Apa Definisi norma Jus Cogens berdasarkan Konvensi Wina?

Definisi norma Jus Cogens berdasarkan Konvensi Wina

Definisi tentang jus cogens akhirnya pertama kali diwujudkan dalam sebuah instrumen formal melalui Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional

Apa Definisi norma Jus Cogens berdasarkan Konvensi Wina?

Proses identifikasi konsep jus cogens dalam hukum internasional hingga memiliki eksistensi sampai saat ini merupakan hasil dari suatu proses panjang dari pemikiran dan perdebatan di kalangan para sarjana dan politisi yang memiliki kompetensi dalam kurun waktu lebih dari 40 tahun. Negara-negara tampaknya mengakui keberadaan norma jus cogens dalam hukum internasional, meskipun cara untuk mengidentifikasinya belum sepenuhnya jelas. Terbukti bahwa pada akhirnya, pasal-pasal di dalam draf tersebut diadopsi oleh mayoritas negara. Dari total 87 negara yang memilih, 8 negara menolak dan 12 negara abstain.

Definisi tentang jus cogens akhirnya pertama kali diwujudkan dalam sebuah instrumen formal melalui Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, yang telah ditetapkan juga di dalam Konvensi Wina tahun 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional antara negara dan organisasi internasional dan antar organisasi internasional. Definisi jus cogens dalam konvensi tersebut berbunyi sebagai berikut :

A peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character.

Di dalam pasal tersebut, Konvensi Wina mengartikan jus cogens sebagai norma dasar hukum internasional yang diterima dan diakui oleh negara-negara sebagai komunitas internasional secara keseluruhan, yang tidak boleh dilanggar dan hanya dapat dimodifikasi oleh suatu norma dasar hukum internasional yang mempunyai sifat yang sama. Secara umum, Pasal 53 Konvensi Wina 1969 di atas memformulasikan definisi jus cogens , sebagai berikut :

1. The norma must be a norm of general interntional law

Hal tersebut berarti bahwa normanya harus merupakan norma yang berlaku secara umum terhadap semua system hukum yang ada. Hendaknya mengikat mayoritas, atau semua negara. Berlaku secara umum seperti halnya dalam hukum kebiasaan internasional, tetapi lebih universal. Dalam arti bila hukum kebiasaan internasional masih memperbolehkan suatu negara untuk menolak suatu aturan ( persistent objector ), norma jus cogens memaksa negara penolak tersebut untuk taat, karena normanya terlalu fundamental untuk dapat dihindari. Tentu hal tersebut berbeda dengan regio nal international law, yang hanya mengikat para pihak dalam regional tertentu.

2 . The norm must be “accepted and recognized by the international community of States as a whole”

Normanya harus diterima dan diakui oleh komunitas internasional yaitu negara, secara eksplisit. Harus dipahami bahwa keberadaan jus cogens ini bukan untuk memuaskan kepentingan negara-negara tertentu saja melainkan kepentingan dari komunitas internasional secara keseluruhan. Kata-kata “ as a whole ” digunakan untuk menghindari situasi dimana satu negara boleh menggunakan hak veto sebuah norma menjadi jus cogens . Kalaupun ada negara yang menggunakan hak veto, hal tersebut tidak akan mempengaruhi pengakuan dan sifat norma tersebut sebagai jus cogens . Contohnya adalah Majelis Umum PBB yang mengeluarkan suatu resolusi yang merupakan suatu pengakuan eksplisit dari pencerminan pendapat umum masyarakat internasional secara keseluruhan. Praktek negara berdasarkan local custom dalam hubungan dengan jus cogens , derajatnya juga dapat naik apabila diterima oleh masyarakat internasional.

Secara umum jus cogens dapat ditemui di dalam sumber-sumber hukum internasional sebagai berikut :

  • Perjanjian internasional Suatu perjanjian internasional tidak mengikat suatu negara tanpa persetujuannya. Namun ada satu pengecualian terhadap prinsip ini yaitu terhadap perjanjian internasional yang memiliki obyek dan tujuan ”lebih unggul”. Bila mengandung sebuah hukum kebiasaan internasional, maka negara-negara yang bukan pihak juga terikat pada norma tersebut berdasarkan hukum kebiasaan internasional. Keadaan tersebut juga berlaku dalam hal perjanjian internasional yang mengandung norma jus cogens .
  • Hukum kebiasaan internasional, dimana jus cogens adalah jenis atau karakter dari peraturan hukum kebiasaan internasional tertentu, bukan sumber hukum tersendiri.
  • Prinsip-prinsip hukum internasional

