orang-orang mukmin diantara mereka, tetapi jika orang-orang mukmin tidak ada, maka mereka meninggalkan shalat”.[2]

Dalam sȗrah al-Mâ’ȗn ditegaskan pula perihal orang-orang yang mengerjakan shalat, tetapi mereka tidak mengahayati dan merenungkan bacaan-bacaannya, tidak memperhatikan tujuan shalat itu sendiri dan tidak sadar bahwa shalat dilakukan dalam upaya mencegah kejahatan dan kemungkaran. Bahkan mereka melakukan shalat hanya untuk sekedar pamer di hadapan manusia.

Tujuh ayat dalam sȗrah al-Mâ’ȗn dan juga semua langkah-langkahnya menyinggung perilaku manusia yang sangat tercela. Diantara sifat tercela ialah melakukan ibadah hanya karena ingin pamer, bukan mencari ridha Allah SWT. Tidak bersedia membayar zakat, tidak mau bersedekah kepada fakir miskin, dan tidak memiliki belas kasihan terhadap yatim piatu yang menderita. Orang-orang yang memilik sifat dan watak sebagaimana dikemukakan di atas tidak lain hanyalah akan mendapat ancaman dan siksa neraka yang sangat pedih. Mereka termasuk orang mendustakaan agama Islam.

Sebagian berpendapat bahwa ia diturunkan berkaitan dengan Abu Sufyan, menurut Allamah Kamal Faqih Imani “Abu Sufyan yang biasa membunuh dua unta besar setiap hari untuk disantap bersama kaumnya. Namun, pada suatu hari, ada seorang anak yatim mendatangi pintunya dan meminta pertolongan. Alih-alih mendapat pertolongan, Abu Sufyan malah memukul anak yatim itu dengan tongkat dan mengusirnya”.[3]

Mereka menunjukkan keshalehannya di depan kaum muslimin lain agar mendapat pujian dari publik, tetapi tanpa sepengetahuan kaum muslim ketika sedang tidak bersama orang-orang munafik, maka perlakuan mereka sangatlah bertolakbelakang dengan apa yang mereka lakukan di depan banyak orang .

Peristiwa di atas telah melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang terkandung dalam sȗrah al-Mâ’ȗn, Yakni ayat yang ke-4 sampai dengan ayat yang ke-7, yang di dalamnya berisi tentang peringatan bagi perilaku orang-orang munafik.

Referensi

  1. A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur‘ân. Ter, Bahrun Abu Bakar, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002) h.953
  2. Imam Jalaluddin Al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemah Tafsir Jalalain berikut Asbaabun Nuzul, (Bandung:Penerbit Sinar Baru Bandung, 1990), h. 2791
  3. Allamah kamal faqih imani, Tafsir Nurul Qur’an ”sebuah tafsir sederhana menuju cahaya Al- Qur‘ân”, Ter. Rahardian M.S, (Iran: al huda, 2006), jilid xx… H. 349

Asbab Al Nuzul Surat Al Ma’un

Dalam beberapa riwayat yang berkenaan dengan turunnya surat ini ada beberapa pendapat, al Suyuthi mengutip Ibnu Mardawiyah dari Ibnu Abbas mengatakan, surat ini diturunkan di Makkah. Riwayat serupa juga dikeluarkan oleh ibnu Mardawiyah dari Abdullah bin Zubair. Sementara ibnu Abbas dan Qatadah berpendapat ayat ini adalah madaniyyah.

Al Suyuthi sendiri memberi penjelasan lain, beliau mengatakan, surat al Ma’un tergolong surat Makkiyyah. Sebagian diturunkan di Makkah dan sebagian diturunkan di Madinah. Hal ini seperti yang dikatakan al Qurthubi bahwa 3 ayat yang pertama adalah makiyyah dan ayat setelahnya adalah madaniyyah. Sedangkan al zuhaili mengatakan separuh ayat diturunkan di Makkah untuk Ash bin Wa’il dan separuhnya di Madinah untuk Abdullah bin Ubai al Munafiq.34 Mengenai latar belakang turunnya ayat ini, dikemukakan bahwa ada seseorang yang diperselisihkan siapa dia, apakah Abu Sufyan atau Abu Jahal, al Ash bin Walid atau selain mereka, konon setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberinya bahkan dihardik dan diusir.

Al Wahidy menuliskan dua pendapat mengenai siapakah orang yang dimaksud dalam ayat ini (1-3), Muqatil dan al Kalaby berpendapat bahwa yang dimaksud adalah al Ash bin Wail al Sahmy. menurut Ibnu Juraiz yang dimaksud adalah Abu Sufyan, karena ia selalu menyembelih kambing atau unta setiap pekannya, tetapi ketika anak-anak yatim itu meminta kepadanya ia mengetuk kepala mereka dengan tongkatnya.

