Apa makna yang terkandung dalam Surah Al-Ahzab ayat 59 ?

yā ayyuhan-nabiyyu qul liazwājika wa banātika wa nisāil-muminīna yudnīna 'alaihinna min jalābībihinn, żālika adnā ay yu'rafna fa lā yużaīn, wa kānallāhu gafụrar raḥīmā

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Apa makna yang terkandung dalam Surah Al-Ahzab ayat 59 ?

Asbab an-Nuzul Surah Al Ahzab 59


Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa suatu ketika Siti Saudah, istri Rasulullah SAW ke luar rumah untuk kepentingan setelah turunnya ayat hijab. Ia seorang wanita yang badannya tinggi besar, sehingga mudah dikenal orang. Pada waktu itu Umar bin Khattab melihatnya, dan ia berkata: “ Wahai Saudah, demi Allah. Bagaimanapun kami akan dapat mengenalmu. Karena itu, cobalah berpikir mengapa kamu ke luar?”.

Dengan tergesah-gesah Saudah segera pulang. Dan di saat itu Rasulullah SAW sedang berada di rumah Aisyah. Beliau sedang memegang tulang waktu makan. Ketika Saudah masuk, langsung berkata : “ Wahai Rasulullah, aku ke luar untuk suatu keperluan, dan Umar menegurku karena masih juga mengenalku”. Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT menurunkan ayat ke-59 kepada Rasulullah ketika tulang itu masih berada di tangannya. Maka beliau bersabda :

“Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kamu ke luar rumah untuk suatu keperluan”. (HR. Bukhari dari Aisyah)

Pada suatu waktu pernah istri-istri Rasulullah ke luar malam hari untuk buang air. Pada waktu itu kaum munafikin mengganggunya dan menyakiti. Hal ini diadukan kepada Rasulullah, sehingga beliau menegur orang-orang munafik tersebut. Mereka menjawab : “ Kami hanya mengganggu hamba sahaya”. Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT menurunkan ayat ke-59 sebagai perintah untuk berjilbab (pakaian tertutup), agar ada perbedaan dengan hamba sahaya. (HR. Ibnu Sa’ad dalam kitab at- Thabaqat dari Abu Malik. Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan dari Hasan dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi)

Ketika ayat ke-59 diturunkan, maka wanita-wanita Anshar ke luar dengan mengenakan pakaian yang menutup kepala, sehingga kelihatan aneh dan anggun saat berjalan. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Umu Salamah)

Tafsir Surah Al Ahzab 59


Wahai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isteri engkau, dan anak-anak perempuan engkau dan isteri-isteri orang beriman: "Hendaklah mereka meletakkan jilbabnya ke atas diri mereka".

Di dalam ayat ini Rasulullah diperintahkan oleh Tuhan supaya memerintahkan pula kepada isteri-isterinya dan anak-anaknya yang perempuan , setelah itu kepada isteri-isteri orang yang beriman supaya kalau mereka keluar dari rumah hendaklah memakai Jilbab ke atas badan mereka.

Hamka mengutip pendapat al-Qurthubi dalam tafsirnya bahwa jilbab itu lebih luas dari selendang. Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, keduanya sahabat Rasulullah yang terhitung alim mengatakan bahwa jilbab ialah rida’, semacam selimut luas. Al-Qurthubi menjelaskan sekali lagi : “ Yang benar adalah sehelai kain yang menutupi seluruh badan”. Hamka juga mengutip perkataan Ibnu Kathir bahwa jilbab ialah ditutupkan ke badan lebih atas daripada selendang.

Sufyan Ats-Tsauri memberikan penjelasan bahwa makanya isteri-isteri Nabi dan anak-anak perempuan beliau dan orang-orang perempuan beriman disuruh memakai jilbab di luar pakaian biasa, ialah supaya jadi tanda bahwa mereka adalah perempuan-perempuan terhormat dan merdeka, bukan budak- budak, dayang dan bukan perempuan pelacur.

As-Suddi berkata : “ Orang-orang jahat di Madinah keluar pada malam hari ketika mulai gelap, mereka pergi ke jalan-jalan di Madinah, lalu mereka menganggu perempuan yang lalu-lalang. Sedang rumah-rumah di Madinah ketika itu berdesak-desakan karena sempit. Maka jika hari telah malam, perempuan-perempuan pun keluar ke jalan mencari tempat untuk membuang kotoran mereka. di waktu itulah orang-orang jahat itu mulai mengganggu. Kalau mereka melihat perempuan memakai jilbab tidaklah mereka ganggu. Mereka berkata : “Ini perempuan merdeka, jangan diganggu. Kalau mereka lihat tidak memakai jilbab, mereka berkata : “Ini budak!”, lalu mereka kerumuni.

