Apa Makna Hijrah Menurut Ajaran Agama Islam?

hijrah

Kata hijrah, menurut ar-Raghib al-Asfahani, artinya adalah seseorang yang meninggalkan yang lainnya, baik secara fisik, perkataan, bahkan hati.

Oh tahun baru… hijrah… Hidup kita didunia ini seperti itu, selalu hijrah dan hijrah…

Kita selalu berpindah-pindah keadaan…
Kita melarikan diri dari satu titik ke titik yang lain, karena selalu diburu sebagai buronan…

Kita diuber-uber kematian…
Kita dikejar-kejar penuaan…
Kita dilabrak sama penyakit…

Maka kita terus berlari, berpindah dan berhijrah, agar jangan sampai tertangkap…
Supaya kita selamat dan tidak binasa…

Kalian tahu bagaimana kata hijrah ini asal usulnya???..

Kalian pun menjawab, dari hijrahnya nabi SAW… Saya katakan bukan, asal usulnya bukan disitu, tapi jauh sebelum itu… Hijrah adalah tentang cerita seorang ibu, ingat yah, seorang ibu…

Yang bernama Hajar…

Yang mesti berpindah dan berjuang untuk anaknya, karena terusir oleh kecemburuan buta Saroh…

Lalu namanya, “hajar”, ini diabadikan sebagai sebuah kosakata yang mengekspresikan orang yang berpindah karena sebuah tekanan hidup… Hijrah itu bukan sekedar pindah tempat, atau minggat, atau kabur dari kenyataan hidup… HIJRAH itu sebenarnya adalah “menjaga dan melindungi kesucian”…
Jadi hijrah itu bukan aktifitasnya “orang kotor yang bertobat” membersihkan diri…

Tapi aktifitasnya orang suci yang melindungi kesuciannya… Kalau kamu kotor lalu bertobat dan berusaha membersihkan diri, itu namanya bukan hijrah, itu namanya zakka… Nanti kalau kamu sudah kinclong, bersih, lalu kamu menjaga dan melindungi kesucian itu, itulah yang namanya hijrah… Jangan salah yah, kamu belum pantas hijrah, sana zakka dulu…

Menurut Ibn Taimiyyah, Ibn Hajar al Asqalani serta Ibn Arabi diketahui bahwa hijrah berarti perpindahan dari negeri kafir atau negeri yang dalam keadaan darurat (Dar al-Kufr Wa alHarb) menuju negeri muslim (Dar al-Islam).

  • Negeri kafir atau Dar Al Kufr adalah sebuah negeri yang dikuasai oleh kaum kafir dan hukum-hukum yang berlaku pada negeri tersebut berdasarkan hukum kaum kafir. Pada masalah ini, negeri kafir terbagi menjadi dua yakni negeri yang memerangi kaum Muslim dan negeri yang melindungi kaum Muslim.

  • Negeri Islam atau Dar Al Islam adalah sebuah negeri yang dikuasai oleh orang-orang Islam serta hukum yang berlaku berdasarkan hukum Islam meskipun penduduknya mayoritas non Muslim.

Lalu menurut Ibn Arabi pengertian hijrah diperluas menjadi beberapa jenis sebagai berikut

  1. Meninggalkan negeri yang dalam kondisi perang (Dar Al Harb) menuju negeri Islam (Dar Al Islam)
  2. Meninggalkan negeri yang mayoritas penduduknya ahli bidah
  3. Menyingkir dari negeri yang dipenuhi oleh hal-hal yang haram
  4. Melarikan diri demi keselamatan jiwa
  5. Pindah dari negeri yang sedang terjangkit wabah penyakit menuju negeri yang sehat.
  6. Melarikan diri untuk menyelamatkan harta benda.

Selain pengertian di atas, hijrah dapat pula bermakna perpindahan dari negeri orang-orang zalim (Dar Al Zulm) menuju negeri orang-orang adil (Dar Al ‘Adl) dengan maksud menyelamatkan agama. Lalu negeri orang-orang adil dapat diartikan sebagai negeri yang dipimpin oleh orang-orang non Muslim namun penguasa negeri tersebut memberikan jaminan kebebasan untuk menjalankan tuntunan agama. Hal ini menurut Jazuli banyak didukung oleh ulama Khalaf mengingat banyaknya fenomena yang terjadi.

Ada pun yang menjadi dalil bagi pendapat ini terdapat dalam surat An Nisa’ ayat 97.

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,

Pada surat tersebut dijelaskan bahwa dalam ayat tersebut tidak ditentukan tempat untuk berhijrah, akan tetapi apabila terjadi penyiksaan terhadap seorang Muslim, maka wajib untuk berhijrah. Hal ini dapat diambil contoh dari hijrahnya para sahabat Rasulullah Saw. ke Habasyah (Ethiopia). Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam peristiwa ini Rasulullah Saw. tidak ikut berhijrah ke Habasyah, sehingga yang hijrah ke negeri tersebut hanyalah sebagian sahabat yang dipimpin oleh Utsman bin Affan Ra.

Negeri tersebut merupakan negeri yang dipimpin oleh raja yang beragama Nasrani, akan tetapi Rasulullah Saw mengetahui bahwa penguasa negeri tersebut berlaku adil dan tidak akan menganiaya seseorang.

Hijrah

Hijrah dalam Al Quran


Pengertian kata ha-ja-ra dalam al-Qur’an memiliki empat makna, yaitu:

  1. Perkataan keji/celaan, Firman Allah dalam Q.S: al-Mu’minun/23: 67

    Terjemahnya:
    Dengan menyombongkan diri terhadap Al Quran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.

    Kata tahjurun terambil dari kata hajara yang berarti meninggalkan sesuatu yang karena tidak senang. Yang dimaksud disini adalah menolak dan tidak menyambut ayat-ayat Allah. Bisa juga terambil dari kata ahjara yang berarti mengigau. Tidak jarang seorang yang mengigau dengan mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti atau tidak terkontrol.

  2. Berpindah dari suatu negeri ke negeri yang lain mencari keselamatan agama sebagai manifestasi taat kepada Allah Swt. Seperti firman Allah dalam Q.S: al-Ankabut/29: 26

    Terjemahnya:
    Maka Luth membenarkan (Kenabian)nya. dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya Aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); Sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

    Ayat di atas diisyaratkan bahwa Nabi Ibrahim as. merupakan Nabi pertama yang melakukan hijrah, yakni meninggalkan satu tempat didorong oleh kebencian terhadap situasi yang meliputinya menuju tempat yang baik dan direstui Allah Swt. Yaitu mereka pindah ke Palestina sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir.

    Demikian pula pada surat an-Nisa’/4:100

    Terjemahannya :
    Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

    Ayat di atas memberi janji dan menanamkan harapan: siapa yang berhijrah, yakni meninggalkan apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya untuk ditinggalkan dan itu dia lakukan di jalan Allah, yakni dengan tulus, niscaya mereka mendapati di sepanjang pentas bumi tempat yang luas untuk berhijrah dan menghindar sehingga menjadikan lawan marah disebabkan kemudahan yang diperoleh di tempat itu, dan juga akan menemukan rezeki yang banyak. Walaupun dia tidak sampai ke tempat yang dituju, tetapi dia pasti akan beruntung, karena barang siapa yang keluar, walau baru selangkah, dari rumahnya belum sampai ketempat yang dituju, asal dalam keadaan berhijrah menuju tempat yang direstui Allah dan Rasul-Nya, lalu dia di dapati oleh maut sehingga maut merenggut nyawanya di jalan atau merenggutnya dalam keadaan dia masih berstatus hijrah belum sempat kembali ke tempat asalnya, maka sungguh telah tetap ganjarannya sebagai seorang yang berhijrah walau belum terlaksana secara penuh. Ganjaran itu tidak akan hilang atau berkurang karena dia berada di sisi Allah. Dan Allah sejak dahulu hingga kini dan seterusnya adalah Maha Pengampun sehingga mengampuni dosa-dosa yang berhijrah, atau siapa pun yang memohon ampunan-Nya, lagi Maha Penyayang sehingga, setelah pengampunan, Dia masih mencurahkan aneka Rahmat-Nya.

