Apa makna yang terkandung di dalam Surat Al Falaq?

Surah Al-Falaq adalah surah ke-113 dalam Al-Qur’an. Nama Al-Falaq diambil dari kata Al-Falaq yang terdapat pada ayat pertama surah ini yang artinya waktu subuh. Surat ini tergolong surah Makkiyah.

Apa makna yang terkandung di dalam Surat Al Falaq?

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar), Dari kejahatan (makhluk yang) diciptakan, Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, Dan dari kejahatan (wanita-wanita) penyihir yang meniup pada buhul- buhul (talinya), Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (QS. Al-Falaq [113]: 1-5)

Dalam tafsir Fi Zilal al-Qur’an, memaparkan bahwa surah ini dan surah sesudahnya merupakan pengarahan dari Allah SWT kepada RasulNya serta seluruh kaum muslimin suapaya berlindung kebawah naungan Allah dari segala sesuatu yang menakutkan, baik yang tersembunyi maupun tampak, yang tidak diketahui maupun yang diketahui, yang secara global maupun yang terperinci. Dalam hal ini Allah menyebutkan diriNya dengan sifatNya yang dapat melindungi dari kejahatan sebagaimana yang disebutkan dalam surah diatas. Dengan pemaparan sebagai berikut:

1. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar),

Al-Falaq memiliki makna lain yaitu subuh. Di antaranya juga berarti makhluk secara keseluruhan. Lafal falaq dalam artian subuh ini memiliki makna untuk meminta perlindungan kepada Tuhan yang menguasai waktu subuh, serta memberikan keamanan dengan cahayaNya dari keburukan yang tersembunyi dalam kegelapan.

Quraisy Shihab menambahkan dalam tafsirnya boleh saja kita meminta bantuan kepada selain Allah, namun pada saat yang sama kita harus menyadari dan meyakini bahwa pada hakikatnya kita meminta pertolongan kepada Allah dengan lantaran orang yang kita mintai bantuan. Al-Falaq juga bisa diartikan sebagai peralihan. Baik peralihan dari malam menjadi siang, peralihan musim kemarau ke musim hujan dan segala peralihan waktu. Dalam proses peralihan inilah banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang besar terjadi, sebagaimana peralihan siang ke malam terjadinya peralihan suhu yang sangat besat mulai dari panas yang terik menjadi dingin menujuk tulang. Begitu pula peralihan musim hujan ke musim kemarau, dalam prosesnya akan banyak angin dingin yang sering berhembus dan banyak menimbulkan banyak penyakit. Untuk itulah Allah menganjurkan Rasulullah agar tetap menyerahkan dirinya kepada perlindungan Allah yang mutlak.

2. Dari kejahatan (makhluk yang) diciptakan,

Perlindungan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perlindungan dari makhlukNya secara mutlak dan global. Makhluk tersebut memiliki kejelekan serta keburukan sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya dan memiliki bermacam- macam kejelekan, sebagian dari mereka juga memiliki kebaikan yang satu dengan yang lainnya berbeda. Maksud dari permintaan perlindungan ini adalah meminta perlindungan agar kebaikan yang ada tetap langgeng dan terjada dari keburukan-keburukan yang dapat mencemari suatu kebaikan.

Menurut Quraisy Shihab, ayat ini berisi tentang permohonan perlindungan yang diinginkan oleh manusia kepada Allah, pada ayat sebelumnya. Permohonan perlindungan disini merupakan perlindungan dari perbuatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri, dari manusia lain ataukah dari golongan iblis dan setan. Berbeda dengan dua pendapat mufassir sebelumnya yang menyatakan bahwa maksud permohonan pada ayat ini ditujukan guna memohon perlindungan dari perbuatan orang lain, baik manusia ataukan golongan jin.

HAMKA justru memaknai ayat ini dengan permohonan dari segala suatu peristiwa dan ketentuan yang telah Allah kehendaki, karena menurutnya Allah-lah dzat yang berkuasa penuh terhadap segala sesuatu sedangkan sesuatu selain diriNya tidaklah dapat memberikan kemudharatan kepada yang lain tanpa seizinNya. Permohonan pada ayat ini dianggap HAMKA merupakan permohonan yang lebih umum tanpa harus membatasinya kepada perlindungan dari perbuatan manusia maupun jin yang ditujukan kepada orang yang
meminta perlindungan.

3. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita

Kata “al-gasiq” menurut bahasa berarti yang tumpah dan yang mengalir dengan deras. Sedangkan kata “al-waqab” berarti galian di gunung yang mengalirkan air. Dan maksud disini adalah malam dengan segala keadaannya. Malam ketika sudah menyelimuti dataran. Yakni, keadaan ini terasa begitu mencekam, dikarenaan keadaan ini sangat rentan terhadap sesuatu yang membahayakan dan tersembunyi baik dari terkaman binatang buas, orang-orang yang berbuat jahat yang sedang mengintai. Atau dari perasaan waswas, bisikan-bisikan, kesusahan serta kesedihan yang merayap pada waktu malam. Atau dari syahwat yang bangkit ketika seseorang sedang sendiri, karena bujukan dari setan yang melancarkan kesan-kesannya melalui bisikan yang sangat halus.

Sejalan dengan Sayyid Qutb, Quraisy Shihab menyatakan bahwa ayat ini merupakan permohonan perlindungan dari kejadian-kejadian buruk yang dapat terjadi dalam kegelapan. Sebagian ulama berperndapat bahwa waktu gelap disini adalah ketika matahari mulai terbenam hingga terbitnya kembali esok hari.

Ayat ini dimaknai HAMKA sebagai permohonan perlindungan yang tidak hanya dari perbuatan-perbuatan orang lain kepada si pemohon tetapi juga perlindungan dari perbuatan-perbuatan yang tercela dari si pemohon sendiri yang dapat terjadi tanpa dapat dikendalikan.

