Apa Makna Teori dalam Penelitian Sastra?

image
Teori akan selalu menjadi acuan dalam sebuah penelitian. Tapi, seperti apakah makna teori dalam penelitian sastra?

Teori

Pembicaraan tentang teori selalu menarik perhatian. Bagi orang-orang tertentu, kata teori mungkin belum apa-apa sudah menyurutkan selera baca. Teori memang dikenal memiliki citra tak simpatik, kalau tidak bisa dikatakan buruk. Betapa tidak: teori sering dikontraskan dengan praktik. Pengkontrasan antara kedua hal ini sudah dikenal luas di kalangan masyarakat bahkan menjadi trademark beberapa iklan produk tertentu. Teori sering disalahmaknakan sebagai sesuatu yang mengawangngawang, sedangkan praktik berpijak di dunia nyata— yang jasanya dipujikan.

Teori sering diidentikkan dengan kerumitan dan dikaitkan dengan para ilmuwan atau pakar keilmuan tertentu. Kesan rumit seringkali ditimbulkan melalui stereotype penampilan fisik para ilmuwan yang digambarkan sebagai orang yang selalu serius, berkacamata tebal, berdahi lebar, dan berambut panjang tak terurus karena terlalu asyik berpikir sehingga mengabaikan penampilan. Dalam dunia sains, misalnya, teori sering diidentikkan dengan penampilan fisik atau gambar Albert Einstein atau para ilmuwan Yunani lainnya seperti Plato dan Socrates. Teori sastra sering diasosiasikan dengan para pakar atau pemikir besar seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Luce Irigaray, Jacques Lacan, Judith Butler, Louis Althusser, Gayatri Spivak, Julia Kristeva, dan lain-lain. Nama-nama tersebut tak jarang membuat bergidik orang yang agak ’alergi’ dengan teori sehingga semakin menyurutkan nyali mereka untuk mempelajari teori lebih jauh.

Ketidaksukaan sebagian orang terhadap teori terkait banyak alasan. Salah satu sebab mengapa seseorang ’membenci’ teori adalah kenyataan bahwa ketika kita mengakui keberadaan suatu teori, pada saat yang sama kita harus memiliki pandangan atau komitmen terbuka (Culler, 1997). Ketika kita menyadari pentingnya sebuah teori yang harus diketahui untuk menguasai atau mengaji suatu bidang, kita juga harus merasa legawa terhadap perkembangan berbagai hal baru yang sangat mungkin kita tidak atau belum mengetahuinya. Banyak orang yang merasa tidak nyaman jika dianggap atau terpaksa harus mengakui belum mengetahui suatu hal.

Problematika Pemaknaan Teori

Teori sering dipandang sebagai sesuatu yang merepotkan sekaligus memberdayakan. Teori sering dianggap sebagai sesuatu kemewahan oleh kebanyakan masyarakat umum, tetapi juga berfungsi sebagai kebutuhan pokok terutama oleh para pelajar, mahasiswa, dan kalangan akademisi. Kedua sikap yang (nyaris) bertolak belakang ini merupakan akibat dari adanya dua sudut pandang yang berbeda terhadap teori. Kelompok pertama memandang teori secara negatif sebagai sesuatu yang rumit, yang manfaatnya tidak bisa dirasakan secara langsung. Sementara itu, yang kedua memandang teori sebagai sebuah alat bermanfaat yang dapat memperbaiki proses dan hasil kerja.

Pemaknaan sebuah teori memang tidak mudah dan seringkali menimbulkan salah pengertian. Teori sering dimaknakan beragam tergantung dari sudut mana orang memahami dan memaknainya. Kerumitan dalam membicarakan teori disebabkan oleh, sedikitnya, empat alasan seperti yang diungkapkan oleh Culler (1997).

Pertama, sifat teori yang multi-disipliner dan selalu mempertanyakan diri-sendiri membuatnya terus berkembang dan nyaris tanpa batas. Misalnya, teori sastra melibatkan ilmu filsafat, linguistik, retorika, kajian budaya, gender, psikoanalisis, dan berbagai aliran dan mazhab kritik sastra. Ketika akan menelaah sebuah novel dengan menggunakan teori psikoanalisis, misalnya, seorang kritikus juga harus menguasai ilmu linguistik sehingga dapat dengan lincah melakukan pembacaan cermat (close reading) terhadap karya sastra yang dihadapinya itu . Kritikus itu juga harus memiliki kemampuan dalam menafsirkan ideologi pengarang dalam menjelaskan fenomena-fenomena implisit yang melatari motif dan perilaku karakter utama dalam novel yang tengah diapresiasinya itu.

