Apa Dasar Hukum Pemerintah Melakukan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara?

Beberapa BUMN telah dilakukan privatisasi oelh pemerintah, dimana hal itu sangat disayangkan mengingat BUMN berada pada industri strategis nasional. Lalu dasar hukum apa yang digunakan oleh pemerintah ketika melakukan privatisasi BUMN ?

Pengaturan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di indonesia diatur oleh beberapa aturan hukum berikut.

UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar demokrasi ekonomi. Hal ini berarti produksi oleh rakyat, untuk rakyat dan diawasi oleh rakyat. Dengan demikian, yang menjadi fokus dalam ketentuan pasal ini adalah kemakmuran masyarakat, bukan perorangan. Penguasaan yang dilakukan oleh negara tidak perlu secara fisik, tetapi dapat dilakukan dengan cara pembuatan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang semuanya bertujuan untuk menjamin sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dirumuskan oleh Mohammad Hatta, yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi dari Belanda. Dalam hal ini Hatta menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”dikuasai oleh negara” dalam ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tersebut tidak berarti negara sendiri yang menjadi pengusaha, usahawan, atau ”ondernemer”. Lebih tepat apabila dikatakan, kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula ”penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal.[1]

Pengertian ”dikuasai oleh negara” yang terdapat dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi , menyatakan bahwa penguasaan oleh Negara pada garis besarnya berarti kewenangan untuk:

  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, penyediaan, dan pemeliharaannya;

  2. Menentukan dan mengatur hak;

  3. Menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum berkenaan dengan telekomunikasi.

Berkaitan dengan istilah ”dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945 tersebut, Mantan Ketua Dewan Ekonomi Nasional Emil Salim memberikan pengertian, yaitu:[2]

”Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan yang merupakan pokok bagi kemakmuran rakyat. Dalam melaksanakan ”hak menguasai” ini, perlu dijaga supaya sistem yang berkembang tidak menjurus ke arah etatisme. Oleh karena itu, ”hak menguasai oleh negara” harus dilihat dalam konteks pelaksanaan hak dan kewajiban negara sebagai (1) pemilik; (2) pengatur; (3) perencana; (4) pelaksana; dan (5) pengawas. Ramuan kelima pokok ini dengan bobot yang berlainan dapat menempatkan negara dalam kedudukannya untuk menguasai lingkungan alam; sehingga ”hak menguasai” bisa dilakukan (1) dengan memiliki sumber daya alam; (2) tanpa memiliki sumber daya alam, namun mewujudkan hak menguasai itu melalui jalur pengaturan, perencanaan, dan pengawasan. Dalam sistem ekonomi Pancasila, negara tidak perlu memiliki semua Sumber Daya Alam, tetapi tetap bisa menguasainya melalui jalur pengaturan, perencanaan, dan pengawasan.”

Dengan demikian maka makna mengenai ”dikuasai oleh negara” berarti negara sebagai pemilik, negara sebagai regulator yang membuat peraturan- peraturan untuk mengatur, merencanakan, dan mengawasi. Dalam kedudukannya sebagai pemilik, negara berarti sebagai bezitter dan bukan sebagai eigenaar. Dengan kata lain, pemilik berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat adalah rakyat sendiri, dan negara yang dalam hal ini BUMN merupakan pelaksana dari hak negara untuk menguasai bukan untuk memiliki sumber ekonomi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.[3]

Dengan demikian, maka Privatisasi berdasarkan pengertian dikuasai oleh negara dapat dinyatakan menjadi sebuah regulator. Oleh sebab itu, Privatisasi harus sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sehingga harus juga disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, melindungi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi. Hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi kerakyatan, di mana ekonomi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara umum. Berkaitan dengan asas kekeluargaan, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof. Sri Edi Swasono menyebutkan bahwa perekonomian secara keseluruhan harus diatur dan tidak dibiarkan tumbuh sendiri.[4] Dengan demikian, Privatisasi harus diatur, dianalisa, dikaji, direncanakan, dan dilaksanakn dengan baik sehingga tidak merugikan rakyat.