Pada era modern ini, justru tempat-tempat maksiat lebih banyak yang terbuka ketika malam telah menjelang dan justru lebih ramai dari pada pagi maupun siang hari. Perlindungan dari godaan seperti inilah yang juga termasuk dalam permohonan perlindungan yang diharapkan oleh si peminta kepada Allah.

4. Dan dari kejahatan (wanita-wanita) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya),

Al-Naffaatsaat fil-„uqad” adalah wanita-wanita tukang sihir yang berusaha mengganggu dan menyakiti dengan jalan menipu indra, menipu saraf dan memberikan kesan pada jiwa dan perasaan. Mereka meniup tali-temali seperti benang atau sapu tangan, atau sebuah pintalan yang telah mereka sugesti. Sihir ini tidak mengubah tabiat sesuatu, serta tidak menimbulkan hakikat baru. Akan tetapi hanya mengkhayalkan (menimbulkan bayangan) bagi indra perasa sesuai dengan kehendak penyihir.

Dalam ayat ini juga menurut Quraisy Shihab, merupakan salah satu dari permohonan perlidungan yang diinginkan yaitu dari para penyihir wanita yang meniupkan jampi-jampi kepada bubul-bubul.

Perlindungan yang diharapkan dari ayat ini merupakan permohonan yang difokuskan kepada perlindungan dari mantra-mantra yang dapat membahayakan jiwa seseorang. Karena dalam dunia perdukunan terdapat istilah yang disebut dengan TUJU yang berarti memiliki tujuan. Maksudnya adalah mantra-mantra yang diucapkan oleh seorang penyihir dapat menuju/mendatangi orang yang diinginkan (dimantra-mantrai) meskipun jarak antara keduanya sangatlah jauh. Mungkin akan lebih mudah bila kata tersebut disebut sebagai santet sebagaimana dalam istilah yang lebih bisa dipahami oleh orang jawa. Santet yang dilakukan terkadang memiliki beberapa efek atau akibat kepada orang yang disantet, ada yang merasa sakit perut, tubuh melepuh atau bahkan bisa hingga meninggal. Hal ini tergantung kepada jampi atau mantra dan juga maksud dari santet yang dikirimkan.
Pada jaman dahulu, para penyihir kebanyakan adalah seorang wanita yang meniup buhul-buhul, hal ini merupakan gambaran penyihir di jazirah Arab.

Berbeda dengan penyihir di Eropa yang digambarkan sebagai orang wanita tua yang mempunyai wajah yang menyeramkan. Dia selalu menyalakan api guna untuk memanaskan periuk dihadapannya, yang telah dia campurkan kedalamnya ramuan-ramuan tertentu. Ada pula yang mengabarkan bahwa salah satu bahan yang tercampur dalam periuk tersebut adalah jasad seorang bayi yang merupakan hasil hari perzinahan.

5. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki."

Hasad merupakan sikap jiwa terhadap kenikmatan yang diberikan Allah kepada sebagian hambaNya yang menginginkan agar kenikmatan tersebut hilang dari yang bersangkutan (dari orang yang di dengki). Baik orang yang dengki ini mengikuti kedengkiannya dengan berupaya dengan tindaannya untuk melenyapkan kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain atau hanya sebatas sikap dalam jiwanya, maka hal tersebut dapat menimbulkan perilaku tersebut.

Sedangkan sebab- sebab iri serta dengki, menurut pendapat sementara dari pakarnya, adalah adanya keangkuhan, persaingan, rasa takut, cinta kekuasaan dan watak buruk yang telah menjadi watak seseorang. Segala perbuatan buruk yang terjadi pada ayat sebelumnya, seperti pengiriman santet kepada orang lain adalah salah satu akibat dari adanya sifat dengki dan iri terhadap apa-apa yang dimiliki oleh orang lain yang tidak ia miliki. Seperti jabatan, harta dan popularitas. Penyakit dengki inilah yang bila dibiarkan hanya akan membutakan hati orang yang memiliki rasa dengki, hingga tiada lagi kebahagian pada dirinya sama sekali. Rasa dengki ini, bisa menimbulkan berbagai macam kejahatan seperti memfitnah, adu domba dan terlebih adanya keinginan agar orang yang ia dengki menjadi sengsara.

Rasa dengki ini merupakan sifat buruk yang pertama kali muncul di langit dan juga dibumi. Bila di langit rasa dengki ini terjadi saat iblis membenci Adam. Sedangkan di dunia adalah dengki antara Qabil kepada Habil.

Dari ungkapan-ungkapan serta pemaparan yang diuraikan oleh para mufassir mengenai surah ini, banyak yang menyebutkan bahwa surah ini merupakan surah yang berisi permohonan perlindungan. Dalam hal ini adalah perlindungan dari sihir yang dikirimkan oleh orang-orang tertentu dengan menggunakan bantuan wanita-wanita penyihir yang mampu untuk mengirimkan sihir tersebut dengan menggunakan media-media tertentu untuk mengirikan sihir tersebut. Hal yang mendasari orang-orang yang mengirimkan sihir pada orang lain adalah adanya rasa dengki yang menguasai hati mereka. Hal inilah yang menggelapkan hati mereka, dan tujuan dari pengiriman sihir ini adalah untuk menghilangkan apa-apa yang dimiliki oleh orang tersebut, baik guna-guna yang mengakibatkan dia dibenci dan dijauhi atau jatuh sakit bahkan ada pula yang mengalami kehilangan nyawa.

Referensi :

  • Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, Jilid 1, Mei 2004, cet. IV
  • M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an), Ciputat: Lentera Hati, Januari 2007, Vol. 1, Cet. IX.
  • HAMKA, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005.