Apa Hukum Poligami dalam Islam?

poligami

Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak (laki-laki) memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.

Apa hukumnya poligami dalam islam?

Perintah untuk poligami menurut ulama itu sekedar boleh saja. Akan tetapi, perintah boleh ini bisa naik hukumnya menjadi sunnah, wajib dan juga haram pada kondisi tertentu. Seperti misalnya, seorang suami yang sadar dirinya tidak bisa adil, merasa kalau hatinya tidak bisa condong pada yang satu maka suami tersebut bisa berdosa. Atau suami yang sadar kalau dirinya tidak bisa memberi nafkah, namun tetap memaksakan diri untuk poligami maka itu akan menjadi dosa karena memberikan nafkah kepada istri wajib hukumnya.

Dalam memahami dan melaksanakan syariat Islam hendaknya kita selalu waspada dan behati-hati dari dua senjata utama godaan setan untuk memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah Ta’ala:

Yang pertama: sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam memahami dan menjalankan ketentuan syariat-Nya, terlebih lagi dalam menjalankan ketentuan syariat yang dirasakan cocok dengan kepentingan hawa nafsu.

Yang kedua: sikap meremehkan dan kurang dalam memahami dan melaksanakan ketentuan syariat Allah Ta’ala, yang ini sering terjadi pada sebagian hukum syariat Islam yang dirasakan oleh sebagian orang tidak sesuai dengan kemauan hawa nafsuny.

Salah seorang ulama salaf ada yang berkata,
_“Setiap Allah Ta’ala memerintahkan suatu perintah (dalam agama-Nya) maka setan mempunyai dua macam godaan (untuk memalingkan manusia dari perintah tersebut):
1. (yaitu godaan) untuk (bersikap) kurang dan meremehkan (perintah tersebut), dan
2. (godaan) untuk (bersikap) berlebih-lebihan dan melampaui batas (dalam melaksanakannya), dan dia tidak peduli dengan godaan mana saja (dari keduanya) yang berhasil (diterapkannya kepada manusia)”_.

Dasar Hukum Poligami dalam Islam

Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak mengharuskan umatnya melaksanakan monogami mutlak dengan pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apa pun dan tidak pandang bulu apakah laki-laki itu kaya atau miskin, hiposeks atau hiperseks, adil atau tidak adil secara lahiriah. Islam, pada dasarnya, menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran dibolehkannya poligami terbatas. Pada prinsipnya, seorang laki-laki hanya memiliki seorang istri dan sebaliknya seorang istri hanya memiliki seorang suami. Tetapi, Islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala. Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian karena tidak semuanya mempunyai kemampuan untuk berpoligami. Dasar pokok Islam membolehkan poligami adalah firman Allah Swt.

“Dan jika kamu kawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. Al-Nisa 4: 3)

Ayat di atas menyebutkan kebolehan poligami yang dilakukan jika diperlukan karena khawatir tidak akan berlaku adil terhadap anak-anak yatim dengan syarat yang cukup berat yaitu keadilan yang bersifat material.

Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhialil Qur‟an mengatakan bahwa ayat ini bersifat mutlak, tidak membatasi tempat-tempat keadilan. Maka, yang dituntut olehnya adalah keadilan dalam semua bentuknya dengan segala pengertiannya. Ayat ini juga menerangkan tentang rukhsah „kemurahan‟ untuk melakukan poligami disertai dengan sikap kehati-hatian seperti itu bila dikhawatirkan tidak data berlaku adil, dan dicukupkannya dengan monogami dalam kondisi seperti itu.

Dalam hal ini, sesungguhnya Islam adalah peraturan bagi manusia, peraturan yang realistis dan positif, sesuai dengan fitrah, kejadian, realitas, kebutuhan-kebutuhan, dan kondisi kehidupan manusia yang berubah-ubah di daerah-daerah dan masa-masa yang berbeda-beda serta keadaan yang beraneka macam. Masalah ini-masalah kebolehan poligami dengan perhatian dan kehati-hatian sebagaimana ditetapkan oleh Islam-ada baiknya dibahas lebih jelas dan pasti, dan ada baiknya kita ketahui kondisi riil yang melingkupinya.

Sedangkan dalam Tafsir Al-Jalalain mengatakan bahwa adil diartikan sebagai giliran dan pembagian nafkah. M. Quraish Shihab setelah mengkaji dan menganalisis ayat ini menyumpulkan tentangg kebolehan poligami dan kebolehannya dapat diberlakukan dalam kondisi darurat dengan persyaratan yang cukup berat.

