Apa makna hati atau kalbu (qalb) menurut Islam?

Hati atau kalbu

Apa makna hati atau kalbu (qalb) menurut Islam ?

Qalb dalam Al Quran

Kata Qalb disebutkan di dalam al-Qur’an kurang lebih 168 kali dalam bentuk isim ( mashdar, maf’ul, fa’il, mufrad, dan jama’ ) dan berbentuk fi’il ( madhi dan mudari’ ). 168 kata Qalb dan derivasinya tersebut dijumpai pada 48 surat dan 155 ayat. Dari 168 kata Qalb dan derivasinya tersebut terdapat 132 kata Qalb yang di artikan sebagai hati atau nurani. 132 kata tersebut terdapat dalam 45 surat dan 112 ayat yang tersebar sesuai konteksnya masing-masing.

Berdasarkan penggunaan kata Qalb dalam berbagai susunannya, dapat dijelaskan beberapa penggunaannya, yang diantaranya adalah sebagai berikut:

  • Menjelaskan tentang keimanan

  • Menjelaskan bahwa Qalb mampu menampung perasaan takut, gelisah, harapan dan ketenangan

  • Menjelaskan bahwa ‘aql mampu menerima dan menyimpan sifat-sifat seperti keteguhan hati, kesucian, kekerasan, dan sifat sombong

  • Menjelaskan bahwa Qalb punya kemampuan untuk berdzikir dan dengan dzikir, ia akan menjadi tenang

  • Menjelaskan bahwa Qalb punya kemampuan untuk memahami dengan menggunakan ‘ aql

Dalam al-Quran, juga diungkapkan bahwa Qalb mempunyai potensi dan sifat yang beraneka ragam. Potensi dan sifat Qalb dalam al-Quran tersebut secara lebih rinci dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

No Sifat dan Potensi Qalb Surat dan Ayat
1 Bersih, suci QS. al-Syu’ara: 89; QS. al-Saffat: 84; QS. al-Ahzab: 53
2 Tobat (kembali) QS. Qaf: 33
3 Tenang QS. al-Nahl: 106; QS. al-Baqarah: 260; QS. al- Ra’d:126; QS. al-Anfal: 10; QS. al-Maidah: 113
4 Terpetunjuki QS. al-Taghabun: 11
5 Teguh QS.al-Qasas: 10; QS. al-Qasas: 11; QS. al-Kahfi:14
6 Taqwa QS. al-Hajj: 23
7 Condong pada kebaikan QS. al-Tahrim: 4
8 Jinak/dapat dipersatukan QS. Ali-‘Imran: 103; QS. al-Anfal: 63; QS. al- Taubah: 60
9 Menjadikan kamu cinta QS. al-Hujurat: 7
10 Tunduk kepadanya QS. al-Hajj: 54
11 Jadi tenang/lunak ( layn ) QS. al-Zumar: 23
12 Tempat iman QS. al-Hujurat: 14; QS. al-Mujadilah: 22
13 Disekat QS. al-Anfal: 24
14 Berpenyakit QS. al-Ahzab: 32; QS. al-Baqarah: 10; QS. al- Maidah: 52; QS. al-Anfal: 49; QS. al-Taubah: 125; QS. al-Hajj: 53; QS.al-Nur: 50; QS. al-Ahzab: 12, 60; QS. Muhammad: 20, 29; QS. al-Mudatsir: 31
15 Termasuki rasa takut QS. Ali-‘Imran: 151; QS. al-Anfal: 12; QS. al- Ahzab: 26; QS. Saba’: 23; QS. al-Hasyr: 2
16 Naik menyesak sampai tenggorokan/kerongkongan QS. al-Ahzab: 10; QS. al-Mu’min: 18
17 Serupa dengan lainnya QS. al-Baqarah: 118
18 Bergetar QS. al-Anfal: 2; QS. al-Hajj: 35
19 Terpalingkan/ berpaling QS. al-Taubah: 27
20 Berdosa QS. al-Baqarah: 283
21 Tertutup/terkunci mati QS. al-Baqarah: 88; QS. al-Nisa: 155; QS. Fusilat: 5; QS. al-Syur a: 24; QS. al-Jatsiyah: 23; QS. Yunus:74, 88; QS. al-Rum: 59; QS. al-An’am: 46; QS. al-Baqarah: 7; QS. al-An’am: 25; QS. al-A‘raf: 100, QS. al-Taubah: 87, 93; QS. al-Nahl: 108; QS. Muhammad: 16; QS. al- Munafiqun: 3; QS. Muhammad: 24; QS. al-Isra’:46; QS. al-Mu’min: 35
22 Lalai QS. al-Kahfi: 28; QS. al-Anbiya’: 3
23 Buta QS. al-Hajj: 46
24 Goncang QS. al-Nur: 37
25 Kesal QS. al-Zumar: 45
26 Sangat Takut QS. al-Nazi’at: 8
27 Keras QS. al-Baqarah: 74; QS. Ali-‘Imran: 159; QS. al- Maidah: 13; QS. al-An’am: 43;QS. al-Hajj: 53
28 Cenderung pada kesesatan QS. Ali-‘Imran: 7, 8
29 Menyesal QS. Ali-‘Imran: 156
30 (Tidak) beriman QS. al-Maidah: 41
31 Panas hati QS. al-Taubah: 15
32 Ragu-ragu QS. al-Taubah: 45
33 Hancur (perasaan telah lenyap) QS. al-Taubah: 110
34 Ingkar QS. al-Nahl: 22
35 Sesat QS. al-Mu’minun: 63
36 Berpecah belah QS. al-Hasyr: 14
37 Objek peringatan QS. Qaf: 37
38 Wadah wahyu QS. al-Baqarah: 97; QS. al-Syu’ara: 194
39 Memahami, mengerti QS. al-A‘raf: 179; QS. al-Hajj: 46
40 Tempat sakinah QS. al-Fath: 4
41 Santun dan sayang QS. al-Hadid: 27
42 Tempat kebajikan QS. al-Anfal: 70
43 Diuji untuk bertaqwa QS. al-Hujurat: 3
44 Menyimpan (isi hati) QS. al-Baqarah: 204; QS. al-Ahzab: 51; QS. al-Nisa: 63; QS. al-Taubah: 64; QS. al-Fath: 18
45 Terbersihkan/tersucikan QS. Ali-‘Imran: 154
46 Wadah keingkaran QS. al-Hijr: 12
47 Wadah kedustaan QS. al-Syu’ara: 200
48 Objek sangsi QS. al-Baqarah: 225; QS. al-Ahzab: 5
49 Kecondongan kufur QS. al-Baqarah: 93
50 Penolakan QS. Ali-‘Imran: 167; QS. al-Taubah: 8
51 Tempat kemunafikan QS. al-Taubah: 77
52 Berpaling QS. al-Saff: 5
53 Tertutup dosa QS. al-Mutaffifin: 14

