Apa makna kehidupan menurut Islam ?

Kehidupan

Kehidupan manusia saat ini sejatinya adalah tentang kehidupan dunia dan kehidupan akhirat nantinya setelah manusia meninggal dunia.

Apa makna kehidupan menurut Islam ?

Kehidupan, didalam Al-Qur`an, disebut dengan al- ḥayâh. Kata al-ḥayāh merupakan bentuk mashdar dari kata ḥayiya-yaḥya-ḥayātan artinya yang bergerak/hidup, dan malu. Kedua arti ini sebenarnya tidak ada perbedaan karena malu dan hidup tidak dapat dipisahkan, setiap yang merasa malu pasti ia hidup.

Kata ḥayāt dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 139 kali dengan berbagai bentuk katanya. Sedangkan al-Qur’an menggunakan kata al-ḥayāh untuk menggambarkan arti-arti sebagai berikut.

  • Pertama, segala perkembangan yang ada di bumi, yaitu hewan, tumbuhan, dan pergerakan alam semesta. Pengertian semacam ini ditemukan pada QS. Al-Baqarah: 164, 258, QS. Āli „Imrān: 27, al-An‟ām: 95, QS. Yunūs: 31, QS. An-Naḥl: 65, QS. Al- Anbiyā`: 30, QS. Al-Ankabūt: 63, QS. Ar-Rūm: 19, QS. Fāthir: 9, QS. Qāf: 11, QS. Yāsin: 33, QS. Al-Jāṡiyah: 5, QS. Fushshilāt: 39.

  • Kedua, jaminan kelangsungan hidup yang ditemukan dalam QS. Al- Baqarah: 179, QS. Al-Mā`idah: 32.

  • Ketiga, kehidupan setelah kematian. Pengertian ini ditemukan pada QS. Al-Baqarah: 28, 154, 243, QS. Āli „Imrān: 169, QS. Al-An‟ām: 122, QS. Maryam: 15, 33, 66, QS. Al-Hajj: 66, QS. Ghāfir: 11, QS. An-Najm: 44.

  • Keempat, berhala yang tak hidup, seperti yang tercantum pada QS. An-Naḥl: 21.

  • Kelima, hidayah, yakni yang tidak lagi didapat bagi orang yang mati. Pengertian ini tercantum pada QS. Fāthir: 22.

  • Keenam, mukjizat Nabi Isa a.s., seperti yang tercantum pada QS. Āli „Imrān: 42.

  • Ketujuh, kemenangan bagi orang yang hidup, yakni orang-orang beriman. Pengertian ini ditemukan pada QS. Al-Anfāl: 42.

  • Kedelapan, sifat Allah yang ditemukan pada QS. Al-Baqarah: 255, QS. Āli „Imrān: 2, QS. Al-Furqān: 58, QS. Thāha: 111, QS. Ghāfir: 65.

  • Kesembilan, kehidupan dunia. Pengertian ini ditemukan pada QS. Al-Baqarah: 85-86, QS. Āli’imrān: 14, QS. An-Nisā`: 74, dan sebagainya.

  • Kesepuluh, kehidupan akhirat seperti yang tercantum pada QS. Al-Baqarah: 94, 201, QS. Āli „Imrān: 77, QS. An-Nisā`: 77, dan sebagainya.

Selain kata al-ḥayāh, di dalam al-Qur`an tentang kehidupan juga sering ditunjukkan dengan kata ma’īsyah yang bermakna “kehidupan” berasal dari kata ‘aysy “hidup”. Kata al -'aysy khusus diperuntukkan bagi hewan dan manusia. Sehingga kata “ al-’aysy ” ini lebih khusus jika dibandingkan dengan kata “ al-ḥayāh ” seperti yang terdapat pada QS. Al-Ḥijr:

Hal ini disebabkan karena kata al-ḥayāh tidak hanya diperuntukkan untuk hewan dan manusia, akan tetapi diperuntukkan pula bagi Allah dan malaikat. Kemudian dari kata „ aysy tersebut, dibentuklah kata ma’īsyah untuk memberi arti apa- apa yang digunakan untuk hidup.