3. The norm must be one from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law of the same character

Normanya tidak dapat diturunkan dalam keadaan apapun dan hanya dapat dimodifikasi oleh norma lain dalam hukum internasional yang memiliki karakter sama. Contoh klasifikasi norma yang tidak dapat diturunkan atau non-derogable, adalah sebagai berikut :

  • Norma tersebut memiliki arti fundamental terhadap tindakan komunitas internasional yaitu negara secara keseluruhan, yang tidak dapat dikurangi sama sekali. Contoh : good faith priciple .
  • Norma tersebut penting untuk stabilitas sistem yuridis internasional. Contoh : pacta sunt servanda
  • Norma yang memiliki objek dan tujuan kemanusiaan termasuk prinsip-prinsip tertentu yang berkaitan dengan HAM dan hukum humaniter internasional.
  • Norma yang digunakan untuk kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan atau untuk tatanan publik internasional. Contohnya adalah target yang ingin dicapai oleh PBB, yang terdapat di preambul, dan juga tujuan serta prinsip-prinsip PBB, yaitu hak menentukan nasib sendiri, kesetaraan kedaulatan negaranegara, penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai, larangan penggunaan kekuatan bersenjata;
  • Norma yang mengikat semua negara meskipun tanpa persetujuan negara-negara sebagai norma yang diciptakan oleh komunitas internasional. Contoh : kebebasan di laut lepas, prinsip common heritage of mandkind , dan prinsip perlindungan lingkungan.

Aspek lain yang dimiliki jus cogens terkait dengan definisi di dalam Konvensi Wina 1969 tercantum di dalam artikel 69, yang berbunyi :” If a new peremptory norm of general international law emerges, any existing treaty which is in conflict with that norm becomes void and terminates .” Artinya bawa bila ada norma peremptory baru muncul dalam hukum internasional, maka perjanjianperjanjian yang telah ada yang bertentangan dengan norma tersebut menjadi tidak sah atau batal.

Perihal hal diatas, ILC menyimpulkan bahwa ada beberapa aturan dalam hukum internasional yang “lebih unggul” dibandingkan lainnya, sehingga mereka miliki “status istimewa” di dalam sistem hukum internasional, dan dideskripsikan dengan terminology “fundamental, “pertimbangan dasar”, dan prinsip hukum internasional yang “ intransgressible ”. Norma jus cogens ini berada di antara konsep hukum alam dan teori positivism. Sehingga, sebuah norma bisa saja berkembang dan muncul melalui hukum kebiasaan internasional yang baru, yang mimiliki sifat peremptory. Norma tersebut juga bisa saja merupakan konsep yang sama sekali baru. Tentu dapat menjadi jus cogens bila diterima dan diakui oleh komunitas intenasional secara keseluruhan.

Kedua pasal diatas, yaitu Pasal 53 dan 69 sebenarnya menimbulkan sebuah persoalan terkait dengan hierarki hukum. Dalam sistem hukum nasional, biasanya terdapat hierarki yang menentukan kedudukan dan kekuatan suatu norma dalam hubungannya dengan norma lainnya yang terdapat di dalam sistem hukum tersebut. Namun, persoalan hierarki dari norma-norma yang berlaku dalam sistem hukum internasional tidak diatur secara jelas. Adapun Pasal 38 ayat (1) Statuta ICJ, yang merupakan sumber hukum internasional, tidak menjelaskan persoalan hierarki dari norma-norma yang berasal dari sumber hukum tersebut, padahal dalam kenyataannya banyak persoalan yang muncul berkaitan dengan hierarki. Salah satu persoalan dalam hukum internasional adalah mengenai norma yang memiliki kriteria sebagai jus cogens dan karena sifat maupun substansinya memiliki hierarki terhadap norma hukum internasional lainnya. Oleh karena jus cogens memiliki posisi yang lebih tinggi dibanding dengan hukum perjanjian internasional dan bahkan hukum kebiasaan internasional yang ”biasa”, tentu maka hal tersebut berimplikasi pada persoalan hierarki di dalam sistem hukum internasional.

