Apa makna Manunggaling Kawula Gusti?

manunggaling

Apa makna Manunggaling Kawula Gusti ?

Manunggaling kawula Gusti adalah keadaan saat manusia sebagai makhluk dapat bersatu dengan Tuhannya atau Khaliknya (Marsono, 1991). Manunggaling kawula Gusti merupakan cita-cita hidup yang harus dicapai oleh manusia (Simuh, 1988).

Dalam manunggaling kawula Gusti, terdapat paham bahwa manusia dan Tuhan tidak memiliki perbedaan. Manusia merupakan aspek lahir dari Tuhan. Paham itu disebut monisme, yaitu suatu paham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari suatu hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan (Simuh, 1988). Hal tersebut diperkuat oleh Sangidu (2002) yang mengemukakan bahwa sesungguhnya alam semesta beserta seisinya, termasuk manusia merupakan pertunjukan, sedangkan yang dipertunjukkan adalah manifestasi Tuhan.

Dalam manunggaling kawula Gusti, manusia sejatinya kosong. Zoetmulder (1991) dalam menjelaskan tentang ajaran Imam Al-Ghazali sebagai sufi adalah bahwa makhluk tidak memiliki sesuatu sebagai cirinya yang khas kecuali ketiadaan. Selain itu, manusia tidak memiliki gerak dan perbuatan karena Tuhan yang menggerakan manusia. Hal tersebut diperkuat oleh Zoetmulder (1991) yang menyatakan bahwa Tuhan satu-satunya penggerak yang ada.

Setelah mencapai manunggaling kawula Gusti, nama manusia mencerminkan perbuatan Tuhan (Simuh, 1988). Dalam kesatuan antara manusia dengan Tuhan, kehidupan dan perbuatan manusia merupakan pencerminan kehidupan dan perbuatan Tuhan. Dengan demikian, Tuhan yang mendengar, melihat, mencium, bersabda, dan merasakan segala rasa, mempergunakan tubuh manusia (Simuh, 1988).

Manusia yang dapat mencapai tingkatan manunggaling kawula Gusti di dunia akan menjadi manusia yang mampu melawan segala godaan alam lahir (Marsono, 1991). Selanjutnya, ditambahkan bahwa setelah mencapai tingkatan manunggaling kawula Gusti, manusia di dunia telah mati dari segala godaan alam lahir dan mencapai hidup yang benar, yaitu mati sajroning urip ‘mati dalam hidup’ serta urip sajroning mati ‘hidup dalam mati’.

Perjuangan untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan tidaklah mudah tetapi diperlukan upaya-upaya agar tercapai penghayatan manunggal tersebut. Upaya untuk mendapatkan penghayatan kesatuan antara manusia dengan Tuhan disebut mistik. Berdasarkan Kamus Istilah Filologi (1977), mistik adalah usaha manusia untuk bersatu dengan Tuhan melalui samadi. Simuh (1999) menyatakan bahwa mistik adalah suatu kepercayaan bahwa manusia dapat mengadakan komunikasi langsung atau bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tanggapan batin di dalam meditasi. Dapat disimpulkan bahwa mistik adalah usaha manusia untuk mengadakan komunikasi langsung atau bahkan bersatu dengan Tuhan dengan cara ber-samadi atau bermeditasi.

Ajaran mistik yang diusahakan oleh segolongan umat Islam dan disesuaikan dengan ajaran Islam disebut dengan tasawuf (Simuh, 1999). Rahman (dalam Marsono, 1991) mengemukakan bahwa tasawuf dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, yaitu tasawuf yang masih dalam batas memegang teguh akidah Islam, yang tetap memegang prinsip bahwa Tuhan Sang Pencipta berbeda dengan ciptaan-Nya. Kelompok kedua adalah yang meninggalkan akidah Islam, yang menyamakan dzat Tuhan dengan wujud ciptaan-Nya. Kelompok yang pertama kemudian dikenal dengan paham ilmu tasawuf ortodoks dan yang kedua disebut tasawuf heterodoks.