Berkaitan dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Jimly Asshiddiqie, penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tersebut tidak sepenuhnya dikuasai. Berikut ini merupakan penjelasan pernyataan tersebut:[5]

  1. Sumber-sumber kekayaan yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh pemerintah;

  2. Sumber-sumber kekayaan yang penting bagi Negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh pemerintah;

  3. Sumber-sumber kekayaan yang tidak penting bagi Negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak tidak perlu dikuasai oleh pemerintah;

  4. Sumber-sumber kekayaan yang tidak penting bagi Negara dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak tidak perlu dikuasai oleh pemerintah.

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA

Dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut Undang-undang Badan Usaha Milik Negara) diatur ketentuan mengenai Privatisasi dalam tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam ketentuan Pasal 1 butir 12 Undang-undang Badan Usaha Milik Negara disebutkan bahwa Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

Dengan kata lain, Privatisasi ditujukan untuk peningkatan kinerja perusahaan agar mampu memberikan pelayanan dan manfaat bagi negara dan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan adanya penjualan sejumlah saham kepada masyarakat, dengan maksud agar dapat melakukan pengembangan usaha.

Menurut I Putu Gede Ary Suta, Mantan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) disebutkan bahwa alasan dari Privatisasi antara lain meningkatkan efisiensi dan efektivitas BUMN dalam rangka menghadapi persaingan di pasar global dan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat guna turut serta dalam pemilikan saham BUMN.[6] Dengan kata lain, I Putu Gede Ary Suta menghendaki apabila BUMN tersebut diprivatisasi maka diharapkan masyarakat dapat berperan serta dalam kepemilikan saham di suatu BUMN.

Menurut ketentuan Pasal 74 ayat (1) Undang-undang Badan Usaha Milik Negara, disebutkan bahwa maksud dari Privatisasi, adalah:

  • a. Memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero;
  • b. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan;
  • c. Menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat;
  • d. Menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif;
  • e. Menciptakan Persero yang berdaya saing dan berorientasi global;
  • f. Menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.

Selain itu, Pasal 74 ayat (2) Undang-undang Badan Usaha Milik Negara menegaskan bahwa Privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero. Dengan demikian berdasarkan penjelasan Pasal 74 Undang-undang Badan Usaha Milik Negara tersebut, maksud dan tujuan Privatisasi pada dasarnya adalah untuk meningkatkan peran Persero dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum dengan memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero, serta untuk menunjang stabilitas perekonomian nasional.

Meskipun Privatisasi bertujuan untuk melakukan efisiensi, sedapat mungkin tidak sampai menimbulkan keresahan bagi karyawan. Oleh karena itu dalam melaksanakan Privatisasi sejauh mungkin perlu diupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK hanya dapat dilakukan setelah jangka waktu tertentu setelah pelaksanaan Privatisasi, kecuali karyawan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan hukum. Selanjutnya apabila PHK terjadi pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan itu, dalam upaya agar karyawan dan serikat pekerja maupun masyarakat dapat memahami manfaat Privatisasi pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang manfaat Privatisasi secara terarah dan konsisten.

Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran. Dalam hal ini, Undang-undang Badan Usaha Milik Negara menghendaki pelaksanaan Privatisasi yang dilakukan secara transparan, baik dalam proses penyiapannya maupun dalam pelaksanaannya. Proses Privatisasi dilaksanakan dengan berpedoman pada prosedur Privatisasi yang telah ditetapkan tanpa ada intervensi dari pihak lain di luar mekanisme korporasi serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Proses Privatisasi juga dilakukan dengan berkonsultasi secara intensif dengan pihak-pihak terkait sehingga proses dan pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Menurut Pasal 76 ayat (1) Undang-undang Badan Usaha Milik Negara dinyatakan bahwa Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria:

  • a. Industri/sektor usahanya kompetitif, dalam hal ini industri/sektor usaha tersebut dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN;

  • b. Industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah yakni industri/sector usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya.