    Kata murâghaman terambil dari kata ar-rugham yang berarti tanah. Atau dari kata raghim, yakni mengalahkan. Dari kedua makna ini ada yang berpendapat bahwa asal maknanya adalah menjatuhkannya ke tanah. Dengan demikian, maksud ayat ini adalah bahwa yang berhijrah akan menemukan tempat yang luas di mana dia dapat mengalahkan lawannya dan, sebagaimana dia selama ini dipaksa, kini dengan berhijrah dia memaksa orang-orang yang memaksanya untuk menerima kenyataan, bahkan marah karena yang berhijrah lolos dari tekanan serta mendapat tempat yang menyenangkan.

  3. Berpisah ranjang dengan pasangan, sesuai firman Allah Swt. Dalam surat an- Nisa’/4:34,

    ”…dan pisahkanlah mereka (wanita ) di tempat tidur mereka

  4. Menyendiri dan ber-uzlah, yaitu menjauhi dengan cara yang baik, seperti firman Allah dalam Q.S: al-Muzzammil/73: 10

    Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.

    Maksud ayat di atas adalah menjauhi dengan cara yang baik yaitu menjauhi tanpa menimbulkan konflik.

Maka berdasarkan ayat-ayat diatas maka pengertian dasar hijrah adalah meninggalkan, baik secara perbuatan maupun perkataan.

Hijrah

Macam-macam Hijrah


Meninggalkan suatu daerah menuju daerah lain yang lebih aman dengan dasar pertimbangan agama adalah hijrah yang dituntut dalam Islam, tetapi meninggalkan apa saja yang dilarang Allah itulah hijrah yang paling penting dan utama. Dan inilah sebetulnya hakekat hijrah. Syams al-Haq Abadiy dalam ‘Aun al-Ma’bud mengutip pendapat al-‘Alqamah yang menurutnya bahwa hijrah itu ada dua macam, yaitu :

  1. Hijrah lahir, berupa meninggalkan suatu daerah dengan dasar agama untuk menghindari adanya fitnah.

  2. Hijrah batin, berupa meninggalkan segala macam bentuk ajakan hawa
    nafsu dan setan. Hijrah secara psikhis atau yang dikenal dengan istilah hijrah al-qulub wa aljawarih dalam artian meninggalkan segala macam bentuk larangan Allah dan melaksanakan perintahNya. Hijrah semacam ini wajib bagi setiap umat Islam kapan dan dimana pun berada.

Menurut Imam Ibnul Qoyyim membagi hijrah menjadi 2 macam, yaitu :

  1. Hijrah Dengan Hati Kepada Allah
    Allah berfirman di dalam Q.S.: adz-Dzariyaat/51: 50

    Terjemahnya:
    “Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya Aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.

    Inti hijrah kepada Allah ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintai-Nya. Rasulullah Saw. bersabda,

    “Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’:

    • Dari kecintaan kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya,
    • Dari beribadah kepada selain-Nya menuju ibadah kepada-Nya,
    • Dari takut kepada selain Allah menuju takut kepada-Nya.
    • Dari berharap kepada selain Allah menuju berharap kepada-Nya.
    • Dari tawakal kepada selain Allah menuju tawakal kepada-Nya.
    • Dari berdo’a kepada selain Allah menuju berdo’a kepada-Nya.
    • Dari tunduk kepada selain Allah menuju tunduk kepada-Nya.

    Inilah makna firman Allah, “Maka segeralah kembali pada Allah.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illallah.44

  2. Hijrah Dengan Hati Kepada Rasulullah
    Allah berfirman dalam Q.S: an-Nisaa’/4: 65

    Terjemahnya:
    Maka demi Rabbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

    Ayat di atas menegaskan satu hakikat menyangkut makna ketaatan kepada Rasul Saw. yaitu bahwa jika demikian fungsi Rasul yang tidak diutus kecuali untuk ditaati. Pendapat Ulama berbeda tentang makna dan kedudukan kata la pada firman-Nya: fala wa rabbika. Ada yang memahami kata la sebagai kata tambahan yang berfungsi menguatkan sumpah, bukan berfungsi atau bermakna sesuatu, sehingga ia dipahami dalam arti tidak dan, dengan demikian, penggalan ayat tersebut berarti demi Tuhan.

    Ada juga yang memahaminya dalam arti tidak. Hanya saja, menurut penganut paham ini, penafikan itu tertuju kepada pandangan kaum munafikin. Dalam ayat ini juga menetapkan bahwa hukum yang ditetapkan Rasul harus diterima sepenuh hati dan tanpa sedikitpun rasa keberatan, dalam ketetapan itu tersirat kewajiban Rasul Saw. Pilihan Allah dan Rasul-Nya itulah satu-satunya pilihan.

    Allah berfirman dalam Q.S.: al-Ahzab/33: 36

    Terjemahnya:
    “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.”

Referensi :

Ahzami Sami’un Jazuli, Hijrah dalam Pandangan Alquran, terj. Eko Yulianti, (Jakarta : Gema Insani Press, 2006)
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbh Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,

Kata hijrah berasal dari bahasa Arab yakni Hajara Yahjuru Hajran yang berarti memutuskan hubungan. Hata hijrah merupakan lawan kata dari al- Wasl yang berarti menyambung. Makna hijrah berarti al-Khuruj Min Ard Ila Ard yang berarti berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Menurut Rohi Baalbaki dalam kamus dwibahasa al-Mawrid kata hijrah berarti to emigrate, to immigrate, to migrate, Leave one’s native country atau melakukan migrasi, emigrasi juga imigrasi atau meninggalkan negeri asalnya.

Jika dilihat dari pandangan agama terdapat beberapa arti yang dijelaskan oleh ulama. Menurut Ibn Taimiyyah, Ibn Hajar al- Asqalani serta Ibn Arabi diketahui bahwa hijrah berarti perpindahan dari negeri kafir atau negeri yang dalam keadaan darurat (Dar al-Kufr Wa al-Harb) menuju negeri muslim (Dar al-Islam). Ada pun maksud dari negeri kafir atau Dar Al Kufr adalah sebuah negeri yang dikuasai oleh kaum kafir dan hukum-hukum yang berlaku pada negeri tersebut berdasarkan hukum kaum kafir. Pada masalah ini, negeri kafir terbagi menjadi dua yakni negeri yang memerangi kaum Muslim dan negeri yang melindungi kaum Muslim. Sedangkan negeri Islam atau Dar Al Islam adalah sebuah negeri yang dikuasai oleh orang-orang Islam serta hukum yang berlaku berdasarkan hukum Islam meskipun penduduknya mayoritas non Muslim.

Menurut Ibn Arabi, pengertian hijrah diperluas menjadi beberapa jenis sebagai berikut :

  • Meninggalkan negeri yang dalam kondisi perang (Dar Al Harb) menuju negeri Islam (Dar Al Islam)
  • Meninggalkan negeri yang mayoritas penduduknya ahli bidah
  • Menyingkir dari negeri yang dipenuhi oleh hal-hal yang haram
  • Melarikan diri demi keselamatan jiwa
  • Pindah dari negeri yang sedang terjangkit wabah penyakit menuju negeri yang sehat.
  • Melarikan diri untuk menyelamatkan harta benda.