Kata al-ḥayāh diartikan oleh sementara ulama sebagai sesuatu yang menjadikan wujud merasa tahu dan bergerak. Sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab bahwa Syeikh Mutawalli as-Sya’rawi memahami kata hidup dalam al-Qur’an sebagai sesuatu yang mengantar kepada berfungsinya sesuatu dengan fungsi yang ditentukan baginya. Misalnya, tanah berfungsi untuk menumbuhkan tumbuhan, jika ia gersang, al-Qur’an menyebutnya dengan mati dan jika ia subur, al-Qur’an menyebutnya dengan hidup. Begitu juga jika seseorang beriman dan melakukan amal-amal shaleh, ia dikatakan dengan hidup. Namun, jika seseorang melakukan amal-amal buruk, ia dikatakan dengan mati (hatinya).

Kehidupan yang menjadi topik utama di dalam al-Qur’an ialah kehidupan yang tampak dan tidak tampak. Kehidupan yang tampak adalah segala yang ada di dunia, baik itu bumi maupun alam semesta. Sedangkan kehidupan yang tidak tampak adalah kehidupan yang akan menjadi ruang sidang menentukan nasib akhir. Dalam artian, ada dua ragam kehidupan penting yang disebutkan di dalam al-Qur`an yaitu dunia dan akhirat. Dalam dua ragam kehidupan itu terdapat di dalamnya keragaman lain mengenai dinamika kehidupannya. Berikut penjelasan tentang dua ragam kehidupan tersebut.

Kehidupan dunia


Seperti yang telah diketahui pada umumnya, dunia ialah merupakan kehidupan awal dilahiraknnya manusia. Sesungguhnya kehidupan yang terdiri dari gerak dan pengulangan merupakan satu tanda kekuasaan Allah dan menunjukkan kuasaNya dalam mencipta, berinovasi, mengatur dan menundukkan. Di dalam al-Qur’an disebutkan berbagai ragam kehidupan dunia sebagai status kehidupan awal manusia, diantaranya adalah sebagai berikut.

  • Pertama, kehidupan akal. Akal yang dimiliki manusia memiliki potensi untuk berpikir yang dapat menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan menemukan gagasan dengan melihat segala pergerakan dunia dan alam semesta. Akal juga berpotensi untuk berpikir menciptakan karya dan kreativitas sehingga dapat memenuhi kebutuhan dengan memanfaatkan segala yang ada di bumi.

    Al-Qur’an selalu mendorong akal pikiran dan dan menekankan pentingnya mencari ilmu pengetahuan dan pengalaman dari sejarah, dunia, dan diri sendiri. Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk berpikir dalam segala hal ilmu pengetahuan, seperti ilmu tentang kesehatan sebagaimana yang tercantum pada QS. Al-Baqarah: 219, QS. An-naḥl: 69 atau ilmu pengetahuan tentang fenomena kosmologi sebagaimana yang tercantum pada QS. Āli „Imrān: 54, 190-191, QS. Ar-Ra’d: 3, QS. Ar-Rūm: 8, dan ilmu pengetahuan lainnya. Selain berpikir dalam hal ilmu pengetahuan, al-Qu’an juga mengingatkan manusia untuk berpikir tentang ketauhidan sebagaimana yang tercantum pada QS. Al-Anbiyā`: 22.

  • Kedua, kehidupan qalbu. Qalbu di sini tidak sekedar dimaknai dengan “hati” sebagai salah satu organ tubuh manusia, melainkan yang dimaksud dengan qalbu di sini ialah suatu aktivitas perasaan manusia yang berbolak-balik. Kadang senang kadang susah, kadang setuju kadang menolak. Selain itu, qalbun juga merupakan sebuah wadah dari rasa takut, cinta, kasih, sayang, dan keimanan. Oleh karena itu, qalbun yang sehat adalah yang mengarah kepada kebaikan dan tahu akan kebenaran, sedangkan qalbun yang berpenyakit adalah yang di dalamnya terdapat hal-hal yang negatif, pengetahuannya menyimpang dan kemauannya terjangkit penyakit akut (QS. At-Taubah: 125).11

