Apa Makna Dunia Menurut Agama Islam?

Dunia

Dan Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. dan Sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. QS. Al-‘Ankabut: 64

Apa makna dunia menurut agama Islam ?

Dunia dalam bahasa Arab ialah al-dunyā berasal dari kata danā yang berarti dekat, rendah, hina, atau sempit.1 Kata al-dunyā dalam al-Qur’an telah disebutkan sebanyak 116 kali.

Selain itu, kata ini juga disebutkan dalam berbagai sighat nya, antara lain danā , Yudnīna , dānin , dāniyah , adnā , dan dunyā . Berikut ayat-ayat yang di dalamnya terdapat bentuk kata dari kata danā :

  • Redaksi ayat yang di dalamnya terdapat kata “ Adnā ” antara lain; memiliki makna “rendah” (QS. Al-Baqarah: 61, QS. Al-a‟rāf: 169), memiliki makna “dekat” (QS. Al-Baqarah: 283, QS. An-Nisa`: 3, QS. Al-Ma’idah: 108, QS. Ar-Rūm: 3, QS. As-Sajdah: 21, QS. Al-Ahzāb: 51, QS. An-Najm: 9), memiliki makna “kurang” (QS. Al-Mujādalah: 20 & QS. Al-Muzzammil: 20).

  • Redaksi ayat yang di dalamnya terdapat kata “ dāniyah ”, antara lain: memiliki makna “menjuntai/mendekat ke bawah” (QS. Al-An‟ām: 99), memiliki makna “dekat” (QS. Al-Hāqqah: 23 & QS. Al-Insān: 14).

  • Redaksi ayat yang di dalamnya terdapat kata “ yudnīna ” pada surat al- Ahzāb: 29 yang mengandung arti “mengulurkan/mendekatkan ke bawah hingga menjuntai”.

  • Redaksi ayat yang di dalamnya terdapat kata “ danā ” pada surat an-Najm: 8, mengandung arti “dekat”.

Menurut Imam al-Ghazali, jika melihat makna dunia secara bahasa, ada dua macam, yaitu dari segi fisik yang berarti segala yang menunjuk pada benda-benda dunia, seperti bumi dan isinya. Sedangkan dari segi metafisik, dunia adalah segala yang menunjuk pada sifat-sifat hati yang berhubungan dengan benda-benda dunia tadi, seperti, sombong, iri, dengki, riya’ , dan sebagainya.

Pengertian dunia pada umumnya adalah segala sesuatu yang di atasnya terdapat alam kehidupan dan segala yang bersifat kebendaan dan tidak kekal. Namun pengertian dunia dari segi ajaran Islam adalah tempat untuk mengerjakan perbuatan baik yang akan diterima pahalanya di dunia dan akhirat. Tempat untuk menjaga dan memelihara kehidupan didalamnya sesuai dengan format hukum alam yang telah ditentukan oleh Allah atau menjadi Khalīfah fī al-arḍ. Tugasnya adalah dengan melakukan perubahan yang lebih baik, yaitu perubahan model masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islami yang bisa menguasai dunia dan perubahan masyarakat muslim dari sistem masyarakat lemah menjadi masyarakat yang kuat sangat tergantung pada konsistensi dalam menegakkan hukum syari’at Allah.

Kata-Kata yang Dihubungkan dengan Kata al-Dunyā

Al-Qur`an dalam berbicara mengenai dunia seringkali dikaitkan dengan tujuh kata, antara lain matā’ , la’ib , lahw , zīnah , dan garar. Lima kata tersebut digunakan untuk menggambarkan karakteristik dunia dan dinamika kehidupannya. Ketika kata-kata tersebut dihubungkan dengan kata al-dunyā , terdapat beberapa makna yang luas, antara lain adalah sebagai berikut.

Matā’

Matā’ berasal dari kata mata’a yang artinya sesuatu yang dengannya dapat diperoleh suatu manfaat atau kesenangan dan manfaat tersebut akan cepat hilang sebab tempo kelezatan sesuatu tadi yang relatif singkat.

Kata matā’ telah disebutkan sebanyak 35 kali di dalam al-Qur’an, hanya 12 diantaranya yang dihubungkan dengan kata dunia. Pengertian para mufasir pun tidak jauh berbeda mengenai makna matā’ , antara lain :

  • Wahbah az-Zuhaili mengartikannya dengan haqīr (kecil/pendek) dan zā`ilah (sesuatu yang cepat sirna).

  • At-Thabari mengartikan dengan yasīr (yang mudah), karena kenikmatan dunia mudah didapat dan mudah pula hilang, atau fāniyah (sesuatu yang fana).

  • Rasyid Ridla mengartikan dengan maḥdūd (yang terbatas waktunya) dan fān/fāniyah (sesuatu yang fana).

  • al-Qurthubi mengartikannya dengan sesuatu yang manusia dapat bersenang-senang dengannya sedikit lalu terputus dan berakhir.

Dari beberapa makna yang dikemukakan oleh para mufassir tersebut masing-masing memiliki inti yang sama, yakni kesenangan dan kenikmatan yang mudah sirna. Namun, jika kata matā’ dikaitkan dengan kata dunia maka memiliki makna yang bervariasi menyangkut kehidupan di dunia, antara lain sebagai berikut.

  • Pertama, kualitas. Kata matā’ jika dikaitkan dengan dunia memiliki arti kualitas, yakni mutu fisik terhadap suatu kesenangan, karena di antara beberapa hal yang menjadikan manusia senang akan sesuatu adalah dari segi kualitasnya. Memang Allah memberikan fitrah kepada manusia berupa syahwat, yakni kecintaan terhadap apa-apa yang diinginkannya, namun kualitas keindahan terhadap syahwat tersebut tidak bisa diukur dengan kualitas kesenangan di surga.

  • Kedua, kesenangan sementara. Makna lain dari kata matā’ relasinya dengan dunia ialah kesenangan sementara. Maksudnya ialah bahwa dunia sangat terikat dengan waktu yang terbatas sehingga segala kesenangan di dunia mudah lenyap dan fana. Sebagaimana yang disebutkan pada pendapat para mufasir di atas bahwa kata ini memiliki makna pendek masanya, yang mudah hilang dan cepat sirna. Kesenangan di dunia merupakan lawan dari kesenangan di akhirat yang statusnya lebih kekal daripada di dunia.

  • Ketiga, waktu. Kata matā’ memiliki makna waktu karena dunia dan kesenangan di dalamnya, baik itu kesenangan dalam bentuk materi maupun aktivitas sangat terikat dengan waktu. Keempat, memiliki makna nilai. Maksud dari pemaknaan ini ialah nilai kesenangan dunia yang juga tidak dapat diukur dengan nilai kesenangan di sisi Allah, nilai kesenangan dunia yang tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan akhirat, dan nilai kesenangan dunia yang lebih rendah daripada nilai kesenangan di akhirat. Rezeki yang Allah luaskan dan sempitkan bagi siapa yang Dia kehendaki bukan suatu jaminan yang dapat memberikan kegembiran dan kebahagian.

  • Kelima, bermakna ingkar janji. Pemaknaan ini seolah mengandung unsur penentangan terhadap tanda kekuasaan Allah, yaitu menggunakan do’a dan permohonan agar diselamatkan dari bahaya yang sedang terjadi. Sebagai contoh doa yang berbunyi, “Ya Allah, jika Engkau menyelamatkan Kami, maka Kami akan bersyukur”. Namun ketika Allah memberi keselamatan, janji yang ada pada do’a itu dilupakan yang kemudian kembali berbuat dosa dan maksiat.

  • Keenam, bermakna dunia sementara. Sebagaimana matā’ dalam arti kesenangan sementara, pemaknaan ini juga memiliki makna yang serupa. Letak perbedaannya ialah bahwa yang dimaksud dengan kesenangan sementara yaitu temporalitas kesenangan yang ada di dunia baik dari segi materi maupun aktivitas. Sedangkan yang dimaksud dengan pemaknaan dunia sementara ialah temporalitas dunia itu sendiri, yaitu masa yang akan menghancurkan dunia dengan didatangkannya hari kiamat dan terputusnya segala yang berkaitan dengan keduniaan.

Demikian relasi kata matā’ yang dihubungkan dengan kata al-dunyā sehingga memunculkan berbagai makna dan arti yang luas. Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang dunia yang dihubungkan dengan lafadz matā’ .