Selain pada enam pendapat di atas, menurut Ahzami Sami’un Jazuli, hijrah pun dimaknai dengan perjalanan untuk mencari pelajaran, hikmah dan nasihat. Hal ini dapat pula diartikan berikut

  • Perjalanan untuk mengambil pelajaran dan hikmah tertentu
  • Ibadah Haji
  • Perjalanan untuk keperluan jihad
  • Perjalanan untuk bekerja
  • Perjalanan berbisnis
  • Perjalanan dalam rangka menuntut ilmu
  • Mengunjungi tempat yang dimuliakan Allah
  • Perjalanan untuk mengajak masyarakat dalam rangka membela negara
  • Kunjungan pada saudara-saudara yang berjuang di jalan Allah.

Sehingga dengan penjelasan di atas, Ibn Arabi memperluas pengertian tentang hijrah. Meninjau pendapat Ibn Arabi mengenai hijrah dalam rangka menyelamatkan jiwa, diketahui bahwa hal ini merupakan bentuk keringanan atau Rukhsah dari Allah Swt. sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dalam firman Allah Swt. sebagai berikut :

Maka Luth membenarkan (kenabian Ibrahim). Dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Alquran (29) : 26

Lalu Allah Swt. pun berfirman dalam ayat lainnya sebagai berikut

Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu”. Alquran (28) : 21

Pada kedua ayat tersebut dijelaskan mengenai hijrah yang bertujuan untuk menyelamatkan diri. Sehingga dengan penjelasan di atas menurut Ahzami Samiun Jazuli, merupakan penjelasan tentang makna hijrah yang tidak dimaknai secara sempit. Hijrah tidak hanya bermanfaat di dunia maupun akhirat dan tidak sebagaimana yang tercantum dalam surat An Nisa’ ayat 100.

Selain pengertian di atas, hijrah dapat pula bermakna perpindahan dari negeri orang-orang zalim (Dar Al Zulm) menuju negeri orang-orang adil (Dar Al’Adl) dengan maksud menyelamatkan agama. Lalu negeri orang-orang adil dapat diartikan sebagai negeri yang dipimpin oleh orang-orang non Muslim namun penguasa negeri tersebut memberikan jaminan kebebasan untuk menjalankan tuntunan agama. Hal ini menurut Jazuli banyak didukung oleh ulama Khalaf mengingat banyaknya fenomena yang terjadi.

Ada pun yang menjadi dalil bagi pendapat ini terdapat dalam surat An Nisa’ ayat 97. Pada surat tersebut dijelaskan bahwa dalam ayat tersebut tidak ditentukan tempat untuk berhijrah, akan tetapi apabila terjadi penyiksaan terhadap seorang Muslim, maka wajib untuk berhijrah. Hal ini dapat diambil contoh dari hijrahnya para sahabat Rasulullah Saw. ke Habasyah (Ethiopia). Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam peristiwa ini Rasulullah Saw. tidak ikut berhijrah ke Habasyah, sehingga yang hijrah ke negeri tersebut hanyalah sebagian sahabat yang dipimpin oleh Utsman bin Affan Ra. Lalu negeri tersebut merupakan negeri yang dipimpin oleh raja yang beragama Nasrani, akan tetapi Rasulullah Saw mengetahui bahwa penguasa negeri tersebut berlaku adil dan tidak akan menganiaya seseorang.15 Dengan demikian menurut pendapat ulama Khalaf diketahui bahwa tempat yang akan dituju tidak dijelaskan secara rinci, akan tetapi yang menjadi patokan utama adalah tujuan dilaksanakannya hijrah yakni menyelamatkan keyakinan.

Sejarah Hijrah


Apabila membahas mengenai sejarah hijrah, dalam hal ini mencontoh kepada hijrah Nabi Muhammad Saw., dapat dipahami bahwa Hijrah tidak semata mata murni urusan agama. Hal ini diketahui bahwa perintah hijrah Nabi Muhammad Saw. kepada para sahabat ke Habasyah tahun 615 M bertujuan untuk mencari suaka politik bagi kaum Muslim. Ada pun yang berhijrah ke negeri tersebut adalah tokoh-tokoh penting dalam bangsa Quraisy seperti Usman bin Affan, Ja’far bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan lain-lain. Negeri tersebut dipilih oleh Nabi Muhammad Saw karena beberapa sebab sebagai berikut

  • Letak geografis yang jauh dari Mekah sehingga tidak ada control kuat dari kaum Quraisy.
  • Pemimpin negeri tersebut terkenal akan keadilannya dalam memimpin.

Sehingga, dari sebab di atas Nabi Saw. pun memilih tempat itu untuk para sahabat yang akan berhijrah. Pada masalah ini pun Nabi Muhammad Saw. pun telah melihat peluang hijrah melalui pengamatan tempat hijrah yang terbaik bagi para sahabat.

Kemudian hijrah terjadi kembali tahun 622 M. Hijrah ini tidak lagi ke Habasyah melainkan ke Madinah. Kota tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan Nabi Muhammad Saw sebagai berikut :

  • Madinah membuka pintu lebar untuk menyambut kedatangan Nabi Muhammad Saw.

  • Kekhawatiran penduduk Mekah jika banyak yang berhijrah ke Madinah, sehingga berbagai cara dilakukan untuk menghalangi hijrahnya kaum Muslimin. Jika hal ini terus menerus terjadi maka jalur perniagaan penduduk Mekah ke Syam akan dikuasai oleh kaum Muslimin.

  • Kondisi jalan antara Mekah dan Madinah banyak terdapat rintangan.

  • Kondisi geografis padang pasir yang sulit untuk dilalui kendaraan serta sulitnya air yang didapat.

  • Kondisi masyarakat Arab yang ada di padang pasir dan arah jalan yang belum bisa dipastikan.

Sehingga dengan beberapa pertimbangan di atas Nabi Muhammad Saw. tetap memikirkan dampak positif dari hijrah menuju kota tersebut agar memperlemah dan mengelabui musuh yang mengejar para Muhajirin atau orang-orang yang berhijrah. Selain berpikir mengenai kondisi alam, beberapa pertimbangan lain seperti kondisi masyarakat yakni suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut memiliki peluang besar bagi dakwah Nabi Muhammad Saw. dengan mengajak kerjasama juga saling membantu untuk menyelamatkan orang-orang yang berhijrah. Selain itu Madinah pun dipilih oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai tempat tujuan berhijrah karena letak geografis Madinah yang strategis bagi perdaganagan kabilah-kabailah Arab ke Syam. Lalu jika melihat kondisi politik, sosial kemasyarakatan dan religi diketahui karena kota tersebut terdiri dari berbagai macam masyarakat. Pada kota tersebut sebagian besar penduduknya adalah bangsa Arab terutama suku Auz dan Khazraj yang menjadi penduduk terbesar di daerah tersebut ditambah lagi dengan bangsa Yahudi sebagai pendatang dari Palestina. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw. kedua suku tersebut selalu berselisih, bahkan tidak hanya antara kedua suku tersebut melainkan antara bangsa Arab dan Yahudi di Madinah pun saling berselisih.