Imanuddin Husein berpendapat bahwa poligami dibolehkan di dalam Al-Qur‟an bahkan di dalam syariat poligami,bukan hanya terkandung hikmah tetapi lebih dari itu ada pesan-pesan strategis yang dapat diaktualisasikan untuk kebahagiaan manusia. Baginya poligami memiliki nilai sosial ekonomis untuk mengangkat harkat dan martbat wanita. Untuk itulah Islam telah mensyariatkan poligami lengkap dengan adab yang harus dijunjung tinggi bagi setiap laki-laki yang akan berpoligami. Begitu juga surat An-Nisaa‟ ayat 129 :

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah dan terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS : AN- Nisa 4:129)

Ayat di atas menyatakan ketidakmungkinan manusia untuk bisa berlaku adil (secara immaterial/cinta) walaupun ia sangat ingin dan sudah berusaha semaksimal mungkin. Selanjutnya kalau dikaji berdasarkan munasabah ayat dengan melihat ayat-ayat sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa surat An- Nisaa‟ ayat 1 berbicara tentang penciptaan laki-laki dan perempuan dari sumber yang sama, karena itu memberikan gambaran kesetaraan kedua jenis kelamin. Lalu An-Nisaa‟ ayat 2 berisi desakan kepada muslim agar memberi harta anak yatim yang menjadi warisannya dan tidak mengganggu untuk kepentingan wali. Kemudian An-Nisaa‟ ayat 3 memberikan alternatif bagi laki-laki (wali) yang khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim tersebut supaya melakukan poligami dengan menikahi selain anak yatim perempuan yang dalam perwaliannya atau ibunya anak-anak yatim. Dengan demikian, penekanan ayat 1, 2 dan 3 surat An- Nisaa‟ di atas bukan pada poligami itu sendiri, tapi perintah berbuat adil kepada orang-orang yang memelihara anak-anak yatim.

Khusus mengenai sebab An-Nuzul An-Nisaa‟ ayat 3, Al-Sabuni mengemukakan bahwa Al-Bukhari meriwayatkan dari Urwah ibn Zubair sesungguhnya ia pernah bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah di atas. Lalu Aisyah berkata : Hai anak saudaraku, si yatim ini berada di bawah perwaliannya dan hartanya tercampur menjadi satu. Wali itu tertarik pada harta dan kecantikan wajah si yatim, lalu hendak mengawininya. Akan tetapi, cara ini tidak adil mengenai pemberian mahar untuk si yatim, ia tidak memberinya seperti yang diberikan kepada wanita lain. Maka berbuat demikian dilarang, lain halnya kalau ia bisa adil. Padahal mereka terbiasa memberi mahar tinggi. Begitulah lalu mereka disuruh mengawini perempuan yang cocok dengan mereka selain anak yatim itu.

Pendapat senada dikemukakan Al-Jasshas yang menurutnya ayat 3 surat An-Nisa di atas berkenaan dengan anak yatim yang dinikahi walinya. Bahkan menurut Al-Jasshas, larangan menikahi anak yatim ini begitu kuat. Hal ini terlihat dengan dimasukkannya materi ini pada bab At-Tazwij Al-shighar penikahan anak dibawah umur.

Aisyah memahami surat An-Nisa ayat 3 itu bahwa jika para pemelihara perempuan yatim khawatir dengan mengawini mereka tidak mampu berlaku adil, sebaiknya mengawini perempuan lain. Oleh sebab itu, ayat yang membolehkan poligami sebenarnya bukanlah menunjuk pada sifat dan makna yang berlaku umum, tapi mengandung suatu maksud, yaitu menegakkan keadilan terhadap anak yatim.17 Sayyid Qutbh dalam tafsir Fi Zhilalil Qur‟an mengatakan adil yang terdapat dalam ayat ini adalah berkaitan dengan berlaku adil dalam perasaan dan kecenderungan, lain halnya dengan keadilan pada ayat ketiga surat An-Nisaa‟.

Karena itu, dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, meskipun menggunakan dasar yang berbeda para ulama konvensional mengakui bahwa poligami boleh hukumnya, bukan dianjurkan (sunnah), apalagi wajib (amar/perintah) seperti diasumsikan sebagian orang. Demikian juga dari penjelasan tersebut di atas tidak ada indikasi menyebutkan poligami sebagai asas perkawinan dalam Islam, apalagi menyebut poligami sebagai fitrah sebagaimana diklaim sebagian orang. Kesimpulan lain yang dapat dicatat adalah bahwa ada sejumlah Nash yang berhubungan dengan poligami yang dicatat para ulama mazhab, yakni:

  • An-Nisa (4): 3,
  • An-Nisa (4): 129,
  • Al-Ahzab (33): 50,
  • Al-Mu‟minun (23): 5-6,
  • Ancaman bagi suami yang tidak adil kepada isteri-isterinya, dan
  • Kasus laki-laki yang masuk Islam dan disuruh Nabi untuk mempertahankan isterinya maksimal empat. Dengan ungkapan lain, sejumlah Nash inilah yang membahas tentang poligami. Sebagai tambahan, semua ulama tersebut di atas mencatat An-Nisa (4):3 untuk mendukung kebolehan poligami maksimal empat.