No. Kata Kunci Surat Keterangan
1. Kualitas Āli „Imrān: 14 Mutu kesenangan dunia yang tidak bisa diukur dengan kesenangan di sisi Allah
2. Kesenangan sementara Āli „Imrān: 196-197, Gāfir: 38-39 Segala hal kesenangan dunia yang pendek masanya dan mudah hilang
3. Waktu An-Nisā`: 77, al-Ḥadīd: 20 Tidak mengulur-ulur waktu dan mengisinya dengan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani
4. Nilai At-Taubah: 38, ar-Ra‟d: 26, an-Naḥl: 116-117, al-Qaṣaṣ: 60-61, az-Zukhrūf: 35 Nilai kesenangan dunia yang tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan akhirat dan lebih rendah nilainya daripada nilai kesenangan akhirat
5. Ingkar janji Yunūs: 22-23 Janji untuk menjadi golongan orang-orang yang bersyukur atas nikmat keselamatan yang diingkari setelah keselamatan itu diberikan
6. Dunia sementara Yunūs: 69-70 Temporalitas dunia itu sendiri termasuk di dalamnya kesenangan yang kemudian musnah dengan didatangkannya kiamat.

La’ib

La’ib secara etimologi berasal dari kata la’iba yang artinya bermain- main, suatu pekerjaan untuk menikmati kelezatan dan kesenangan, atau suatu perkara yang tidak bermanfaat. Lawan kata dari jadda yang artinya bersungguh-sungguh. Kata ini disebutkan sebanyak 19 kali di dalam al- Qur‟an dengan berbagai bentuk katanya, antara lain nal’ab , yal’ab , yal’abū , yal’abūna , lā’ibīn , dan la’ib . Namun 13 diantaranya tidak berbicara tentang dunia.

Sedangkan secara terminologi, para mufasir mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda.

  • Menurut Quraish Shihab, la’ib adalah suatu aktivitas yang tidak memiliki tujuan yang benar serta meninggalkan yang penting dan melakukan hal yang tidak bermanfaat.

  • Syeikh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan permainan adalah sesuatu yang dijadikan sandiwara dan mengandung kebathilan di dalamnya.

  • Dalam tafsir Al-Jalalain la’ib adalah memperolok-olok.

Kata la’ib juga mengandung arti main-main atau ketidakseriusan dalam hal perbuatan maupun ucapan yang tidak mengandung tujuan tertentu, dan tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Sebagaimana yang terdapat pada QS. At-Taubah: 65, sementara ulama mengemukakan bahwa ayat ini menceritakan tentang orang-orang munafik yang mengolok-olok Nabi Muhammad saw. bersama kaum Muslimin ketika dalam perjalanan menuju Tabuk. Mereka berkata: “Dia berkata bahwa apa yang disampaikannya adalah firman Allah, padahal itu sebenarnya adalah ucapannya sendiri.”

Ucapan mereka inilah yang disebut dengan main-main. Jadi, kata nal’ab pada ayat ini dapat diartikan dengan ucapan yang tidak mengandung tujuan tertentu, sekedar untuk menghibur hati, dan menghabiskan waktu selama di perjalanan. Bahkan dipahami sebagai aktivitas yang tidak pada tempatnya atau disebut dengan lu’āb.

Berkenaan dengan kata lahw , bahwa antara dua kata ini yakni la’ib dan lahw merupakan dua kata yang sering disebutkan secara bersamaan dalam kaitannya dengan kata al-dunyā . Untuk membahas keterkaitannya, maka terlebih dahulu akan dibahas makna lahw.

image

Lahw

Di dalam kitab al-Furūq al-Lugawiyah dikatakan bahwa di balik keterkaitan dua kata tersebut memiliki perbedaan, yaitu bahwa pada lahw pasti terdapat la’ib , namun tidak pada la’ib terdapat lahw .38 Untuk menjelaskan pernyataan ini, maka terlebih dahulu penulis akan membahas makna kata lahw dari segi etimologi maupun segi penafsirannya.

Secara etimologi, kata lahw berasal dari kata lahā yang memiliki arti gemar atau hobi, hiburan, menyibukkan diri dari hal yang dicintai. Kata ini disebut sebanyak 16 kali di dalam al-Qur‟an dengan berbagai bentuk katanya. Namun hanya sepuluh diantaranya yang berbicara mengenai dunia. Sedangkan secara terminologi, lahw dalam pandangan ulama, adalah sebagai berikut :

  • Quraish Shihab berkata, lahw adalah kegiatan yang menyenangkan hati tetapi tidak penting, sehingga melengahkan pelakunya dari hal-hal yang lebih penting.

  • Ibnu al-Mandzūr dalam kitabnya mengatakan, lahw adalah sesuatu yang dapat melalaikan pelakunya, bermain-main dengannya, sibuk dengan hawa nafsu, kesenangan dan yang sejenisnya.

  • Al-Qurthubi berkata, lahw adalah segala sesuatu yang dapat melalaikan seseorang dari urusan akhirat.

  • Ahmad Musthafa al-Marāghī mengatakan, bahwa lahw adalah genderang, seruling, dan alat-alat lainnya yang dapat dijadikan sebuah permainan oleh manusia.

Diantara bentuk kata lahā yang disebutkan dalam al-Qur`an adalah, lahw seperti yang disebutkan pada QS. Muhammad: 36 dengan arti senda gurau, yulhihim seperti yang terdapat pada QS. Al-Hijr: 3 memiliki arti sesuatu yang dilalaikan, dan talahhā seperti yang tercantum pada QS. „Abasa: 10 diartikan dengan mengabaikan. Pada ayat-ayat tersebut, makna kata lahā secara etimologi maupun terminologi tidak jauh berbeda dengan pengertian yang dikemukakan oleh para mufassir.

Al-Marāghī menyebutkan, apa saja yang dapat menyibukkan sehingga tidak dapat mengurusi urusan-urusan yang lebih penting itulah yang dinamakan dengan lahw . Oleh sebab itu, alat-alat musik ia gunakan sebagai definisi dari kata lahw karena pada realitasnya suara merdu yang timbul dari alat musik tersebut dapat melalaikan manusia dari urusan-urusan yang lain. Sedang tingkatannya yang lebih rendah disebut la’ib , yaitu apa saja yang dapat menyibukkan dan tidak mengandung manfaat, namun tidak mencegah manusia dari urusan-urusan yang lebih penting.

Dari pemaparan di atas, bahwa pernyataan “Setiap lahw terdapat la’ib , namun tidak pada la’ib terdapat lahw ”, dapat disimpulkan la’ib merupakan perbuatan yang disengaja dan tahu bahwa perbuatan itu hanya sia-sia, atau dapat dikatakan hanya sekedar mengisi waktu kosong dan akan terhenti disaat urusan yang lebih penting dilaksanakan. Sedangkan lahw merupakan dampak dari la’ib ketika la’ib itu menjadi sebuah kegemaran yang dapat menghibur hati. Bisa jadi pengaruhnya datang tanpa disadari bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang melengahkan dan melalaikannya. Kesimpulannya, dari makna la’ib yang telah disebutkan sebelumnya, bisa saja menjadi sebuah kegemaran ( lahw ) yang dapat menggugurkan keimanan karena kenikmatan di dalamnya.

Apabila kata la’ib dan lahw dihubungkan dengan kata dunia, maka memiliki makna yang luas, antara lain :

  • Pertama, membuat asumsi tentang kehidupan. Asumsi di sini ialah bahwa kehidupan hanya di dunia, yaitu suatu dugaan yang dibuat karena kecintaan yang besar terhadap dunia dan menganggap bahwa nyawa hanya akan berakhir karena masa. Sehingga menikmati kesenangan sebelum habisnya masa dijadikan sebagai prinsip utama hidup bagi mereka yang beranggapan demikian.

  • Kedua, bermakna nyanyian. Makna ini ialah nyanyian yang biasa dilakukan oleh orang-orang kafir ketika menyembah berhala-berhalanya. Ini menjadi suatu kebiasaan mereka dalam beribadah dengan bernyanyi sambil menari dan bertepuk tangan. Sebagai contoh, cara beribadah penganut agama Hindhu yang tidak lepas dari nyanyian pujaan untuk patung dewa mereka.

  • Ketiga, bermakna senda gurau ialah kehidupan dunia yang di dalamnya hanya penuh dengan permainan dan senda gurau yang dapat melengahkan manusia akan statusnya sebagai hamba Allah dan lupa akan tugas seorang hamba.

  • Keempat, bermakna membelanjakan harta untuk bersenang-senang. Membelanjakan harta biasa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani, namun apabila dilakukan hanya untuk memenuhi keinginan merupakan suatu tindakan yang pada akhirnya timbul kekecawaan ketika sesuatu itu hilang/rusak. Maka, Islam mensyari‟atkan kaumnya untuk membelanjakan harta melalui infak, zakat, sedekah, dan sebagainya. Hal ini sebagai wujud kepedulian sosial yang ditanamkan dalam ajaran Islam.

Dari pemaknaan di atas, tabel di bawah ini merupakan persebaran ayat- ayat tentang dunia yang dihubungkan dengan lafadz la’ib dan lahw .