Keberadaan bangsa Yahudi di Madinah telah dimulai sejak tahun 75 M. Setelah bangsa yahudi menetap di Madinah terjadilah interaksi antara kedua bangsa tersebut. Sehingga dari sinilah bangsa Arab mendapatkan informasi seputar kabar akan datangnya Nabi beserta teori kenabian seperti hari kebangkitan kelak, hari penghitungan juga balasan yang terbaik dari Tuhan berupa pahala. Selain itu dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Yahudi memegang peranan penting dalam segi perekonomian sehingga dengan kuatnya peran bangsa tersebut menjadikan semua bidang kehidupan seperti pertanian, perindustrian juga keuangan dimonopoli oleh kaum Yahudi dan inilah yang menyebabkan suku Aus dan Khazraj menjadi pihak yang dirugikan. Lalu berbekal informasi keagamaan yang didapat dari bangsa Yahudi, suku Aus dan Khazraj mengutus delegasi untuk menemui Rasulullah Muhammad Saw. di Mekah dengan tujuan untuk melawan rival kedua suku. Namun delegasi tersebut kembali bukan untuk tujuan awal karena delegasi tersebut telah menerima dakwah yang diseru Nabi Muhammad Saw.

Kemudian jika mengaitkan kembali peristiwa hijrah Nabi Saw. ke Madinah, diketahui bahwa Nabi Muhammad Saw. memilih kota tersebut dikarenakan terdapat faktor kekeluargaan antar Nabi dengan penduduk Madinah. Di kota tersebut, Nabi Muhammad masih memiliki hubungan kerabat dengan Bani Al Najjar sebagai paman dari kakeknya yakni Abdul Muttalib. Selain itu ayah Rasulullah Saw. yakni Abdullah bin Abdul Muttalib dimakamkan di Madinah. Jika melihat sejarah nabi diketahui bahwa Rasulullah Saw. ketika kecil pernah diajak berziarah ke makam ayahnya oleh ibunya Aminah. Lalu ibunya meninggal di Al Abwa, daerah antar Mekah dengan Madinah ketika perjalanan pulang ke Mekah. Sehingga dari sinilah Rasulullah pun melihat peluang Madinah yang sangat besar untuk menjadi tempat hijrah dan tonggak awal kejayaan Islam.

Hukum Hijrah


Hukum hijrah dapat menjadi wajib, mandub, mubah, dan haram.

Hijrah Wajib

Pada masalah pertama yakni hijrah yang wajib. Hijrah ini diwajibkan dari Dar al-Harb atau negeri yang dalam kondisi darurat ke Dar al-Islam atau negeri yang menegakkan aturan Islam. Permasalahan ini terdapat dalil Alquran sebagai berikut

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali Alquran (4) : 97

Selain itu terdapat firman Allah Swt berikut

Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja. Alquran (29) : 56

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. Alquran (39) : 10

Berdasarkan dalil Alquran di atas dapat diketahui bahwa hijrah dari wilayah musyrik ke Islam adalah wajib. Akan tetapi wajib memperhatikan dua hal yakni mampu berhijrah dan tidak dapat menjalankan tuntunan agama.

Hijrah mandub

Pada hijrah kedua dijelaskan mengenai hijrah ke negeri non Muslim tetapi terdapat jaminan kebebasan beragama. Menurut Ibn Qudamah sebagaimana dikutip oleh Jazuli bahwa dalam masalah hijrah yang dilakukan manusia terdapat tiga tipe, slaah satunya adalah hijrah ke negeri non Muslim tetapi dapat menjalankan tuntunan agamanya tanpa ada rintangan. Jika melihat hal tersebut bukanlah wajib tetapi mandub.

Hijrah mubah

Pada tipe ketiga yakni hijrah mubah yakni hijrah yang tidak diwajibkan kepada orang yang tidak melakukannya. Maksudnya hijrah tersebut tidak wajib bagi orang-orang yang tidak mampu karena sakit, lanjut usia, wanita, dan anak-anak serta orang yang tidak mengetahui jalan. Permasalahan ini terdapat dalam ayat berikut

kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak- anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun Alquran (4) : 98-99

Pada ayat di atas dijelaskan bahwa terdapat pengecualian untuk tidak berhijrah bagi orang-orang yang lemah sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Hijrah Haram

Pada tipe terakhir maksdunya adalah berhijrah dari negeri Islam menuju negeri kafir. Hijrah ini dimaksudkan karena loyalitas dan membantu menolong kaum kafir. Jika terjadi hijrah semacam ini hukumnya haram.

Referensi
  • Mahmud Yunus, Kamus Arab–Indonesia, cet 9, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990)
  • Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzur, Lisan al-'Arab*, juz 9, (Kairo : Dar al-Hadith, 2003)
  • Rohi Baalbaki, Al Mawrid Qamus 'Arabi-Inkilizi Al Mawrid A Modern Arabic–English Dictionary, (Beirut : Dar Al Ilm Li Al Malayin, 2012)
  • Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
  • Ahzami Sami’un Jazuli, Hijrah dalam Pandangan Alquran, terj. Eko Yulianti, (Jakarta : Gema Insani Press, 2006)
  • Shafiyurrahman Al Mubarakfury, Al Rahiq Al Makhtum, Terj. Kathru Suhardi, cet 31, (Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 1997)
  • Ismail Rajil al-Faruqi, Hakikat Hijrah Strategi Dakwah Islam Membangun Tatanan Dunia Baru , Terj. Badri Saleh, Cet 3, (Bandung : Mizan, 1994)
  • Munir al-Ghadban, Manhaj Haraki dalam Sirah Nabi Saw ., Terj. Aunur Rofiq Saleh Tamhid dkk, Jilid 1, (Jakarta : Robbani Press, 1992)
  • Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy Agama, Budaya, dan Kekuasaan , terj. M. Faisol Fatawi, (Yogyakarta : LkiS, 2002)
  • M. Husein Haykal, The Life of Muhammad , terj. Ismail Raji Al Faruqi, (Kuala Lumpur : Islamic Book Trust, 1993)

Secara bahasa hijrah berasal dari kata hajara artinya memutuskan hubungan, yaitu pindah dari suatu daerah ke daerah lain. Sedangkan menurut istilah, hijrah adalah keberangkatan Nabi Muhammad Saw. dari kota Mekah ke Madinah.

Menurut Fairuz Abadi, arti dari hijrah adalah hijrah dari syirik yang merupakan hijrah yang baik. Menurut Ibnu Faris, hijrah kebalikan dari washol, hijrah juga adalah perginya suatu kaum dari satu wilayah ke wilayah lain.

Menurut ar-Raghib al-Asfahani, kata hijrah artinya seseorang yang meninggalkan yang lainnya, baik secara fisik, perkataan, bahkan hati. Firman Allah dalam surat al-Furqan/25: 30

Terjemahnya: Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini, suatu benda yang tidak diperhatikan.

Yang dimaksud dengan al-hijru dalam ayat ini adalah meninggalkan dengan hati atau meninggalkan dengan hati dan lisan.

Ayat diatas menggambarkan kesombongan kaum musyrikin, khususnya penduduk Mekah yang pada hakikatnya mengetahui tentang keistimewaan al-Qur’an tetapi enggan menerimanya. Pada ayat ini juga Nabi Muhammad Saw. pun dinyatakan mengadu kepada Allah menyangkut sikap kaumnya terhadap al-Qur’an. Tanpa menyebut nama, tetapi menampilkan gelar dan fungsi Nabi Muhammad Saw. sebagai pengajaran kepada umatnya dan penghormatan kepada beliau. Ayat diatas menyatakan bahwa: Dan berkatalah Rasul, yakni Nabi Muhammad:

“Wahai Tuhanku yang selama ini membimbing dan berbuat baik kepadaku, sesungguhnya kaumku, yakni, umatku khususnya kaum kafir Quraisy penduduk Mekah dan yang memiliki kemampuan—sebagaimana dipahami dari kata “qaum”, telah berusaha sekuat tenaga menjadikan al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan.