Itulah sebabnya, maka lanjutan ayat berbunyi :

Yang demikian itu ialah supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, maka tidaklah mereka diganggu orang. Dan Allah adalah Maha Pemberi ampun dan Penyayang.” (ujung ayat).

Maksud ujung ayat adalah menghilangkan keraguan-raguan manusia atas kesalahan selama ini, sebelum peraturan ini turun. Karena orang-orang terhormat, perempuan-perempuan beriman berpakaian sama saja dengan budak dan perempuan lacur. Sama saja dengan koteka di Irian Jaya, yang khas hanya penutup alat kelamin yang membuat malu orang yang beradab jika melihat orang berpakaian begitu. Jika orang- orang Irian itu telah hidup dalam peradaban dan kemajuan, niscaya akan ada di antara mereka yang merasa dirinya berdosa karena selama ini telah membukakan seluruh tubuh di hadapan orang lain, kecuali yang “sedikit” itu saja yang tertutup.

Hamka menuliskan pengalamannya ketika berkunjung ke beberapa daerah di Indonesia dalam tema Jilbab di Indonesia. Beliau berkata bahwa sudah menjadi adat-istiadat perempuan Indonesia jika telah kembali dari Haji, lalu memakai khimaar (selendang) yang dililitkan di kepala dengan di bawahnya dipasak dengan sanggul bergulung, sehingga rambut kemas tidak kelihatan. Tetapi di zaman akhir-akhir ini perempuan-perempuan moden yang mulai tertarik kembali kepada agama, lalu pergi naik haji, di Jakarta (1974) pernah mengadakan suatu mode show (peragaan pakaian) di Bali Room Hotel Indonesia memperagakan pakaian moden yang sesuai dengan ajaran Islam dan tidak menghilangkan rasa keindahan (estetika).

Beberapa tahun yang lalu tukang-tukang mode di Eropa membuat kaum perempuan setengah gila dengan keluarnya mode rok mini, yaitu rok yang sangat pendek sehingga sebahagian besar paha jadi terbuka. Tetapi kemudian mereka bosan juga sehingga timbul rok maxi, yaitu rok panjang atau longdress yaitu pakaian panjang sampai ke kaki. Perempuan-perempuan moden yang telah haji lalu memakai longdress atau rok panjang itu jadi stelan pakaian orang haji.

Menurut Hamka, dalam ayat ini menjelaskan bahwa bentuk pakaian atau modelnya tidaklah ditentukan oleh al-Qur’an. Yang jadi pokok yang dikehendaki oleh al-Qur’an adalah pakaian yang menunjukkan Iman kepada Allah, pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki. Sehingga alangkah baiknya kalau yang jadi ahli mode itu orang yang beriman kepada Allah, bukan yang beriman kepada uang dan kepada daya tarik syahwat nafsu (sex appeal).

Setelah membaca tafsir Buya Hamka ini, kiranya yang tidak ditemui dalam pengalaman beliau yang merupakan fenomena baru; sesuatu yang baru terjadi di kalangan muslimah di zaman sekarang adalah ”berjilbab antara iya dan tidak”. Katanya berjilbab tapi tidak sempurna, bahkan jauh dari sempurna. Ingin berhijab, tapi seperti enggan menjadi hamba Allah (tunduk patuh pada aturan syariat-Nya), malah terpeleset jadi hamba mode. Inikah agaknya yang digambarkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis sahih? Semoga kita tidak termasuk golongan yang menutup mata, telinga dan hati dari peringatan beliau SAW:

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi , dengannya ia memukuli orang dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan condong (dari ketaatan), kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Hijab Perspektif Hamka


Dalam merespons perbincangan mengenai “ pakaian dan aurat perempuan”, baik Hamka, Moenawar Chalil, dan tokoh-tokoh lainnya memberikan argumentasi masing-masing. Akan tetapi pandangan Hamka tampak lebih moderat dibanding pandangan tokoh-tokoh lain. Hamka mengemukakan pendapatnya dengan bertitik tolak dari pemahaman dua buah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Khuzaimah dan dengan memberikan perbandingan surah an-Nur: 31 dan al-Ahzab: 33, 59, serta dilengkapi dengan beberapa pandangan ulama fiqih tentang kewajiban perempuan dalam menutup aurat.