No. Kata Kunci Surat Keterangan
1. Membuat asumsi tentang kehidupan Al-An‟ām: 31-32 Menduga-duga bahwa kehidupan hanyalah di dunia saja
2. Nyanyian Al-An‟ām: 70, al-A’rāf: 50-51 Kebiasan orang-orang kafir dalam melakukan ritual ibadah
3. Senda gurau Al-Ankabūt: 64-65, Muhammad: 36 Sesuatu yang dapat melengahkan
4. Membelanjakan harta untuk bersenang-senang Al-Ḥadīd: 20 Bersenang-bersenang hanya untuk memenuhi keinginan

Zīnah

Istilah kata selanjutnya adalah kata zīnah yang berasal dari kata zāna yang berarti menampakkan kebagusan, menghiasi atau mempercantik. Sedangkan zīnah adalah yang menghiasi segala sesuatu dengan keindahannya/hiasan.

Di dalam al-Qur`an mengenai lafadz ini mempunyai beberapa makna, antara lain perhiasan berbentuk materiil/barang yang dinamakan dengan perhiasan dunia, pemaknaan ini ditemukan dalam QS. Al- A’rāf: 32, hiasan yang digunakan untuk membungkus perbuatan jahat/buruk dengan sesuatu agar terlihat indah, pemaknaan ini ditemukan dalam QS. Yunūs: 12, hiasan yang digunakan oleh setan untuk menjadikan indah perbuatan jahat dalam pandangan manusia yang tercantum pada QS. Al-Anfāl: 48, hiasan yang Allah ciptakan untuk menghiasi semesta sehingga terlihat indah dalam pandangan manusia yang tercantum pada QS. As-Ṣāffāt: 6), dan hiasan yang Allah ciptakan di dalam hati manusia, yakni keimanan sebagaimana yang dicantumkan pada QS. Al-Hujurāt: 7.

Kata ini telah disebutkan sebanyak 44 kali dengan berbagai bentuk katanya, 36 pengulangan diantaranya tidak berbicara mengenai dunia. Sedangkan kata zīnah sering digunakan al-Qur`an dalam mengungkapkan keindahan benda-benda dunia, yakni dengan dikaitkannya kata zīnah dengan kata al-dunyā. Jika dua kata tersebut saling terkait, maka terdapat variasi makna dari kata zīnah , antara lain sebagai berikut.

  • Pertama, sarana beribadah. Maksudnya ialah bahwa perhiasan dunia yang Allah ciptakan untuk manusia tidak lain hanyalah sebagai sarana beribadah, misalnya menginfakkan, menutupi aurat yaitu pakaian, dan sebagainya yang dapat bermanfaat baik untuk diri sendiri ataupun orang lain.

  • Kedua, perhiasan yang menyebabkan kedurhakaan dan kedzaliman. Apabila perhiasan berupa harta kekayaan tidak dijadikan sebagai sarana beribadah sebagaimana yang disebutkan di atas, maka hanya akan menjadikan pemiliknya durhaka dan dzalim tanpa alasan sebab kerakusannya terhadap harta. Hal ini telah terjadi kepada Fir’aun yang merupakan seorang raja yang dzalim dan durhaka terhadap Tuhan karena menganggap dirinya sebagai Tuhan.

  • Ketiga, perbuatan yang digunakan untuk menghiasi keburukan. Maksud dari pemaknaan ini ialah menghendaki kehidupan dunia dengan pekerjaan atau perbuatan yang sempurna agar terlihat baik di depan semua orang dan mendapat pujian atas pekerjaannya itu. Akan tetapi, hal seperti itu merupakan perbuatan yang sia-sia jika tidak dilakukan niat tulus dan ikhlas untuk Allah semata.

  • Keempat, perhiasan yang menyebabkan kesombongan. Harta kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan, disebabkan oleh anggapan bahwa yang menjadi tolok ukur mulianya manusia ialah status kelebihan yang dimilikinya, baik itu kekayaan, jabatan, kepintaran, dan sebagainya.

  • Kelima, perhiasan. Pemaknaan kata zīnah di sini lebih kepada wujud kematerialan, baik berupa harta perak dan emas, anak, wanita, kendaraan dan lain sebagainya. Keenam, perhiasan yang fana. Jika pemaknaan yang kelima merupakan wujud kematerialannya, maka pemaknaan ini merupakan sifat dari wujudnya, yaitu fana. Segala hal materi memiliki sifat yang cepat lenyap, baik itu karena rusak, hilang, ataupun habis takarannya.

Setelah disebutkan pemaknaan dunia relasinya dengan kata zīnah di atas, maka berikut ini persebaran ayat-ayat tentang dunia yang dihubungkan dengan zīnah .

No. Kata Kunci Surat Keterangan
1. Sarana beribadah Al-A’rāf: 32 Perhiasan yang Allah keluarkan adalah sebagai sarana dalam beribadah
2. Perhiasan yang menyebabkan kedurhakaan dan kedzaliman Yunūs: 88 Harta kekayaan yang membuat pemiliknya bersikap durhaka dan berbuat kedzaliman tanpa alasan
3. Perbuatan yang digunakan untuk menghiasi keburukan Hūd: 15-16 Melakukan perbuatan atau pekerjaan dengan hanya untuk mendapat pujian dari orang lain
4. Perhiasan yang menyebabkan kesombongan Al-Kahfi: 28 Harta kekayaan, jabatan, atau kepintaran yang dianggap sebagai status baiknya seseorang sehingga menimbulkan sikap angkuh terhadap sesama
5. Perhiasan Al-Kahfi: 46, al-Ahzāb: 28 Wujud kematerialan sesuatu baik dari segi kualitas maupun kuantitas
6. Perhiasan yang fana Al-Qaṣaṣ: 60, al-Ḥadīd: 20 Sifat dari wujud kematerialan

Garar

Garar berasal dari kata garra/garara yang artinya menipu, memperdaya, membujuk, membahayakan, dan mencari kelengahan. Jadi, garar adalah tindakan yang bertujuan merugikan pihak lain maupun diri sendiri. Garar merupakan sesuatu yang pada lahirnya disenangi (bagi si penipu) untuk mengambil keuntungan pribadi, dan dibenci (bagi yang tertipu) karena merugikan. Kata ini diulang sebanyak 27 kali dengan berbagai bentuk katanya, dan sebanyak 19 pengulangan tidak berbicara tentang dunia. Adapun relasi kata garar dengan dunia adalah sebagai berikut.

  • Pertama, kesenangan yang menipu. Tipu daya yang dimaksud dalam pemaknaan ini ialah yang disebabkan oleh kesenangan yang menjadi kebiasaan dan kemudian memperdayakan hingga akhirnya melengahkan pelaku.

  • Kedua, kehidupan dunia yang menipu. Adapun tipu daya dalam artian ini mencakup semua tipu daya yang melingkari kehidupan manusia sehingga membuatnya suatu kesenangan, baik itu tipu daya akibat perbuatan diri sendiri ataupun tipu daya yang dibuat oleh setan.

Dari pemaparan di atas terkait relasi kata dunia dengan kata garar , terdapat berbagai makna luas yang terkandung di dalamnya. Maka berikut ini persebaran ayat-ayat tentang dunia yang dihubungkan dengan kata garar .

No. Kata Kunci Surat Keterangan
1. Kesenangan yang menipu Āli „Imrān: 185, al-Ḥadīd: 20 Kesenangan yang merupakan kebiasaan kemudian menjadi sesuatu yang melengahkan pelakunya
2. Kehidupan dunia yang menipu Al-An‟ām: 70, 130, al-A’rāf: 50-51, Luqmān: 33, Fāṭir: 5, al-Jāṡiyah: 34-35 Segala tipu daya yang melingkari kehidupan manusia, baik itu tipuan karena diri sendiri ataupun tipuan setan

Referensi :

  • Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir , (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984).
  • Muhammad Fu’ād 'Abdul Bāqī, Mu’jam al-Mufahras li Alfādz al-Qur’ān , (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 2009).
  • M. Ishom el-Saha & Saiful Hadi, Sketsa al-Qur’an , (Lista Fariska Putra, 2005).
  • Wahbah az-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr jld 3 , (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2009)
  • Basysyar Ru’wad Ma’ruf & „Isham Faris, at- Tafsīr at-Thabarī min Kitābihi Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ay al-Qur’ān jld 4 , (Beirut: Mu`assasah ar-Risālah, 1994)
  • Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar jld. 5 , (Beirut: Dâr al-Fikr, 1973)
  • Muhammad Fu‟ād Abdul Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfādz al-Qur’ān .
  • Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. 13 , (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
  • Syeikh Imām al-Qurthubī, Tafsīr al-Qurthubī jld 17 , terj. Ahmad Khatib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009)
  • Pesantren Persatuan 91, Tafsir Jalālain , (Tasikmalaya: Maktabah Alhidayah, 2009).

Makna dunia,menurut ajaran Islam, mempunyai dua kategori, yaitu makna dunia yang memberi kesan negatif dan makna dunia yang memberi kesan positif.