Kata wa/dan pada awal ayat ini dikaitkan oleh banyak ulama dengan ucapan si zalim. Dan karena si zalim itu menyampaikan penyesalannya di hari Kemudian, pengaduan Rasul Saw. ini pun dipahami dalam arti pengaduan beliau kelak di hari Kemudian. Bahwa kata qala menggunakan bentuk kata kerja masa lampau sehingga ia mengesankan telah beliau ucapkan, bukanlah alasan untuk menolak pendapat di atas karena sering kali al-Qur’an menggunakan bentuk kata kerja lampau untuk peristiwa-peristiwa masa datang (Hari Kiamat) guna menunjukkan kepastiannya.

Ayat diatas juga menggunakan kata qaumî /kaumku, dalam al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk menyeru masyarakat umum, bukan dengan kata yâ qaumî (wahai kaumku), tetapi yâ ayyuhan nâs (wahai seluruh manusia). Serta menyeru masyarakat yang mengikuti beliau yaitu orang-orang yang beriman. Pendapat ini untuk membuktikan kekeliruannya dengan ayat 30.

Di samping ciri khusus itu, seperti tersebut diatas, ciri khusus yang kedua yang juga membedakan ayat ini dengan ayat-ayat yang lain adalah bahwa ayat ini menggunakan kata seru ketika menyeru Tuhan, yaitu dengan menyatakan yâ Rabbi/wahai Tuhanku. al-Qur’an selalu melukiskan doa dan permohonan para Nabi dan hamba-hamba Allah yang taat dengan menyeru-Nya tanpa menggunakan kata /wahai, hal tersebut agaknya karena kata “wahai” mengesankan kejauhan, sedang mereka adalah orang-orang dekat kepada-Nya. Penggunaan kata pada ayat ini mengesankan betapa sedih dan luka hati Nabi Saw. melihat orang-orang meninggalkan al-Qur’an.

Ayat di atas, bahkan semua ayat yang menunjukkan kapada kata “al-Qur’an”, selalu menggunakan isyarat dekat yakni kata hadza. Ini untuk mengisyaratkan bahwa kandungan kitab suci al-Qur’an adalah sesuatu yang sangat dekat dengan setiap insan karena petunjuk-petunjuknya sejalan dengan fitrah dan jati diri manusia. Kaum musyrikin Mekah—kaum Nabi Muhammad Saw. tahu persis tentang hal ini sehingga itu pulalah agaknya yang merupakan sebab mengapa ayat ini menggunakan kata ittakhadzu, yakni menyisipkan huruf ta’ pada kata akhazu. Penyusupan itu bertujuan menggambarkan bahwa apa yang mereka lakukan terhadap al-Qur’an dengan meninggalkannya adalah satu upaya yang sungguh-sungguh dan berat diterima oleh fitrah kesucian mereka.

Kata mahjuran terambil dari kata hajara, yakni meninggalkan sesuatu karena tidak senang kepadanya. Nabi Saw. dan kaum muhajirin meninggalkan kota Mekah menuju Madinah pada hakikatnya disebabkan oleh ketidaksenangan mereka—bukan kepada kota Mekah—tetapi kepada perlakuan penduduk kota itu—yang menghalangi mereka melaksanakan ajaran agama Islam.

Menurut Ibn al-Qayyim, banyak hal yang dicakup oleh kata mahjuran ini antara lain:

  • Tidak tekun mendengarkan al-Qur’an.
  • Tidak mengindahkan halal dan haramnya—walau dipercaya dan dibaca.
  • Tidak menjadikannya rujukan dalam menetapkan hukum menyangkut Ushul ad-Din (prinsip-prinsip ajaran agama) dan perinciannya.
  • Tidak berupaya memikirkan apa yang dikehendaki oleh Allah Swt. yang menurunkannya.
  • Tidak menjadikannya obat bagi semua penyakit-penyakit kejiwaan.

Ada juga ulama yang memahami kata mahjuran terambil dari kata al-hujr dengan dhammah pada huruf ha yang berarti mengigau dan mengucapkan kata-kata buruk. Maksudnya bahwa kaum kafir itu jika al-Qur’an dibacakan mereka mengeraskan suara dengan ucapan-ucapan buruk dan semacamnya agar ayat-ayat yang dibaca tidak terdengar.

Firman Allah Swt. dalam Q.S : al-Muzzammil/73: 10

Terjemahnya: Dan Bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.

Kata uhjur adalah bentuk perintah dari kata hajara yang berarti meninggalkan sesuatu karena dorongan ketidaksenangan kepadanya. Nabi berhijrah dari Mekah ke Madinah dalam arti meninggalkan kota Mekah karena tidak senang perlakuan penduduknya. Perintah ayat ini disertai dengan kalimat hajran jamilan atau cara meninggalkan yang indah. Ini berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. dituntut untuk tidak memperhatikan gangguan mereka sambil melanjutkan dakwah sekaligus mereka dengan lemah lembut, dan penuh sopan santun tanpa harus melayani cacian dengan cacian serupa.

Maksud ayat diatas mengandung tiga makna dengan tambahan menyeru kapada jalan yang baik jika membuat mereka diam atau berkata lebih baik. Sehingga sabar, berkata baik dan menjauh merupakan unsur yang terdapat dalam ayat ini.

Serta firman Allah Swt. dalam Q.S. : al-Muddatsir/ 74: 5

Terjemahnya : Dan perbuatan dosa tinggalkanlah.

Menurut Ibnul Arabi, beliau melihat pada sumber kata ha-ja-ra dalam kamus Lisanul Arab. Beliau mendapatkan tujuh makna, (kebalikan dari al-washol), yaitu perkataan yang tidak semestinya, menjauhi sesuatu, igauan orang sakit, pengujung siang, pemuda yang baik, tali yang terikat pada pundak binatang tunggangan kemudian diikatkan pada bagian ujung sepatu binatang tersebut. Yang ketujuh hal diatas adalah tujuannya menjauhi dari sesuatu. Maka al-hij-ru artinya jauh dari keakraban yang seharusnya terjadi kasih sayang dan persahabatan yang baik, perkataan yang tidak semestinya diucapkan artinya jauh dari kebenaran, menjauhi sesuatu artinya jauh dari sesuatu itu dan mendekati sesuatu yang lain, igauan orang sakit artinya jauh dari kata-kata yang teratur, pengujung siang hari artinya jauh dari kesejukan udara, pemuda yang baik artinya orang yang menjauhi banyak bermain dan hura-hura, tali yang mengikat binatang tunggangan artinya dibuat untuk menjauhi gerakan yang terlalu banyak dari binatang.

Sedangkan pengertian kata ha-ja-ra dalam al-Qur’an memiliki empat makna, yaitu:

  1. Perkataan keji/celaan, Firman Allah dalam Q.S: al-Mu’minun/23:

    Terjemahnya: Dengan menyombongkan diri terhadap Al Quran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.

    Kata tahjurun terambil dari kata hajara yang berarti meninggalkan sesuatu yang karena tidak senang. Yang dimaksud disini adalah menolak dan tidak menyambut ayat-ayat Allah. Bisa juga terambil dari kata ahjara yang berarti mengigau. Tidak jarang seorang yang mengigau dengan mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti atau tidak terkontrol.

  2. Berpindah dari suatu negeri ke negeri yang lain, mencari keselamatan agama sebagai manifestasi taat kepada Allah Swt. Seperti firman Allah dalam Q.S: al-Ankabut/29: 26

    Terjemahnya: Maka Luth membenarkan (Kenabian)nya. dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya Aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); Sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

    Ayat di atas di isyaratkan bahwa Nabi Ibrahim as. merupakan Nabi pertama yang melakukan hijrah, yakni meninggalkan satu tempat didorong oleh kebencian terhadap situasi yang meliputinya menuju tempat yang baik dan direstui Allah Swt.28 Yaitu mereka pindah ke Palestina sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab
    tafsir.