Selain itu pada Pasal 76 ayat (2) disebutkan bahwa sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan Undang-undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi.

Meninjau pernyataaan tersebut, tentu Undang-undang membuat batasan- batasan jenis perusahaan yang tidak dapat diprivatisasi. Menurut ketentuan Pasal 77, perusahaan yang dalam hal ini adalah Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:

  • a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;

  • b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;

  • c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;

  • d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.

Agar suatu Privatisasi dapat berjalan dengan baik dan tepat tujuan, tentu harus diatur ketentuan mengenai bentuk-bentuk Privatisasi yang dapat dilakukan oleh BUMN. Bentuk-bentuk Privatisasi tersebut sesungguhnya beraneka ragam, sehingga Undang-undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberikan batasan bentuk Privatisasi yang dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang hendak melakukan Privatisasi. Dalam Pasal 78 Undang-undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Privatisasi dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

  • a. Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal, hal ini berarti Privatisasi dilakukan dengan penjualan saham melalui penawaran umum (Initial Public Offering atau go public), penerbitan obligasi konversi, dan efek lain yang bersifat ekuitas. Termasuk dalam pengertian ini adalah penjualan saham kepada mitra strategis (direct placement) bagi BUMN yang telah terdaftar di bursa;

  • b. Penjualan saham langsung kepada investor, hal ini berarti suatu Privatisasi dilakukan dengan penjualan saham kepada mitra strategis (direct placement) atau kepada investor lainnya termasuk financial investor. Cara ini khusus berlaku bagi penjualan saham BUMN yang belum terdaftar di bursa. Hal ini berarti saham milik suatu BUMN tersebut dijual kepada pihak tertentu yang hendak menjadi mitra usaha dari BUMN tersebut sehingga mitra usaha tersebut kemudian bertindak sebagai pemilik. Dengan kata lain, mitra usaha dapat juga bertindak sebagai pemegang saham mayoritas yang kemudian juga sebagai pengendali perusahaan;

  • c. Penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan merupakan penjualan sebagian besar atau seluruh saham suatu perusahaan langsung kepada manajemen dan/atau karyawan perusahaan yang bersangkutan. Dengan kata lain, kepemilikan perusahaan beralih pada pihak yang terkait dengan perusahaan.

Dalam Pasal 79 disebutkan bahwa untuk membahas dan memutuskan kebijakan tentang Privatisasi sehubungan dengan kebijakan lintas sektoral, pemerintah membentuk sebuah komite Privatisasi sebagai wadah koordinasi. Komite Privatisasi dipimpin oleh Menteri Koordinator yang membidangi perekonomian dengan anggota, yaitu Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Teknis tempat Persero melakukan kegiatan usaha. Dalam hal ini Menteri Teknis bertindak sebagai regulator di sektor tempat BUMN melakukan kegiatan usaha, menjadi anggota komite Privatisasi dalam Privatisasi BUMN di bidangnya. Dengan kata lain, Menteri Teknis ini menjadi pengendali dalam proses Privatisasi BUMN dalam rangka perannya sebagai Komite Privatisasi. Keanggotaan Komite Privatisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Komite Privatisasi bertugas untuk:

  • a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan umum dan persyaratan pelaksanaan Privatisasi;

  • b. Menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperlancar proses Privatisasi;

  • c. Membahas dan memberikan jalan keluar atas permasalahan strategis yang timbul dalam proses Privatisasi, termasuk yang berhubungan dengan kebijakan sektoral pemerintah.

Komite Privatisasi dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat dapat mengundang, meminta masukan, dan/atau bantuan instansi pemerintah atau pihak lain yang dipandang perlu. Ketua komite Privatisasi secara berkala melaporkan perkembangan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden.

Dalam melaksanakan Privatisasi, Menteri bertugas untuk:

  • Menyusun program tahunan Privatisasi;

  • Mengajukan program tahunan Privatisasi kepada komite Privatisasi untuk memperoleh arahan;

  • Melaksanakan Privatisasi.

Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, Menteri mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

  • Menetapkan BUMN yang akan diprivatisasi;

  • Menetapkan metode Privatisasi yang akan digunakan;

  • Menetapkan jenis serta rentangan jumlah saham yang akan dilepas;

  • Menyiapkan perkiraan nilai yang dapat diperoleh dari program Privatisasi suatu BUMN.

Dengan kata lain, Menteri harus menyusun suatu perencanaan dan juga memperkirakan kemungkinan yang akan terjadi serta tujuan yang hendak dicapai dari suatu proses Privatisasi BUMN. Artinya, langkah-langkah tersebut akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan Privatisasi suatu BUMN.

Tata Cara Privatisasi yang diatur dalam Undang-undang Badan Usaha Milik Negara adalah sebagai berikut:

  1. Privatisasi harus didahului dengan tindakan seleksi atas perusahaan- perusahaan dan mendasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Dalam hal ini, Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Persero. Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mengenai :

    a. Penentuan BUMN yang layak untuk dimasukkan dalam program Privatisasi;

    b. Penyampaian program tahunan Privatisasi kepada komite Privatisasi;

    c. Konsultasi dengan DPR dan Departemen/Lembaga Non Departemen terkait;

    d. Pelaksanaan Privatisasi.

  2. Terhadap perusahaan yang telah diseleksi dan memenuhi kriteria yang telah ditentukan, setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Keuangan, selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat serta dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Setiap orang dan/atau badan hukum yang mempunyai potensi benturan kepentingan dilarang terlibat dalam proses Privatisasi. Yang termasuk dalam pengertian orang dan/atau badan hukum yang mempunyai benturan kepentingan adalah meliputi pihak-pihak yang mempunyai hubungan afiliasi sebagai berikut :

  • a. Hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horisontal maupun vertikal;

  • b. Hubungan antara pihak dengan karyawan, Direktur, atau Komisaris dari pihak tersebut;

  • c. Hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih anggota Direksi atau Komisaris yang sama;

  • d. Hubungan antara perusahaan dan pihak, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut;

  • e. Hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh pihak yang sama; atau

  • f. Hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama.

Pihak-pihak yang terkait dalam program dan proses Privatisasi diwajibkan menjaga kerahasiaan atas informasi yang diperoleh sepanjang informasi tersebut belum terbuka. Informasi yang dimaksud ini berkaitan dengan fakta material dan relevan mengenai peristiwa kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga dan/atau keputusan pemodal, calon pemodal atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut. Atas informasi atau fakta dimaksud selama belum ditetapkan sebagai informasi atau fakta yang terbuka atau selama belum diumumkan oleh Menteri semua pihak yang terlibat wajib untuk merahasiakan informasi tersebut. Pelanggaran dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan pidana secara umum. Namun, apabila pelanggaran terjadi pada Privatisasi BUMN yang telah terdaftar di bursa, dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Hasil dari Privatisasi BUMN dialokasikan kepada berbagai bagian yang diatur menurut Undang-undang Badan Usaha Milik Negara. Hasil Privatisasi dengan cara penjualan saham milik negara disetor langsung ke Kas Negara. Hasil Privatisasi yang dimaksud adalah hasil divestasi saham milik negara. Sedangkan bagi penjualan saham baru, hasilnya disetorkan ke kas perusahaan. Bagi hasil Privatisasi anak perusahaan BUMN, hasil Privatisasinya dapat ditetapkan sebagai deviden interim. Hasil Privatisasi tersebut haruslah hasil bersih setelah dikurangi biaya-biaya pelaksanaan Privatisasi. Biaya pelaksanaan Privatisasi harus memperhatikan prinsip kewajaran, transparansi, dan akuntabilitas.

Dengan demikian, secara umum dalam Undang-undang Badan Usaha Milik Negara dijelaskan bahwa di dalam sistem perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen dan hasil Privatisasi.

Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, manufaktur, pertambangan, keuangan, pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta konstruksi. Dalam kenyataannya, walaupun BUMN telah mencapai tujuan awal sebagai agen pembangunan dan pendorong terciptanya korporasi, namun tujuan tersebut dicapai dengan biaya yang relatif tinggi. Kinerja perusahaan dinilai belum memadai, seperti tampak pada rendahnya laba yang diperoleh dibandingkan dengan modal yang ditanamkan. Dikarenakan berbagai kendala, BUMN belum sepenuhnya dapat menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi bagi masyarakat dengan harga yang terjangkau serta belum mampu berkompetisi dalam persaingan bisnis secara global. Selain itu, karena keterbatasan sumber daya, fungsi BUMN baik sebagai pelopor/perintis maupun sebagai penyeimbang kekuatan swasta besar, juga belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.

Di lain pihak, perkembangan ekonomi dunia berlangsung sangat dinamis, terutama berkaitan dengan liberalisasi dan globalisasi perdagangan yang telah disepakati oleh dunia internasional seperti kesepakatan mengenai World Trade Organization (WTO), ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on Service, dan kerjasama ekonomi regional Asia Pacific (Asia Pacific Economic Cooperation/APEC).

Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Peningkatan efisiensi dan produktifitas BUMN harus dilakukan melalui langkahlangkah restrukturisasi dan Privatisasi. Restrukturisasi sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi perusahaan yang meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen, dan keuangan.

Privatisasi bukan semata-mata dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk didalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik.

Dengan dilakukannya Privatisasi BUMN, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau hilang karena sebagaimana dinyatakan di atas, negara tetap menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral dimana BUMN yang diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya. Pentingnya penataan yang berkelanjutan atas pelaksanaan peran BUMN dalam sistem perekonomian nasional, terutama upaya peningkatan kinerja dan nilai (value) perusahaan, telah diamanatkan pula oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Ketetapan Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis - Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 - 2004. Tap MPR tersebut menggariskan bahwa BUMN, terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum, perlu terus ditata dan disehatkan melalui restrukturisasi dan bagi BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum dan berada dalam sektor yang telah kompetitif didorong untuk Privatisasi.

Di samping itu, Undang-undang ini mengatur pula ketentuan mengenai restrukturisasi dan Privatisasi sebagai alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai cita-citanya serta hal-hal penting lainnya yang mendukung dan dapat menjadi landasan bagi upaya penyehatan BUMN. Khusus mengenai program Privatisasi, Undang-undang ini menegaskan bahwa Privatisasi hanya dapat dilakukan terhadap BUMN yang berbentuk Persero sepanjang dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor kegiatan yang dilakukan Persero tersebut. BUMN Persero dapat diprivatisasi karena selain dimungkinkan oleh ketentuan di bidang pasar modal juga karena pada umumnya hanya BUMN Persero yang telah bergerak dalam sektor-sektor yang kompetitif. Privatisasi senantiasa memperhatikan manfaat bagi rakyat.

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PRIVATISASI PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO)

Privatisasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) adalah negara tidak memiliki seluruh saham. Dalam hal ini, kepemilikan saham akan disesuaikan dengan pengaturan dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tetapi harus juga memperhatikan aspek-aspek perjanjian dan atau kesepakatan dengan pemegang saham lainnya. Hal ini berarti, pemerintah tidak dapat secara sepihak memutuskan jumlah saham yang menjadi haknya, sekali pun jumlah saham yang dimiliki pemerintah minimal 51%.