Riwayat lainnya dari Ibnu Abbas ra., yang disampaikan oleh al Dhahhak bahwa yang dimaksud adalah salah seorang dari kaum munafik. Al Suddi mengatakan bahwa maksudnya adalah al Walid bin al Mughirah, ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Abu Jahal.

Al Zuhaili dalam tafsirnya, menuliskan beberapa pendapat sebagai berikut;

  • Pada ayat pertama menurut Ibnu Abbas, ayat ini turun untuk al Ash bin Wa’il al Sahmi, menurut al Sa’di ayat ini turun untuk al Walid bil al Mughirah, dan menurut pendapat lainnya, ayat ini turun untuk Abu Jahal. Ketiga orang ini adalah seorang penanggung jawab anak yatim. Namun ketika anak yatim tersebut datang dalam keadaan telanjang untuk meminta uangnya, ketiganya menolak untuk memberi uang tersebut. Dan menurut Ibnu Jarir surat ini turun untuk Abu Sufyan, karena ia selalu menyembelih unta setiap minggunya. Namun ketika ada seorang anak yatim meminta sedikit dari daging unta yang disembelih tersebut, Abu Sufyan menolaknya, bahkan memukulnya dengan tongkat.

  • Pada ayat ke empat, diriwayatkan oleh Ibnu al Mundzir dari Ibnu Abbas ra., bahwa ayat ini turun terkait dengan orang munafiq yang mengerjakan sholat jika orang mukmin melihatnya, namun mereka meninggalkannya ketika sendirian, serta menahan meminjamkan sesuatu secara sukarela.

Pokok Kandungan Surat Al Ma’un

Di antara pelajaran yang dapat dipetik dari ayat ini adalah:

  • Ayat ini menjelaskan tentang anjuran mengayomi kepada orang miskin dan anak yatim. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.;

    Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang. QS. Ad Dhuha : 9

    tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS. Al Baqarah: 220

    Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. QS. Al Baqarah: 177

    Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. QS. Al Baqarah: 215

    Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, QS. An Nisa’: 36

  • Anjuran untuk menunaikan shalat pada waktunya dan sesuai dengan syarat dan rukunnya. Allah SWT. berfirman:

    Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. QS. Al-Nisa’: 103

    Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan. QS. Maryam: 59

  • Anjuran untuk mengerjakan kebajikan, dan berbuat baik kepada orang lain dengan memberikan atau meminjamkan harta walaupun nilainya kecil, seperti meminjamkan air, api, garam dan yang lainnya sebab Allah mencela orang yang tidak berbuat demikian. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam ayat lain;

    Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. QS. Adz Dzariyat: 19

    Dan kamu tidak saling mengajak memberi Makan orang miskin. QS. Al Fajr: 18

    Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur- hamburkan (hartamu) secara boros. QS. Al Isra’: 26

    “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan Kami tidak (pula) memberi Makan orang miskin. QS. Al Mudatstsir: 42-44

  • Anjuran untuk berbuat ikhlas dalam beramal dan waspada terhadap riya’. sebagaimana firman Allah SWT. tentang sifat orang-orang yang beriman:

    Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. QS. An Nisa’: 142

Dari beberapa pokok kandungan yang telah disebutkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam surat al Ma’un memberikan pelajaran tentang dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu

  • Pertama, hubungan vertikal, yakni hubungan manusia dengan Tuhannya (Habl min Allah), yang dalam hal ini disampaikan dalam bentuk ancaman atas kelalaian beribadah kepada Tuhan.

  • Kedua, hubungan horizontal, yakni hubungan sosial antara manusia dengan manusia (Habl min al nas). Ini yang menjadi titik penekanan dalam surat ini, hal ini dapat dilihat dari inti pembicaraan yang terdapat dalam surat al Ma’un.

Referensi :

  • Abul Hasan Ali bin Ahmad al Wahidiy an Naisabury al Syafi’i, Asbab al Nuzul Al Qur’an, (Ad Damam : Dar al Ishlah), 1412 H.
  • Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al Suyuthi, Al durr al Mantsur fi al Tafsir al Ma’tsur, (Beirut: Dar al kutub al Ilmiyyah, t.t), Jilid 4
  • Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Anshari al Qurthubi, Al Jami li Ahkam al Qur’an, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, t.t), Jilid 10.

Asal makna al Ma’un adalah segala sesuatu yang bermanfaat. Al Qurthubi menuliskan bahwa makna al Ma’un terdapat dua belas pendapat dari para ulama. Secara ringkas sebagai berikut, zakat, harta, peralatan rumah tangga, segala sesuatu yang ada manfaatnya, angin dingin atau hawa dingin, pinjaman, segala kebajikan yang dilakukan sesama manusia, air dan rerumputan, air, orang yang menolak kebenaran, seseorang yang menginvestasikan hartanya, ketaatan, sesuatu yang tidak boleh tidak diberikan apabila diminta.