Qalb dalam Hadits


Dalam Hadits banyak juga pembicaraan tentang hati. Seperti sabda-sabda Rasulullah Saw, berikut:

Karakteristik hati

Hati (arab: Qalbun ) mempunyai dua penggunaan dalam bahasa:

  • Menunjukkan bagian yang paling murni dan paling mulia dari sesuatu.

  • Bermakna merubah dan membalik sesuatu dari satu posisi ke posisi lain.

Kedua makna ini sesuai dengan makna hati secara istilah, karena hati merupakan bagian yang paling murni dan paling mulia dari seluruh makhluk hidup yang mempunyainya, dan dia juga sangat rawan untuk berbolak-balik dan berubah haluan (dinamis). Nabi Saw bersabda:

Sesungguhnya hati manusia semuanya ada diantara dua jari ar- Rahman (Allah) seperti halnya satu hati, Dia membolak-balikkannya sekehendakNya. (HR. Muslim)

Kemudian Nabi Saw berdoa:

Dari Anas ibn Malik RA, Rasulullah Saw memperbanyak membaca doa: Wahai Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu. (HR. Tirmidzi)

Rasulullah Saw bersabda:

Sesungguhnya dinamakan hati karena ia senantiasa berbolak-balik, perumpamaannya itu seperti bulu di padang yang lapang, yang digantungkan di batang pohon, ia akan diombang ambingkan oleh angin kesana kemari. (HR. Thabrani)

Rasulullah Saw bersabda:

Sungguh, hati anak Adam (manusia) itu sangat cepat berubah dibandingkan panci yang berisi air mendidih. (HR. Ahmad dan Hakim)

Hati sebagai tempat Ketakwaan

Nabi Saw bersabda:

Dari abi Hurairoh berkata: Rasulullah Saw bersabda: Ketakwaan itu di sini,” seraya beliau menunjuk ke dada beliau. (HR. Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut tempat ketakwaan tentunya adalah di dalam hati. Adapun letaknya menunjukkan bahwa dia terletak di dalam dada.

Hati sebagai pusat tubuh manusia

Rasulullah Saw bersabda:

Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Namun apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, sesungguhnya segumpal darah itu adalah hati.

Qalb didefinisikan sebagai segumpal mudghah yang memiliki sirkuit ( networks ) dinamis (tumbuh, berkembang, menyusut, menghilang) yang menjadi tempat, penghubung dan berlangsungnya proses berpikir dan merasa. Bila Qalb ini berjalan dengan baik, maka proses berpikir dan merasa akan baik, sehingga muncul perilaku yang baik dan menghasilkan respon fisiologis yang menyehatkan bagi tubuh. Bila Qalb ini rusak, maka proses berpikir dan merasa akan cenderung menyimpang, sehingga muncul perilaku yang cenderung menyimpang dan menghasilkan respon fisiologis yang menyakitkan bagi tubuh.

Hati adalah tempat yang dilihat Allah

Rasulullah Saw bersabda:

Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentukmu ataupun hartamu, akan tetapi Allah hanya melihat pada amalan dan hatimu. (HR. Muslim)*

Mengubah kemungkaran dengan hati

Dari Abi Sa’id al-Khudhriy berkata: saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:Barang siapa diantara kamu yang melihat kemungkaranmaka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lidahnya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah(mengubah kemungkaran dengan hati) selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)

Bentuk hati

Terdapat empat bentuk hati; Hati yang bersih seperti pelita yang benderang di dalamnya, hati yang tertutup dan terikat pada tutupnya, hati yang terbalik dan hati yang terlapis.

  • Hati yang bersih adalah hati seorang mukmin, lenteranya adalah cahaya di dalamnya.
  • Hati yang tertutup adalah hati orang kafir,
  • Hati yang terbalik adalah hati orang munafik,
  • Hati yang berlapis adalah hati yang di dalamnya terdapat iman dan kemunafikan.

Iman yang ada dalam hati tersebut seperti sayur yang memperoleh siraman air yang segar, dan kemunafikan dalam hati itu seperti bisul yang dipenuhi darah dan nanah. Maka yang mana di antara dua yang dapat mengalahkan yang lain, maka itulah yang menang.* (Menurut Ibn Katsir sanad hadits ini Hasan)

Berdasarkan uraian hadits di atas, disamping makna-makna yang terkandung di dalamnya yang menjadi pelajaran dan pedoman bagi manusia, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Qalb yang digunakan adalah pengertiannya yang psikis immaterial bukan fisik material.

