Apa Makna Dunia Adalah Kesenangan yang Sedikit dan Bersifat Sementara?

Dunia Adalah Kesenangan yang Sedikit dan Bersifat Sementara

Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia adalah kesenangan yang sedikit dan bersifat sementara. Hal ini tentu menjadi sebuah kepastian. Tetapi, apa makna dari Dunia Adalah Kesenangan yang Sedikit dan Bersifat Sementara itu sendiri ?

1 Like

Kesenangan dan kenikmatan yang dirasakan manusia di dunia pada hakikatnya hanyalah sebentar dan sedikit. Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang berkaitan dengan hal ini, seperti firman Allah pada akhir ayat 77 surat al-Nisā‘:

“Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (QS. al-Nisā‘/4: 77).

Asbāb al-Nuzūl dari ayat tersebut adalah sebagai berikut :

Dari Ibnu ‘Abbās sesungguhnya ‘Abdu al-Raḥmān b. ‘Auf dan para sahabatnya mendatangi Nabi Saw., lalu mereka berkata,

“Wahai Nabi Allah, ketika kami masih musyrik, kami adalah orang-orang yang mulia. Namun ketika kami beriman, kami menjadi orang-orang yang hina.”

Maka Rasulullah Saw., bersabda,

“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang musrik itu.”

Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau diperintahkan untuk memerangi musuh, tapi mereka (‘Abdul Raḥmān b. ‘Auf) tidak melakukannya. Maka turunlah firman Allah,

“Tidaklah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, tahanlah tanganmu (dari berperang), sampai akhir ayat. (Abī al-Ḥasan ‘Alī b, Aḥmad al-Wāḥidī al-Naisābūrī, Asbāb al-Nuzūl (Beirut: al- Maktabah al-Ṡaqāfiyyah, 1989), h. 96.)

Abū Ja’far mengungkapkan dalam tafsirnya bahwa ayat ini diturunkan kepada sahabat-sahabat Rasul yang telah beriman dan percaya terhadapnya. Diturunkan ayat ini sebelum diwajibkan jihad atas mereka. Mereka memohon kepada Allah supaya diwajibkan perang kepada mereka, namun ketika turun perintah kewajiban untuk berperang mereka merasa berat dan kesulitan atas perintah itu. (Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah al-Risālah, 1994), Jilid 2, h. 507.)

Ayat ini berkaitan dengan sifat orang-orang munafik yang berkeinginan menunda jadwal perang karena kecintaan mereka terhadap dunia dan kenikmatannya. Menurut al-Sya’rāwī sebagai muslim dilarang untuk cenderung pada kesenangan dunia, hingga takut untuk berperang, karena setiap jiwa pasti akan mati, dan masing-masing akan dihitung amal perbuatannya. Sedangkan orang yang mati syahid, akan mendapatkan pahalanya langsung, dan mendapat kehidupan bahagia. (Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 4, h. 2437.)

Dalam Tafsir Kemenag disebutkan sebuah perbandingan antara perihal akhirat dengan dunia, disana dikatakan bahwa kelezatan dunia itu hanya sedikit sekali dibandingkan dengan kelezatan akhirat yang abadi dan tidak terbatas, yang hanya akan didapat oleh orang-orang yang bertakwa kepada Allah yaitu orang yang bersih dari syirik dan akhlak yang rendah.9 Sementara itu al-Qurṭubī mengatakan, kehidupan akhirat lebih baik dari kehidupan dunia yang penuh dengan maksiat dan dosa.

Mengenai kehidupan dunia yang hanya sementara Nabi Saw., menyajikan sebuah perumpamaan dalam sabdanya:

“Perumpamaan dunia seperti seorang pengendara yang berteduh di bawahpohon kemudian ia beristirahat sebentar dan selanjutnya pergi meninggalkannya.” (HR. al-Tirmiżī)

Kemudian ayat lain yang membahas tentang kesenangan dunia terhitung sedikit terdapat pada surat al-Ra’d ayat 26:

“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. al-Ra’d/13: 26).

Menurut Mutawallī al-Sya’rāwī, matā’ ialah bekal perjalanan. Bekal perjalanan ini selalu disiapkan untuk sebuah perjalanan, seperti tas kecil yang berisikan beberapa baju dan bekal lainnya. Artinya kesenangan dunia itu tidak lebih dari seperti bekal perjalanan yang sedikit lagi singkat (Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 12, h.7311.).