Al Mawardi menambahkan, sesungguhnya ia adalah bantuan-bantuan yang sebenarnya ringan untuk dilakukan, namun disulitkan dan diberatkan Allah khusus bagi mereka (orang munafik). Sebagaimana pendapat Ali ash Shobuni yang mengatakan, sesuatu yang bernilai remeh atau kecil.

Pada ayat pertama Allah SWT berfirman:

Arayta alladzi yukadzdzibu bi al din (Tahukah kamu orang yang mendustakan agama).

Seruan ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw., termasuk di dalamnya seluruh umatnya. Sebab, khithab al Rasul khithab li ummatihi (seruan kepada Rasulullah saw. merupakan seruan kepada umatnya). Karena itu, maknanya, sebagamana dikemukakan al-Khazin, arayta ayyuha al insan aw ayyuha al ‘aqil (Tahukah kalian, wahai manusia, atau wahai orang yang berakal?).

Sayyid Quthb menuliskan bahwa ini adalah pertanyaan yang ditujukan kepada setiap orang yang bisa melihat agar menyaksikan dan menantikan orang yang mendengar pertanyaan ini untuk melihat kemana isyarat ini di arahkan dan kepada siapa ditujukan? Siapakah orang yang mendustakan agama dan siapakah orang yang ditetapkan al Qur’an sebagai pendusta agama. Informasi karakteristik para pendusta agama itu Allah sebutkan dalam ayat-ayat selanjutnya.

Kendati berbentuk istifham (pertanyaan), ia bertujuan untuk menggugah hati dan memunculkan rasa penasaran bagi pendengar terhadap pembicaraan selanjutnya, serta menggambarkan keheranan untuk mengetahui perilaku orang yang mendustakan al din. Bisa pula mengandung makna al ta’jib (menyatakan keheranan).

Menurut Quraish Shihab, pertanyaan yang diajukan ayat pertama ini bukanlah bertujuan memperoleh jawaban, karena Allah maha mengetahui, tetapi bermaksud menggugah hati dan pikiran mitra bicara, agar memperhatikan kandungan pembicaraan berikutnya.

Terkait dengan pemakaian kata ra’a atau ru’yah, menurut al Alusi kata ru’yah ini berarti al ma’rifah al muta’addiyah, yaitu melihat dengan pengetahuan yang dalam, bukan hanya sekedar melihat dengan mata.

Menurut Abu Thalib al Qissi bahwa ara’aita adalah dengan ru’yah al qalbi, yakni melihat dengan pengetahuan yang dalam, sekaligus dangan menggunakan hati. Dari sini dapat difahami bahwa penggunaan kata ru’yah lebih dalam dari kata nadzara, jika nadzara melihat hanya dengan mata, tetapi ru’yah adalah melihat dengan mata sekaligus mata hati. Ada dimensi kehadiran atas realitas yang dibicarakan, bukan hanya dari sisi mata telanjang, tetapi juga pencernaan dan pengetahuan yang dalam.

Berdusta atau mendustai dalam kalimat al ladzi yukaddzibu bi al din menggunakan kata dasar kadzaba. Menurut Amiruddin lafadz yukadzdzibu dapat diterjemahkan dengan mendustakan atau mengingkari, namun dalam konteks ini menurutnya yang lebih tepat adalah mengingkari. Sedangkan menurut Quraish Shihab, mendustakan atau mengingkari dapat berupa sikap bathin dan dapat juga berupa sikap lahir, yang wujud dalam bentuk perbuatan.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa maksudnya ayat ini adalah yaitu yang mendustakan hukum Allah. Sedangkan al Hasan mengartikan bahwa maksudnya adalah orang kafir.

Al Mawardi menuliskan tiga pendapat tentang pendusta agama yaitu mereka yang mendustakan hisab, Ikrimah dan Mujahid berpendapat al din adalah hukum Allah serta pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan pahala dan hukuman.

Ada beberapa penafsiran mengenai makna al din di sini, yakni hukm Allah (hukum Allah), Islam dan al Quran. Akan tetapi, menurut kebanyakan mufassir kata tersebut bermakna hisab dan pembalasan. Pendapat ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan bahwa al Qur’an bila menggandengkan kata ad din dengan yukadzdzibu, maka konteksnya adalah penginggkaran terhadap hari kiamat, sebagaimana Allah berfirman dalam surat al Infithar (82): 9 dan al Tin (95): 7.

Al Qurthubi dan al Syaukani menafsirkan kata tersebut dengan al jaza’ wa al hisab fî al akhirah (pembalasan dan hisab di akhirat). Menurut Ibnu Katsir kata itu bermakna al ma’ad wa al jaza’ wa al tsawab (Hari Kebangkitan, Pembalasan dan Pahala). Ibnu ‘Athiyyah juga menafsirkan kata tersebut sebagai al jaza’ tsawaban wa ‘iqaban (pembalasan, baik pahala maupun dosa).