    Demikian pula pada surat an-Nisa’/4:100

    Terjemahnya: Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

    Ayat di atas memberi janji dan menanamkan harapan: siapa yang berhijrah, yakni meninggalkan apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya untuk ditinggalkan dan itu dia lakukan di jalan Allah, yakni dengan tulus, niscaya mereka mendapati di sepanjang pentas bumi tempat yang luas untuk berhijrah dan menghindar sehingga menjadikan lawan marah disebabkan kemudahan yang diperoleh di tempat itu, dan juga akan menemukan rezeki yang banyak. Walaupun dia tidak sampai ke tempat yang dituju, tetapi dia pasti akan beruntung, karena barang siapa yang keluar, walau baru selangkah, dari rumahnya belum sampai ketempat yang dituju, asal dalam keadaan berhijrah menuju tempat yang direstui Allah dan Rasul-Nya, lalu dia di dapati oleh maut sehingga maut merenggut nyawanya di jalan atau merenggutnya dalam keadaan dia masih berstatus hijrah belum sempat kembali ke tempat asalnya, maka sungguh telah tetap ganjarannya sebagai seorang yang berhijrah walau belum terlaksana secara penuh. Ganjaran itu tidak akan hilang atau berkurang karena dia berada di sisi Allah. Dan Allah sejak dahulu hingga kini dan seterusnya adalah Maha Pengampun sehingga mengampuni dosa-dosa yang berhijrah, atau siapa pun yang memohon ampunan-Nya, lagi Maha Penyayang sehingga, setelah pengampunan, Dia masih mencurahkan aneka Rahmat-Nya.

    Kata murâghaman terambil dari kata ar-rugham yang berarti tanah. Atau dari kata raghim, yakni mengalahkan. Dari kedua makna ini ada yang berpendapat bahwa asal maknanya adalah menjatuhkannya ke tanah. Dengan demikian, maksud ayat ini adalah bahwa yang berhijrah akan menemukan tempat yang luas di mana dia dapat mengalahkan lawannya dan, sebagaimana dia selama ini dipaksa, kini dengan berhijrah dia memaksa orang-orang yang memaksanya untuk menerima kenyataan, bahkan marah karena yang berhijrah lolos dari tekanan serta mendapat tempat yang menyenangkan.

    Ayat ini menjanjikan kebebasan dan kelapangan rezeki bagi yang meninggalkan kekufuran. Diamati oleh sementara sosiologi bahwa umat manusia telah mengenal sekian banyak peradaban, sejak peradaban Sumaria hingga apa yang dinamai dewasa ini dengan peradaban Amerika. Kesemua peradaban itu lahir benihnya dari satu hijrah. Orang-orang Amerika yang meninggalkan Inggris dalam rangka menyelamatkan kepercayaan mereka berhasil memperoleh kebebasan, bahkan membangun masyarakat baru. Memang, masyarakat mereka dewasa ini berada dalam jurang kehancuran karena mereka meninggalkan nilai-nilai agama. Umat Islam pun, setelah keberhasilan hijrah dan keberhasilan membangun peradaban Islam, terancam hal serupa bila mereka meninggalkan nilai-nilai ajaran Islam.30

  3. Berpisah ranjang dengan pasangan, sesuai firman Allah Swt. Dalam surat an-Nisa’/4:34,”…dan pisahkanlah mereka (wanita ) di tempat tidur mereka

    Terjemahnya: Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.

  4. Menyendiri dan ber-uzlah, yaitu menjauhi dengan cara yang baik, seperti firman Allah dalam Q.S: al-Muzzammil/73: 10

    Terjemahnya: “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”

    Maksud ayat di atas adalah menjauhi dengan cara yang baik yaitu menjauhi tanpa menimbulkan konflik.

Maka berdasarkan ayat-ayat diatas maka pengertian dasar hijrah adalah meninggalkan baik secara perbuatan maupun perkataan.

Para Ulama mengemukakan makna hijrah secara syar’i dengan berbagai defenisi, disebabkan karena banyaknya makna yang terkandung dalam kata hijrah. Secara umum hijrah adalah perpindahan dari negeri kaum kafir atau kondisi peperangan ke negeri Muslim. (Pendapat Ibnul Arabi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Ibnu Taimiyah).

Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat an-Nisa’/4: 97

Terjemahnya: Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Dijelaskan dalam kitab tafsir al-Mishbah bahwa ayat diatas lanjutan kecaman terhadap mereka yang enggan berjihad dan juga enggan berhijrah, ayat ini menggambarkan keadaan mereka saat kematian, dengan menggunakan kata yang mengandung makna penekanan, yaitu sesungguhnya ditegaskan dan diancamnya bahwa orang-orang yang dimatikan oleh Malaikat, yakni dicabut nyawanya oleh Malaikat maut setelah sempurna waktu yang ditetapkan Allah bagi masing-masing untuk kehidupan di dunia, sedang yang bersangkutan sebelumnya hidup dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri, antara lain: enggan berjihad dan enggan berhijrah, sehingga tidak dapat melaksanakan tuntunan agama, padahal sebenarnya mereka mempunyai kemampuan, mereka itu sungguh celaka.

Mereka, yakni para Malaikat pencabut ruh, bertanya dengan mengecam:

“Dalam keadaan bagaimana kamu dahulu ketika hidup sehingga kamu tidak melaksanakan tuntunan agama, tidak juga berjihad dan berhijrah?”

Mereka menjawab sebagai dalih:

“Kami orang-orang yang sangat lemah dan tertindas di bumi, yakni di Mekkah.”

Mereka, yakni para Malaikat itu berkata menolak dalih ini:

“Bukankah bumi Allah luas sihingga kamu dapat berhijrah di sana? dan di sana kamu dapat melaksanakan tuntunan agama, dapat juga bekerja untuk mendapatkan rezeki.”

Orang-orang itu, tidak dapat menjawab, bahkan hati kecil mereka ketika itu mengakui kesalahan mereka. Maka, oleh sebab itu, orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan ia, yakni neraka Jahannam itu, adalah seburuk-buruk tempat tinggal.

Seperti pula dijelaskan dalam kitab tafsir Fi Zhilalil-Qur’an mengenai ayat di atas yang menggambarkan mereka dengan gambaran yang hina dan amat buruk, yang dapat menggugah semangat orang-orang yang duduk untuk segera bangkit dan berlari dengan membawa agama dan akidahnya, untuk mendapatkan tempat kembali disisi Tuhan.

Pendapat kedua mengatakan bahwa hijrah secara umum adalah perpindahan dari negeri orang-orang zalim ke negeri orang-orang adil dengan maksud untuk menyelamatkan agama. Daarul adli dapat diartikan suatu negeri yang dipimpin oleh orang kafir akan tetapi ia memberi toleransi yang tinggi. Pendapat ini banyak didukung oleh ulama khalaf karena mereka melihat fenomena dan mengalami situasi serta kondisi yang beragam. Dalil yang mereka gunakan adalah pada surat an-Nisa’/4: 97, mereka mengatakan bahwa dalam ayat ini tidak ditentukan tempat yang harus dituju oleh orang yang berhijrah akan tetapi ketika inti dari ayat itu terjadi adalah selamatnya kaum muslimin dari aniaya.