Hal ini selaras dengan al-Qurṭubī, yang mengutip dari ‘Abdullah b. ‘Abbās, matā’ maksudnya adalah bekal, seperti bekal yang dibawa seorang penggembala (Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt: Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 12, h. 64.).

Kenikmatan hidup dunia ini hanyalah merupakan kenikmatan yang kecil, pendek waktunya, serta mudah dan cepat hilang, dibandingkan dengan kenikmatan akhirat yang besar nilainya sepanjang masa. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila mereka bangga dengan kenikmatan di dunia yang mereka rasakan itu (Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al- Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 5, h. 104.).

Menurut Mutawallī al-Sya’āwī, seorang mukmin adalah orang yang bekerja di dunia untuk memetik hasilnya di akhirat agar dapat meraih kenikmatan yang hakiki. Dan seorang mukmin yakin bahwa setiap tujuan yang memiliki kesudahan bukanlah disebut tujuan hakiki. Dunia pada hakikatnya tidak layak menjadi Tuhan orang mukmin. Tujuan hakiki adalah surga dan bertemu Allah Swt. ( Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi Khawatiri Haula al-Qur’an al-Karim )t.t: al-Azhar, 1991) Jilid 12, h.7311.)

1 Like

Berkaitan dengan topik ini, saya sangat takjub dengan firman Allah swt berikut,

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS. Yūnus/10: 24)

Masya Allah, betapa luar biasanya perumpamaan yang Allah berikan terkait dengan kehidupan dunia.

Manusia lahir dengan kondisi yang tidak berdaya, sama seperti benih tanaman yang sangat rentan dengan kondisi lingkungannya. Benih tumbuh menjadi bibit, bibit tumbuh menjadi pohon dan kemudian mati digantikan dengan bibit tanaman baru.

Ketika bibit itu menjadi pohon, maka pohon tersebut akan mencapai puncak produktivitasnya. Begitu juga dengan manusia, manusia pasti pernah berada di puncak pencapaiannya, entah secara fisik, materi, jabatan atau capaian-capaiannya lainnya. Pada posisi ini, kebanyakan manusia merasa berbangga diri atas capaian-capaian tersebut. Padahal mereka lupa, bahwa capaian yang mereka raih itu adalah hasil dari pemberian Allah swt (dianalogikan sebagai air hujan).

Siapakah yang mengukir wajah manusia ? Siapakah yang memberikan tenaga kepada manusia sehingga manusia bisa produktif ? Siapakah yang memberi petunjuk dan ilmu pengetahuan sehingga manusia bisa memahami apa yang terjadi ?

Semua jawaban itu pasti akan bermuara ke zat yang Maha Awal, yaitu Allah swt.

Tetapi… semua itu hanya bersifat sementara. Kecantikan wanita akan mulai memudar di usia 30 tahun, tenaga manusia akan melemah seiring waktu dan pikiran manusia juga tidak akan setajam dan sekreatif ketika masih berada pada puncaknya. Semuanya akan memudar, bahkan pada satu titik, akan hilang dan terlupakan. Banyak dari kita sudah tidak ingat lagi cerita kakek buyut kita, seakan-akan mereka tidak pernah hidup di dunia ini. Apalagi orang lain yang tidak ada kaitannya dengan kita.

… lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin… (QS. Yūnus/10: 24)

Karena bersifat sementara, maka kesenangannyapun akan kita rasakan sedikit sekali. Tidak mungkin manusia bisa menikmati kenikmatan seluruh yang ada di dunia ini. Ketika sudah tua, manusia sudah malas untuk diajak travelling, dimana hal itu berbeda ketika masih muda. Ketika tua manusia sudah mulai menghindari makan-makanan yang enak karena alasan kesehatan. Dan masih banyak lagi kenikmatan-kenikmatan yang sudah tidak dapat dinikmati ketika masa tua.