Penafsiran senada juga dikemukakan oleh al Zamakhsyari, al Baghawi, Abu Hayyan al Andalusi, al Sa’di, dll. Makna tersebut sama dengan kata al din dalam firman Allah SWT: Maliki yaum al din (yang menguasai hari pembalasan, al Fatihah (1): 4).

Setelah menggugah keinginan agar memperhatikan orang-orang yang mendustakan ad din, dalam ayat berikutnya diungkap jatidiri mereka. Allah SWT berfirman,

al ladz> yadu’u al yatim (Itulah orang yang menghardik anak yatim).

Di dalam ayat tertulis yadu’u (dengan tasydid), menurut Hamka arti asalnya ialah menolak, yaitu menolaknya dengan tangan bila ia mendekat.

Penolakan seperti ini menurutnya adalah menggambarkan kebencian yang sangat, rasa tidak senang, rasa jijik, dan tidak boleh mendekat.

Al Thobari menafsirkan maksudnya adalah mereka yang mencegah anak yatim dari haknya dan menzhaliminya, Ibnu Katsir mengatakan mereka adalah orang yang berbuat sewenang-wenang kepada anak yatim dan menzhalimi haknya, tidak memberinya makan serta tidak berbuat baik pula kepadanya.

Pengertian-pengertian tersebut di atas dapat kita temukan dalam riwayat-riwayat berikut, Dari Ibnu Abbas ra., maksud ayat ini adalah mencegah anak yatim dari haknya.

Muhammad bin Amru menceritakan dari Mujahid bahwa maksudnya adalah mencegah anak yatim sehingga tidak memberinya makan.

Bishri menceritakan dari Qatadah bahwa maksudnya ialah berbuat semena-mena dan mendzaliminya.

Pengertian-pengertian tersebut diatas saling terkait, al Qurthubi mendefiniskan pengertiannya dengan lebih praktis yang dimaksud adalah mereka yang tidak memberikan harta warisan kepada wanita dan anak-anak kecil (yatim) apa yang sudah menjadi haknya. Sedangkan al Mawardi membagi pengertian yadu’ menjadi 3, yakni, menghina anak yatim sebagaimana dikatakan Mujahid, mendzalimi anak yatim sebagaimana dikatakan as Saddi, dan menolak dengan keras.

Dari Malik bin Amru, Rasulullah saw. pernah bersabda:

Barangsiapa yang merangkul (memelihara) seorang anak yatim yang berasal dari keluarga muslim dengan memberinya makan dan minum hingga Allah menjadikan anak tersebut berkecukupan, maka orang tersebut berhak untuk masuk kedalam surga.

Adapun yadu’, menurut al Baghawi berarti menghardik dan menzalimi haknya. Kata al da’ berarti menolak dengan kasar dan bengis. Al Biqa’i juga memaknainya sebagai menolaknya dengan penolakan yang kasar dengan puncak kebengisan. Menurut Ibnu Juzyi, penolakan kasar itu bisa menolak untuk memberi makanan dan berbuat baik kepadanya, atau menolak memberikan harta dan hak- haknya. Dijelaskan Abdurrahman as Sa’di bahwa perilaku yang tidak mengasihi anak yatim itu disebabkan oleh kekerasan hati mereka, juga karena mereka tidak berharap pahala dan tidak takut terhadap dosa.

Quraish Shihab mengartikan mereka yang mengabaikan anak yatim, menurutnya kata ini tidak terbatas pada dorongan fisik, tetapi mencakup segala macam penganiayaan, gangguan dan sikap tidak bersahabat terhadap mereka. Walhasil ayat ini melarang untuk membiarkan dan meninggalkan anak yatim.

Kata al yatim terambil dari kata yutm yang berarti kesendirian, kata tersebut digunakan untuk menunjuk anak manusia yang belum dewasa yang ayahnya telah wafat, sehingga yatim adalah anak yang ditinggal mati ayahnya. Sebutan itu berlaku hingga anak tersebut berusia baligh. Jika sudah baligh, status yatimnya hilang. Quraish Shihab menyatakan bahwa walaupun ayat ini berbicara tentang anak yatim, namun maknanya dapat diperluas sehingga mencakup semua orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan, dan hal ini dikuatkan dengan kandungan ayat berikutnya.

Ciri berikutnya adalah Wa la yahudhdhu ‘ala tha’am al miskin (dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin). Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah, sedikit pakaian atau makanan. Mereka bahkan ditimpa kelaparan. Ibnu Katsir mengartikan miskin sebagai orang yang membutuhkan, yang tidak mampu hidup dan menjaga dirinya. Kata miskin dalam ayat ini juga mencakup kaum fakir. Dua kelompok tersebut yakni fakir dan miskin jika hanya disebutkan salah satunya, maka itu mencakup kedua-duanya. Kedua kelompok itu baru dibedakan jika keduanya disebutkan bersama-sama.