Makna Dunia yang Memberi Kesan Negatif

Dari hasil riset yang telah dilakukan oleh peneliti, di antara makna dunia yang negatif terdapat enam pengkategorisasian makna. Antara lain ialah, balasan yang pedih atas kekafiran, perhiasan dunia yang menyebabkan kedurhakaan dan kesombongan, perhiasan dunia yang menyebabkan kesombongan, riya’ dalam beribadah, ajakan setan terhadap kecintaan dunia yang berlebihan, dan malapetaka dan bencana.

Balasan yang Pedih atas Kekafiran

Pemaknaan ini dijelaskan pada QS. Al-an’ām: 70 dan al-A’rāf: 50-51 yaitu tentang orang-orang yang menjadikan agama sebagai permainan dan senda gurau. Mengenai penafsiran kalimat “menjadikan agama sebagai permainan dan senda gurau” terdapat beberapa perbedaan pendapat dari para mufassir.

  • Sayyid Quthb berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kalimat ini ialah berbicara tentang dasar-dasar agama, kemudian memberinya sifat yang berkonotasi main-main dan senda gurau.

  • Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa ia adalah kesibukan orang-orang yang melakukan perbuatan atau permainan tanpa maksud dan faedah yang benar, seperti permainan anak-anak kecil.

  • Quraish Shihab, kata al-dīn pada ayat-ayat ini dipahami oleh sebagian ulama’ dengan arti kebiasaan hidup dan ada pula yang mengartikan dengan kepercayaan dan tata cara beribadah, sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir ketika menyembah berhalanya dengan berpesta pora serta bernyanyi sambil menari.

Akan tetapi, dari beberapa pendapat di atas tidak memiliki perbedaan dari segi perbuatan. Karena menjadikan agama sebagai permainan dan senda gurau mencakup di dalamnya dalam hal perbuatan maupun perkataan, dan itu merupakan salah satu bentuk tipu daya di dalam kehidupan dunia.

Hal ini sesuai dengan kesinambungan ayat ini yang juga merupakan bentuk perbuatan dalam menjadikan agama sebagai bahan ejekan, yaitu QS. Al-Jāṡiyah: 34-35. Pada ayat ini terdapat kalimat “menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olokan”, maksudnya ialah berbicara tentang dasar agama dan syariatnya, kemudian memberinya sifat-sifat yang berkonotasi senda gurau dan memperolok-olok. Misalnya perintah Allah bagi kaum wanita untuk menjaga kesucian diri dengan memakai hijab sebagai penutup aurat. Kemudian perintah ini disifati dengan suatu “belenggu” dan menganggap tidak memberi kebebasan hak.

Dua ayat tersebut memiliki kesinambungan di antara keduanya, yaitu tentang balasan yang akan didapat dari perbuatan di atas, dijerumuskan ke neraka dengan adzab yang pedih. Begitu juga di dalam QS. Al-A’rāf: 50-51 dijelaskan bahwa akibat dari perbuatan itu, menjadikannya sebagai penghuni neraka yang meminta kepada penghuni surga limpahan rezeki dari surga berupa makanan dan minuman.

Sedangkan bagi mereka telah disediakan minuman di neraka dari air yang mendidih seperti yang dicantumkan pada QS. Al-An’ām: 70. Balasan itu merupakan balasan dengan melupakan atau tidak menghiraukan mereka ketika mereka meminta kepada ahli surga, sebagaimana mereka menghiraukan tentang adanya hari pertemuan dengan menjadikan agama sebagai permainan dan senda gurau.

Perhiasan yang Menyebabkan Kedurhakaan dan Kedzaliman

Pemaknaan ini djelaskan pada QS. Yunūs: 88 tentang do’a Nabi Musa a.s., atas perlakuan Fir’aun dan kaumnya yang dikenal sebagai raja yang senang melakukan kedzaliman tanpa alasan kepada Bani Israil, yakni menindasnya dengan kejam. Selain itu, ia juga mebuat tipu daya terhadap kaumnya dengan menyeru mereka agar menyembah patung. Kemudian menyeru agar mereka menyembah sapi muda, manakala sapi itu telah tua diperintahkannya untuk disembelih. Kemudian didatangkan sapi yang lain untuk disembah, dan pada akhirnya Fir’aun berkata: “Sayalah Tuhanmu yang tinggi.” Akibat pengakuannya itu ia dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang durhaka kepada Allah SWT.

Perhiasan yang Menyebabkan Kesombongan

Pemaknaan ini tercantum pada QS. Al-Kahfi: 28, menurut riwayat turun tentang pembesar kaum Quraisy yang meminta kepada Rasulullah untuk mengusir kaum ḍu’afā’ dari suatu majelis atau menyediakan majelis lain buat mereka agar tidak duduk berdampingan dengan kaum ḍu’afā’.

Terdapat riwayat lain mengenai sebab turunnya ayat ini, Ibnu Marwadaih meriwayatkan dari jalur Juwaibir dari ad-Ḍahhak dari Ibnu Abbas tentang ayat ini berkata, “Ayat ini turun tentang Umayyah bin Khallaf al-Jamhi, yaitu ketika dia menyuruh Nabi SAW. melakukan suatu hal yang tidak disukai Allah yakni mengusir orang-orang miskin dan mendekatkan para pemimpin Makkah.” Kesombongan ini muncul akibat dugaan mereka yang mengatakan bahwa manusia hanyalah dinilai dari status sosial, jabatan, kepintaran ataupun kekayaannya.

Ayat ini mengandung perintah bersabar kepada Nabi Muhammad dan orang-orang mukmin dalam menghadapi kesombongan mereka. Tidak ada perintah untuk iri, dengki, emosi, atau bahkan menghindar dari perlakuan mereka. Akan tetapi, pada ayat ini dianjurkan kepada setiap orang-orang yang beriman untuk mengambil hikmah dari hal keduniaan yang dapat menimbulkan sikap melewati batas.

Riya’ dalam Beribadah

Maksud dari pemaknaan ini ialah untuk mencari atau mendapatkan pujian dari orang lain atas ketekunannya dalam beribadah. Sebagaimana yang tercantum pada QS. Hūd: 15-16 bahwa sebab turunnya ayat ini diriwayatkan oleh al-Aufi dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun mengenai orang-orang yang riya’ . Demikian pula yang diriwayatkan oleh Mujahid, ad-Ḍahhak dan beberapa ulama lainnya.

Riya’ merupakan perbuatan yang samar dan tidak bisa dibedakan antara kesungguhan hati dengan amalan. Misalnya, menampakkan bersedekah agar dilihat orang lain dan dianggap sebagai orang yang gemar melakukan kebajikan maka perbuatan itu akan menjadi amalan yang sia-sia di akhirat. Akan tetapi, jika sedekah itu ditampakkan dengan alasan agar orang lain dapat mencontohnya dengan niat yang ikhlas dan semata untuk Allah, maka amalan tersebut akan berbuah hasil yang baik kelak di akhirat. Namun semua kembali kepada niat masing-masing yang ada di dalm hati.

Ajakan Setan Kepada Kecintaan Dunia yang Berlebihan

Setan telah mendeklarasikan permusuhannya dengan manusia sejak Adam diciptakan, dengan alasan bahwa dirinya lebih mulia daripada manusia. Sifat godaan setan digambarkan dengan menghiasi perbuatan seseorang yang buruk sehingga orang itu melihatnya baik.10 Maka dari itu, pada QS. Fathir: 5 disebutkan bahwa setan merupakan musuh terbesar bagi manusia terutama bagi orang-orang yang beriman.

Ayat ini juga berkesinambungan dengan QS. Luqmān: 33 yang juga berbicara tentang tipu daya setan, bahwasanya setan dapat berkecimpung ke dalam semua aktivitas keduniaan manusia dan menghasud manusia melalui perantara manapun. Salah satunya membuat tipu daya tentang ikatan nasab yang menduga bahwa ia dapat menjadi penolong kelak di akhirat. Akan tetapi syafa’at dan pertolongan tidak akan berguna kecuali amal-amal shaleh yang menyertainya selama di dunia.

Begitu pula pada QS. Al-An’ām: 130 bahwasanya ketika Allah menghimpun para golongan jin dan manusia, yakni yang menyembah jin ketika di dunia, berlindung serta taat kepadanya, dan sebagian mereka berbisik kepada sebagian yang lain dengan kata-kata yang indah namun menipu. Akan tetapi, teman-teman jin dari kalangan manusia menjawab bahwa akibat dari apa yang mereka lakukan ialah mendapatkan kesenangan. Padahal tidak lain mereka tertipu dengan perintah jin atau setan.

