Apa itu politik dinasti?

dinasti-politik-57dd286f4df9fd644a5c8a77

Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indenik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.

Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. “Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.” Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural

Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN. (AG Paulus, Purwokerto)

Hal-Hal Yang Mengakibatkan Munculnya Dinasti Politik Adalah:

  1. Adanya keinginan Dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan.
  2. Adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan Dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok.
  3. Adanya kolaborasi antara penguasa dan Pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan Politisi.
  4. Adanya Pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan Modal Sehingga Mengakibatkan terjadinya KORUPSI

Akibat Dari Politik Dinasti ini maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh. Sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam system pemerintahan.

Sumber:

Pengertian Politik Dinasti


Secara harfiah, dinasti merupakan sistem reproduksi kekuasaan di era primitif karena hanya mengandalkan satu darah atau keturunan untuk menguasai kekuasaan. Secara tersirat dari pengertian harfiahnya politik dinasti sebenarnya adalah musuh dari demokrasi. Karena hakekatnya demokrasi mengandung pengertian rakyat sebagai suara mutlak dalam memilih penguasa. Artinya suara rakyat dalam dinasti politik tidak terakomodir. Dinasti politik mematikan suara rakyat dalam hal memilih pemimpin.

Sementara itu Soemiarno (2010) memaknai politik dinasti sebagai upaya seorang penguasa atau pemimpin baik di tingkat presiden/bupati/walikota yang telah habis masa jabatannya, untuk menempatkan keluarganya sebagai calon penggantinya atau penerus penguasa sebelumnya untuk periode berikutnya. Dengan kata lain, politik dinasti mengarah kepada suatu proses regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (misalnya keluarga elite) yang bertujuan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan berdasarkan hubungan darah atau kekerabatan. Politik dinasti muncul dalam dimensi yang lebih alami, berupa upaya mendorong sanak keluarga elite-elite incumbent untuk terus memegang kekuasaan di pemerintahan yang telah diwariskan oleh pendahulu mereka.

Faktor-faktor Terbentuknya Politik Dinasti


Politik dinasti yang muncul di Indonesia menunjukkan beberapa asumsi bahwa dengan berkembangnya dinasti politik, maka kemungkinan besar, rakyat hanya akan disuguhkan aktor-aktor politik yang itu-itu saja yang berasal dari satu keluarga dan tidak jarang, aktor-aktor tersebut menerapkan pola kelakuan politik yang sama mengingat berasal dari sebuah keluarga yang sama. Dinasti politik itu sendiri tidak sepenuhnya dipenuhi oleh hal-hal yang negative, ada pula dinasti politik yang positif dengan melakukan perbaikan kesalahan-kesalahan dan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik dari pada generasi dinasti politik yang sebelumnya.

Clubok, Wilensky dan Berghorn dalam Pasan (2013) mengemukakan bahwa politik dinasti dalam konteks politik kontemporer muncul dalam berbagai bentuk, termasuk bentuk yang lebih halus dengan cara mendorong sanak saudara keluarga elit-elit lama untuk terus memegang kekuasaan yang diturunkan ‘secara demokratis’ oleh para pendahulu mereka. Ada juga dalam bentuk politik dinasti yang disesuaikan dengan etika demokrasi modern, yakni dengan cara mempersiapkan sanak anggota keluarga mereka dalam sistem pendidikan dan rekrutment politik secara dini. Kemunculan anggota-anggota keluarga pada periode berikutnya seolah-oleh bukan diakibatkan oleh faktor darah dan keluarga, melainkan karena faktor-faktor kepolitikan yang wajar dan rasional.