Sebagaimana diketahui, Imam Syafi’I berpendapat bahwa aurat perempuan (di luar shalat) adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan; sementara Imam Hanafi dan Imam Malik berpendapat bahwa selain muka dan kedua telapak tangan, kedua betis perempuan pun boleh terbuka; sedangkan Imam Hambali mempunyai pandangan yang lebih ketat bahwa seluruh badan perempuan adalah aurat, termasuk kedua telapak tangan, hanya muka saja yang boleh kelihatan.

Berangkat dari berbagai rujukan di atas, Hamka sependapat dengan ulama-ulama’ sebelumnya untuk menetapkan bahwa pada waktu shalat, aurat perempuan yang boleh terbuka adalah muka dan telapak tangan. Sedangkan di luar shalat, Hamka mencoba meramu dari berbagai pandangan dan literature yang ditemuinya sehingga ia memiliki pandangan bahwa ayat dan hadits yang dijumpain tersebut harus dimaknai secara substantive. Busana Ratu Inggris menurut Hamka, adalah pakaian yang sopan dan menutup aurat dibandingkan dengan baju kurung panjang atau kebaya tapi transparan dan memperlihatkan lekuk tubuh perempuan.

Al-Qur’an maupun hadits, menurut Hamka, tidak memberikan rincian dan bentuk yang konkret tentang model pakaian sebagai penutup aurat tersebut. bentuk pakaian merupakan kebudayaan atau kebiasaan suatu bangsa menurut iklim negerinya, dan dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Tidak ada ketentuan harus memakai kebaya atau baju kurung, sebagaimana tidak ada larangan memakai gaun atau rok. Yang ditentukan oleh agama adalah pakaian sopan dan menghindari ‘ *tabarruj’.

Sementara itu Moenawar Chalil dalam masalah hijab – dimana purdah ia anggap sebagai pakaian yang harus dikenakan perempuan Muslim- memberikan pandangan dalam makna yang sangat formal, tidak seperti Hamka yang memberikan beberapa pandangan dan memaknai hijab secara substantive. Pemahaman Moenawar terhadap arti hijab adalah pakaian penutup aurat perempuan kecuali muka dan kedua telapak tangan. Semua ayat al-Qur’an dan hadits mengenai pakaian perempuan dijadikannya sebagai rujukan.

Menurut Moenawar, terdapat dua manfaat langsung dari pakaian purdah, yakni dapat melindungi diri perempuan dari perbuatan jahat laki- laki, dan menjaga kesopanan di antara keduanya dalam satu khlawah (tempat bertemu sendirian). Selain itu, Moenawar melarang perempuan memakai wewangian, sutera, dan emas secara berlebihan di luar rumah. Sebaliknya, di dalam rumah atau di hadapan suami dibolehkan bahkan dianjurkan. Demikian juga perempuan dilarang berpakaian menyerupai laki-laki. Sekalipun Moenawar memberikan penjelasan, ia selalu berputar-putar pada pemahaman hadits dan tafsir al-Qur’an yang tekstual. Pandangannya yang ‘hitam putih’ dalam melihat persoalan relasi gender menggiring kepada sikap subjektif dan apriorinya dalam memahami ‘teks agama’ secara langsung. Tidak berbeda dengan Moenawar, tokoh Aisiyah, seperti Lien Fatimah, juga memberikan makna formal dalam permasalahan hijab. Kebaya dan berkain adalah alternative yang ditawarkan agar perempuan-perempuan Muslim menutup auratnya.

Referensi :

  • Tafsir al-Azhar
  • Rusydi dan Afif, Hamka membahas soal-soal Islam , (Jakarta: Lentera Hati, 2009).

Menurut Ibnu Kathir, ayat ini berisi perintah Allah kepada Nabi SAW agar beliau menyuruh wanita-wanita mukmin, terutama istri-istri dan anak-anak perempuan beliau karena keterpandangan mereka, agar mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka, sebab cara berpakaian yang demikian membedakan mereka dengan wanita jahiliah dan budak-budak perempuan, dan dengan demikian mereka akan lebih mudah dikenali dan tidak diganggu.

Menurut pendapat Ibnu Mas’ud, Ubaidah, dan Qatadah jilbab ialah selendang yang lebih lebar daripada kerudung. Sedangkan al-Jauhari mengatakan bahwa jilbab adalah kain yang dapat dilipatkan.