Malapetaka dan Bencana

Pemaknaan ini tercantum pada QS. Al-Ankabūt: 64-65 dan QS. Yunūs: 22-23. Ayat-ayat ini berbicara tentang sikap orang-orang yang ingkar karena kekufurannya setelah diberikan nikmat keselamatan ketika berada dalam bahaya. Menurut Quraish Shihab, redaksi ayat pada QS. Al-Ankabūt: 64-65 ini melukiskan rasa takut masyarakat Arab pada zaman Nabi SAW., yang bepergian dengan beramai-ramai sedangkan mereka bukanlah dari bangsa pelaut. Dalam perjalanan itu pula mereka membawa serta berhala-berhalanya. Namun, karena rasa takut akan perjalanannya itu, dilemparkannya berhala- berhala itu ke laut kemudian memohon kepada Allah agar sampai dengan selamat di permukaan. Ketika di permukaan pun kembali kepada kekufurannya.

Kemudian memiliki kesinambungan dengan QS. Yunus: 22-23 bahwa mereka tidak hanya kembali kepada kekufuran, akan tetapi berbuat kedzaliman tanpa alasan dan kedzaliman itu menjadi kesenangan sendiri bagi mereka. Yang dimaksud dengan kedzaliman ini tidak hanya berbentuk penganiayaan fisik, melainkan termasuk juga di dalamnya membuat kerusakan alam sekitar dan atau membuat kebodohan masyarakat dalam segi pengetahuan, terutama menyangkut akidah.

Temporalitas

Pada dasarnya eksistensi kehidupan dunia sangat mudah dipahami hanya dengan melihat dinamika kehidupannya dibanding dengan kehidupan akhirat yang tidak bisa dilihat dengan nyata. Melalui kata dasarnya saja, danā yang artinya dekat dan rendah terlihat jelas sifat temporalitasnya kehidupan dunia. Selain itu, temporalnya dunia disebutkan pada QS. Al-Ḥadīd: 20 yang diilustrasikan dengan contoh yang mengesankan bahwa kehidupan dunia ibarat hujan yang turun ke tanah dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang mengagumkan para petani, kemudian setelah berlalu sekian waktu ia menjadi kering, layu, dan hancur. Seperti evolusi manusia yang berawal dari benih janin dengan perkembangan secara bertahap di dalam rahim selama sembilan bulan, kemudian lahir dengan wajah dan kulit lembutnya, terus berkembang hingga menginjak usia belia, lalu menginjak dewasa, kemudian menjadi lemah tak berdaya.

Menurut Yusuf Ali dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dunia hanyalah sebagai hiburan dan permainan yang tercantum pada ayat ini ialah tidak memiliki pengertian yang abadi kecuali sebagai persiapan untuk bekerja dengan sungguh-sungguh di dunia. Perumpamaan di atas merupakan keadaan dunia dari segi kecepatan kepunahannya yang bersifat materi, yaitu perhiasan dunia yang disebutkan pada awal ayat ini dan bersifat perbuatan/aktivitas yang juga disebutkan pada awal ayat.

Ayat ini juga berkesinambungan dengan QS. Āli Imrān: 196-197 tentang kesementaraan berupa aktivitas yang dita’kidkan lagi bahwa agar setiap orang-orang yang beriman tidak terperdaya dengan kebebasan orang-orang kafir. Kebebasan di sini merupakan suatu lambang kenikmatan dan kesenangan, jabatan dan kekuasaan, serta semua aktivitas mereka.

Kesenangan lain yang juga merupakan kebebasan orang-orang kafir tercantum pada QS. Yunūs: 69-70, yakni perbuatan membuat kebohongan tentang Allah yang dilakukan oleh kaum Yahudi dengan mengatakan bahwa Allah mempunyai anak yaitu „Uzair, begitu pula kaum Nasrani yang mengatakan bahwa „Isa adalah anak Allah.18 Kemudian, ayat lain yang menunjukkan kesementaraan kesenangan duniawi (materi dan dinamika kehidupannya) dijelaskan pada QS. Al-Qaṡaṡ: 60-61 tentang perbandingan tempo kenikmatan dunia dengan tempo kenikmatan akhirat, bahwasanya yang lebih panjang temponya ialah kenikmatan akhirat. Ayat ini juga mengandung sebuah sindiran tentang perbandingan antara orang-orang yang Allah janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) dengan orang-orang yang Allah berikan kenikmatan hidup duniawi yang kemudian akan diseret ke dalam neraka. Kata min al-muḥḍarīn pada ayat ini dipakai untuk pengungkapan “diseret” seolah memberikan nuansa pemaksaan di dalamnya, yang dihadirkan dalam keadaan diseret dan ketakutan karena balasan yang mengerikan itu.

Pada QS. Gāfir: 38-39 juga dijelaskan tentang tempo kesenangan dunia yang mula-mula mengandung sebuah ajakan di dalamnya, yakni ajakan orang- orang beriman kepada kaum Fir’aun untuk mengikuti jalan mereka menuju agama Allah, kemudian menjelaskan tentang tempo kesenangan dunia yang sesungguhnya bahwa itu mudah sirna dibandingkan dengan kekekalan kesenangan hidup di akhirat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa temporalitas dunia, baik dari segi materi maupun dinamikanya memiliki tempo yang pendek dibandingkan dengan akhirat yang temponya lebih panjang.

Adapun peletakan ayat-ayat kategori pemaknaan dunia yang memberi kesan negatif dapat dilihat pada tabel di bawah ini, berikut dengan kata-kata yang dihubungkan dengan kata dunia serta makna katanya.

No. Kategori Pemaknaan Surat Makna Kata
1. Balasan yang pedih atas kekafiran Al-An’ām: 70, 50-51 Nyanyian
Al-Jāṡiyah: 34-35 Kehidupan yang menipu
2. Perhiasan dunia yang menyebabkan kedurhakaan dan kedzaliman Yunūs: 88 Perhiasan yang menyebabkan kedurhakaan dan kedzaliman
3. Perhiasan yang menyebabkan kesombongan Al-Kahfi: 28 Perhiasan yang menyebabkan kesombongan
4. Riya’ dalam beribadah Hūd: 15-16 Perbuatan yang digunakan untuk menghiasai keburukan
5. Ajakan setan terhadap kecintaan dunia yang berlebihan Al-An’ām: 30, Luqmān: 33, Fāṭir: 5 Tupu daya setan
6. Malapetaka dan bahaya Yunūs: 22-23 Ingkar janji
Al-Ankabūt: 64-65 Senda gurau
7. Temporalitas Ali Imran: 196-197, Ghafir: 38-39 Kesenangan sementara
Yunūs: 69-70
Al-Ḥadīd: 20 Waktu, Membelanjakan harta untuk bersenang-senang
Perhiasan yang fana

Makna Dunia yang Memberikan Kesan Positif

Setelah dipaparkan kategori pemaknaan dunia yang cenderung negatif, berikut dipaparkan penjelasan kategori pemaknaan dunia yang positif beserta penafsirannya dari berbagai mufasir dan konteks ayatnya, baik dari segi munasabah ayatnya maupun asbabun nuzulnya.

Menjadikan Perhiasan Dunia Sebagai Sarana Beribadah

Pada bagian pemaknaan dunia yang negatif disebutkan bahwa perhiasan di dunia adalah segala yang menimbulkan sifat durhaka, sombong, dan dzalim. Sedangkan pemaknaan perhiasan pada kelompok ini ialah sebagai sarana untuk beribadah. Pada QS. Āli Imrān: 14 disebutkan bahwasanya Allah menjadikan indah segala apa yang di bumi indah dalam pandangan manusia.

Kata zuyyina yang ada pada ayat ini diambil dari kata tazyīn yang artinya mempercantik atau memperindah. Jika dilihat dari bentuk katanya, kata tersebut merupakan bentuk kata kerja pasif, yaitu ada subjek yang menjadikan syahwat-syahwat itu indah dalam pandangan manusia. Mengenai hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagian berpendapat bahwa yang memperindahnya adalah Allah SWT sebagaimana yang diungkapkan pada QS. Āli „Imrān ayat 15 dan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang memperindahnya adalah setan. Namun kedua pendapat itu sama-sama memaknai ayat ini sebagai awal nasehat untuk seluruh manusia dan di dalam nasehat ini terdapat pula pencelaan terhadap orang-orang kafir yang hidup sezaman dengan Rasulullah SAW.

Kemudian ayat ini berkesinambungan dengan QS. Al-A’rāf: 32, sebab turunnya ayat ini diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas bahwa pada masa jahiliyah seorang wanita berthawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang, hanya kemaluannya yang ditutupi secarik kain, sambil berthawaf ia bersyair, “Hari ini sebagian atau seluruhnya kelihatan, dan bagian yang kelihatan tidak aku halalkan.”

Menurut al-Qaḍi, wanita ini adalah Dluba’ah binti „Amir bin Qurth. Dahulu biasanya orang-orang Arab berthawaf dalam keadaan telanjang kecuali kalau kalangan al-humus, yakni Quraisy dan keturunannya, memberi mereka baju sehingga yang pria membantu menutupi tubuh yang pria, begitu juga sebaliknya.