Kedua, teori tidak berupaya memberikan jawaban atas suatu masalah melainkan menawarkan rangsangan baru bagi pemikiran lebih jauh tentang masalah yang ditiliknya itu. Ambil, misalnya, pembahasan tentang seksualitas yang ditulis oleh Michel Foucault, sebagai contoh. Dalam kritiknya, Foucault tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pengertian seks yang sebenarnya. Alih-alih, dia menjelaskan bagaimana gagasan tentang seks diciptakan atau dibangun dalam masyarakat. Foucault bahkan tidak secara khusus membahas kaitan seks dengan karya sastra. Dia hanya menegaskan bahwa karya sastra merupakan salah satu dari sekian tempat yang bisa digunakan untuk menjelaskan bagaimana makna seks dikonstruksi dalam masyarakat. Selanjutnya, gagasan tentang seksualitas yang dikemukakan oleh Foucault ini kemudian menjadi landasan penting bagi orang-orang yang berminat menganalisis karya sastra seperti novel dan mereka yang tertarik dalam kajian gender seperti gay, lesbian, dan homoseksual.

Foucault dianggap berpengaruh dalam menciptakan objek-objek sejarah baru seperti ’seksualitas’, ’hukuman’, dan ’kegilaan’ yang sebelumnya dianggap tidak memiliki sejarah tersendiri. Hasil karya Foucault menjadikan objek-objek tersebut sebagai sesuatu yang memiliki nilai konstruksi sosial sehingga mendorong kita untuk melihat dengan lebih jeli lagi bagaimana praktik-praktik yang berulang-ulang terjadi dalam suatu periode tertentu, termasuk bidang sastra, telah mempengaruhi dan turut serta membentuk segi-segi kehidupan kita. Alhasil, Foucault tidak member jawaban hitam-putih terhadap permasalahan seksualitas, tapi menyediakan landasan-landasan yang merangsang kita untuk berpikir lebih lanjut terhadap masalah yang semula kita rasakan sebagai suatu keniscayaan.

Ketiga, teori berfungsi untuk membuka atau melepaskan melalui telaah ulang dan perenungan kembali berbagai premis dan postulat apa yang kita telah ketahui. Oleh karena itu, pengaruh penguasaan teori sulit untuk diprediksi. Ketika kita sudah memahami dan menguasai teori dekonstruksinya Jacques Derrida, misalnya, kita tidak bisa mengklaim sudah menguasai segala hal yang berhubungan dengan kajian teks secara dekonstruktif. Hal ini terjadi karena pada dasarnya ketika kita mempelajari suatu (sisi dari) teori dekonstruksi, pada saat yang sama masih terdapat banyak hal lain di luar teori itu yang mungkin belum kita kuasai berkenaan dengan analisis sebuah teks. Atau juga karena teori dekonstruksi itu sendiri selalu berkembang dan mengalami perubahan dari masa ke masa. Oleh karena itu, kita harus bersifat terbuka dan berani meninjau ulang secara kritis apa yang telah kita ketahui selama ini. Meskipun demikian, penguasaan kita akan teori dekonstruksi tersebut akan mempengaruhi cara kita membaca dan memahami sebuah teks. Penguasaan teori ini membekali kita dengan kemampuan untuk mengajukan pertanyaan dari sudut pandang yang berbeda ketika kita membaca sebuah teks. Pertanyaan-pertanyaan dengan sudut pandang yang berbeda tersebut akan berimplikasi terhadap meningkatnya pemahaman kita terhadap teks yang kita baca.

Alasan keempat mengapa pemaknaan teori sering terkesan rumit ialah karena teori tidak bersifat metanarasi yang memiliki sisi keuntungan transendental yang bisa digunakan untuk mengkritisi kegiatan lain. Teori tidak menjelaskan jenis narasi mana yang paling benar atau paling diminati
oleh pembaca melainkan hanya berusaha untuk menunjukkan latar belakang asumsi dan pendekatan yang memungkinkan jenis karya sastra yang sama menghasilkan dua efek yang berlawanan. Sebaliknya, teori memiliki dialektika nonsintesis yang berkemampuan membaca, mempertanyakan, dan menerima keadaan-keadaan alternatif sebagai sesuatu yang valid dan mungkin bisa digunakan sebagai argumen.

Paparan di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pemaknaan teori sangat kompleks. Itulah sebab mengapa proses pemaknaan sebuah karya sastra tidak semudah yang diperkirakan. Problematika pemaknaan teori ini pulalah yang menjadikan pembahasan sastra lebih menarik karena menimbulkan perbedaan-perbedaan sudut pandang yang menarik untuk didiskusikan lebih mendalam.