Di awal bab pertama dalam kitab Bayan al-Farq baina al-Sadr wa al-Qalb wa al-Fu’ad wa al-Lubb, al-Tirmidzi mendefinisikan bahwa hati (Qalb) adalah sebuah istilah yang mencakup seluruh lapisan batin manusia. Pada batin tersebut ada beberapa tempat. Di antaranya ada yang termasuk bagian luar hati dan ada yang termasuk bagian dalam hati. Tiap-tiap bagian mempunyai hukum dan pengertian yang berbeda. Namun, semuanya saling membantu dan manfaatnya saling berkaitan. Segala yang berada di luar menjadi landasan bagi sesuatu yang bersambung kepadanya dari dalam, dan kesempurnaan cahaya penglihatan bergantung kepada kesempurnaan semuanya.

Empat fakultas hati ini, sebagaimana digambarkan oleh Imam Tirmidzi saling bersusunan bagaikan sekumpulan lingkaran, dimana dada menjadi lingkaran terluarnya dan inti dari hati terletak di pusat lingkaran, yaitu dada (Sadr), hati (Qalb), hati lebih dalam (Fu’ad), dan hati nurani (Lubb).

Hati dalam pandangan Imam Tirmidzi, tidaklah berbeda dengan para sufi lainnya. Baginya-sebagaimana penjelasan Dr. Ahmad Wajih, hati merupakan instrumen yang dengannya manusia dapat mencapai ma’rifatullah dan mengetahui rahasia-rahasia-Nya. Dalam hal ini, ia senada dengan para mayoritas sufi, menegaskan bahwa hati bukan hanya tempat bersemayamnya cinta (hubb) dan perasaan melainkan tempat mengetahui (idrak) dan intuisi (dzauq). Namun demikian, Imam Tirmidzi mempunyai karakteristik tersendiri dalam memaknai hati. Kekhasan tersebut terlihat dari penggambarannya tentang hati yang terkandung di dalamnya tingkatan-tingkatan batin yang dibahasakannya dengan Maqamat al- Qalb.

Maqamat al-Qalb merupakan istilah yang terdiri dari dua kata‚ Maqamat‛ dan ‚al-Qalb‛. Kedua kata tersebut merupakan istilah sufistik di mana ‚Maqamat‛ berarti tingkatan spiritual yang diusahakan oleh seorang sufi
secara iktisab melalui ibadah dan mujahadah, sedangkan ‚al-Qalb‛ merupakan entitas metafisik yang dikaruniakan Allah kepada manusia, yang dengannya manusia dapat merasa, berpikir, mengetahui, dan dekat dengan Allah.

Makna Maqamat al-Qalb sendiri, menurut Imam Tirmidzi, adalah penggambaran hati yang memiliki tingkatan-tingkatan batin, yaitu dada (sadr), hati (qalb), hati kecil/ hati terdalam (fuad), dan hati nurani/inti hati terdalam (lubb).

Dalam kitab ini, Imam Tirmidzi menjelaskan maqamat batin dengan memakai metode ungkapan simbolik kepada hal-hal indrawi, sebagai berikut:

  • Hati menyerupai istilah Mata (al-‘Ain). Sebab mata juga merupakan istilah yang mencakup semua bagian yang berada di antara kedua tepinya seperti putih mata, hitam mata, biji mata, dan cahaya di biji mata itu.‛

  • Hati menyerupai istilah Rumah (al-Dar). Rumah mencakup seluruh bagiannya. Ia dipagari oleh tembok dan diamankan dengn pintu yang terkunci.di dalamnya ada lorong, halaman rumah, berikut kamar dan lemari. Setiap letak dan tempat di dalamnya mempunyai aturan tersendiri.

  • Hati menyerupai istilah Tanah suci (al-Haram). Tanah suci mencakup semua tanah haram, seperti sekitar Makkah, negerinya, masjidnya, dan Ka’bah. Pada setiap tempat ada manasiknya masing-masing.‛

  • Hati menyerupai istilah pelita (Qindil). Istilah pelita mencakup semua yang ada di dalam kaca. Di dalamnya, tempat untuk air berbeda dengan tempat untuk sumbu. Juga sebaliknya, sumbu merupakan tempat cahaya berpijar. Di tempat sumbu ada minyak yang tidak berair. Kesempurnaan pelita bergantung kepada kesempurnaan semua bagian tersebut. Jika ada salah satunya yang rusak, maka yang lain juga ikut rusak.‛

  • Hati menyerupai istilah buah Almond (al-Lawz/al-Qisyr) yang meliputi kulit luar di atas kulit keras, kulit kedua yang seperti tulang dan otak, serta biji di dalamnya, dan minyak di dalam biji tersebut.‛

Berdasarkan ungkapan simbolik diatas, menurut Imam Tirmidzi Tirmidzi, agama ini juga mempunyai beberapa tingkatan. Para pemeluknya juga berada dalam maqam yang berbeda-beda. Orang berpengetahuan juga memiliki kedudukan yang beragam. Allah swt berfirman:

Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat. QS. Al-Zukhruf (43): 32

Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui. QS. Yusuf (12): 76

Setiap pengetahuan yang lebih tinggi, maka tempatnya di dalam hati juga lebih kokoh, lebih khusus, lebih terjaga, lebih tersembunyi, dan lebih tertutup. Namun menurut Imam Tirmidzi, istilah hati (ism al-Qalb) bagi kebanyakan orang mewakili penyebutan semua lapisan yang ada.

Berikut penjelasan satu persatu mengenai empat maqamat batin dalam hati manusia sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Tirmidzi Tirmidzi.

Sadr Sebagai Tingkatan Pertama


Dalam al-Qur’an kata sadr disebutkan dalam bentuk yang berbeda-beda, pada ayat dan surah yang berbeda-beda pula. Sadr merupakan permukaan dan lapisan pertama hati. Sama seperti istilah Sadr al-Nahar (permulaan siang), atau seperti halaman rumah yang menjadi tempat pertama baginya. Senada dengan maknanya, Imam Tirmidzi meletakkan sadr sebagai tingkatan pertama karena merupakan sumber dari segala urusan dan perbuatan.