Bentuk lain politik dinasti muncul secara terbuka dan identik dengan otoriterisme. Politik dinasti seperti ini muncul dari suatu sistem politik modern yang sebelumnya sudah dibekukan dan dikondisikan sedemikian rupa sehingga rakyat melalui wakilnya hanya bisa memilih anak/istri dari keluarga penguasa lama. Politik dinasti yang demikian menunjukkan bahwa orang yang dipilih bukan karena atas dasar sukarela, tetapi secara represif. Sistem pemerintahan yang berdasar pada kuasi-otoritarian merupakan dasar munculnya politik dinasti.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Martin Rossi yang berjudul The Causes of Political Dynasties in Democratic Countries dalam Pasan (2013) faktor-faktor yang menyebabkan politik dinasti antara lain adanya saluran tertentu, saluran dalam hal ini adalah keluarga. Pengenalan nama keluarga dapat membentuk politik dinasti dalam suatu lembaga pemerintahan. Dengan mengenal nama keluarga ada kecenderungan untuk membentuk sebuah dinasti keluarga pada sebuah lembaga pemerintahan. Bukti-bukti ini disajikan dalam penelitian Rossi mengenai adanya pengaruh positif variabel independen masa jabatan kekuasaan politik terhadap pembentukan politik dinasti menunjukkan masa jabatan memiliki efek jangka panjang dalam terbentuknya politik dinasti.

Penelitian dari Ronald Mendoza dkk dengan judul An Empirical Analysis of Philippine Political Dynasties in the 15th Philippine Congres dalam Pasan (2013) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara dinasti politik dan aspek sosial ekonomi. Rata-rata, dinasti politik tersebar di usia yang berada di daerah tingkat kemiskinan yang relatif tinggi serta kesenjangan dan pendapatan rata-rata lebih rendah. Kondisi sosial ekonomi yang lebih baik memberikan peluang lebih besar terbentuknya politik dinasti. Sementara kondisi ekonomi lemah memiliki peluang lebih rendah untuk membentuk politik dinasti. Dilihat dari kondisi sosial, bahwa hubungan yang baik dengan sejumlah pejabat memberi peluang atau kesempatan untuk membentuk politik dinasti.

Ernesto Dal Bo dkk melakukan penelitian dengan judul Political Dynasties yang dilakukan di Amerika Serikat dan Argentina mengenai terjadinya politik dinasti di kedua negara tersebut. Temuan penelitian memperlihatkan bahwa calon pemimpin dengan periode yang lebih lama dan relatif memiliki kerabat di masa depan yang lebih banyak. Penelitian memperlihatkan secara substansial adanya perbedaan signifikan dari terbentuknya politik dinasti pada pemimpin yang hanya menjabat satu periode dengan pemimpin yang menjabat lebih lama (Pasan, 2013).

Penelitian lainnya dilakukan oleh Querubin dalam Pasan (2013) dengan judul Family and Politics: Dynasict Persistence in the Philippines . Menurut Querubin terdapat motivasi yang kuat untuk memperjuangkan dinasti keluarga melalui politik dinasti. Sebagai konsekuensinya adalah secara ekonomi mereka harus menaggung proses pembentukan politik dinasti tersebut. Kegigihan atau perjuangan dinasti ini memperlemah sistem demokrasi. Temuan lain dari penelitian Querubin adalah bahwa sistem politik dapat menciptakan kekuatan baru yang tidak berasal dari dinasti. Dengan kata lain, prevalensi politisi-politisi dinasti di Filipina tidak hanya menunjukkan keberadaan keluarga yang berkuasa dalam perjalanan sejarah, tetapi sistem politik telah menciptakan keberlangsungan dinasti itu sendiri. Hambatan yang paling dominan adalah hambatan struktural, baik dari aturan pemerintah pusat maupun struktural dalam intern partai politik.

Hambatan struktural dari internal partai politik yang menonjol adalah adanya intervensi dari pengurus partai di tingkat pusat (DPP) pada pengurus partai di tingkat cabang (DPC) dalam menentukan nominasi calon pemimpin daerah (Nasiwan, 2007).

