Apa hikmah dan tujuan dari melakukan ibadah qurban ?

Ibadah Qurban

Apa hikmah dan tujuan dari melakukan ibadah qurban ?

Syari’ah Qurban di dalam agama Islam merupakan suatu hal yang sarat dengan nilai-nilai, karena ibadah ini menunjukkan kebaikan-kebaikan pada pribadi yang melaksanakannya, di antaranya:

  1. Bukti Kesejatian Iman.
    Keimanan bukanlah suatu khayalanan dan angan-angan, namun iman adalah sebuah realita yang harus membumi dalam tataran prilaku. Karena keimanan terdiri dari tiga unsur, keyakinan dalam hati, di ucapkan dengan lisan dan di realisasikan dengan perbuatan. Tanpa ketiga dimensi ini Iman tidak akan pernah sempurna.

  2. Bukti kepasrahan diri kepada Allah SWT.
    Hal ini terbukti ketika Allah SWT mensyariatkan qurban pertama kali kepada Nabi Ibrahim as. sebagai mana Allah SWT beritakan dalam Surah Ash-Shoffat ayat 103:

    “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis”.

    Apa yang tersisa setelah itu? mereka telah pasrah, dengan melaksanakan perintah rabb mereka, Ismail telah tertelungkup di atas tanah, sedang ayahnya Nabi Ibrahim as sudah siap dengan genggaman pisaunya tanpa ada keraguan sama sekali di dalam hatinya tidak ada yang tersisa kecuali penyembelihan! Apakah penyembelihan tersebut yang Allah inginkan? Tidak! sama sekali tidak! yang Allah inginkan adalah kepasrahan yang haqiqi dari mereka kepada khaliknya.

Referensi: http://insanmadanijambi.org/qurban-dalam-sejarah-nabi/

“Ketika engkau sampai di tempat penyembelihan dan melakukan kurban, apakah engkau telah mengurbankan segala hawa nafsumu?” “Jika Tidak.” “Berarti engkau tidak berkurban.”

Saat menyembelih kurban sebagai simbolisasi jihad akbar, maka sembelihlah segala hawa nafsumu. Niatkan untuk menyembelih “nafsu kebinatangan” yang ada dalam diri. Sifat egoisme, dehumanisme, sifat kerakusan, keserakahan, ketamakan dan sifat-sifat buruk lainnya yang merupakan kumpulan sifat-sifat kebinatangan yang bersemayam di dalam diri.

Menyembelih hawa nafsu berarti kembali berpihak kepada hati nurani yang diterangi cahaya keilahian. Sebab hawa nafsu merupakan pangkal lahirnya segala bentuk kesesatan dan kedhaliman.

Artinya: dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. Yusuf [12]: 53).

Dengan menundukkan hawa nafsu berarti menyadarkan kita akan keberpihakan kepada hati yang diterangi cahaya Ilahi. Dengan kesadaran demikian, orientasi hidup manusia akan selalu berpihak kepada kebenaran, keadilan dan kemanusiaan yang didasarkan pada semangat keikhlasan.

Menurut para sufi, bahwa dalam diri manusia ada tiga kekuatan hawa nafsu.

  • Pertama, kekuatan kebinatangan (quwwatun bahimiyyah) . Kekuatan ini mendorong manusia untuk mencari kepuasan lahiriyah dan kenikmatan sensual yang hedonis. Dan yang menjadi orentasi dalam hidupnya adalah hal-hal yang bersifat profan dan duniawi.

  • Kedua, kekuatan binatang buas (quwwatun sabi’iyyah ). Kekuatan ini memproduksi kesenangan-kesenangan untuk menyerang orang lain, mendengki, menghujat, memaki, dan menghancurkannya.

  • Ketiga, kekuatan setan (quwwatun syaithaniyyah). Kekuatan ini mendorong manusia untuk membenarkan segala kejahatan yang ia lakukan dengan mengukuhkan berbagai logika dan dasar hukum.

Di samping tiga kekuatan yang menopang hawa nafsu tersebut, Tuhan juga menganugerahkan dalam diri manusia kekuatan Tuhan (quwwatun rabbaniyah). Kekuatan ini berasal dari percikan cahaya Tuhan (Nur Ilahi) yang terletak pada akal sehat. Jika kekuatan Tuhan ini mampu menakhlukkan tiga kekuatan hawa nafsu di atas, maka akan membentuk citra kemanusiaan yang sempurna. Sebaliknya, jika kekuatan hawa nafsu yang menjadi pemenang, maka yang akan terbentuk adalah individu yang secara ruhaniah tak lebih seperti bintang buas.

Ketiga kekuatan tersebut harus diperangi karena menyebabkan manusia kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya. Jika manusia kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya, maka hati, mata dan telinga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Artinya: dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf [17]: 179)

Dengan menyembelih kurban, sesungguhnya kita disadarkan kembali untuk selalu membangkitkan Quwwatu Rabbaniyyah. Artinya bahwa yang harus disembelih dan dikurbankan hakikatnya tidak hanya hewan ternak. Kambing, sapi, onta dan binatang ternak lainnya hanyalah simbol dari obyek penyembelihan kurban. Dengan merobohkan hawa nafsu, maka akan tampak keindahan Allah, dan makin besar kerinduan kepada-Nya, maka akan semakin dekat dia di sisi-Nya.

Kurban adalah simbol totalisan penyerahan diri, sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang diiringi dengan sikap pasrah. Dengan melakukan ibadah haji mestinya memberikan kesadaran bahwa keimanan sejati dibuktikan dengan kesediaan dalam melakukan pengorbanan dengan menyembelih “nafsu kebinatangan”.