Secara fungsional sadr berfungsi sebagai ruang di mana hati dan nafsu bertemu, yang juga merupakan tempat akal. Maka ibarat sebuah kerajaan, sadr merupakan tempat bermusyawarahnya raja dan para pejabatnya. Sebagai ruang akal, sadr berfungsi sebagai tempat untuk menghafal ilmu yang didapati melalui belajar yang diperoleh dari kekuatan panca indera, seperti hukum-hukum, informasi, dan seluruh ilmu yang diungkapkan secara lisan atau disebut lisan al- ‘ibarah. Untuk itu, bagi Imam Tirmidzi, sadr ibarat putihnya mata, atau seperti ruangnya rumah, atau seperti tempat minyak dalam sebuah lampu, yang menampung sesuatu yang berada di dalamnya maupun di luarnya.

Lebih jauh lagi, dengan memaknai firman Allah swt:

“yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia” QS. Al-Nas (114): 5

Imam Tirmidzi kemudian menjelaskan bahwa sadr merupakan tempat masuknya gangguan, godaan setan, dan penyakit (penyakit mata karena debu atau sebab lain). Maka, ia menyimpulkan bahwa sadr merupakan tempat bersemayamnya iri, syahwat, harapan, dan keinginan. Serta sifat yang menjadi media percobaan (maqam al-ibtila`’) bagi manusia berdasarkan firman Allah:

Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. QS. Ali-Imran (3): 154

Sadr juga merupakan wilayah akhir dari nafs, terkait dengan nafs ammarah bi al-su’. Pembatasan wilayah tersebut merupakan rahmat Allah yang tidak memasukkan godaan setan sampai ke qalb.

Selain itu, dengan memaknai firman Allah swt:

Maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya. QS. Al-A’raf (7): 2

Maka boleh Jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu. QS. Hud (11): 12

Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. QS. Al-Hijr (15): 97

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu. QS. Al-Insyirah (94): 1

Imam Tirmidzi menjelaskan bahwa sadr merupakan tempat kelapangan dan kesempitan. Sesuai dengan ayat tersebut, baginya, kesempitan hati seorang muslim dikarenakan oleh gangguan nafs ammar ah, dan keluasan hatinya dikarenakan hidayah Allah yang melapangkan hatinya dengan cahaya Islam.

Islam adalah nama umum dari agama Allah Swt yang berarti ikrar melalui lisan, beramal dengan tubuh, serta mengimani sepenuhnya. Islam juga memiliki dua sisi, yakni lahir dan batin.

  • Islam lahir adalah islam yang mungkin secara lahiriah mengandung unsur kemunafikan dan kemusyrikan, serta kafir jika dipandang menurut sisi batiniyahnya.

  • Islam batin adalah Islam yang patuh kepada Allah Swt. serta penyerahan total atas jiwa dan hati untuk berjalan di atas segala ketetapan Allah Swt. Islam yang kedua inilah yang merupakan Islam hakiki yang terpancar di dalamnya cahaya Islam, Iman, dan Ihsan.

Maka bagi Imam Tirmidzi, sadr terkait dengan cahaya Islam yang terlahir darinya ketakutan dan harapan untuk husn al-khatimah. Sebagaimana firman Allah:

Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya. QS. Al-Zumar (39): 22

Dari sini dapat dipahami, bahwa sadr merupakan tingkatan batin hati yang berfungsi sebagai sumber ‘ilm ‘ibar ah, tempat nafs ammar ah, dan berkaitan dengan cahaya Islam. Secara langsung sadr dipengaruhi oleh kata-kata dan perilaku kita, serta merupakan cahaya amaliyah yang dipelihara dengan do’a, ibadah, dan pengamalan terhadap ajaran-ajaran Islam.

Qalb Sebagai Tingkatan Kedua

Dalam al-Qur’an kata al-qalb disebutkan sekitar 130 kali yang tersebar dalam 45 surah dan 112 ayat, yang mempunyai arti dan makna yang beragam sesuai dengan posisinya dalam sebuah ayat.

Menurut Imam Tirmidzi, qalb merupakan tingkatan kedua setelah sadr, yang berada di dalamnya. Ia ibarat hitamnya mata, atau seperti kota Makkah yang
berada di dalam Haram, atau seperti sumbu yang berada di dalam lampu, atau ruang tamu yang berada di sebuah rumah, atau seperti isi buah almond setelah kulit yang menutupinya. Bagi Imam Tirmidzi qalb merupakan tempat ilmu karena manusia dengannya bertadabur dan bertafakur. Ibarat sumur, qalb merupakan sumber mata airnya dan sadr adalah wadah tempat menampung mata air tersebut, di mana dari mata air tersebut air muncul yang tertampung ke dalam sumur, darinya ilmu tertuang di dalam sadr.

Menurut Imam Tirmidzi, jenis ilmu yang berada di dalam hati adalah ‚‘ilmu al-nafi’‛. Ini adalah ilmu yang dipelajari untuk melaksanakan syariat, penta’diban, dan perbaikan diri serta mencegahnya dari kebodohan, dan sebagai pengetahuan atas hudud, hukum-hukum serta prinsip-prinsip agama, yang berfungsi secara maksimal ketika Allah membuka batinnya (kasyafa Allah lahu al-batin).

Imam Tirmidzi menafsirkan ‘ilm al-qalb sebagai ‘ilm al-isyarah yang berada di bawah ‘ilm al-‘ibarah. ‘Ilm al-‘ibarah adalah hujah Allah atas penciptaan, yang diungkapkan secara lisan, sedangkan ‘ilm al-isyarah adalah hujah seorang hamba kepada Allah, maksudnya, manusia menuntun hati kepada rububiyah, keesaan, kebesaran, dan kekuasaan Allah dengan segala sifat-sifat-Nya, kebenaran sunnah, dan perbuatan-Nya.