Manifestasi Teori

Meskipun sering dipahami dengan nada miring, teori sebenarnya memiliki kontribusi penting dalam keseharian kita. Berikut ini beberapa manifestasi teori yang bisa dijadikan rujukan.

  • Teori sebagai spekulasi

Teori yang dapat merangsang lahirnya pertanyaanpertanyaan refleksif tentang bagaimana sesuatu bekerja dan bagaimana sesuatu tersebut dapat bekerja dengan cara lain (Nealon & Giroux, 2003). Ketika kita sudah menguasai teori psikoanalisis, kita akan menggunakan teori itu sebagai landasan dalam memahami konflik batin seorang pengarang dalam novelnya yang sedang kita baca. Sebagai contoh, ketika membaca novel Nothing But the Truth karya Avi atau The Chocolate War karya Robert Cormier, dengan berlandaskan teori psikoanalisis, kita akan mereka-reka apa saja yang menjadi bagian dari id penulis, bagaimana id tersebut termanifestasikan dalam ego-nya. Serta bagaimana super-ego pengarang mengontrol dan mengendalikan ego tersebut.

Dengan mencoba memahami novel tersebut melalui sudut pandang psikoanalisis, kita juga mungkin berspekulasi untuk mengekploitasi sudut pandang yang berbeda dari novel tersebut dengan menggunakan teori lain, misalnya teori poskolonial. Kita mungkin tertarik apakah proses pemaknaan kita mengalami perubahan ketika menganalisis novel tersebut berdasarkan teori yang berbeda atau tetap. Atau, kita juga mungkin akan merasa tertarik untuk menggunakan teori psikoanalisis untuk menganalisis novel lain yang memiliki jenis yang sama.

  • Teori sebagai perangkat alat dan konsep untuk bereksperimen

Sebuah eksperimen biasanya dilakukan berdasarkan pertanyaan dan kebutuhan untuk melakukan suatu perbaikan. Eksperimen ini biasanya berpijak pada hasil eksperimen sebelumnya dan menggunakan teori yang diambil dari hasil eksperimen tersebut sebagai perangkat alat dan konsep. Karena berpijak pada teori yang dihasilkan dari eksperimen sebelumnya, eksperimen yang baru akan memiliki landasan yang ajeg dan tidak akan mengulangi atau melakukan eksperimen yang sama. Hasil dari eksperimen baru ini bahkan seyogyanya lebih baik dari sebelumnya karena belajar dari kelemahan dan kekurangan eksperimen sebelumnya serta menggunakan teori yang dihasilkannya sebagai landasan. Tanpa teori, eksperimen yang dilakukan seseorang hanya akan menghasilkan sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena mungkin hanya akan mengandalkan intuisi belaka. Dalam bidang sastra, misalnya, kritik puisi atau novel yang hanya berdasarkan pada intuisi tidak akan menghasilkan pemaknaan yang konsisten dan komprehensif.

  • Teori sebagai lensa pandang yang memungkinkan kita memperoleh perspektif yang berbeda terhadap suatu hal

Sejarah menunjukkan, sebelum Copernicus menemukan teori hubungan antara bumi dan matahari dalam tata surya, masyarakat yang didukung oleh doktrin gereja meyakini bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi. Teori yang ditemukan oleh Copernicus, meskipun pada awalnya ditentang keras bahkan dia sendiri dihukum mati, mengubah keyakinan ini. Sejak itu, orang kemudian meyakini bahwa sebetulnya yang bergerak mengelilingi matahari adalah bumi, bukan sebaliknya.

Dalam dunia sastra, penemuan teori resepsi atau respons pembaca, misalnya, telah mengubah pendirian masyarakat, terutama peminat dan penikmat karya sastra, tentang pemaknaan sebuah karya sastra. Jika sebelumnya orang berkeyakinan bahwa makna sebuah karya sastra seperti puisi atau novel sangat bergantung pada otoritas teks, seperti yang didengungkan oleh pendukung teori Kritik Baru, maka setelah kemunculan teori ini, pendapat tersebut mengalami pergeseran. Berdasarkan teori resepsi atau respons pembaca, pembaca dan teks terlibat dalam sebuah proses transaksi dalam menentukan pemaknaan sebuah teks.

Pembaca menghubungkan makna dalam teks dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Dalam pandangan yang ekstrim, pembacalah yang menentukan proses pemaknaan. Ketika seorang membaca teks, maka ia memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan pemaknaan karena pada dasarnya otoritas pengarang telah mati (the death of the author) ketika teks sudah berada di tangan dan dinikmati oleh pembaca.