Maksudnya adalah tidak mendorong orang lain untuk memberikan makanan kepada orang yang membutuhkan. Kata la yahudhdhu menurut al Mawardi, tidak melakukannya padahal ia mampu (untuk membantu orang miskin) dan juga tidak menganjurkan sama sekali pada orang lain untuk membantu mereka. Menurut al Khazin, ungkapan ini menunjukkan puncak kebakhilan. Sebab, dia bakhil terhadap hartanya dan harta orang lain untuk diberikan. Aspek ini pula yang ditegaskan Imam al Qurthubi. Menurut al Qurthubi, sikap mereka yang tidak mendorong memberi makan orang miskin itu disebabkan oleh kebakhilan dan pengingkarannya terhadap pembalasan. Hal ini sejalan dengan QS al Haqqah (69): 34. Firman Allah SWT.;

Dan juga Dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi Makan orang miskin.

Oleh karena itu, celaan tersebut tidak bersifat umum hingga mencakup orang-orang yang tidak melakukannya karena lemah. Namun, mereka adalah orang-orang yang bakhil dan mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakannya sebagaimana ucapan mereka dalam QS Yasin (36): 47. Firman Allah SWT.;

Dan apabila dikatakakan kepada mereka: “Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu”, Maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: “Apakah Kami akan memberi Makan kepada orang- orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, Tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata”.

Ayat ini turun untuk mereka dan ditujukan kepada mereka. Dengan demikian, menurut al Qurthubi ayat ini bermakna, “mereka tidak mau berbagi meski mereka mampu dan apabila mereka tidak mampu mereka tidak menganjurkan orang lain untuk berbagi”.

Quraish Shihab berpendapat, ayat ini mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai “penganjur pemberi makan”. Ayat ini tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak berpartisipasi dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap orang yang lemah.

Ibnu Katsir menuliskan bahwa ayat ini semisal dengan firman Allah SWT. dalam surat al Fajr 17-18:

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin.

Hamka berpendapat dalam tafsirnya bahwa semestinya seorang ayah mendidik anak dan istrinya supaya menyediakan makanan bagi yang membutuhkan jika mereka datang meminta bantuan. Serta menjadikan kegiatan ajak mengajak, galak menggalakkan dalam rangka menolong anak yatim dan fakir miskin menjadi perasaan bersama dan budi pekerti yang umum.

Makna yang demikian juga dikemukakan oleh Sayid Quthb dengan tegas sesungguhnya hakikat membenarkan agama itu tidak sekedar ucapan lisan semata, melainkan berproses dalam hati hingga mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan kebenaran kepada saudaranya sesama ummat manusia yang membutuhkan perlindungan dan perawatan.98

Penggunaan kata tha’am yang berarti makan atau makanan. Ayat tersebut tidak menggunakan kata ith’am (memberi makan). Menurut al Shobuni, tatkala hak anak yatim saja ditolak, maka bagaimana mungkin mau memberi makan orang miskin?.
Menurut al Alusi menunjukkan mendesaknya kebutuhan mereka terhadap makanan itu. Lalu di-mudhaf-kannya kata tha’am dengan kata miskin, mengisyaratkan seolah-olah orang miskin itu menjadi pemilik makanan yang diberikan itu, sebagaimana dalam firman Allah SWT.:

Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mendapat bagian. QS adz Dzariyat: 19

Ini merupakan penjelasan tentang besarnya hak tersebut bagi orang miskin. Sebagaimana yang diungkapkan Quraish Shihab, bahwa penyebutan tha’am bertujuan agar setiap orang yang menganjurkan dan memberi makan itu tidak merasa bahwa ia telah memberi makan orang-orang yang membutuhkan. Ini mengisyaratkan bahwa pangan yang mereka anjurkan atau mereka berikan itu pada hakikatnya walaupun diambil dari tempat penyimpanan yang dimiliki si pemberi, tetapi apa yang diberikannya itu bukanlah miliknya, tetapi hak orang- orang yang membutuhkan.

Fakhruddin al Razi mengatakan bahwa makna ayat tersebut ada dua, pertama tidak mendorong dirinya untuk memberi makan orang miskin, dan penyambungan kata al tha’am ke al miskin karena makanan itu telah menjadi hak orang miskin, maka seolah-olah dia telah menghalangi orang miskin dari apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, ungkapan ini menunjukkan puncak kebakhilan mereka, kekerasan hati mereka, dan kerendahan tabiat mereka. Kedua, tidak menganjurkan orang lain untuk memberi makan fakir miskin, sebab mereka tidak yakin bahwa hal itu akan memperoleh ganjaran. Allah SWT. memberikan tanda pendusta agama karena menyakiti orang miskin dan menolak berbuat baik. Walau orang seperti ini percaya dengan al jaza dan al wa’id, tetap saja bahwa dosanya adalah berdusta dalam agama.