Lebih jauh lagi, menurut Imam Tirmidzi hati merupakan, tempat Qalb dimana tempat bagi cahaya iman,

Allah swt berfirman:

Mereka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka. QS. Al-Mujadilah (58): 22

Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu. QS. Al-Hujurat (49): 7

Padahal hatinya merasa tenteram dengan keimanan. QS. Al-Nahl (16): 106

yakni cahaya yang memberikan terlahirnya keyakinan, ilmu, dan niat yang berada di dalam sadr. Hati adalah sumber atau pangkal (al-Aslu), sementara sadr adalah cabang (al-far’u). Cabang baru terwujud setelah ada sumbernya. Dari itu, Imam Tirmidzi menyebut qalb sebagai akar dan dada sebagai ranting, di mana ranting akan menjadi kuat apabila akarnya kuat. Rasulullah SAW bersabda; ‚innama al- ‘amal u bi al-niyyat ‛, yang bermakna bahwa perbuatan yang dilakukan oleh diri kita bertambah kadarnya sesuai dengan kekuatan niat hati, dan berlipat gandanya sebuah amal ditentukan oleh kadar niatnya.

Selain itu, menurut Imam Tirmidzi, hati merupakan tempat kebutaan dan penglihatan, bukan sadr. Hal itu sesuai dengan firman Allah:

Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. QS. Al-Hajj (22): 46

dan kebutaan dalam ayat ini, merujuk kepada hati orang-orang kafir, karena sadr dan hati mereka tertutup dari cahaya petunjuk.

Selain sebagai tempat bagi cahaya iman, qalb juga tempat bagi takwa, sakinah (ketenangan), kekhusyu’an, dan kesucian. Kesucian dan kebersihan al- qalb tergantung sejauh mana ia dijaga, dilatih, dan ditambahi dengan hikmah- hikmah. Serta cahayanya tidak pernah padam dan tidak ada yang mengotorinya kecuali jika sang pemilik mengotorinya dengan sifat syirik, kemunafikan, was- was, dan segala jenis penyakit hati. Karena, pokok dari segala kekerasan hati adalah dosa dan kotoran hati. Dengan demikian, cahaya al-qalb adalah sempurna dan abadi, tidak seperti cahaya sadr yang bersifat fluktuatif.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa qalb menurut Imam Tirmidzi merupakan tempat bersemayamnya cahaya iman yang di dalamnya terletak rasa khusyuk, takwa, cinta, rida, yakin, takut, harap, sabar, kecukupan, niat, dan lain sebagainya. Qalb merupakan sumber ilmu yang disebut ‘ilm al-isyarah.

Fu’ad sebagai Tingkatan Ketiga

Dalam al-Qur’an kata fu’ad disebutkan dalam bentuk sebanyak 3 ayat, sebanyak dua ayat, sebanyak delapan ayat, dan sebanyak 3 ayat. Bagi Imam Tirmidzi, fu’ad merupakan tingkatan ketiga setelah qalb. Ia ibarat biji mata yang berada di dalam hitamnya bola mata, atau seperti Masjid al-Haram yang berada di dalam Makkah, atau seperti lemari yang berada di rumah, atau seperti sumbu yang terletak di tengah-tengah pelita, atau seperti biji di dalam buah almond. Fuad adalah lokus makrifat, lintasan hati, dan penyaksian. Fuad terletak ditengah-tengah hati sebagaimana hati terletak di tengah-tengah sadr. Ia bagaikan mutiara yang terpendam dalam mulut kerang.

Imam Tirmidzi menyimpulkan, bahwa fu’ad dan qalb memiliki makna yang sama sebagai tempat penglihatan batin (basar). Namun demikian, secara fungsional,
Imam Tirmidzi tetap membedakannya. Baginya fu’ad merupakan tempat ru’yah bat iniyah, sedangkan qalb merupakan tempat ilmu. Maka dikatakan bahwa fu’ad itu melihat sedangkan qalb mengetahui. Apabila penglihatan dan pengetahuan terintegrasi, maka akan terbuka sesuatu yang gaib di mana seorang hamba akan meminta pertolongan kepada Allah dengan ilmu, musyahadah, dan iman.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa kedudukan seorang mukmin sesuai dengan kadar tingkatan ihsannya, dan ihsan terkait dengan penglihatan batinnya. Penglihatan tersebut terletak di dalam fu’ad. Hal itu sesuai dengan firman Allah:

Hatinya (Fuad) tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. QS. Al-Najm (53): 11

Karenanya, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa kata fu’ad diderivasi dari faidah. Dengannya, manusia melihat dari Allah serat cinta-Nya, di mana fu’ad mengambil manfaatnya dengan melihat (ru’yah) dan hati menikmatinya dengan pengetahuan. Maka dapat dikatakan apabila fu’ad belum melihat, maka hati tidak akan dapat melihat manfaat dari apa yang diketahuinya. Imam Tirmidzi kemudian mengilustrasikannya seperti orang buta yang berilmu. Ia tidak dapat menggunakan ilmunya sedikitpun ketika disuruh untuk menyaksikan atau melihat sesuatu, karena matanya tertutup untuk melihat.

Beberapa orang-orang arif mengatakan bahwa al-fu’ad disebut fu’adan, karena di dalamnya terdapat seribu lembah, maka bagi seorang arif, lembahnya adalah cahaya-cahaya Allah, seperti ihsan dan kelembutan-Nya. Lebih jauh lagi, Imam Tirmidzi menjelaskan bahwa kata fu’ad mempunyai makna yang lebih dalam atau lebih halus dari qalb, namun mempunyai kedekatan seperti kata al-rahman dan al-rahim. Penjaga hati adalah al-Rahman dan penjaga fu’ad adalah al-Rahim.

Maka dari itu, dikatakan bahwa qalb mengetahui karena membutuhkan ikatan penguatan, sampai akhirnya menjadi tenang untuk mengingat Allah, sedangkan fu’ad melihat dan menentukan, sehingga tidak membutuhkan penguatan, tetapi membutuhkan pertolongan dan petunjuk.