Pendapat ketiga, Ibnul Arabi menyetujui pendapat yang pertama, akan tetapi beliau lebih condong kepada makna yang lebih luas mengenai hijrah, yaitu:

Meninggalkan negeri yang diperangi menuju negeri Islam, meninggalkan negeri yang dihuni oleh para ahli bid’ah, meninggalkan negeri yang dipenuhi oleh hal-hal yang haram, melarikan diri demi keselamatan jiwa, khawatir terkena penyakit di negeri yang sedang terkena wabah, sehingga ia pergi meninggalkan negeri itu menuju negeri yang sehat tanpa wabah, melarikan diri demi keselamatan harta, sesungguhnya kehormatan harta seorang muslim seperti kehormatan darahnya.

Makna khusus hijrah secara syar’i adalah hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya dari kota Mekah menuju Madinah, dilandasi oleh hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas r.a, sesungguhnya Nabi Saw. Bersabda ketika fathu Mekah, atau jatuhnya kota Mekah.

“Tidak ada hijrah setelah fathu Mekah akan tetapi hijrah dengan jihad dan niat. Apabila kalian dituntut untuk pergi, pergilah kalian.”

Maksud hadis diatas adalah makna sesungguhnya hijrah dengan pengertian meninggalkan negeri menuju kota Madinah yang ditujukan secara khusus kepada orang-orang tertentu telah berakhir (kewajiban hijrah ke Madinah). Adapun hijrah dengan niat pergi meninggalkan negeri dengan niat jihad tetap masih berlaku.
Adapun hadis lain yang selintas terlihat bertentangan dengan hadis yang tadi yaitu hadis dari Muawiyah sesungguhnya Nabi Saw. bersabda,

  • “Hijrah tidak pernah terputus hingga terputusnya tobat, dan tobat tidak akan terputus hingga matahari terbit dari barat.”*

Yang dimaksud dengan sabda Nabi ,”Tidak ada hijrah setelah fathu Mekah” yaitu hijrah dari Mekah ke Medinah, sementara yang dimaksud dengan “Hijrah tidak pernah terputus”, yaitu hijrahnya kaum muslimin dari negeri kufur menuju negeri Islam untuk menyelamatkan agama.

Ibnu Taimiyah berkata bahwa Nabi Saw. bersabda, “ Tidak ada hijrah setelah futuh Mekah akan tetapi hijrah dengan jihad dan niat. Apabila kalian dituntut untuk pergi, pergilah kalian.”
Serta sabda nya, “Hijrah tidak pernah terputus hingga terputusnya tobat. Dan tobat tidak akan terputus hingga matahari terbit dari barat.”

Keduanya mengandung kebenaran, yang pertama adalah hijrah yang terbatas pada suatu masa, yaitu hijrah ke Madinah dari Mekah atau negeri lain. Hijrah ini disyariatkan karena pada saat itu Mekah dan negeri lain dalam status negeri kufur, sementara iman hanyalah ada di Madinah. Oleh sebab itu hijrah wajib bagi yang mampu melakukannya.

al-Qurthubi meriwayatkan dari Ibnul Arabi bahwa hijrah ini diwajibkan di masa Nabi Saw. dan ia tetap wajib hingga hari kiamat. Maksud dari hijrah terputus dengan futuh Mekah adalah hijrah yang dilakukan oleh Nabi Saw. jika seseorang tinggal berdiam diri di negeri kafir berarti ia telah melakukan maksiat.
al-Baghawi berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada hijrah setelah futuh Mekah” yaitu hijrah dari Mekah ke Medinah, sementara sabdanya, “Hijrah tidak pernah terputus” yaitu hijrah seorang mukmin dari negeri kufur ke negeri Islam.

Ibnu Umar berpendapat dengan sebuah riwayat yang disampaikan oleh al- Ismaili, “Hijrah terputus setelah futuh Mekah bagi Rasulullah Saw. sementara hijrah tidak pernah terputus selagi masih ada negeri orang kafir.” Maksudnya, hijrah tetap ada selagi negeri kufur ada di dunia ini, bahkan hijrah dari negeri kufur itu hukumnya wajib bagi setiap muslim yang tidak dapat mengekspresikan keislamannya secara leluasa. Maksud secara global adalah bahwa kalau di dunia sudah tidak ada negeri kufur, hilanglah kewajiban hijrah.

Sebab-sebab Hijrah


Pada permulaan Islam kaum Quraisy belum mencurahkan perhatiannya untuk menentang agama Islam, mereka mengira bahwa seruan Nabi Muhammad Saw. itu hanya seruan yang tidak berapa lama tentu akan lemah dan lenyap dengan sendirinya. Akan tetapi alangkah terkejutnya mereka melihat bahwa seruan itu dengan cepat telah memasuki lingkungan keluarga mereka bahkan hamba sahaya yang mereka yang dahulunya mereka anggap derajatnya tidak lebih dari harta benda. Oleh karena itu dengan cepat mereka mengadakan penentangan dan perlawanan terhadap ajaran Rasul Saw. dengan cara menyiksa dan menyakiti para pengikut Rasul Saw… Dengan kondisi seperti ini Rasul Saw. mulai memikirkan umatnya agar terlepas dari siksaan orang-orang Quraisy yakni dengan cara memindahkan mereka ke tempat yang lebih aman atau dengan kata lain berhijrah.

Adapun sebab-sebab Rasul berhijrah, yaitu:

  1. Perbedaan iklim antara Mekah dan Madinah, dimana iklim Madinah lembut dan watak masyarakat yang ramah mendorong pengembangan ajaran Islam lebih baik.

  2. Nabi pada umumnya tidak dihormati di negeri mereka, Nabi Muhammad juga tidak diterima oleh kaumnya sendiri tapi beliau diakui sebagai Nabi Allah Swt. oleh orang-orang Madinah.

  3. Golongan Pendeta dan bangsawan Quraisy sangat menentang ajaran yang dibawa Rasul Saw…

  4. Orang-orang Madinah mengundang Rasul dengan harapan bahwa melalui pengaruh pribadi serta nasehat Rasul perang yang berkepanjangan antara suku Aus dan Khazraj yang hampir melumpuhkan kehidupan yang normal dari orang-orang Madinah akan berakhir.

Hal diatas merupakan perjalanan sebab hijrah pada masa Rasulullah Saw. yang hendaknya harus tertanam dalam benak kita bahwa kita hendaknya selalu menghijrahkan diri kita kearah yang lebih baik.

Macam-macam Hijrah


Meninggalkan suatu daerah menuju daerah lain yang lebih aman dengan dasar pertimbangan agama adalah hijrah yang dituntut dalam Islam, tetapi meninggalkan apa saja yang dilarang Allah itulah hijrah yang paling penting dan utama. Dan inilah sebetulnya hakekat hijrah. Syams al-Haq Abadiy dalam‘Aun al-Ma’bud mengutip pendapat al-‘Alqamah yang menurutnya bahwa hijrah itu ada dua macam, yaitu :

  1. Hijrah lahir, berupa meninggalkan suatu daerah dengan dasar agama untuk menghindari adanya fitnah
  2. Hijrah batin, berupa meninggalkan segala macam bentuk ajakan hawa nafsu dan setan.