Firman Allah lainnya,

Artinya: “ Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, Maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan ”. (Q.S. Al-Kahfi: 45-46)

Menurut beberapa ahli tafsir, Hashim adalah tumbuh-tumbuhan yang mengering dan Dhar atau tadhriyah adalah angin yang menerbangkan tumbuh-tumbuhan kering. ( Ahsin Sakho Muhammad dkk., Ensiklopedi Tematis Al-Qur’an , (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2005), hlm. 13)

Sedangkan menurut Quraish Shihab, kata hashim mempunyai arti kehancuran. Menurut beliau ayat di atas mempersamakan kehadiran nikmat duniawi yang dinikmati pada mas muda, kemudian sedikit demi sedikit berkurang dan berkurang, hingga akhirnya punah dan hilang sama sekali. (Tafsir Al Misbah).

Jadi, menurut saya, karena sifatnya yang sementara, baik kehidupan di dunia maupun kenikmatannya, maka kesenangan yang di dapat-pun menjadi sangat-sangat sedikit, reltif dibandingkan dengan kenikmatan yang akan didapat di fase kehidupan berikutnya, yaitu alam kubur dan alam akhirat.


Catatan penting :

Dalam tasawwur islami, kenyataan bahwa dunia adalah “kesenangan yang sedikit dan bersifat sementara” tersebut tidak boleh membuat pemeluk Islam menyia-nyiakan kehidupan dunia, bersifat pasif dan mengisolasi diri, sebab hal tersebut sama sekali tidak mempunyai landasan dalam Islam. Menurut Sayyid Qutb, hal tersebut merupakan pengaruh dari konsep kerahiban gereja, pemikir Persia, dan beberapa konsep Iluminasi Yunani yang ditransfer ke dalam Islam. (Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an , Jilid 7, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm.94)

1 Like

Di antara sejumlah aspek dari gaya bahasa yang mengagumkan dan mu’jizat dalam al-Qur’an adalah perumpamaan-perumpamaan indah yang dibuat Allah SWT untuk manusia agar dapat diambil pelajaran dan dijadikan sarana untuk bertakwa. Di antara perumpamaan tersebut adalah firman Allah SWT tentang kehidupan dunia dalam ayat berikut :

Artinya: “ Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, Maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan ”. (Q.S. Al-Kahfi: 45-46)

Pada surat Yunus ayat 24, juga diterangkan hal yang serupa. Bahwasanya kehidupan dunia ini begitu cepat lenyap. Hashim adalah tumbuh-tumbuhan yang mengering. Dhar atau tadhriyah adalah angin yang menerbangkan tumbuh-tumbuhan kering.

Sedangkan M. Quraish Shihab menafsiri kata hashim dengan kehancuran. Menurut beliau ayat di atas mempersamakan kehadiran nikmat duniawi yang dinikmati pada masa muda, kemudian sedikit demi sedikit berkurang dan berkurang, hingga akhirnya punah dan hilang sama sekali.

Ayat di atas dengan sangat singkat menggambarkan betapa singkat dan cepat berlalunya kehidupan duniawi. Air yang turun dari langit, tidak lagi dilukiskan bahwa dia “mengalir di sungai kemudian mengairi tumbuhan”. Benih pun tidak digambarkan “ditanam”, tetapi air itu dikatakan “sudah bercampur dengan tanah”. Tanaman yang tumbuh pun tidak digambarkan bahwa “ia tumbuh menghijau atau buahnya matang“, tetapi langsung dilukiskan “ia layu dan hancur diterbangkan angin”. Demikian hidup ini berlalu, dilukiskan dengan tiga kalimat, masing-masing empat kata: ma’in anzalnahu min al-sama (air yang Kami turunkan dari langit), fakhtalata bihi nabat al-ard (maka bercampurlah dengannya tumbuh-tumbuhan), asbaha hashiman tadhruhu al-riyah (menjadi kering kerontang yang diterbangkan angin).

Pada ayat berikutnya, kata al-mal (harta), yang mencakup segala sesuatu yang memiliki nilai material, baik uang, bangunan, binatang, sawah ladang, kendaraan dan lain-lain.

Mengenai al-baqiyat as-salihat (amalan-amalan yang kekal lagi baik) sejumlah sahabat seperti Ibnu Abbas, Anas bin Malik dan Ikrimah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,

“Ambillah surga kalian dari neraka dan ucapkanlah, subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, sebab amalan-amalan tersebut ialah amalan-amalan pendahuluan, amalan-amalan yang terkabulkan, amalan-amalan yang berpahala dan amalan-amalan yang kekal lagi baik”.