Dari asbabun nuzul di atas dapat disimpulkan bahwa perhiasan dunia, seperti pakaian adalah sarana untuk beribadah yakni menutup aurat agar tidak menimbulkan maksiat. Atau harta kekayaan yang dapat didistribusikan melalui sistem sedekah, infak, dan zakat. Sehingga seimbang antara kebutuhan hidup dengan kebutuhan ruhani dan tidak ada unsur kerugian dalam menjalani kehidupan di dunia.

Relativitas Waktu

Jika di atas menjelaskan tentang kesementaraan di dunia, maka kemudian di sini dijelaskan kerelatifan waktu yang tidak bisa ditebak jangkanya. Misalnya pada QS. An-Nisā’: 77 tentang sebagian sahabat Nabi yang menolak untuk mengikuti perang dengan alasan takut dengan musuh melebihi ketakutannya kepada Allah SWT. sebagaimana dalam sebuah riwayat diceritakan dari An-nasā‟i dan al-hakim meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Abdurrahman bin Auf dan beberapa rekannya mendatangi Nabi saw., lalu mereka berkata,

“Wahai Nabi Allah, ketika kami masih musyrik, kami adalah orang-orang yang mulia. Namun ketika kami beriman, kami menjadi orang- orang yang hina.”

Rasulullah bersabda,

“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang musyrik itu.”

Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau perintahkan untuk memerangi musuh, namun orang-orang tadi (Abdurrahman Auf dkk) enggan melakukannya. Maka turunlah ayat ini.

Maksud dari sabda Nabi “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang musyrik itu”, ialah bahwa pada saat itu Rasulullah diperintahkan untuk mengajak damai terlebih dahulu dengan orang-orang musyrik. Sedangkan orang-orang mukmin menginginkan perintah berperang tu dengan segera karena alasan seperti yang dikemukakan pada riwayat lainnya, bahwa ayat ini turun tentang sikap orang- orang yang dahulu begitu semangat untuk berperang dan meminta agar segera diwajibkan berperang ketika mereka masih di mekah mendapatkan gangguan, tekanan, dan fitnah dari kaum musyrikin. Namun ketika itu belum diizinkan berperang karena tentara muslim masih sedikit jumlahnya. Disaat tiba waktu yang tepat dan telah ditentukan untuk berperang, tiba-tiba mereka sangat sedih dan takut dan berkata dengan penuh sesal, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami?”

Maka ketika turun perintah berperang karena kondisi yang telah memungkinkan untuk orang-orang mukmin, mereka menolak perintah itu dengan alasan takut akan kematian dan ketidakselamatannya dalam peperangan. Sehingga mereka meminta untuk mengulur waktu beberapa hari lagi untuk melaksanakan perintah itu. Kemudian ayat ini berkesinambungan dengan QS. Ali Imrān: 185 yang menjelaskan bahwasanya setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Ayat ini menegaskan bahwa kematian akan menghampiri siapa saja dan dimanapun tanpa mengenal adanya bahaya atau tidak. Tidak ada hubungannya dengan perang dan damai.

Dari sebab turunnya ayat di atas dapat dipahami bahwasanya pekerjaan yang di dalamnya mengandung amal-amal shaleh untuk segera dilakukan sebab waktu yang tidak dapat ditebak jangkanya dan bagaimana ia berjalan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Harun Yahya bahwa sesungguhnya manusia tidak akan pernah mengetahui bagaimana waktu itu mengalir atau bahkan tidak dapat diketahui apakah ia mengalir atau tidak, karena waktu terdiri atas persepsi. Maka waktu bergantung pada orang yang merasakannya, oleh sebab itu waktu bersifat relatif.25 Dan masing-masing orang akan merasakan mati dengan waktu yang berbeda, dalam artian tidak pandang usia dan tempat.

Nilai Kenikmatan Dunia Lebih Sedikit dibanding Akhirat

Kategori pemaknaan ini berbicara mengenai kenikmatan yang sesungguhnya, yaitu bahwa kenikmatan di dunia tidak lebih berlimpah dibanding kenikmatan akhirat. Seperti yang dikisahkan mengenai orang-orang mukmin yang enggan berperang karena sedang musim panas yang terik dan sukar untuk memperoleh makanan dan minuman di tengah-tengah perjalanan berperang. Sedang waktu itu buah-buahan mulai matang. Oleh karena itu, mereka cemas akan tidak mendapat bagian dari buah-buahan itu.

Kemudian ayat di atas berkesinambungan dengan QS. Ar-Ra’d: 26 bahwa Allah SWT. menentukan rezeki bagi siapapun yang dikehendakiNya, baik itu melapangkan atau menyempitkannya. Ketentuan ini menyangkut kerja keras, pemanfaatan dan penciptaan peluang dan sebagainya, bukan berdasar pada keimanan atau kekufuran. Akan tetapi, nilai rezeki yang mereka dapat sangat berbeda dengan nilai kenikmatan di akhirat. Bagi orang-orang mukmin yang mendapatkan rezekinya dan membelanjakannya dengan jalan yang baik, maka ia akan mendapatkannya pula di akhirat dengan nilai yang lebih berlimpah. Sedangkan bagi orang-orang kafir hanya mendapatkannya di dunia dan tidak di akhirat.

Lebih lanjut dijelaskan pula pada QS. Az-Zukhrūf: 35 bahwa kalau bukan karena kekhawatiran dan kebencian, pasti manusia diciptakan dalam satu golongan yaitu kekafiran. Sebagian ulama menyebutnya dengan golongan yang satu dalam keinginan dunia dan meninggalkan keinginan akhirat. Sebab yang ada di pikiran orang kafir hanyalah yang bersifat keduniaan.

Kemudian dijelaskan juga pada QS. An-Naḥl: 116-117 yang berbicara tentang orang Arab jahiliyah bahwa mereka membuat pendapat tentang halal- haramnya dari suatu rezeki, mengharamkan apa yang Allah halalkan dan menghalalkan apa yang Allah haramkan. Kata “ al-każib ” pada ayat ini juga mengandung arti pendapat, sebab Allah memberi kesamaan antara orang-orang yang berpendapat tentang kehalalan dan keharaman tanpa dalil dengan orang- orang yang berbohong. Perbuatan mereka ini tidak lain hanya untuk mendapatkan keuntungan di dunia.29 Sedangkan seperti yang dijelaskan tadi, bahwa kesenangan dunia tidak ada nilainya dibanding kesenangan akhirat.

Kehidupan Dunia Bersifat Kontiunitas

Kategori pemaknaan ini bermaksud meluruskan pandangan orang-orang yang senang membuat asumsi bahwa kehidupan dunia hanyalah di dunia. Pada QS. Al-An’ām: 31-32 melukiskan kekeraskepalaan atas sebuah pemikiran karena enggan mengakui akhirat. Hal ini dikarenakan faktor-faktor material yakni kecintaan kepada keindahan perhiasan dunia, serta faktor inderawi dikarenakan kehidupan akhirat yang tidak dapat dilihat dengan mata. Oleh sebab itu, muncullah sebuah dugaan yang menganggap bahwa hidup hanya sekali, sedangkan matinya seseorang hanyalah karena masa dan setelah itu tidak akan ada lagi kebangkitan, melainkan jasad maupun ruh hancur dan lenyap. Padahal kehidupan dunia dan akhirat di antara keduanya terdapat satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Pahala Bagi Orang-orang Beriman dan Bertakwa

Pemaknaan terdapat di dalam QS. Muhammad: 36, mula-mula pada awal redaksi ayat mengingatkan tentang kehidupan dunia yang merupakan permainan dan senda gurau. Jika di balik kehidupan itu tidak ada tujuan yang lebih mulia dan abadi, dan jika perhiasan dunia tidak dinikmati kelezatannya melainkan digunakannya untuk sarana beribadah, maka penganut manhaj inilah yang membuat dunia sebagai ladang akhirat. Hal inilah yang diisyaratkan oleh kalimat ini, “jika kamu beriman dan bertakwa”. Jadi, keimanan dan ketakwaan inilah yang mengeluarkan dunia dari keberadaannya sebagai permainan dan senda gurau serta menaikkannya ke peringkat yang lebih terarah.

Amalan Shaleh Lebih Baik Dari Perhiasan Dunia

Pengkategorisasian ini memberi peringatan untuk tidak menjadikan perhiasan dunia sebagai prioritas utama, sebagaimana yang dijelaskan pada QS. Al-Kahfi: 46. Menurut Ibnu Kaṡīr, kata yang terdapat pada ayat ini, yaitu “ al-bāqiyāt al-Ṣāliḥāt ” ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa jangan sibuk mencari kekayaan dan belas kasihan terhadap anak yang berlebihan. Menyempatkan waktu luang untuk beribadah adalah lebih baik, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan yang saleh. Ibnu Abbas, Sa‟id bin Jubair, dan beberapa ulama salaf lainnya mengatakan bahwa “ al-bāqiyāt al-Ṣāliḥāt ” adalah shalat lima waktu.