    Menurut al-Marāghī, qalbu merupakan tempat untuk menguji keikhlasan manusia hingga tampak yang ada di dalam hatinya, baik berupa kekuatan atau kelemahan. Dengan begitu, akan tampak semua bentuk perasaan manusia, seperti terlatihnya kesabaran dan menahan derita.12

  • Ketiga, kehidupan nafs. Nafs sering diartikan dengan jiwa atau watak manusia. Nafs merupakan keseluruhan atau totalitas dari diri manusia itu sendiri. Di dalam al-Qur’an, nafs memiliki banyak arti, antara lain sebagai daya penggerak emosi dan rasa dari hati (QS. Al-Isrā`: 25), daya yang menggerakkan manusia untuk memiliki keinginan (QS. Fusshilāt: 31), jiwa sebagai daya penggerak hidup manusia (QS. Āli „Imrān: 145), menunjukkan totalitas manusia baik lahir maupun batin (QS. Al-Mā’idah: 32), dan digunakan untuk menunjuk kepada diri Tuhan (QS. Al-An’ām: 12). Jadi, nafs di dalamnya menampung hasil olah berpikir dari akal dan renungan dari qalbu yahg kemudian menampakkan dirinya dalam bentuk perilaku nyata di hadapan manusia lainnya, baik itu hal-hal yang baik maupun yang buruk.

Dari ragam kehidupan dunia yang disebutkan di atas, maka nafs dikendalikan oleh akal pikiran yang terdapat di dalam qalbu, ketiganya itu dapat hidup karena ditiupkannya ruh ke dalam diri manusia dengan kuasa Allah SWT, sehingga tercipta suasana dinamika kehidupan di dunia untuk menghasilkan kebutuhan individu dan masyarakat.

Kehidupan Akhirat


Akhirat merupakan kehidupan yang hanya akan ditempati bagi mereka yang sudah menjelajahi kehidupannya di dunia. Tempat ini merupakan pengadilan bagi umat manusia untuk mendapatkan balasan dari hasil kehidupannya di dunia, satu persatu manusia diperiksa tentang perbuatan masing-masing. Terdapat beberapa ragam kehidupan di dalamnya mulai dari hari pengadilan dan pada akhirnya mencapai hasil akhir keputusan, antara lain sebagai berikut.

  • Pertama, perhitungan atau hisab. Hisab merupakan hari bagi manusia untuk dihitung dan ditimbang amal perbuatannya. Pada hari itu semua diri menyaksikan kebajikan dan kejahatan yang diperlihatkan kepadanya, semua diri mengetahui semua apa yang dikerjakannya serta menyaksikan apa yang dikerjakan dan diabaikannya, serta lisan tidak mampu berbicara melainkan anggota tubuh yang berbicara.

  • Kedua, surga. Setelah diputuskannya timbangan amal perbuatan manusia, maka kemudian surga menjadi tempat dari hasil akhir keputusan tadi. Adapun orang yang membersihkan jiwanya dan beriman kepada Allah dan hari akhir akan memperoleh derajat yang tinggi, yakni surga. Orang- orang seperti itulah yang akan menjadi penghuni di dalamnya. Kehidupan di dalamnya penuh dengan kasih sayang dan perasaan saling mencintai di antara sesama. Terdapat pula di dalamnya sungai-sungai yang mengalir, seperti sungai susu, madu, dan khamr (QS. Muhammad: 15), bidadari- bidadari dan gadis-gadis perawan (QS. Al-Wāqi‟ah: 35-40), dan naungan yang terbentang serta buah-buahan yang banyak (QS. Al-Wāqi‟ah: 27-33).

  • Ketiga, neraka. Tempat ini keadaannya berbanding terbalik dari keadaan surga yang disebutkan di atas. Sedangkan yang menjadi penghuni di dalamnya adalah orang-orang yang mengingkari Tuhan dan hari akhir. Keadaan neraka di dalam al-Qur`an digambarkan dengan bunga api yang dahsyat sebagaimana yang disebut di dalam surat al-Mursalāt ayat 32-34:

    Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana. Seolah-olah ia iringan unta yang kuning. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.