Menyangkut hal tersebut, Akehurst memberikan gambaran bahwa dalam hal terjadinya pertentangan antara suatu ketentuan jus cogens dan suatu ketentuan jus dispositivum, ketentuan jus cogens harus diutamakan, tanpa mempersoalkan sumber-sumber dari ketentuan yang bertentangan tersebut, tanpa mempersoalkan apakah ketentuan jus dispositivum itu terbentuk sebelum atau sesudah ketentuan jus cogens , dan tanpa mempersoalkan apakah ketentuan jus dispositivum itu kurang spesifik dari ketentuan jus cogens . Dengan perkataan lain, hierarki atas dasar isi substantif mengatasi hierarki atas dasar sumber tertentu dari mana timbulnya suatu ketentuan. Jus cogens juga berasal dari norma fundamental yang diakui oleh komunitas internasional secara keseluruhan. Sehingga tentu saja, norma yang bertentangan dengan jus cogens menjadi tidak sah atau batal atau berakhir, oleh karena norma tersebut bertentangan dengan norma fundamental, bahkan terlalu fundamental untuk dapat dihindari oleh negara-negara. Selain itu, Konvensi Wina 1969 di atas hendaknya jangan dilihat sebagai sumber utama dari konsep jus cogens .

Hal ini berarti bahwa norma jus cogens memiliki sifat seperti konstitusi internasional karena dua alasan, pertama karena jus cogens membatasai kemampuan negara untuk menciptakan atau mengubah ketentuan hukum internasional. Kedua, jus cogens mencegah adanya pelanggaran terhadap norma fundamental yang mungkin dilakukan oleh negara. Oleh karena kepentingan tersebut sering melibatkan tatanan umum internasional, dapat dikatakan bahwa setiap negara memiliki kepentingan di dalamnya. Konsep ini pun akhirnya didasarkan pada penerimaan dari nilai-nilai fundamental di dalam system tatanan publik atau kebijakan publik.

Konvensi tersebut secara de jure menunjukan bahwa norma jus cogens telah mempunyai kedudukan hukum yang jelas di dalam hukum internasional. Pentingnya identifikasi konsep jus cogens terhadap tatanan hukum internasional selanjutnya dapat dilihat di dalam hukum perjanjian internasional, khususnya dalam hukum tentang tanggung jawab negara. Dengan mengandalkan ide-ide yang erat kaitannya dengan jus cogens , Komisi Hukum Internasional atau International Law Commission (ILC) mengusulkan gagasan tentang kejahatan internasional sebagai akibat pelanggaran terhadap kewajiban internasional oleh suatu negara, ” penting untuk melindungi kepentingan dasar dari masyarakat internasional.”

Terkait dengan hal ini, ILC juga menyatakan bahwa :

“…. That no state shall recognise as lawful a ‘serious breach’ of a peremptory norm. Reservations that offended a rule of jus cogens may well be unlawful, while it has been suggested that state conduct violating a rule of jus cogens may not attract a claim of state immunity .”

Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa tidak ada pembenaran sama sekali terhadap pelanggaran norma jus cogens . Norma jus cogens juga tidak dapat direservasi dalam keadaan apapun dan negara-negara yang melanggar ketentuan tersebut tidak dapat berlindung dibalik prinsip kekebalan Negara. Walaupun pengakuan oleh masyarakat internasional terhadap jus cogens secara de jure telah jelas, namun secara de facto , hal tersebut tetap tidak dapat menghilangkan sejumlah kontroversi menyangkut bagaimana menentukan, merumuskan atau mengidentifikasi suatu norma sehingga dapat dianggap memiliki sifat jus cogens .

Adapun fungsi dari jus cogens dalam wilayah hukum perjanjian internasional adalah :

to prevent violations of the substantive provisions of norms having a peremptory character through the legal weapon of invalidity. In other words, as all other rules of law, a jus cogens norm contains first of all a substantive provision intended to regulate a particular conduct of the subjects of the legal system within which it is purported to function .”

Artinya bahwa jus cogens ini berfungsi untuk mencegah adanya pelanggaran terhadap ketentuan substantif dari norma-norma yang memiliki karakter mendasar, melalui ketidakabsahan hukum. Dengan kata lain, seperti halnya dengan aturan hukum lainnya, norma jus cogens mengandung ketentuan substantive yang dimaksudkan untuk mengatur perilaku tertentu dari subyek dalam system hukum sesuai dengan fungsinya. Itulah sebabnya norma jus cogens bersifat memaksa, dan bukan deklaratif. Tidak seperti dalam hukum kebiasaan internasional yang mengenal istiah “ persisten objector ”, jus cogens bersifat memaksa terhadap setiap negara, tanpa perlu ada persetujuan dari negara tersebut. Kata-kata “ as a whole ” digunakan untuk menghindari situasi dimana satu negara boleh menggunakan hak veto sebuah norma menjadi jus cogens . Kalaupun ada negara yang menolak, hal tersebut tidak akan mempengaruhi pengakuan dan sifat norma tersebut sebagai jus cogens .