Apa Hubungan Kepribadian dan Kebudayaan?

image

Dalam ilmu Sosiologi dibahas tentang kepribadian dan kebudayaan yang memiliki hubungan satu sama lain.

Apa hubungan kepribadian dan kebudayaan?

Jika kebudayaan merupakan pola-pola yang mengatur tiap anggotanya yang merupakan sosok yang memiliki kepribadian masing-masing, ada dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, kepribadian manusia akan ditentukan oleh budayanya karena ia harus menyesuaikan diri dengan pola-pola pikir dan tingkah laku yang ada. Kedua, masyarakat dan kebudayaannya merupakan abstraksi daripada perilaku manusia. “Kepribadian masing-masing manusia mencerminkan kepribadian bangsa”, begitulah kita sering mendengarnya.

Menurut M. Newcomb, kepribadian merupakan organisasi sikap-sikap (predispositions) yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perikelakuan. Kepribadian menunjuk pada organisasi dari sikap-sikap seseorang untuk berbuat, mengetahui, berpikir, dan merasakan secara khususnya apabila dia berhubungan dengan orang lain atau menanggapi suatu keadaan. Oleh karena kepribadian tersebut merupakan abstraksi individu dan kelakuannya sebagaimana halnya dengan masyarakat dan kebudayaan, ketiga aspek tersebut mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi satu dan lainnya.

Sementara itu, menurut Roucek and Warren, kepribadian adalah organisasi faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologi yang mendasari perilaku individu-individu. Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap, dan lain-lain sifat yang khas dimiliki seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain.

Perkembangan kebudayaan sering berkaitan dengan karakter dan kepribadian individu. Istilah “karakter” juga menunjukkan bahwa tiap-tiap sesuatu memiliki perbedaan. Dalam istilah modern, tekanan pada istilah perbedaan (distinctiveness) atau individualitas (individuality) cenderung membuat kita menyamakan antara istilah “karakter” dengan “personalitas” (kepribadian). Memiliki karakter berarti pemiliki kepribadian.

Karakter diartikan sebagai totalitas nilai yang mengarahkan manusia dalam menjalani hidupnya. Jadi, karakter berkaitan dengan sistem nilai yang dimiliki oleh seseorang. Orang yang matang dan dewasa biasanya menunjukkan konsistensi dalam karakternya. Ini merupakan akibat keterlibatannya secara aktif dalam proses pembangunan karakter. Jadi, karakter dibentuk oleh pengalaman dan pergumulan hidup. Pada akhirnya, tatanan dan situasi kehidupanlah yang menentukan terbentuknya karakter masyarakat kita.

Dicanangkannya pendidikan karakter—oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2 Mei (Peringatan Hari Pendidikan Nasional) 2010—di tengah-tengah masyarakat tanpa karakter merupakan rencana yang mulia, tetapi pada kenyataannya akan berhadapan dengan realitas kekuatan besar yang menghambat sekaligus mengarahkan karakter bangsa ini. Kita bisa melihat kondisi bangsa ini dan bagaimana karakter masyarakat kita saat ini. Corak produksi kapitalisme pasar bebas (neoliberalisme) telah menyeruak dengan budaya dan gaya hidup yang ditawarkannya. Akan tetapi, karena elite borjuis Indonesia lagi-lagi tidak kuat dan kreatif, secara nyata selalu kalah dengan borjuis kapitalis (pemodal) asing yang kuat dan konsisten ide-ide liberalnya—sementara masyarakat semirenaissans Indonesia mendorong untuk berpikir setengah feodal dan setengah liberal.

Atau, pada kenyataannya, Indonesia telah terjerat pada sistem ekonomi liberal, tetapi karakter, semangat, dan budayanya masih feodal (kuno). Oleh karena itu, tidak aneh jika sebagian besar budaya masyarakatnya juga terbelah, di satu sisi liberal, di sisi lain feodal. Kita bisa menjumpai banyak pribadi yang dalam kesehariannya liberal (minum-minuman, melakukan seks bebas, dan lain-lain), tapi pada saat yang sama dia juga menjalani ibadah agama secara rutin—dan tak ada yang mengingatkan keterpecahbelahan pribadi atau filsafat itu, pribadi orang-orang Indonesia itu, terutama Jawa.

Cuek pada mana yang benar dan mana yang salah: semua, baik benar atau salah, dijalani. Manifestasi konkretnya dalam watak bisa kita lihat dari watak elite dan masyarakat kita, yaitu ketidakkonsistenan dalam bertindak, kompromis, dan suka konsensus bukan berdasarkan strategi dan taktik objektif untuk kepentingan rakyat demi kepentingannya sendiri dan golongan. Hal lainnya adalah kecenderungan untuk menyatu-nyatukan atau menyamakan dua hal atau lebih yang jelas-jelas berbeda. Juga, kecenderungan kejiwaan yang tak malas untuk membedakan mana-yang benar dan mana yang salah. Jadi, tak perlu mencari tahu mana yang benar dan mana yang salah, jika bisa dikompromikan, mengapa tidak? Mengapa tidak diambil dari perbedaan itu titik temunya saja, tak perlu untuk membeda-bedakannya. Ini cerminan masyarakat plin-plan, tidak konsisten, memukul rata, tak percaya pada kebenaran, tak punya prinsip. Di tingkatan ini, masyarakat Indonesia tak punya karakter!

Karakter itu dibentuk oleh pengetahuan sekaligus praktik keseharian berupa interaksi manusia dengan dunia nyata. Apa yang masuk dalam dirinya (melalui pemahamannya), entah itu informasi, kata-kata, konsep akan suatu hal, atau cara pandang yang diterimanya akan memengaruhi sikapnya. Termasuk juga internalisasi gaya hidup, gaya bicara, dan gaya bertingkah laku yang didapat di masyarakat. Hal itu akan membentuk karakternya. Yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana kita melihat nilai-nilai yang sedang diterima anak-anak dan generasi kita dalam kehidupan ini.

Kadang kita juga berbicara tentang kecerdasan apa yang paling dibutuhkan. Di tengah-tengah situasi masyarakat yang mengalami krisis material-ekonomi akibat kontradiksi hubungan kapitalismeneoliberalisme, tentu kita harus kian memaksimalkan strategi untuk membangun karakter pada anak-anak dan generasi kita karena kehidupan sekarang ini sangat rentan akan krisis nilai-nilai. Yang utama adalah nilai kemajuan, produktivitas, dan sosialitas yang berusaha dihilangkan oleh kapitalisme. Nilai-nilai produktivitas yang mendorong suatu masyarakat untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai-nilai solidaritas, watak ingin tahu, dan kritis seakan telah menghilang.