Dari penjelasan Imam Tirmidzi tersebut dapat dipahami bahwa fu’ad merupakan tempat ru’yah batiniyah yang dicapai melalui ilmu dan musyahadah, sehingga mencapai ma’rifatullah . Fu’ad berkaitan dengan cahaya ma’rifat, yang terlahir darinya ketakutan akan jalan-jalan kejelekan dan harapan akan jalan-jalan kebaikan. Cahaya ini muncul dengan pengetahuan hati dan penglihatan fu’ad yang dengannya seorang hamba dapat menyaksikan (musyahadah/direct) dan menjadi ‘arif tentang-Nya secara langsung sementara hati (qalb) mengetahui (indirect).

Lubb sebagai Tingkatan Keempat

Dalam al-Qur’an kata lubb disebutkan dalam bentuk sebanyak 16 kali. Bagi Imam Tirmidzi lubb merupakan tingkatan batin hati yang keempat, yang berada di dalam fu’ad . Ia ibarat retina mata atau cahaya penglihatan pada mata, atau seperti cahaya pelita, atau seperti minyak dalam biji almond. Mata, pelita, dan buah setiap bagian-bagian luar yang ada pada dirinya akan menjadi pelindung bagi yang berada di dalamnya. Menurut Imam Tirmidzi, lubb terkait dengan cahaya tauhid dan tafrid, di mana cahaya tersebut merupakan cahaya yang paling sempurna dan penguasa atas cahaya-cahaya yang lainnya. Maka lubb ibarat gunung yang besar dan tingkatan yang paling tinggi yang tidak akan hilang dan bergerak.

Cahaya tauhid merupakan inti pokok dari agama, di mana seluruh cahaya merujuk kepadanya. Oleh karena itu, tidak akan sempurna cahaya Islam, iman, dan makrifat kecuali dengan baiknya cahaya tauhid, dan tidak akan kokoh cahaya-cahaya tersebut kecuali dengan kekokohan cahaya tauhid, dan tidak akan ada kecuali dengan adanya cahaya tauhid, sehingga dengannya seorang hamba dikatakan sah keimanannya.

Secara linguistik, kata lubb diambil dari kata labba, dikatakan lubban bi al-makan berarti berdiam di dalamnya. Bentuk pluralnya adalah al-bab, yaitu yang bersih atas segala sesuatu, yakni akal yang bersih dari cela. Dikatakan wa lubbu al-rajuli berarti menjadikan hatinya sebagai akalnya. Imam Tirmidzi mengibaratkan lubb sebagai akal yang telah tertanam dalam tauhid.

Lebih jauh lagi, Imam Tirmidzi mentafsirkan kata lubb yang terdiri dari ‚lam‛ dan ‚ba‛. Huruf lam adalah lam al-Lutf dan ba adalah ba musyaddadah. Pada hakikatnya huruf ba pada kata tersebut adalah dua karena ia adalah huruf mudha’afah, maka pengertian ba mengandung dua kata: ba al-birri fî al-bidayah dan ba al-barakah ‘alaiha, maka ba dalam kata lubb mengandung dua pengertian, yaitu birr (kebaikan) dan barakah (anugrah).

Sebagaimana dijelaskan, bahwa lubb bagi Imam Tirmidzi terkait dengan cahaya tauhid, yang terlahir darinya ketakutan dan harapan. Cahaya tauhid tersebut
tidak akan didapat kecuali dengan ibadah dan mujahadah. Mujahadah seorang hamba terkait dengan pertolongan Tuhan (ma’un ah rububiyyah) dan hidayah-Nya (hidayah uluh iyyah). Mujahadah seorang hamba tidak akan tercapai kecuali dengan persetujuan Allah, dengan sikap dan pandangan yang baik terhadap apa yang sudah ditakdirkan Allah kepadanya, dan segala hal yang terjadi padanya. Sehingga pada akhirnya membuka jalan kemudahan baginya untuk berbuat baik.

Imam Tirmidzi berkata:

‚Ketahuilah bahwa cahaya lubb tidak ada kecuali bagi orang-orang yang beriman, mereka adalah golongan khawwas hamba Allah yang menerima syariat-Nya dengan ketaatan, dan menjauhkan dirinya dari hawa nafsu dan kenikmatan dunia, yang dengan keimanannya mereka dipakaikan pakaian takwa‛.

Dalam pandangan Imam Tirmidzi orang-orang tersebut di atas dijauhkan Allah dari bala’. Karenanya, disebut ulul al-bab, yaitu orang-orang yang diberi perlakuan khusus oleh Allah melalui teguran dan pujian yang termaktub dalam al-Qur’an. Sebagaimana yang Allah firmankan:

Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal. QS. Al-Maidah (5): 100

Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). QS. Al-Baqarah (2): 269

Menurut Imam Tirmidzi, bagi orang yang mengerti sastra dan pandai di bidang linguistik, yang dimaksud dengan lubb adalah akal. Namun, pada hakekatnya keduanya sangatlah berbeda ibarat cahaya matahari dan cahaya lampu. Meski keduanya sama-sama berupa cahaya, namun cahaya lubb berbeda dengan cahaya akal. Cahaya lubb bagaikan cahaya matahari yang sempurna, sedangkan akal bagaikan cahaya lampu. Selain itu, akal memiliki beberapa jenis tergantung pada dinamika perkembangan pemikirannya.

  • Akal pertama adalah aql al-fitrah (akal bawaan) yaitu akal yang membedakan diri dari kegilaan, akal yang mampu memahami suatu perintah, akal yang dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, dan sebagainya.

  • Akal kedua adalah aql al-hujjah (akal argumentatif), yaitu akal yang siap menerima khitab (perintah) dari Allah Swt.

