Gagasan defund the police atau mengurangi anggaran untuk lembaga kepolisian memang telah digaungkan selama beberapa dekade. Namun, gagasan tersebut kembali mencuat setelah kematian George Floyd, seorang Afrika-Amerika dalam kebrutalan polisi di Minneapolis, USA pada Mei lalu.
Defund the police tidak berarti menyingkirkan lembaga kepolisian, namun, mengurangi anggaran untuk kepolisian dan mengalokasikan kembali anggaran tersebut ke hal-hal penting yang sering diabaikan, seperti, pendidikan, kesehatan masyarakat, perumahan, dan pengembangan kepemudaan.
Mengalokasikan kembali anggaran dalam hal-hal seperti yang telah disebutkan diatas, diyakini dapat mencegah akan timbulnya masalah-masalah sosial, seperti, kemiskinan, penyakit mental, dan ketunawismaan. Masalah-masalah tersebut memang tidak dapat ditangani oleh polisi, namun polisi kerap turun tangan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Menurut penelitian, polisi tidak bertindak terhadap suatu hal yang seharusnya mereka tangani, namun justru melakukan tindak kekerasan. Diperkirakan bahwa, penegak hukum di USA menghabiskan 21% waktunya untuk mengatasi masalah penyakit mental, yang pada dasarnya bukan ranah seorang penegak hukum tetapi psikiater. Polisi juga sering dikirim untuk menangani permasalahan yang menyangkut ketunawismaan, yang pada akhirnya justru menyebabkan para tuna wisma tersebut dipenjara dalam jumlah yang tidak proporsional.
Jumlah anggaran yang dialokasikan kepada kepolisian di Amerika memang cukup mengejutkan. Menurut analisis terbaru, jumlah tersebut mencapai $115 miliar, angka yang cukup fantastis dan hampir melebihi anggaran militer di negara lain.
Di beberapa kota di USA, anggaran untuk kepolisian jumlahnya memang lebih besar dibanding anggaran untuk pendidikan, perumahan, dan layanan penting lainnya, contoh Kota New York yang memiliki anggaran tahunan untuk kepolisian sebesar $6 miliar. Anggaran tersebut melebihi anggaran yang dihabiskan untuk kesehatan, layanan tunawisma, pengembangan kepemudaan, dan pengembangan tenaga kerja gabungan.