Sumber : Tafsir Ibnu Kathir

Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita orang-orang mukmin agar mereka mengulurkan atas diri mereka jilbab mereka. Itu menjadikan mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak, yang baik-baik atau kurang sopan hampir dapat dikatakan sama. karena itu, lelaki usil sering kalimengganggu wanita khusunya yang mereka ketahui sebagai hamba sahaya. Untuk menghindarkan gangguan tersebut, serta menampakkan kehormatan wanita muslimah maka turunlah ayat tersebut.

Kalimat nisaul mukminin di terjemahkan oleh tim Departemen Agama dengan istri-istri orang mukmin. Sedangkan penulis yakni M. Quraish shihab menterjemahkannya dengan wanita-wanita orang mukmin. Sehingga ayat ini dapat juga mencakup gadis-gadis semua orang mukmin bahkan keluarga mereka semua.

Kata ‘alaihinna (di atas mereka) menegaskan bahwa seluruh badan mereka tertutupi oleh pakaian. Nabi Saw mengecualikan wajah dan kedua telapak tangan atau dan beberapa bagian lain dari tubuh wanita, Allah berfirman:

Artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera- putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera- putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. an-Nur: 31).

Ayat ini merupakan penjelasan Nabi Saw yang merupakan penafsiran dari ayat di atas.

Kata Jilbab diperselisihkan oleh para ulama’. Al-Biqa’i menyebut beberapa pendapat. antara lain, baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi wanita. Semua pendapat ini menurut al-Biqa’i dapat merupakan makna kata tersebut.

Kalau yang dimaksud adalah baju, maka ia adalah yang menutupi tangan dan kakinya. Kalau kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau maknanya pakaian yang menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.

Thabathaba’i memahami kata Jilbab dalam arti pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang menutupi kepala dan wajah wanita.

Ibnu Asyur memahami kata Jilbab dalam arti pakaian yang lebih kecil dari jubah tapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah. Ini diletakkan wanita di atas kepala dan terulur kedua sisi kerudung itu melalui pipi hingga ke seluruh bahu dan belakangnya.

Ibnu ‘Asyur menambahkan bahwa model Jilbab bisa bermacam-macam sesuai perbedaan keadaan (selera) wanita dan yang diarahkan oleh adat istiadat. Tetapi tujuan yang dikehendaki oleh ayat ini yaitu “ menjadikan mereka mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu .”

Menurut Shihab dalam bukunya Wawasan al- Qur’an, Salah satu maksud dari ayat ini memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab adalah bahwa harus diakui pakaian tidak menciptakan santri, tetapi ia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku seperti santri ataukah sebaliknya menjadi setan, tergantung dari cara dan model pakaiannya. Pakaian terhormat, dengan menggunakan jilbab misalnya, mengundang seseorang untuk berperilaku serta mendatangi tempat-tempat terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak senonoh.

Kata Tudni terambil dari kata dana yang berarti dekat dan menurut Ibnu ‘Asyur yang dimaksud di sini adalah memakai atau meletakkan. Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “ hendaklah kamu mengulurkan jilbabnya”. Ini berarti mereka telah memakai jilbab tetapi mereka belum mengulurkannya. Nah, ini ditegaskan untuk mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi bagi yang belum memakainya.

Untuk memperkuat pandangannya ini, Quraish Shihab menampilkan pandangan Sa’id Al-Asymawi, seorang pemikir liberal asal mesir, bahwa Dalam QS. Al-Ahzab: 59 ini, ‘ illat hukum pada ayat ini, atau tujuan dari penguluran jilbab adalah agar wanita-wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan wanita-wanita yang berstatus hamba sahaya dan wanita-wanita yang tidak terhormat, agar tidak terjadi kerancuan menyangkut mereka dan agar masing-masing dikenal, sehingga wanita-wanita merdeka tidak mengalami gangguan dan dengan demikian terpangkas segala kehendak buruk terhadap mereka. Akan tetapi ‘ illat hukum itu kini telah tiada, karena masa kini tidak ada lagi hamba-hamba sahaya, dan dengan demikian tidak ada lagi keharusan membedakan antara yang merdeka dengan yang berstatus hamba sahaya. Di samping itu, wanita-wanita mukminah tidak lagi keluar ke tempat terbuka untuk buang air dan tidak juga mereka diganggu oleh lelaki usil. Nah, akibat dari ketiadaan ‘ illat hukum itu, maka ketetapan hukum dimaksud menjadi batal dan tidak wajib diterapkan berdasarkan syariat agama.

Referensi :

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an , (Jakarta:Lentera Hati, 2006), Volume 15, cet. VII.