  • Akal ketiga adalah aql al-tajribah (akal eksperimen), yaitu akal yang muncul dari sebuah usaha percobaan, kajian/ penelitian atau penyelidikan. Akal ini adalah yang paling utama dan paling berguna di antara akal yang lain.

  • Akal keempat adalah aql mauruts (akal yang warisan), yaitu akal yang muncul dari sisi eksternal pemiliknya. Artinya, akal ini datang disebabkan oleh adanya dorongan dari luar yang dilakukan oleh orang-orang yang alim, bijak, dan murah hati yang selalu berdo’a bagi orang lain, baik itu anak, keluarga, ataupun murid. Sehingga Allah swt mewariskan akal tersebut kepada mereka yang dido’akan.

Bentuk perubahan itu bukanlah seperti pemindahan akal, melainkan pengaruh (atsar) dari berkah do’a dan cahaya ilmunya sang bijak tersebut. Dengan demikian, jenis-jenis akal di atas masih terikat oleh kadar atau ukuran kemanfaatan yang dilakukan oleh manusia dalam menggunakannya. Jenis-jenis akal tersebut juga dapat dimiliki oleh mereka yang tidak beriman kepada Allah Swt, seperti para filosof dan ahli bijak lainnya yang berasal dari India, Romawi dan lainnya.

Adapun akal yang dapat memberikan kesempurnaan dalam kemanfaatannya adalah akal yang muncul atau yang terbentuk lewat cahaya hidayah Allah Swt, dan inilah makna al-lubb yang diorientasikan pada makna akal secara kontemporer.

Uli al-Albab adalah mereka-mereka yang tidak hanya berakal saja (‘aqil), melainkan mereka adalah orang yang ‘alim billah. Karena ‘aqil belum tentu ‘alim, akan tetapi ‘al im billah pasti ‘aqil.

Hal ini seperti firman Allah swt:

Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. QS. Al-Ankabut (29): 43

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, lubb merupakan inti dari segala hati yang terkait dengannya cahaya tauhid, dimana cahaya-cahaya seperti Islam, Iman, dan makrifat tidak sempurna kecuali dengannya.

Setelah memaparkan tentang definisi dan perbedaan di antara istilah- istilah di atas, Imam Tirmidzi menjelaskan bahwa cahaya-cahaya yang telah disebutkan diatas seperti cahaya Islam, cahaya Iman, cahaya Ma’rifat, dan cahaya Tauhid, meskipun namanya berbeda-beda, kesemuanya bukanlah cahaya yang berlawanan. Setiap cahaya melahirkan nilai serta hikmah tersendiri tergantung pada tingkat dan martabatnya.

  • Cahaya islam yakni melahirkan nilai yang mencerminkan rasa cemas dalam memandang akhir kehidupan serta berharap atas akhir yang baik.

  • Cahaya iman melahirkan nilai yang memantulkan rasa takut dalam jalan keburukan dan berharap selalu menapaki jalan kebaikan.

  • Cahaya ma’rifat melahirkan nilai yang memunculkan rasa harap-harap cemas akan qadla dan takdir Allah.

  • Cahaya tauhid melahirkan nilai yang memantulkan rasa takut jauh dari Allah al- Haqq dan selalu berharap dekat di sisi-Nya.

Dari keterangan di atas dapat ditarik garis lurus bahwa setiap tingkatan batin hati yang digambarkan oleh Imam Tirmidzi merupakan entitas metafisik yang secara substansial adalah satu, yaitu hati itu sendiri. Apabila digambarkan secara ringkas, maka tingkatan-tingkatan batin tersebut tersusun secara struktural dan mempunyai fungsi masing-masing yang berbeda namun tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan. Setiap tingkatan-tingkatan tersebut terkait dengan tingkatan spiritual, jiwa, ilmu, dan pengetahuan manusia.

(Sadr) Dada (Qalb) Hati (Fuad) Hati lebih dalam (Lubb) Inti hati terdalam
Nur al-Islam : Cahaya Islam Nur al-Iman : Cahaya Iman Nur al-Ma’rifah : Cahaya Ma’rifat Nur al-Tawhid : Cahaya Tauhid
Muslim Mu’min Arif Muwahhid
‘Ilm al-Masmu’ : Pengetahuan tentang tindakan yang benar ‘Ilm al-Isyaroh : Pengetahuan Batiniyah al-Ru’yah al- Batiniyyah : Penglihatan Batiniyah al-Sifat al-Ilahiyyah : Sikap Ilahiyah
Nafs Ammarah : Tirani atau memerintahkan kepada keburukan Nafs Mulhamah :Terilhami Nafs Lawwamah : Penuh penyesalan Nafs Mutmainnah : Tenteram

Referensi :

  • Al-Imam Tirmidzi al-Tirmidzi, Bayan al-Farq baina al-Sadr wa al-Qalb wa al-Fu`ad wa al-Lubb
  • Al-Imam Tirmidzi al-Tirmidzi, Ghauru al-Umur, (Kairo: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, Cet I, 2002).

Hati atau kalbu dikenal dengan Qalb dalam bahasa Arab. Penggunaan istilah ‘hati’ ini memang terkesan tumpang tindih dengan istilah jantung, karena dalam bahasa Inggris istilah ‘Qalb’ lazimnya diterjemahkan dengan heart (jantung) dan bukannya liver (hati).

Ibnu Manzur dalam Lisan al-‘Arab menyebut Qalb sebagai segumpal daging (mudghah) yang menggantung pada sesuatu. Makna ini berkaitan dengan hadis Nabi SAW tentang mudghah yang menunjuk pada sesuatu di dalam dada (hati/Qalb).

Qalb juga memiliki arti inti (lubb) dari segala sesuatu, seperti sabda Nabi SAW,

Setiap sesuatu ada Qalb (inti) nya dan inti al-Qur’an adalah Surah Yasin‛.