Sedangkan Ustman bin Affan mengatakan bahwa itu adalah kalimat “ lā ilāha illa Allāh wa subḥānallah wa al-ḥamdulillāh wa Allāhu akbar wa lā ḥawla wa lā quwwata illā billāhi al-„aliyyil „adzīm ”. Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan bahwa itu adalah amal perbuatan saleh secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari bentuk jamak kata tersebut yang berarti banyak.

Kesimpulannya, bahwa yang dimaksud dengan amalan-amalan shaleh ialah segala aktivitas keduniaan yang tidak bisa dipisahkan dengan hukum syari‟at Allah. Tetap menjalankan hidup dengan memanfaatkan segala apa yang ada di dunia sebagai panen yang akan menghasilkan kenikmatan yang lebih kekal.

Adapun peletakan ayat-ayat kategori pemaknaan dunia yang positif dapat dilihat pada tabel di bawah ini, berikut dengan kata-kata yang dihubungkan dengan kata dunia serta makna katanya.

No. Kategori Pemaknaan Surat Makna Kata
1. Menjadikan perhiasan dunia sebagai sarana beribadah Ali Imrān: 14 Kualitas
Al-A’rāf: 32 Sarana beribadah
2. Relativitas waktu An-Nisā’: 77 Waktu
Ali „Imrān: 185 Kesenangan yang menipu
3. Nilai kenikmatan dan kesenangan dunia lebih sedikit dibanding akhirat At-Taubah: 38, ar-Ra’d: 26, az-Zukhrūf: 35 Nilai
4. Kehidupan dunia bersifat kontiunitas Al-An‟ām: 31-32 Membuat asumsi tentang kehidupan
5. Pahala bagi orang- orang yang beriman dan bertakwa Muhammad: 36 Senda gurau
6. Amalan shaleh lebih baik dari perhiasan dunia Al-Kahfi: 46, al-Ahzāb: 28 Perhiasan

Referensi :

  • Sayyid Quthb, Tafsir fī Dzilālil Qur’ān jld. 4 , terj. As‟ad Yasin, dkk,. (Jakarta: Gema Insani, 2003)
  • Wahbah az-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr jld. 4 , (Damaskus: Dār al-Fikr, 2009)
  • Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. 4 , (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
  • Abu Muhsin Firanda Andirja, Ikhlas dan Bahaya Riya , (T.tp: Maktabah Raudlah al- Muhibbin, 2011)
  • Basysyar Ru‟wad Ma‟rūf & „Ishām Fāris, at- Tafsīr at-Thabarī min Kitābihi Jāmi‟ al- Bayān „an Ta’wîl ay al-Qur’ān jld 4 , (Beirut: Mu’assasah ar-Risālah, 1994)
  • Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali jld. 2 , terj. Ali Audah, (Bogor: Litera AntarNusa, 2009)
  • Jalaluddin as-Suyuthi, Asbābun Nuzūl (Jakarta: Gema Insani, 2008), terj. Tim Abdul hayyie
  • Harun Yahya, Fakta-Fakta yang Mengungkap Hakikat Hidup di Dunia , terj. Tina Rakhmatin dan Vani Diana Puspasari, (Dzikra: Bandung, 2004)

Makna dunia sangatlah luas, dimana di dalamnya mengandung pesan yang disampaikan terkait kehidupan yang harus dijalankan oleh umat manusia di dunia. Berikut beberapa makna dunia menurut ajaran agama Islam.

Menjadikan Perhiasan Dunia sebagai Sarana Beribadah

Pesan ini disampaikan kepada manusia agar mereka tidak salah dalam menggunakan perhiasan di dunia ini, tidak memahaminya sebagai kesenangan yang Allah anugerahkan kepada manusia hingga lupa akan hakikat dari diciptakannya perhiasan-perhiasan itu. Beberapa hal yang harus dilakukan untuk bisa digunakannya sebagai sarana beribadah ialah menggunakannya untuk kepentingan diri sendiri, yaitu menutup aurat dengan fasilitas yang Allah berikan.

Hal ini wajib dilakukan agar terhindar dari segala sesuatu yang mengarah kepada dekatnya perbuatan zina, seperti yang tercantum pada QS. Al-A’rāf: 32,

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.

Sesungguhnya Allah menyediakan fasilitas pakaian agar manusia senantiasa terjauh dari maksiat zina. Akan tetapi, perhiasan di sini tidak hanya berbicara mengenai pakaian melainkan segala bentuk perhiasan di bumi yang dapat dimanfaatkan kegunaannya untuk hal-hal menguntungkan sesuai hukum syari’at agama. Selain itu, yang harus dilakukan untuk menjadikan perhiasan dunia sebagai sarana beribadah ialah dengan mendistribusikan harta yang dimiliki kepada kaum ḍu’afā’.

Sistem pendistribusian harta di dalam Islam dapat disalurkan melalui dua kegiatan, ekonomi dan sosial. Kegiatan ekonomi misalnya memberikan upah kepada karyawan yang sudah membantu kelancaran dalam suatu bisnis, profit bagi pengelola proyek dan sebagainya.

Sedangkan melalui kegiatan sosial, dapat disalurkan lewat zakat, sedekah, dan infak. Cara ini merupakan pengelolaan harta untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas tinggi antarmanusia dalam bentuk sumbangan dan bantuan. Terutama bagi orang dengan kekayaan yang lebih, agar hartanya dapat terkelola dengan lebih baik yaitu dengan cara mengulurkan tangannya kepada yang lebih lemah.

Seperti yang disebutkan pula dalam QS. Muhammad: 36,

Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala keppadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.

Pada ayat di atas dijelaskan bahwa untuk mencapai pahala yang dijanjikan oleh Allah ialah setia beriman dan bertakwa. Iman dan takwa ini diisyaratkan dengan firman Allah, “Dia tidak akan meminta harta-hartamu” maksudnya ialah Allah tidak meminta manusia untuk mengorbankan seluruh hartanya kepada fakir miskin dan tidak membebani seseorang di luar kemampuannya.

Dari ayat tersebut terlihat jelas bahwa dibalik perintah kewajiban dalam mendistribusikan harta, Allah tidak memerintahkan untuk memberikan seluruh hartanya melainkan dengan kata kunci “membagi” untuk kebutuhan pribadi dan untuk menolong sesama. Dengan begitu, janji pahala yang Allah berikan akan mudah diperoleh.

Mengingat Allah dalam Keadaan Apapun

Pesan ini disampaikan mengenai ayat yang berbicara tentang orang-orang yang mengalami bencana kemudian memohon keselamatan kepada Allah. Akan tetapi ketika keselamatan itu diberikan, mereka kembali kepada kekafiran serta berbuat kedzaliman di muka bumi.

Kisah ini tercantum pada QS. Al-Ankabūt: 64- 65 dan QS. Yunūs: 22-23,

Dan Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. dan Sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). (QS. Al-'Ankabut: 64-65)

Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (mereka berkata): “Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan Kami dari bahaya ini, pastilah Kami akan Termasuk orang-orang yang bersyukur”. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, Sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Yunus: 22-23)

Ayat ini terkandung sebuah pesan di dalamnya untuk selalu mengingat dalam kondisi dan situasi apapun, tetap istiqamah kepada ketakwaan dan keimanan. Mengingat Allah dalam bahasa Arab disebut dengan dzikrullah yang secara bahasa berarti “ingat”. Kalau ditinjau dari pengertian yang lebih luas memang terdapat beberapa pengertian.

Menurut Dr. Hasan Syarqawi, dzikrullah ialah daya dan upaya untuk menghadirkan Allah sebagai pencipta ke dalam qalbu yang diikuti dengan perenungan dan muhasabah atas kebesaran Allah. Sedangkan pendapat lain memberi arti bahwa dzikrullah merupakan satu upaya yang harus selalu dibangun didalam mengingat Allah dengan ungkapan-ungkapan tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang berdasarkan kemauan dan kemampuan orang yang berdzikir.

Intinya, dzikir ialah menghadirkan hati dan pikiran untuk ingat pada sang pencipta yang diteruskan dengan perbuatan dan tindakan yang disenangi Allah SWT. dalam berbagai keadaan.

Larangan Menduga-duga Tentang Agama tanpa Dalil

Pesan lain yang disampaikan al-Qur’an ketika berbicara tentang dunia ialah melarang manusia untuk tidak membuat dugaan tentang agama tanpa dalil, baik itu syari’at Islam ataupun tentang Dzat Allah. Di antaranya, mengatakan kehalalan sesuatu yang diharamkan oleh Allah dan mengatakan keharaman sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Membuat kebohongan tentang Dzat Allah bahwa Dia mempunyai anak, seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah dan kaum Nasrani yang mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah.