  • Spekulasi, eksperimentasi, dan lensa pandang baru

Dalam catatan perjalanan perkembangan sastra dan seni, telah melahirkan pergeseranpergeseran yang memperkaya khasanah pengalaman estetik, artifak budaya, dan medium ungkap kebudayaan. Misalnya, pergeseran dari karya realism klasik ke karya modernis, dan kemudian ke gaya ungkap dan cipta-karya posmodernis. Seperti halnya dalam bidang seni, pergeseran juga terjadi dalam bidang sastra. Sastra selalu dalam tegangan antara konvensi dan inovasi. Konvensi jenis teks yang dianggap karya sastra mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Jika dahulu puisi lebih dikenal memiliki aturan jumlah kata, rima, dan ritma yang terbatas, maka batasan itu kini tak lagi dianggap vital bagi status kepuisian suatu karya sastra yang padat simbol dan imaji ini. Sekarang ini, para pengarang semakin memiliki keleluasaan untuk melakukan eksplorasi dan eksperimentasi dalam tulisan mereka. Perhatikan bagaimana puisi Tragedi Sihka dan Winka karya Sutardji Calzoum Bachri. Permainan tipografi yang dilakukan oleh pengarang ini sangat berbeda dengan konvensi pembatasan bentuk puisi tradisional.

Dengan kata lain, inovasi dalam berbagai manifestasinya (dapat berupa bentuk baru, cara pandang baru, cara kerja baru, dan gaya pengungkapan atau bahkan pemaknaan baru) ini bersama-sama dengan upaya pengukuhan konvensi yang ada merupakan ruh yang memberikan kepada bidang sastra dan seni dinamika kehidupannya yang unik.

Fungsi Teori

Meskipun terkesan kontroversial, teori sebenarnya memiliki berbagai manfaat konkret yang tak terbantahkan. Kegunaan teori sudah terbukti dalam kemajuan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang memungkinkan kita hidup lebih nyaman dan menyenangkan dari sebelumnya. Misalnya, teori gravitasi bumi yang ditemukan oleh Albert Einstein telah mengilhami berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang penerbangan mulai dari jenis pesawat sederhana yang dirancang oleh Wright bersaudara, balon udara, sampai pesawat jet dan supersonik. Hasilnya, sekarang kita bisa merasakan kenyamanan ketika melakukan perjalanan dengan pesawat terbang yang menggunakan sistem teknologi yang semakin bertambah canggih dari waktu ke waktu.

Dari sekian banyak manfaat yang bisa diperoleh dari penggunaan teori, sedikitnya ada empat alasan mengapa teori diperlukan dalam kehidupan kita seperti dijelaskan berikut ini:

  • Teori dapat membantu memuaskan rasa keingintahuan kita tentang segala sesuatu.

Sejak dahulu, teori gravitasi bumi telah berhasil merangsang orang untuk mengetahui lebih jauh bagaimana sebuah benda dapat melayang di udara sebelum akhirnya terhempas ke bumi. Keingintahuan ini kemudian mengilhami orang yang tertarik dalam dunia aerodinamika yang kemudian mengarahkan penciptaan berbagai jenis pesawat terbang yang pada akhirnya bisa kita lihat dan rasakan manfaatnya sekarang ini. Dalam bidang sastra, misalnya, teori dapat memandu kita memahami proses bagaimana keadaaan psikologis dan dunia pertama penulis mempengaruhi dunia keduanya atau karya sastra yang dihasilkannya seperti yang diungkap oleh teori psikoanalisis. Berbagai macam teori kritik sastra juga memungkinkan kita menganalisis berbagai respons atau prilaku pembaca dalam memaknai, menikmati, dan merespons sebuah karya sastra seperti yang diyakini oleh para pendukung teori resepsi atau respons pembaca.

  • Teori dapat membantu kita memperbaiki praktik pengerjaan tugas keseharian kita.

Rutinitas pekerjaan sehari-hari, yang mungkin sering berjalan sesuai rencana, seringkali melalaikan kita untuk melakukan perubahan. Kita terkadang terlena untuk memperbaiki tugas keseharian kita sehingga bisa mendatangkan hasil yang lebih baik. Teori manajemen diri, misalnya, memungkinkan kita menyusun aktivitas keseharian yang lebih terencana dengan baik sehingga hasilnya lebih optimal. Dengan mengaplikasikan teori tersebut, hidup menjadi lebih efisien dan berkualitas. Dalam dunia sastra, ketika membaca sebuah karya sastra, novel misalnya, kita sering terkesan dengan keindahan bahasa atau plot karya sastra itu karena memiliki kesamaan dengan kehidupan yang kita jalani.