Mulder (2009) menyatakan bahwa perjalanan mistik dilakukan dengan empat tahap. Tahap paling rendah adalah syariat, disebut juga sarengat atau syari’ah. Syariat adalah mengindahkan dan hidup menurut pranata dan hukum agama. Bagi orang Islam, hal tersebut terutama menunjuk pada ketaatan salat lima kali sehari yang berfungsi mengingatkannya kepada Tuhan, dalam kesadaran bahwa segala sesuatunya berada di tangan Tuhan. Syariat adalah tahap yang paling mula, yaitu manusia harus menghormati dan hidup sesuai dengan hukum agama, menjalankan kewajiban dengan sungguh-sungguh, menghargai dan menghormati orang tua, guru, pemimpin dan raja, mematuhi aturan sosial, dan menjaga keselarasannya, serta mengakui tatanan kosmos (Darusuprapta, 1986).

Tarikat adalah tahap yang lebih maju dari syariat. Pada tahap tersebut manusia menyadarkan diri atas perilaku yang dipaparkan pada tahap syariat. Selain itu, pada tahap tarikat segala tingkah laku pada tahap pertama ditingkatkan dan diperdalam. Orang yang telah mencapai tahap tarikat menjadi manusia yang tawakal atau berserah diri kepada keputusan serta ketetapan Tuhan (Darusuprapta, 1986). Pada tahap tarikat, orang menganggap salat bukan semata-mata menggerakan tubuh dan melafalkan bacaan, tetapi merupakan upaya mulia dan suci, juga suatu persiapan dasar, menemui Tuhan dalam keberadaan yang terdalam di dalam dirinya.

Tahap ketiga adalah hakikat. Tahap hakikat adalah tahap perjumpaan dengan kebenaran. Pencapaian tahap tersebut diperoleh dengan mengenal Tuhan melalui pengetahuan yang sempurna dengan cara berdoa terus-menerus, mengenal Tuhan dan dirinya sendiri, acuh tidak acuh terhadap senang dan susah, karena senang dan susah berasal dari Tuhan (Darusuprapta, 1986).

Tahap terakhir dan tertinggi adalah makrifat. Tahap makrifat adalah tahap ketika manusia telah menyatukan diri dengan Ilahi, tahap manusia telah mencapai manunggaling kawula Gusti (Darusuprapta, 1986: 3). De Jong (Mulder, 1978) menyatakan bahwa ada tahap ini, manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia, membuat dunia indah dan damai, menjadi wakil Tuhan di dunia. Keempat tahap perjalanan mistik yang meliputi syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat adalah satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Soebardi (1975) sebagai berikut. Here we see a Javanese presentation of the esential interdependence of the four stages of orthodox mysticism in which sharica and tarika are compared to the container and hakika and makrifa to the seed of Grace. The wadah and wiji are inseperable, both must remain in harmony, one depends of the other. This harmony is indispensable in the search for the perfect life, i.e., the Union of Lord and Servant.

Terjemahan

‘Di sini kita melihat bahwa masyarakat Jawa menganggap esensi dari empat tingkatan yang saling bergantung dari mistik ortodoks, yaitu syariat dan tarikat yang dianalogikan dengan wadah, sedangkan hakikat dan makrifat sebagai bijinya. Wadah dan bijitidak dapat dipisahkan, keduanya harus harmoni, yang satu bergantung pada yang lainnya. Harmoni ini sangat diperlukan untuk mencari kehidupan yang sempurna, seperti penyatuan antara Tuhan dan manusia.’

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat bahwa antara syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat tidak dapat dipisahkan. Keempatnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, diperlukan keempat tahap perjalanan mistik, yaitu syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat untuk dapat mencapai taraf manunggaling kawula Gusti. Orang yang mencapai tingkatan manunggaling kawula Gusti disebut sebagai insan kamil, yaitu orang yang sempurna, orang yang suci, wali kekasih Tuhan (Simuh, 1999).