Apa makna dari kalimat Iqro kitabaka?

Iqro kitabaka

Arti dari Iqro kitabaka adalah “Bacalah kitabmu”, yang diambil dari Surah Al-Isra’-14: Iqra kitabaka kafa binafsika alyawma AAalayka haseeban. Apa makna dari kalimat tersebut ?

Iqro ’ kitabaka kafa binafsika al yaum alaika hasiba.
Bacalah kitabmu, cukuplah hari ini engkau menjadi penghisab atas dirimu sendiri…

Mari kembali kediri, membaca kitab diri sendiri… Saya mengajarkan untuk:

  1. Iqro’ kitabaka” yaitu membaca dirimu sendiri, jangan sibuk membaca orang lain, kecuali apa yang diminta untukmu menilainya oleh yang bersangkutan sendiri.

  2. Janganlah membawa-bawa nama golongan, kelompok, organisasi disini. Global saja, bagi semua manusia. karenanya tak perlu menunjuk nama golongan dan sebagainya. Hal seperti itu bisa mengacaukan suasana dan mengakibatkan bentrok.

  3. Singkirkan perbedaan pada level kulit (syariat), dewasalah perbedaan mazhab, pendapat dan sebagainya… Karena kita tak menitik beratkan pada kulit disini, tapi pada isinya.

  4. Alangkah memalukannya jika seorang yang mulai memasuki “isi” masih selalu sibuk berdebat masalah kulit.

  5. Tetaplah ora ono opo-opo… iqro’ kitabaka, “bacalah kitabmu, pada hari ini cukuplah dirimu sbg penghisab atas dirimu sendiri”.

Engkaulah yang menghisab dirimu sendiri… “Merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”…

Engkaulah yang menciptakan nerakamu sendiri… Keadilan ALLAH adalah dengan mewujudkan apa-apa yang engkau perbuat dari amaliahmu sendiri… umpama sebuah “CERMIN” yang setia memantulkan cahaya apapun yang engkau pancarkan…

Kitabmu kan sama saja dengan Qur’anmu… yang tertulis itu mushaf Qur’an, yang tertulis itu adalah wujud tertulisnya, wujud tidak tertulisnya adalah dirimu sendiri…

Lah engkau itu jatuh di ayat mana??..

Mudah-mudahan tidak jatuh di ayat abu lahab… karena ayatNYA banyak sekali, itu berarti engkau bisa jatuhnya di ayat mana saja… gunanya kan itu, teliti dirimu sendiri, maka engkau tahu posisinya dirimu lagi di ayat mana…
Misal: posisi seeorang lagi diayat summun bukmun umyun fahum laa yarjiun, itu berarti hatinya sudah buntu… buta tuli bisu, hatinya membatu dan keras… gunanya itu seperti itu lho…

Sebenarnya paling rentan kemasukan IBLIS itu malah ahli tauhid sendiri, karena iblis itu memang paling makrifatullah…

Ciri-ciri ahli tauhid yang kemasukan iblis adalah “ana khairun minhum” (saya lebih baik darinya), yaitu kesukaannya merasa benar sendiri dengan melecehkan atau mencela dan menghina orang lain… Kayak ajarannya yang paling benar sendiri, kayak yang paling suci sendiri…

Hendaknya saudara-saudara berhati hati, bahaya “ana khairun minhum”…

Maka dari itulah selalu dan selalu saya anjurkan murid-murid untuk “iqro’ kitabaka” (bacalah kitabmu), banyak-banyak muhasabah, introspeksi diri kita masing-masing, ketimbang menilai nilai orang lain…

Lama-lama nanti malah jadi iblis, kalau sibuk menilai dan mengurusi orang lain… timbul “ana khairun minhum”… masuknya adalah DZINDIQ…
Ana khairun minhum adalah perkataan iblis kepada Allah, karena merasa lebih baik dari adam… ciri dzindiq nya ahli tauhid…

Berawal dari iqro kitabaka atau muhasabah diri itulah manusia menemukan cela2 dirinya sendiri, lalu dari situlah timbul usaha untuk memperbaiki diri…
Membaca dan mengkoreksi orang lain adalah sebuah kesalahan fatal sebab akan menimbulkan prasangka, dimana prasangka itu akan:

  1. Bilamana prasangka itu benar, maka TIDAK akan dihadiahi pahala
  2. Bilamana prasangka itu salah, menjadi suudzon dan dosa yang makin membuat hati kita gelap…

Dalam berjalan, salik yang suka menilai dan mengkoreksi orang lain adalah ibarat orang yang sedang berjalan dijalan licin ditepi jurang maka setiap kali dia sibuk mengkoreksi orang lain, dia sedang menengok kanan kiri… Ketika menengok itu, fokus konsentrasinya kepada jalan yang sedang dilalui lengah, dan suatu ketika akan terpeleset masuk jurang akibat suka nengak nengok…

Yang iqro kitabaka, sibuk baca kitab dirinya sendiri, seumpama pejalan yang tetap fokus kepada jalan yg dilalui, cendrung selamat sampai tujuan…

Setelah saya jalani, hidup sebagai tajrid adalah lebih ringan dibandingkan hidup sebagai asbab. Karena sebagai asbab hubungan kita tak hanya vertikal, namun vertikal dan horizontal secara sekaligus. Sedangkan sebagai tajrid, hubungan lebih kepada vertikal, adapun hubungan horizontalnya hanya ala kadarnya menurut kepentingan…

Sebagai tajrid, kita tidak punya beban tanggungan yang banyak kepada masyarakat dan sekitar. Namun sebagai asbab, kita tidak pernah bisa menghindari berhubungan dengan banyak orang. Sedangkan berhubungan dengan sesama manusia itu mengandung banyak kesulitan…

Selalu saja ada yang tidak kita sukai, selalu saja ada yang tidak sukai kita. Acapkali dihadapkan dengan dilema-dilema dalam hidup, yang mau tidak mau harus kita selesaikan…

Dan celakanya dari semua itu, sebagai asbab, adalah sangat mengerikan tatkala hati kita selalu “terpancing” dengan berbagai “permainan” didunia ini, terpancing untuk mengamati, meneliti dan “membaca” orang lain… Lambat laun kita digiring agar lupa mengamati diri sendiri… Lagi lagi akan gagal melakukan “iqro’ kitabaka”, gagal membaca diri sendiri…

Kita digiring untuk serong dari tujuan utama hidup ini… Pelan-pelan lupa pelajaran demi pelajaran, sampai akhirnya kita ingat kembali tatkala kita sudah tersesat jalan terlampau jauh…

Apalah artinya jikalau kita mengetahui cela keburukan orang lain?..

Seperti seorang pengamat yang teliti, bahkan mampu menemukan bahwa celana orang pada bolong, sedangkan kita kadang lupa celana kita sendiri sedang bolong, pantat kita sampai kelihatan…

Lagi dan lagi, mesti selalu mengingati satu perkara ini, yaitu “iqro’ kitabaka”, membaca kitab diri kita masing masing… Jika sampai kelamaan lupa, maka pastilah perjalanan panjang ini akan kandas… Tidak akan pernah sampai kepada Allah, sebab kita termasuk yang lalai, jika demikian…

Maka jangan sampai melupakan “iqro’ kitabaka”… Karena ini adalah ciri khas keberhasilan seorang pejalan ruhani, pejalan di jalan Tuhan yang Agung…

Mursyid Syech Muhammad Zuhri (Abah FK)