Dengan menggunakan teori resepsi, kita bisa lebih mengintesifkan kesan dan respons pembaca dalam bentuk yang lebih komprehensif. Contoh lain, teori close reading yang dikembangkan oleh para pendukung Kritik Baru (New Criticism) memberikan gambaran prosedur yang jelas dalam membaca cermat sehingga membuat proses pembacaan lebih terarah dan efisien. Dengan teori ini, seperti yang diyakini oleh pendukungnya, kita akan terhindar dari ’kesalahan’ dalam pemaknaan seperti affective fallacy.

  • Teori memungkinkan kita bertumbuh secara profesional.

Dalam aktivitas keseharian kita, kita sering berprilaku amatiran dengan mengedepankan intuisi bila dibanding dengan apa yang kita ketahui dari teori. Hal ini terjadi, antara lain, karena keengganan untuk menggunakan teori dalam praktik nyata atau karena kita memang tidak memiliki teori yang bisa digunakan. Oleh karena itu, hasil kerja kita tidak optimal dan tak meningkat jika tidakbisa dikatakan mandeg sama sekali. Teori biasanya dikembangkan lebih lanjut sampai rumusan langkah-langkah prosedur pelaksanaan suatu pekerjaan. Prosedur tersebut sangat membantu kita dalam mengidentifikasi langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengerjakan sesuatu dengan lebih terarah. Dengan berpatokan para prosedur yang jelas dan telah dirancang dengan baik, hasil kerja yang dicapai akan lebih optimal.

Ketika kita membaca sebuah teks, teori tentang penelusuran makna akan membantu kita menghasilkan pemaknaan yang komprehensif dan konsisten karena berpatokan pada teori yang telah berkembang dan diakui keabsahannya oleh kaum intelektual dalam bidang sastra. Berdasarkan
teori sastra, misalnya, makna bisa terdapat dalam diri pengarang, teks yang dibuatnya, konteks pembuatan karya sastra, dan pikiran pembaca. Pemaknaan sebuah karya sastra akan komprehensif jika melibatkan keempat ranah ini. Dengan menggunakan teori ini, proses pemaknaan teks apapun akan membuahkan hasil yang konsisten sehingga kesahihan argumennya bisa ditelusuri dengan runtut dan jelas. Dengan demikian, kita akan lebih mampu mengembangkan keilmuan kita secara lebih profesional.

  • Teori memungkinkan kita dapat menjelaskan apa yang kita kerjakan kepada anak-anak, pembelajar, orang tua, dan masyarakat luas.

Oleh karena teori biasanya merupakan hasil sintesis yang ruhnya disarikan dari berbagai sumber pengalaman, penggunaan teori akan lebih memudahkan seseorang untuk menjelaskan kembali apa yang telah dilakukannya dengan lebih sistematis sehingga lebih mudah dipahami dan dipraktikan. Dengan berlandaskan teori, pembelajar apa pun rentang usia mereka akan dapat dengan lebih mudah memahami apa yang kita maksud berdasarkan tahapan sistematis pelaksanaannya.

Dengan menggunakan teori psikoanalisis, misalnya, seorang dosen bisa menjelaskan berbagai jenis dorongan hati yang lazimnya dianggap memotivasi perilaku manusia id, ego, dan superego yang termanifestasikan dalam sebuah karya sastra kepada para mahasiswa atau anak didiknya. Dengan teori ini pula, para mahasiswa bisa mempraktikkan hal yang sama secara mandiri. Mereka bisa menganalisis berbagai macam dorongan hati penulis dalam karya lain secara sistematis dan terperinci. Analisis yang didasarkan pada teori ini, kalau dilaukan secara akurat, akan menghasilkan analisis yang konsisten dan objektif.

Dengan demikian, teori merupakan sarana efektif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan sekaligus juga merupakan sumbangan berharga untuk generasi yang akan datang dalam melestarikan budaya ilmiah. Oleh karena itu, jika generasi penerus kita dapat memanfaatkan teori yang telah ditemukan dan dibangun saat ini dan kemudian mereka mengembangkannya lebih lanjut, dapat diharapkan mereka di masa mendatang akan dapat mengembangkan diri dengan lebih baik dari generasi sebelumnya karena dimungkinkan bagi mereka untuk mengolah perangkat budaya (cultural tools) yang telah ada untuk menyiasati keperluan kontekstual yang mereka hadapi.