Membuat asumsi bahwa kehidupan hanya sekali dan tidak akan pernah dibangkitkan kembali, dan lain sebagainya perbuatan yang dilakukan tanpa dalil yang jelas. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa orang- orang seperti itu dimasukkan ke dalam golongan orang-orang kafir.

Menjadi Khalifah di Muka Bumi

Mengingat manusia sering dipuji sebagai makhluk paling sempurna dibandingkan makhluk lainnya yang disebutkan di dalam al-Qur’an, manusia diberi emban dan tanggungjawab terkait kehidupan di dunia, yaitu menjadi pengelola bumi dengan melakukan kegiatan yang mengandung unsur al-'amr bi al-ma’rūf wa al-nahyu bi al-munkar.

Manusia sebagai khalifah diatur oleh empat prinsip utama, antara lain:

  • Tauhid; merupakan prinsip utama tentang keesaan Tuhan dan kesatuan semua ciptaanNya, yaitu bahwa seluruh makhluk berasal dari sumber yang sama dan diciptakan untuk bekerja dan berfungsi sebagai satu kesatuan.

  • Fitrah; merupakan konsep Islam tentang sifat asal dari ciptaan Tuhan di mana manusia termasuk di dalamnya.

  • Mizan; alam semesta dan seisinya berada dalam kepatuhan terhadap penciptanya. Melalui hukum alamNya, mereka memiliki tujuan dan tatanan tertentu.

  • Khilafah; mengatakan bahwa manusia diberikan kedudukan khusus oleh Tuhan, yakni sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Sedangkan hubungannya dengan alam, manusia bukanlah penguasa ataupun pemilik alam, tetapi setara. Bersama kekhalifahannya, manusia bertanggungjawab terhadap apa yang ia perbuat terhadap alam.

Dari prinsip-prinsip di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia relasinya dengan lingkungan di sekitarnya adalah amanah. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menerima tawaran dari Allah untuk mengemban amanah. Dengan begitu, kebebasannya sebagai penguasa di bumi juga diimbangi dengan amanah.

Berkompetisi Mendapatkan Maghfirah

Pesan lain yang disampaikan di dalam al-Qur’an terkait dengan dunia ialah berkompetisi mendapatkan maghfirah ketimbang berkompetisi dalam hal materi yang biasanya dilakukan oleh para materialis. Biasanya materialis menganggap materi sebagai suatu hal yang mutlak dapat membahagiakan hidup. Namun fakta mengungkapkan bahwa materialis hidupnya lebih penuh kekhawatiran akan kehilangan semua hartanya. Harun Yahya mengatakan bahwa yang tersisa bagi materialis hanya keruntuhan seluruh dunia materi yang mereka percayai secara buta dan menjadi sandaran selama ini.

Untuk menghindari hal semacam ini, orang-orang mukmin diwajibkan untuk berkompetisi mendapatkan maghfirah dari Allah SWT. agar tidak mengalami hidup yang sia-sia seperti yang dialami sebagian besar materialis. Untuk mendapatkan maghfirah ini, umat muslim wajib melakukan amal-amal shaleh, baik itu amalan yang berbentuk ibadah maupun amalan yang berbentuk sosial.

Bergaul denganTeman yang Shaleh

Pesan ini mengandung sebuah alasan di dalamnya, yakni agar orang-orang mukmin tidak mudah terperdaya dengan kebebasan hidup terutama dalam kebebasan orang-orang kafir. Dalam artian, untuk membantu menguatkan iman. Sebab di antara beberapa hal yang dapat mempengaruhi jalan hidup manusia adalah teman sekitarnya.

Pengaruh teman terhadap satu sama lain lebih dahsyat dibanding keluarga. Oleh karena itu, al-Qur’an juga mengantisipasi hal ini agar orang-orang beriman tidak jatuh terlalu jauh dalam hidupnya. Yang dimaksud dengan teman yang shaleh di sini ialah bersahabat dekat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati dalam bidang syari‟at keagamaan.

Dalam ajaran Islam, teman bukan sekedar seseorang yang bisa diajak untuk menikmati waktu bersama atau berbagi kebahagiaan dan kesedihan. Peranan teman lebih dalam dari sekedar berbagai sudut pandang yang dangkal. Dalam memilih teman yang dianjurkan dalam Islam adalah mereka yang bisa membantu melakoni amalan-amalan hebat yang memicu pahala.

Hal-hal penting yang harus dipikirkan ketika memilih teman adalah kedekatan mereka kepada Allah bukan dari penampilannya, teman yang setiap waktu memikirkan bagaimana caranya menggapai pahala dan menggapai keridlaanNya melalui tindakannya, serta teman yang mampu memperbaiki sikap dan perilaku satu sama lain kepada yang lebih baik. Mengenai hal ini dapat dilihat pada QS. Al-Kahfi: 28,

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.

Ayat di atas selain mengandung perintah untuk bersabar menghadapi kesombongan orang-orang kaya, di dalamnya juga mengandung pesan dan perintah untuk memilih teman yang shaleh, yaitu yang senantiasa menyeru Allah di pagi dan senja hari dengan penuh harap keridlaanNya.

Menggunakan Waktu dengan Sebaik-baiknya

Pada bab sebelumnya dipaparkan bahwasanya waktu bersifat relatif bukan absolut. Sebagian besar orang-orang yang menjadikan kesenangan dunia sebagai prioritas memiliki pandangan bahwa waktu itu bersifat absolut. Akan tetapi, seperti yang dikatakan Harun Yahya bahwa waktu hanyalah sebuah persepsi tentang kerelatifan. Sebab masing-masing individu memiliki waktu yang berbeda dalam hidupnya.

Maka dari itu, karena waktu bersifat relatif dianjurkan kepada umat manusia terutama umat muslim untuk menggunakan waktu dengan sebaik- baiknya, yaitu diisi dengan hal-hal yang sesuai dengan perintah Allah. Berikut beberapa hal yang harus dilakukan untuk mengisi waktu dengan hal kebajikan.

  1. Bekerja dan Berusaha

    Bekerja adalah kodrat hidup baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik, biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang. Bahkan binatang pun merupakan makhluk yang butuh akan gerak dan kerja seperti manusia. Hanya saja Allah memberikan suatu keistimewaan kepada manusia berupa kreativitas. Disaat binatang melakukan suatu hal, maka ia tidak bisa berpikir dan berkreativitas untuk bisa mengubah rutinitasnya dan memahami semua rutinitasnya.

    Sedangkan manusia, semua hal yang dikerjakannya umumnya melalui pemikiran dan memiliki tujuan tertentu. Maka merupakan suatu kewajiban bagi umat muslim untuk menguasai pengetahuan atau keterampilan apapun yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Akan tetapi, bekerja dan bertebaran di bumi untuk mencari rezeki tidak mengartikan bahwa usaha manusia menafikan ketawakalan kepada Allah.

  2. Berjihad di Jalan Allah

    Selain menggunakan waktu untuk bekerja dan berusaha, dianjurkan bahkan diwajibkan kepada umat muslim berjihad di jalan Allah. Akan tetapi berjihad di sini tidak melulu soal perang melainkan segala bentuk perjuangan moral-spiritual, di antaranya yaitu:

    • Jihad tarbawī; adalah jihad untuk memerangi kebodohan dan upaya pencerdasan umat melalui pendidikan.

    • Jihad tsaqafī dan haḍarī; adalah jihad yang menghasilkan kegiatan dan penciptaan akal budi manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat serta jihad dalam kemajuan lahir batin. Kebudayaan dan peradaban itu harus memperhatikan nilai-nilai keislaman dengan berlandaskan pada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, sehingga mampu membangun nilai-nilai Ilahiah yang komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan manusia.

    • Jihad iqtiṣādī; adalah jihad dalam upaya memberantas kemiskinan dengan cara infaq, sedekah, dan zakat.

    • Jihad ijtimā’ī; adalah jihad yang berkaitan dengan sosial kemasyarakat untuk menumbuhkan solidaritas dan ukhuwah antar umat manusia.

    Ragam jihad di atas mengartikan bahwa setiap muslim harus bertanggungjawab atas keselamatan sesama, tidak saling mendzalimi dan mengkhianati satu sama lain. Oleh karena, empati, simpati, dan solidaritas harus menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam pergaulan antarmukmin, antarumat manusia secara keseluruhan, bahkan dengan alam sebagai perwujudan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Dari pesan-pesan yang disampaikan oleh al-Qur’an di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian tentang dunia yang dari kata dasarnya mengandung arti negatif, akan hilang sisi negatifnya sesuai dengan bagaimana manusia menjalani hidup dan menggunakan apa-apa yang ada di dalamnya. Apakah mereka melakukannya sesuai dengan syari’at hukum Allah atau hanya mengikuti keinginan sendiri dan menjadikannya sebagai kesenangan hidup.

Referensi :

  • Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan Dalam Pandangan al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2006).
  • Suzanne haneef, Islam dan Muslim, terj. Siti Zainab Luxfiati, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).