Selanjutnya Allah SWT berfirman:

Fawailun li al mushallin (Kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat).

Al Qur’an sama sekali tidak menjelaskan wail itu apa, tetapi al Qur’an sering menggunakan lafadz wail untuk konteks siksa bagi orang tetentu, dan kadang dirangkai dengan hari kiamat, menganai wail ini at Thabari mengartikan wail adalah lembah yang dialiri oleh nanah para penghuni jahannam, diperuntukkan bagi orang-orang munafik yang mengerjakan sholat tapi dengan sholat itu mereka tidak menginginkan Allah dan mereka lalai dalam sholatnya. Al Qurthubi mengatakan bahwa makna al wail adalah adzab.

Menurut al zuhaili, kata wail berarti khizyun wa ‘adzabun li al munafiqin (kehinaan dan azab bagi orang munafik). Dalam al Quran, sebagaimana dituturkan ar Razi, kata wail ini biasa digunakan untuk menyebut jarimah syadidah (penyiksaan yang sangat berat), seperti dalam QS al Muthaffifin (83): 1, al Baqarah (2): 79, al Humazah (104): 1.

Sementara Quraish Shihab mengatakan, wail digunakan dalam arti kebinasaan dan kecelakaan yang menimpa akibat pelanggaran dan kedurhakaan. Ada juga yang memahaminya dalam arti nama dari salah satu tingkat siksaan neraka. Ada juga yang memahami dalam arti ancaman kecelakaan tanpa menetapkan waktu serta tempatnya, ini berarti bahwa kecelakaan itu dapat saja menimpa pendurhaka dalam kehidupan duniawi atau ukhrawi.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Amiruddin yang mengatakan, ketika wail diartikan dengan neraka, maka konsekuensinya adalah ancaman yang akan menjadi kenyataan setelah kiamat bukan pada saat sekarang ketika masih di dunia. Oleh karena itu, lebih tepatnya diartikan sebagai kecelakaan atau kebinasaan. Dengan demikian ancaman tersebut tidak mengenal waktu dan tempat, kapan dan dimanapun faktor yang menjadi penyebabnya terjadi, maka kecelakaan dan kebinasaan akan menimpa pelakunya.

Dalam ayat ini ancaman keras tersebut ditujukan kepada al mushallin (orang-orang yang shalat). Tentu yang dimaksud dengannya bukanlah orang yang mengerjakan shalat dengan benar. Sebagai sebuah kewajiban, balasan bagi pelakunya adalah pujian dan pahala, bukan celaan dan dosa. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan al mushallin di sini adalah orang-orang yang mendapat taklif kewajiban shalat, namun tidak mengerjakannya. Kalaupun mengerjakan, dipastikan tidak benar.

Pada ayat berikutnya

al ladzina hum ‘an shalatihim sahun (yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya).

Kata sahun merupakan bentuk fa’il dari kata as-sahwu. Secara bahasa, kata tersebut bermakna khatha’ ‘an ghaflah (kesalahan karena kelalaian).

Al Thabari menuliskan dalam tafsirnya bahwa para ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud orang-orang yang lalai dari sholatnya, sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah mereka yang menunda-nunda pelaksanaan dari waktunya, sehingga mereka tidak mengerjakannya kecuali setelah keluar dari waktunya. Sedangkan yang lain berpendapat meninggalkannya serta tidak mengerjakan sholat. Pendapat terakhir adalah mereka meremehkannya, melalaikannya dan menyia-nyiakannya.

Ibnu Abbas mengemukakan dalam tafsirnya hadits yang diriwayatkan al Baghawi tentang pengertian sahun,

" Pada hadits diatas Rasulullah ditanya tentang orang-orang yang lalai dari shalatnya, kemudian beliau menjawab: “hilangnya waktu”. Ibnu Abbas mengatakan, mereka orang-orang munafik yang meninggalkan shalat ketika tidak ada manusia, dan melaksanakan shalat dengan terang-terangan ketika bersama manusia."

Menurut Al Dhahhak yang juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah orang yang ketika shalat tidak mengharapkan pahala serta ketika meninggalakan shalat tidak takut siksa. Sedangkan menurut riwayat Sa’ad bin Abi Waqash adalah orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya karena menganggap remeh. Pendapat terakhir inilah yang banyak digunakan oleh kebanyakan mufassir.

Al Qurthubi mengatakan makna ayat ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Maryam [19]: 59, Allah SWT. berfirman;

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya.

Serta firman Allah SWT. dalam surat al Nisa’ [4]: 142:

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk sholat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut (mengingat) Allah kecuali sedikit.