Hijrah secara fisik atau hijrah tempat dalam artian pindah dari suatu dar al-kufr menuju dar al-Islam. Atau dari suatu daerah menuju daerah lain dengan dasar pertimbangan agama guna menghindari adanya fitnah. Kata Yusuf al-Qardhawiy, sebagai ganti dari hijrah ke daulah Islam pada zaman sekarang ini ialah ikut bergabung dengan jamaah Islam yang berusaha mendirikan daulah Islam. Ini merupakan kewajiban bagi setiap orang muslim sesuai dengan kesanggupannya.
Hijrah secara psikhis atau yang dikenal dengan istilah hijrah al-qulub wa al- jawarih dalam artian meninggalkan segala macam bentuk larangan Allah dan melaksanakan perintahNya. Hijrah semacam ini wajib bagi setiap umat Islam kapan dan dimana pun berada. Termasuk dalam hal ini mereka yang pernah terlibat dalam penyalahgunaan baik sebagai konsumen, pengedar, atau penyelundup narkotika dan obat-obat berbahaya dan terlarang lainnya, lalu mereka meninggalkannya lalu sadar, maka mereka termasuk orang-orang yang berhijrah. Demikian pula para perampok, perusuh, pembakar, atau provokator, dan profesi kejahatan lainnya, mereka berhenti dan meninggalkan semua itu, maka mereka dinilai sebagai muhajir.

Menurut Imam Ibnul Qoyyim membagi hijrah menjadi 2 macam. Pertama, hijrah dengan hati menuju Allah dan Rasul-Nya. Hijrah ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang di setiap waktu. Yang kedua yaitu hijrah dengan badan dari negeri kafir menuju negeri Islam. Diantara kedua macam hijrah ini hijrah dengan hati kepada Allah dan Rasul-Nya adalah yang paling pokok.

  1. Hijrah Dengan Hati Kepada Allah
    Allah berfirman di dalam Q.S.: adz-Dzariyaat/51: 50

    Terjemahnya: “Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya Aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.

    Inti hijrah kepada Allah ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintai-Nya. Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’: Dari kecintaan kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari beribadah kepada selain-Nya menuju ibadah kepada-Nya, dari takut kepada selain Allah menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Allah menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Allah menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Allah menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Allah menuju tunduk kepada-Nya. Inilah makna Allah, “Maka segeralah kembali pada Allah.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illallah.

  2. Hijrah Dengan Hati Kepada Rasulullah
    Allah berfirman dalam Q.S: an-Nisaa’/4: 65

    “Maka demi Rabbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

    Ayat di atas menegaskan satu hakikat menyangkut makna ketaatan kepada Rasul Saw. yaitu bahwa jika demikian fungsi Rasul yang tidak diutus kecuali untuk ditaati. Pendapat Ulama berbeda tentang makna dan kedudukan kata la> pada firman- Nya: fala> wa rabbika. Ada yang memahami kata la> sebagai kata tambahan yang berfungsi menguatkan sumpah, bukan berfungsi atau bermakna sesuatu, sehingga ia dipahami dalam arti tidak dan, dengan demikian, penggalan ayat tersebut berarti demi Tuhan. Ada juga yang memahaminya dalam arti tidak. Hanya saja, menurut penganut paham ini, penafikan itu tertuju kepada pandangan kaum munafikin. Dalam ayat ini juga menetapkan bahwa hukum yang ditetapkan Rasul harus diterima sepenuh hati dan tanpa sedikitpun rasa keberatan, dalam ketetapan itu tersirat kewajiban Rasul Saw. 6Pilihan Allah dan Rasul-Nya itulah satu-satunya pilihan

    Allah berfirman dalam Q.S.: al-Ahzab/33: 36

    Terjemahnya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.”

    Dengan demikian seorang muslim yang menginginkan kecintaan Allah dan Rasul- Nya tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap meninggalkan segala perkara yang melalaikan dirinya dari mengingat Allah. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyalahi ketetapan Allah dan Rasul-Nya walaupun harus dikucilkan manusia.

Ada pula sebagian ulama berpendapat bahwa hijrah secara garis besarnya antara lain:

  1. Hijrah Makaniyah yaitu meninggalkan suatu tempat, ada beberapa jenis, yaitu:

    • Hijrah Rasulullah Saw. dari Mekah ke Habsyiyah
    • Hijrah Rasulullah Saw. dari Mekah ke Madinah
    • Hijrah dari suatu negeri yang membahayakan kesehatan untuk menghindari penyakit menuju negeri aman
    • Hijrah dari suatu yang di dalamnya di dominasi oleh hal-hal yang di haramkan
    • Hijrah dari suatu tempat karena gangguan terhadap harta benda
    • Hijrah dari suatu tempat karena menghindari tekanan fisik seperti hijrahnya Nabi Ibrahim as. dan Musa as., seperti yang tercantum dalam al-Qur’an surah al-Ankabut/29: 26
  2. Hijrah Maknawiyah, dibedakan menjadi 4, yaitu:

    • Hijrah I’tiqadiyah, yaitu hijrah keyakinan, iman bersifat pluktuatif, kadang menguat menuju puncak keyakinan mu’min sejati, kadang pula melemah mendekati kekufuran iman, tetapi kadang pula bersifat sinkretis, bercampur dengan keyakinan lain mendekati kemusyrikan, maka kita harus segera melakukan hijrah keyakinan bila berada di tepi jurang kekufuran dan kemusyrikan

    • Hijrah Fikriyah, menurut bahasa fikriyah berasal dari kata fiqrun yang artinya pemikiran. Dunia yang kita tempati saat ini sebenarnya telah menjadi medan perang yang kasat mata. Medan perang yang ada tapi tidak kita sadari keberadaanya oleh kebanyakan manusia. Tak heran berbagai pemikiran telah tersebar di medan perang tersebut laksana dari senjata-senjata perengggut nyawa. Isu sekularisasi, kapitalisasi, liberalisasi, pluralisasi dan sosialisasi telah menyusup dalam sendi- sendi dasar pemikiran kita yang murni, ia menjadi virus ganas yang sulit terdeteksi oleh kacamata pemikiran Islam. Hirah pemikiran sangat penting mengingat kemungkinan besar pemikiran kita telah terserang virus ganas tersebut. Mari kita kembali mengkaji pemikiran-pemikiran Islam yang murni, pemikiran yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. melalui para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para pengikut salaf.

      Rasulullah Saw. bersabda:

      “Umatku niscaya akan mengikuti sunan ( budaya, pemikiran, tradisi, gaya hidup ) orang- orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga mereka masuk ke lubang bawah pasti umatku mengikuti mereka,

      Para sahabat bertanya: ya Rasulullah apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?

      Rasulullah menjawab:

      siapa lagi kalau bukan mereka.

    • Hijrah Syu’uriyah. Syu’uriyah /cita rasa kesenangan, kesukaan dan semisalnya, semau yang ada pada diri kita sering terpengaruh oleh nilai-nilai yang kurang Islami. Banyak hal seperti hiburan, music, bacaan, gambar/hiasan, pakaian, rumah, idola, semua pihak luput dari pengaruh nilai-nilai di luar islam. Mode pakaian juga tak kalah pentingnya untuk kita hijrahkan, hijrah dari pakaian gaya Jahiliyah menuju pakaian Islami, yaitu pakaian yang benar-benar mengedepankan fungsi bukan gaya, tak lain hanyalah untuk menutup aurat.

    • Hijrah Sulukiyah. Suluk berarti tingkah laku atau kepribadian atau biasa disebut akhlak, dalam perjalanannya akhlak dan kepribadian manusia tidak terlepas dari pergeseran nilai. Sehingga pergeseran dari kepribadian mulia menuju kepribadian tercela, sehingga tidak aneh jika bermunculan berbagai tindak moral dan asusila di masyarakat. Dalam momen hijrah ini sangat tepat jika kita mengoreksi akhlak dan kepribadian kita untuk kemudian menghijrahkan ke akhlak yang mulia.

Referensi :

  • M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
  • Ahmad Muhammad Yusuf, Ensiklopedi Tamatis Ayat al-Qur’an dan hadits jilid 7, (Jakarta: Widya Cahaya, 2009)