Sedangkan M Quraish Shihab, lebih cenderung memahaminya dalam pengertian umum sesuai dengan bentuk jama’ kata tersebut, sehingga yang dimaksud adalah mencakup aneka amal shalih.

Ayat di atas bukannya meremehkan harta dan anak-anak, hanya saja jika dibandingkan dengan amal sholih, harta dan anak hanyalah sebagai hiasan duniawi. Memang harta dan anak dapat juga menjadi sarana utama untuk beramal sholih, tapi jika ia tidak difungsikan dengan benar, maka tidak jarang bahwa harta dan anak itu justru mengakibatkan dampak buruk di dunia dan di akhirat.

Kehidupan di dunia ini bukan kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan yang sesunggunya adalah berada di sisi Tuhan atau kedekatan dengan Tuhan. Berbalikan dengan kehidupan dunia ini, kehidupan akhirat berlangsung selamanya.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ankabut ayat 64 :

Artinya: “ Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, jika mereka mengetahui”. (Q.S. Al-Ankabut: 64)

Allah menegaskan kembali kepada manusia agar tidak terperdaya dengan kehidupan dunia, sehingga melalaikan akhirat yang lebih kekal dan abadi dengan firmanNya :

Artinya: “Dan apa saja yang diberikan kepada kalian, maka itu adalah kenikmatan duniawi dan perhiasannya (yang semuanya akan lenyap), sedangkan apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka, apakah kalian tidak memahaminya?” (QS. Al-Qasas: 60).

Kehidupan yang dijalani di dunia ini, pada hakekatnya adalah sebuah tabungan amal untuk dipetik hasilnya kelak di kehidupan akhirat. Kehidupan dunia yang bersifat sementara dan cepat lenyap, memperdayakan, hanya sebuah permainan dan ujian, jika dilihat dari sudut pandang yang lain, yakni sudut pandang yang lebih positif, maka kehidupan di dunia ini bisa menjadi sarana bagi umat manusia untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik dan bahagia kelak di akhirat. Yakni negeri yang tidak akan pernah sirna dan kekal selama-lamanya.

Mengenai perbandingan kehidupan dunia dengan akhirat, Rasulullah SAW telah menegaskan dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sahabat Ibnu ‘Abas. Berkata Ibnu Abbas, bahwa rasulullah bersabda :

“Tidak ada kehidupan (yang sebenarnya) kecuali kehidupan akhirat”.

Dalam hadits ini jelas dikemukakan bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat. Kehidupan dunia bukanlah sebenar-benarnya kehidupan. Kehidupan kita di dunia diibaratkan seperti seorang musafir yang hanya singgah sebentar dari perjalanan. Yang pada akhirnya perjalanan tersebut akan terus dilanjutkan hingga mencapai tempat tujuan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Sahabat ‘Abdullah Ibn ‘Umar :

“Jadilah kamu di kehidupan dunia ini sebagaimana pengembara atau seorang musafir”.

Yang mana hadits ini memberi peringatan kepada manusia agar tidak dilalaikan dengan kehidupan dunia, karena dunia bukanlah tujuan sebenarnya dari perjalanan yang ditempuh. Kehidupan dunia ini hanyalah sementara, sebagaimana seorang musafir yang sedang beristirahat dari perjalanan untuk menambah bekal di perjalanan panjangnya.

Ibn ‘Umar memberikan penjelasan tentang hadits ini, bahwa yang dimaksud adalah “Ketika engkau berada di sore hari, maka jangan mengharapkan pagi. Dan ketika engkau di pagi hari, janganlah engkau mengharapkan sore hari. Carilah dari sehatmu (bekal) untuk masa sakitmu, dan carilah dari waktu hidupmu (bekal) untuk matimu.

Dari penjelasan Ibn ‘Umar tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa selama hidup di dunia, manusia dianjurkan untuk mencari bekal yang sebanyak-banyaknya untuk sebelum kematian menjemput.

Referensi :

  • Ahsin Sakho Muhammad dkk., Ensiklopedi Tematis Al-Qur’an , (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2005)
  • M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah
  • Sachiko Murata dan William C. Chittick, Trilogi Islam (Islam, Iman dan Ihsan), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997)
  • Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’il al-Bukhari, Matan Sahih Al-Bukhari , (Bandung, Shirkah Al-Ma’arif Li Al-Tab’i Wa Al-Nashar, t.t.)
1 Like