Cara Membatasi Politik Dinasti


Sejauh ini memang belum ada peraturan atau undang-undang yang mengatur tentang pelarangan politik dinasti. Namun secara etika pelaksanaan politik dinasti dinilai sangat merugikan apalagi jika terjadi di negara yang menjunjung tinggi demokrasi atau yang berasas demokrasi. Walaupun secara formil belum diatur oleh undang-undang namun ada beberapa cara untuk mengurangi terjadinya politik dinasti, yaitu:

  • Kesadasaran dari orang yang bersangkutan untuk tidak menjalankan sistem politik feodal.
  • Mengurangi wewenang kepala daerah, mengenai penggunaan anggaran atau otoritas terhadap izin-izin seperti tambang atau usaha lain. (merevisi Undang Undang Pemerintahan Daerah).
  • Penguatan syarat calon kepala daerah, m enerapkan standar yang tinggi bagi orang-orang yang duduk di kursi legislatif. Agar bisa membawa kepentingan rakyat dalam pengambilan keputusan. Bukan untuk mencari untung sendiri.

Dampak Politik Dinasti


Politik dinasti sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu, yaitu ketika orde baru berkuasa. Namun semakin hari politik dinasti semakin bertambah dan meluas sehingga sebagian orang menganggap hal itu dapat mengancam demokrasi yang ada di Indonesia. Dampak positif atau kelebihan politik dinasti yaitu sebagai penguatan ideologis partai. Calon yang dipasang dari kalangan keluarga elit sengaja dipersiapkan dengan pertimbangan idealisme partai untuk menjaga eksistensi politik ideologis yang berkelanjutan dari generasi ke generasi. Konsekuensinya, calon penguasa yang ada akan selalu berada dalam garis idealistis karena setiap penyimpangan pasti akan berdampak pada elit di atasnya. Namun, jika hal ini menjadi satu-satunya alasan nampaknya kurang relevan dengan realitas partai politik sekarang.

Pendapat lain mengatakan kalau politik dinasti sebenarnya tidak masalah namun jika calon-calon penerus dari politik dinasti tersebut memang memiliki kemampuan dan kecakapan dalam memimpin, intinya calon penerus tersebut memang layak dan memenuhi kriteria sebagai pemimpin. Calon-calon tersebut juga harus bersaing secara sehat dengan calon-calon lain, agar ketika dia jadi/menang nanti memang itu murni dari diri calon tersebut bukan karena ada unsur KKN dari pemimpin sebelumnya. Politik dinasti yang seperti itu tentu tidak dilarang karena telah sesuai dengan prosedur dan rakyat memilih bukan karena ada faktor lain (seperti uang) tapi karena dia memang layak untuk dipilih. Selain itu dampak negatif dari politik dinasti antara lain:

  • Lambannya proses regenerasi kepemimpinan, dengan adanya politik dinasti tentu saja yang menjadi penguasa merupakan sanak kerabat dari pemimpin yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan orang lain yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan penguasa yang bersangkutan menjadi kecil kemungkinannya jika dia mau mencalonkan diri sebagai pemimpin.
  • Penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan yang tidak terbatas menyebabkan orang cenderung menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Hal ini sudah terbukti dari beberapa contoh kasus pemimpin di Indonesia, seperti jaman pemerintahan orde baru.
  • KKN yang hampir pasti terjadi, KKN merupakan salah satu bentuk penyimpangan kekuasaan yang dilakukan jika penguasa lama berkuasa.

Politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite) yang bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Dinasti politik menjadi musuh demokrasi karena dalam demokrasi, rakyatlah yang memilih para pemimpinnya. Politik Dinasti muncul dari sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik ini sistemn politik yang berjalan hampir sama dengan seperti sistem kerajaan (monarki), sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. Agar kekuasaan tetap berada di dalam lingkaran keluarga.

Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena dengan semakin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak akan berjalan dengan baik atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.