Menurut al Qurthubi ayat tersebut menunjukkan bahwasannya itu merupakan orang-orang munafik.

Patut dicatat, dalam ayat ini digunakan ‘an shalatihim dan bukan fi shalatihim. Dipaparkan al Zamakhsyari bahwa kata ‘an di sini berarti mereka melalaikan shalat, lalai dengan meninggalkan shalat dan minimnya perhatian mereka terhadapnya. Ini merupakan perbuatan kaum munafik atau kaum fasik dari kaum Muslim. Adapun makna fi, kelalaian itu menimpa kaum Muslim pada saat shalat oleh bisikan setan atau dirinya sendiri. Seorang Muslim hampir tidak terbebas dari ini. Rasulullah saw. pun pernah mengalaminya dalam shalatnya. Oleh karena itu, para fuqaha pun menetapkan bab khusus mengenai sujud sahwi dalam kitab-kitab mereka.

Lebih lanjut al Qurthubi menuliskan pendapat Ibnu Abbas bahwa seandainya yang disebutkan dalam surat ini adalah fi sholatihim sahun, maka ancaman keras tersebut menimpa seluruh orang-orang beriman. Demikian pula pendapat Atha’, Alhamdulillah bahwa yang disebutkan adalah ‘an sholatihim. Sebab jika disebutkan fi sholatihim adalah mereka yang terlupa dalam sholatnya tanpa disengaja baik karena bisikan setan maupun dari dalam dirinya sendiri, sedang hal tersebut adalah manusiawi.

Al zuhaili mengemukakan bahwa pemakaian redaksi ‘an sholatihim tersebut memberikan pengertian bahwa lupa dalam pertengahan shalat diampuni oleh Allah SWT. karena memang hal tersebut berada diluar ikhtiyar dan batas kemampuan manusia.

Hal ini senada dengan pendapat Quraish Shihab yang mengatakan, kalau saja ayat ini menggunakan redaksi fi sholatihim, niscaya celakalah orang-orang yang tidak khusyu’ dalam shalatnya, atau celakalah orang-orang yang lupa jumlah rakaat shalatnya. Untung ayat ini tidak berbunyi demikian, karena alangkah banyaknya diantara kita yang demikian itu halnya, sehingga kecelakaan hanya tertuju kepada mereka yang lalai tentang esensi makna dan tujuan shalat.

Dalam hal ini al Shobuni mengklasifikasi kata lalai menjadi 2 jenis, pertama, lalainya orang munafik, yaitu lalai dengan meninggalkan shalat, dan kedua, lalainya orang mukmin, yakni lalai di dalam keadaan shalat dan diharuskan melakukan sujud sahwi.

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya

al ladzina hum yura’una (orang-orang yang berbuat riya’).

Kata yura’una berasal dari al riya’. Menurut Imam al Qurthubi, hakikat riya’ adalah thalab ma fi al dunya bi al ‘ibadah (mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah). Pada asalnya, riya’ berarti mencari kedudukan di hati manusia. Menurut al zuhaili, yang dimaksud riya’ adalah melakukan ibadah namun dengan tujuan duniawi, seperti mengharapkan kedudukan dan pengakuan dari masyarakat atas amal ibadahnya. Dengan demikian, riya adalah mengerjakan amal shalih yang tidak didasarkan pada niat ikhlas mencari ridha Allah. Yang diharapkan darinya adalah pujian dari manusia, termasuk ketika mereka mengerjakan shalat.

Banyak mufassir yang menyebutkan bahwa dua sifat ini merupakan sifat kaum munafik. Mereka enggan mengerjakan shalat. Kalau pun shalat, mereka hanya berharap pujian dari manusia. Sama sekali tidak berharap pahala. Ibnu Arabi ra. mengatakan bahwa mereka adalah termasuk orang yang riya’ dengan memperlihatkan shalatnya, maksudnya adalah orang yang mengerjakan shalat dengan baik dan waktu yang lama dengan tujuan dilihat manusia. Menurut al Shobuni yang dimaksud adalah orang yang sholat dihadapan manusia dengan tujuan pamer agar ia disebut sebagai orang shaleh, dan orang yang berbuat khusyu’ agar disebut orang yang taqwa, serta orang yang bershodaqah dengan tujuan dianggap sebagai orang dermawan. Namun, al Razi membedakan orang munafik dengan orang yang berbuat riya. Jika munafik menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran, orang riya menampakkan apa yang tidak ada dalam hatinya dengan menambah kekhusyu’an agar orang yang melihatnya meyakini bahwa dia orang religius. Jika orang munafik tidak shalat ketika tidak ada orang, jika orang riya itu shalatnya menjadi lebih baik ketika ada manusia.