Qalb berasal dari kata qalaba atau kalbu yang berarti berubah, berpindah, atau berbalik. Sedangkan kata Qalb itu sendiri berarti hati atau jantung. Ibn al-
Mandzur juga menjelaskan bahwa kata Qalb berasal dari akar kata qa-laba yang berarti membalikkan sesuatu (tahwil al-Syai`).

Selain itu, Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi mengartikan Qalb dengan makna mengubah, membalikkan, dan mengganti. Sinonim Qalb adalah semisal kata ‘aql (akal), lubb (inti), quwwah (kecakapan), syaja’ah (keberanian), wasat (pusat/center), dan al-mahdh wa al- khalis (murni).

Al-Jurjani dan al-Ghazali mendefinisikan Qalb dengan latifah rabbaniyah (sisi kerohanian yang lembut), yang bertempat di Qalb (jantung) jasmani yang berada di sisi kiri dada dan ia merupakan hakekat dari manusia. Definisi hati menurut al-Jurjani dan al-Ghazali tersebut menunjuk hati sebagai jantung.

Namun, para sufi menyatakan bahwa antara hati jasmani (jantung) dengan hati spiritual memiliki keterkaitan fungsi bagi tubuh manusia. Jantung manusia berfungsi sebagai pemompa darah yang mengatur peredaran antara darah arteri/darah bersih dengan darah vena/darah kotor, sedangkan hati spiritual juga berfungsi sebagai alat pengatur arus bolak-balik antara pengaruh ruh yang bersih dan pengaruh nafsu yang kotor. Inilah alasan mengapa hati dalam bahasa Arab disebut dengan Qalb yang berarti memutar atau mengganti.

Javad Nurbakhsy menambahkan bahwa hati adalah sebuah tempat antara kesatuan (ruh) dan keanekaragaman (nafs). Jika hati mampu melepaskan selubung nafsu, maka ia akan berada di bawah payung ruh (kesatuan), dan itulah hati dalam makna yang sebenarnya.

Hubungan Qalb dengan jantung adalah bahwa secara fisik jantung selalu berdetak dan naik-turun, bolak-balik memompa darah. Sedangkan secara psikis kalbu berarti bolak-balik antara iya dan tidak, kuat dan lemah, yakin dan ragu, tenang dan gundah, atau sejenisnya.

Dari keterangan makna serta kaitannya dengan fisik dan psikis Qalb di atas, menunjukkan bahwa Qalb/hati memang mempunyai sifat dominan yang menjadi karakteristiknya, yaitu selalu berubah- ubah yang selanjutnya memberi pengaruh pada kejiwaan manusia yang juga berubah-ubah.

Meskipun Qalb bukanlah jantung atau hati dalam arti fisik, namun Qalb mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kedua organ itu bahkan dengan seluruh anggota badan. Itulah sebabnya kita sering mendengar ungkapan bahwa hati di dalam dada, dan hati adalah tempat iman sebagaimana hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa iman letaknya di hati, sambil menunjuk dada beliau.

Makna Qalb dari sisi spiritualitas berkaitan erat dengan roh manusia yang membawa amanah dari Allah, yang dihiasi dengan ilmu pengetahuan-Nya,
pengetahuan yang didasari dengan fitrah dasarnya, dan roh yang selalu mengumandangkan keesaan Allah. Dengan kelembutan hati, seseorang bisa mengetahui dan memahami dirinya.

Qalb adalah asal-muasal dari eksistensi manusia dan merupakan makhluk ciptaan terakhir yang tetap ada pada hari kebangkitan.

Hakikat Qalb bukanlah berasal dari alam fisik, namun dari alam metafisik, karena keberadaanya di alam fisik ini masih diangap sebuah misteri, yakni hakikat metafisik yang tidak bisa diungkap kecuali bila seseorang mampu menghalau penghalang yang ada antara dirinya di alam fisik dengan alam metafisik melalui perenungan dan mujahadah dari dalam dirinya. Atas dasar keterangan di atas, penulis sering menggunakan kata ‚hati‛ daripada ‚jantung‛ untuk menerjemahkan kata ‘Qalb’. Hal itu sebagaimana yang dipaparkan diatas bahwa yang terpenting bukan penamaannya atau bentuk fisiknya (bentuk materi), melainkan entitas yang halus yang menjadi hakikat manusia (definisi spiritual).

Referensi :

  • Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Kitab al-Ruh, Jilid I, (Jeddah: Dar ‘Alam al-Fawaid, T.th)
  • Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat li-Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al- Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1998)
  • Ibn Al-Mandzur, Lisan al-‘Arab, Jilid V, (Kairo: Dar al-Ma’arif, T.th)
  • Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan al-Qur’an, 1973)
  • Al-Jurjani, Mu’jam al-Ta’rifat, bab al-Qaf ma’a al-Lam; no. 1426, (Kairo: Dar al-Fadhilah, T.th)
  • Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Qalam, T.th)
  • Javad Nurbakhsy, Psychology of Sufism, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 1998)

Didalam diri manusia ada yang disebut hati atau qolbu… ini harus didalami dan diselami… agar dimengerti…

Dalam qolbu ada yang disebut hati sanubari, ini adalah medan pertempuran antara malaikat dan setan… malaikat itu akan menghasilkan dorongan-dorongan kebaikan dan penghambaan… sedang setan akan menghasilkan dorongan kemungkaran…

Malaikat didalam hati sanubari itu yang disebut sebagai iman… setan itu yang disebut sebagai kafir…

Ketika hati sanubari dikuasai malaikat, orang akan cenderug baik dan tekun menghamba… namun tetap ada sisi buruknya malaikat yaitu merasa suci dan suka memandang rendah orang yang dianggap hina…

Jika engkau mendapati dorongan berbuat baik atau buruk, itu bersumber dari hati sanubarimu…

Di dasar hati sanubari ada hati nurani, ini adalah ruh quds atau ruh suci atau ruh Isa almasih… sifatnya adalah kasih dan kasih… selalu welas asih… alamnya adalah alam mulkiyah…