    Ibnu Abbas, Mujahid, dan beberapa mufasir berpendapat bahwa satu bunga api neraka jahannam ukurannya sebesar sebuah istana megah yang dibangun para raja dan bangsawan kaya raya. Mengenai jimâlatun shufr, al-Hasan, Qatadah, Ibnu Abbas, Mujahid dan ad-Dhahhak berpendapat bahwa unta tersebut berbulu hitam pekat dan sedikit warna kuning. Ini merupakan metafora mengenai bola api neraka.

    Kemudian al-Qur’an juga menggambarkan keadaan minuman neraka. Sebagaimana yang disebutkan pada surat al-Kahfi ayat 29,

    Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

    Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-muhlu ialah air kental yang mendidih seperti endapan minyak. Mujahid mengatakan, seperti darah dan nanah. Sedangkan „Ikrimah mengatakan, sesuatu yang panasnya berada pada puncaknya. Menurut Ibnu Katsir, pendapat-pendapat tersebut tidak menafikan satu dengan lainnya, karena kata al-muhlu menyatukan sifat-sifat yang menjijikkan secara keseluruhan, yang berwarna hitam, berbau busuk, kental, dan sangat panas. Kemudian ditambah lagi bahwa jika mereka (penghuni neraka) hendak meminumnya dan mendekatkan wajahnya ke air itu, maka wajahnya menjadi hangus hingga mengelupas.

    Al-Qur’an juga menggambarkan minuman neraka dengan kata ṣadīd , ialah sesuatu yang mengalir dari kulit dan daging ahli neraka yang mendidih seperti air dari nanah dan darah (QS. Ibrāhīm: 15-18). Minuman sejenis itu juga disebutkan di dalam al-Quran dengan menggunakan kata ḥamīm (QS. Ṣad: 57). Menurut sebagian pakar bahasa, ḥamīm adalah minuman yang sangat panas. Orang yang sakit panas disebut ḥummā , karena suhu tubuhnya meningkat. Selain itu ada juga gassāq ialah nanah yang berbau busuk (QS. Ṣad: 57).21 Sedangkan Wahbah menyebut gassāq sebagai minuman yang sangat dingin, karena dinginnya yang dahsyat hingga tidak dapat diminum. Dinginnya minuman tersebut dapat mencelakakan peminumnya dan dapat membakar kerongkongannya sebagaimana api.22

Dari ragam kehidupan yang diuraikan di atas, baik kehidupan dunia maupun akhirat keduanya menjadi satu kesatuan sehingga tidak dapat dipisahkan dinamika kehidupan di dalamnya. Segala dinamika kehidupan di dunia yang berifat tercela, maka hasil dari perbuatan itu adalah buruk bahkan mengerikan dan menjijikkan di akhirat. Sebaliknya, dinamika kehidupan di dunia yang terpuji akan mendapatkan hasil dan buah yang manis di akhirat. Dalam artian, bahwa kehidupan dunia bersifat kontiunitas.

Referensi :

  • Ahzami samiun, Kehidupan Dalam Pandangan al-Qur`an, (Jakarta: Gema Insani, 2006).
  • Al-Raghib Al-Asfahāniy, Mufradāt Alfādz Al-Qur’ān, (T.tp.: Maktabah Fiyād li al- Tijārah wa al-Tauzī‟, 2002).
  • Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2003).
  • Syaikh Abdurrahman as-Sa‟di, Bacalah al-Qur`an seolah-olah ia Diturunkan Kepadamu , terj. Abdurrahim, (Jakarta: Mizan, 2008)
  • Ahmad Musthafā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī jld. 4,5,6 , (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1989)
  • Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah , (Jakarta: Gema Insani, 2001)
  • Muhammad Kamil Hasan al-Mahami, al-Mausû’ah al-Qur`âniyah , terj. Ahmad Fawaid Syadzili, (t.tp: al-Maktab al „âlamiy, t.th)
  • Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsīr Ibnu Kaṡīr QS. Al-Mursalāt , terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000).