Namun yang perlu diperhatikan disini riya’ merupakan perbuatan hati yang ingin amal perbuatannya dilihat serta dipuji oleh orang lain. Dengan demikian, tidak semua orang yang melakukan ibadah dengan cara terang-terangan dan disaksikan orang lain dianggap salah dan tergolong riya’. Bahkan menurut al Qurthubi, dalam melakukan ibadah fardlu, kita dianjurkan untuk melakukannya dengan cara terang-terangan, karena dengan begitu berarti kita telah menyebarkan syi’ar agama Islam serta menolak fitnah karena dianggap tidak melakukan kewajiban. Berbeda dengan ibadah sunnah, maka yang paling baik adalah melakukannya dengan cara samar serta tidak diketahui orang lain. Akan tetapi ketika mengerjakan ibadah sunnah dengan cara terang-terangan tersebut bertujuan agar diikuti orang lain, maka hal tersebut justru tergolong amal yang dianjurkan.

Surat ini diakhiri dengan firman-Nya:

wayamna’un al Ma’un (dan enggan menolong dengan barang berguna).

Menurut al Zujaj, Abu Ubaid dan al Mubarrad, pada masa jahiliah kata al Ma’un adalah segala sesuatu yang mengandung manfaat. Kapak, periuk, timba, korek api, dan segala yang bermanfaat, baik sedikit maupun banyak, termasuk di dalamnya.

Dalam konteks ayat ini, ada yang menafsirkannya sebagai zakat, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya tentang macam-macam pengertian al Ma’un. Di antara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar, Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Hanifah, Ibnu Umar, al Hasan, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Qatadah dan al Dhahak. Ada pula yang menafsirkannya dengan segala sesuatu yang biasanya tidak ditolak untuk diminta, baik oleh fakir maupun orang kaya. Orang yang menolak untuk memberikannya akan disebut buruk akhlaknya dan tercela perangainya. Namun menurut al zuhaili, pendapat yang diambil oleh mayoritas mufassir adalah setiap sesuatu yang dibutuhkan baik oleh orang miskin ataupun kaya, dimana sesuatu tersebut oleh masyarakat umum dianggap sesuatu yang remeh atau kecil, yang ketika ada orang yang meminta atau meminjamnya pasti diberikan.

Termasuk dalam cakupan al Ma’un adalah garam, air dan api sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw.,

Ada tiga barang yang manusia tidak boleh dihalangi untuk mendapatkannya, yaitu air, api dan garam.

Ketiganya tidak boleh dihalangi untuk diambil. Kata tersebut digunakan untuk menyebut sesuatu yang sedikit dari yang banyak. Zakat bisa disebut sebagai al Ma’un karena hanya 2,5 persen. Ini hanya sedikit dari yang banyak. Barang yang biasanya dipinjam, seperti kapak dan parang, juga bisa disebut sebagai Ma’un. Dengan demikian, ayat ini berisi larangan bakhil dari sesuatu yang sedikit.

Quraish Shihab cenderung memahami kata al Ma’un dalam arti sesuatu yang kecil yang dibutuhkan, sehingga dengan demikian ayat ini menggambarkan betapa kikirnya pelaku yang ditunjuk, yakni jangankan bantuan yang sifatnya besar, hal-hal yang kecilpun enggan.

Selanjutnya al Qurthubi menutup pembahasan surat ini dengan menuliskan bahwa surat ini tepat sekali jika ditujukan kepada kaum munafiq, karena mereka tergolong dalam tiga sifat, yakni meninggalkan shalat, riya’, dan bakhil.

Makna ini sesuai dengan firman Allah SWT. dalam surat al Nisa’ 142,

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk sholat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut (mengingat) Allah kecuali sedikit.

Dan surat al Taubah 54,

Dan mereka tidak mengerjakan sholat melainkan dengan malas dan tidak pula menafkahkan (harta) mereka melainkan dengan rasa enggan.

Referensi :

  • Muhammad bin Ali al Syaukani, Fath al Qadir: al Jami’ bain Fanni al Riwayah wa al Dirayah min ilmi al Tafsir, (Beirut: Dar al Fikr, t.t), Jilid 5.
  • Muhammad at Thahir Ibnu Asyur, Tafsir al Tahrir wa al Tanwir, (Tunisia: Dar Sahnun li al Nasar wa al Tauzi’, t.t).
  • Makki bin Abi Thalib al Qissi, Musykilat I’rab al Qur’an, (Damaskus: Majma’ al
  • Lughoh al Arabiyah, 1974), Juz 2.
  • Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al Mawardi al Bashri, Al Nukat wa al Uyun; Tafsir al Mawardi, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, t.t), Jilid 6.
  • Al Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Al Syakhshiyyah al Islamiyyah, (Beirut: Dar al Ummah, 2005), vol. 3.
  • Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dzilal al Qur’an, (Beirut: Dar Al Syuruq, 1412 H),
  • Fakhru al Razi, Al Tafsir al Kabir, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, t.t), Jilid 8,
  • .