Pada umumnya posisi kajian mengenai isu dinasti politik ini berada dalam konteks perbincangan mengenai politik kekerabatan (keluarga) sebagaimana dapat dibaca dalam cara bagaimana para ahli itu mendefinisikan dinasti politik. Pablo Querubin (2010) mendefinisikan dinasti politik sebagai sejumlah kecil keluarga yang mendominasi distribusi kekuasaan dalam area geografis tertentu. Mark R. Thompson (2012) menjelaskan dinasti politik hanya sebagai jenis lain dari transisi (peralihan) kekuasaan politik, langsung maupun tidak langsung, yang melibatkan anggota keluarga. Definisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dirumuskan Yasushi Asako dkk (2012) yang mendefinisikan dinasti politik secara sederhana sebagai sekelompok politisi yang mewarisi jabatan publik dari salah satu anggota keluarga mereka.

Kebangkitan dinasti politik, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hasil studi yang dilakukan para ahli di berbagai negara memang memiliki hubungan sangat erat dengan kepentingan keluarga atau politik kekerabatan. Kepentingan keluarga kerap, jika tidak selalu, menjadi basis muasal pertumbuhan, perkembangan dan perluasan dinasti politik dalam suatu sistim politik demokrasi. Dalam tradisi politik kekerabatan, anggota keluarga yang sudah menjadi penguasa atau menduduki jabatan publik pada umumnya akan melakukan praktik nepotisme dengan memberikan berbagai perlakuan istimewa kepada anggota keluarga atau kerabatnya, bukan untuk mensejahterakan rakyat dan memajukan daerahnya, melainkan dalam rangka membangun dan memperkuat jejaring kekuasannya. Dari sinilah kemudianembrio dinasti politik itu muncul.

Dalam studi Eisenstadt S.N. dan Roniger Luis (1984) dikemukakan, bahwa pemberian prioritas kepada anggota keluarga dan kerabat dalam kehidupan politik itu didasarkan pada 4 (empat) argumentasi, yakni: (1) Kepercayaan (trusty), maksudnya bahwa keluarga atau kerabat lebih dapat dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti yang lazim dilakukan politisi pemburu kekuasaan; (2) Kesetiaan (loyality), bahwa kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa an kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain; (3) Solidaritas (solidarity), artinya kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong klan keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat; (4) Proteksi (protection), hal ini terkait dengan kepentingan mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari klan yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain

Secara teoritik praktik dinasti politik menimbulkan berbagai ancaman problematis dalam kehidupan politik di aras lokal. Dalam kerangka konsolidasi demokrasi lokal, praktik dinasti politik mempersempit ruang partisipasi publik sekaligus menegasikan salah satu prinsip dasar demokrasi, yakni kesetaraan politik. Selain itu, dinasti politik juga hanya akan memperkokoh gejala oligarkis di daerah yang berpotensi melemahkan mekanisme check and balance karena jabatan-jabatan politik dikuasai oleh satu keluarga. Dalam pandangan Amich Alhumami (2016), peneliti sosial di University of Sussex Inggris politik kekerabatan atau dinasti politik tidak sesuai dengan prinsip meritokrasi. Sebab, proses rekrutmen didasarkan pada sentiment kekeluargaan, bukan kompetensi. Menurutnya, jika terus berlanjut, gejala ini bisa kontraproduktif bagi ikhtiar membangun sistem demokrasi modern. Dominasi kekuasaan oleh sekelompok elit lokal atau keluarga yang demikian itu pada akhirnya akan menimbulkan kerawanan terjadinya berbagai bentuk penyalahgunaan (korupsi) kekuasaan politik maupun ekonomi.

Martien Herna Susanti. 2017. Dinasti Politik dalam Pilkada di Indonesia. Journal of Government and Civil Society, Vol. 1, No. 2,

Agus Sutisna.2017. Gejala Proliferasi Dinasti Politik di Banten Era Kepemimpinan Gubernur Ratu Atut Chosiyah. Politik Indonesia. Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 100-120

Eisenstadt, S. N., & Roniger, L. 1984. Patrons, Clients And Friends:Interpersonal Relations And The Structure Of Trust In Society. Cambridge University Press.

Asako, Y., Iida, T., Matsubayashi, T., & Ueda, M. 2015. Dynastic politicians: Theory and evidence from Japan. Japanese Journal of Political Science , 16 (1), 5-32