Privatisasi BUMN dapat dilakukan apabila memperoleh persetujuan dari DPRI-RI yang didalam persetujuannya memuat target penerimaan negara dari hasil Privatisasi. Rencana Privatisasi harus dituangkan dalam program tahunan Privatisasi yang pelaksananannya dikonsultasikan kepada DPR-RI. Privatisasi tersebut dapat dilakukan terhadap saham milik negara pada Persero dan/atau saham dalam simpanan. Dengan kata lain, terdapat beberapa macam pilihan untuk melakukan Privatisasi. Privatisasi memuat beberapa prinsip yang harus ditaati oleh pemerintah, yaitu:

  1. Transparansi;

  2. Kemandirian;

  3. Akuntabilitas;

  4. Pertanggungjawaban;

  5. Kewajaran; dan

  6. Prinsip harga terbaik dengan memperhatikan kondisi pasar.

Tata cara melakukan Privatisasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero), yaitu:

  1. Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal;

  2. Penjualan saham secara langsung kepada investor;

  3. Penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan Persero yang bersangkutan.

Penetapan cara Privatisasi dilakukan berdasarkan pengkajian yang dilakukan oleh Menteri. Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang- kurangnya memenuhi kriteria:

  • Industri/sektor usahanya kompetitif; atau

  • Industri/sektor usahanya terkait dengan teknologi yang cepat berubah.

Selain persyaratan bentuk industrinya, ada pun persyaratan yang harus dipenuhi Perusahaan Perseroan tersebut apabila termasuk dalam kedua kriteria tersebut, yaitu sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan undang-undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi. Aset atau kegiatan Persero adalah aset atau kegiatan yang bersifat komersial dan merupakan perusahaan yang sektor usahanya seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Suatu Perusahaan Perseroan (Persero) tidak dapat diprivatisasi apabila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:

  • Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara;

  • Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;

  • Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh Pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

  • Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.

Prosedur awal yang harus dipenuhi oleh Perusahaan Perseroan (Persero) apabila hendak melakukan Privatisasi, adalah membentuk Komite Privatisasi. Komite Privatisasi yang dimaksudkan wadah koordinasi untuk membahas dan memutuskan kebijakan tentang Privatisasi sehubungan dengan kebijakan lintas sektoral. Komite Privatisasi dipimpin oleh Menteri Koordinator yang membidangi perekonomian dengan anggota-anggotanya yaitu Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Teknis tempat Persero melakukan kegiatan usaha. Tugas dan kewenangan dari Komite Privatisasi, ialah:

  • Merumuskan dan menetapkan kebijakan umum dan persyaratan pelaksanaan Privatisasi;

  • Menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperlancar proses Privatisasi Persero;

  • Membahas dan memberikan jalan keluar atas pemasalahan strategis yang timbul dalam proses Privatisasi Persero termasuk yang berhubungan dengan kebijakan sektoral Pemerintah.

Program tahunan Privatisasi sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero), yaitu:

  1. Menteri melakukan seleksi dan menetapkan rencana Persero yang akan diprivatisasi, metode Privatisasi yang akan digunakan, serta jenis dan rentangan jumlah saham yang akan dijual;

  2. Menteri menuangkan hasil yang akan digunakan, jenis serta rentangan jumlah saham yang akan dijual tersebut dalam program tahunan Privatisasi;

  3. Menteri menyampaikan program tahunan Privatisasi kepada Komite Privatisasi untuk memperoleh arahan dan kepada Menteri Keuangan untuk memperoleh rekomendasi, selambat-lambatnya pada akhir tahun anggaran sebelumnya;

  4. Arahan Komite Privatisasi dan rekomendasi Menteri Keuangan harus sudah diberikan selambat-lambatnya pada akhir bulan pertama tahun anggaran berjalan;

  5. Menteri wajib melaksanakan program tahunan Privatisasi dengan berpedoman pada arahan dan rekomendasi;

  6. Menteri mensosialisasikan program tahunan Privatisasi;

  7. Menteri mengkonsolidasikan program tahunan Privatisasi kepada DPR-RI;

  8. Menteri mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka melaksanakan program tahunan Privatisasi;

  9. Dalam kondisi tertentu Menteri dapat mengusulkan Privatisasi yang belum dimasukkan dalam program tahunan Privatisasi setelah terlebih dahulu diputuskan oleh Komite Privatisasi dan dikonsultasikan dengan DPR-RI;

  10. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan program tahunan Privatisasi diatur dengan Peraturan Menteri.

Peraturan Menteri tersebut, dikeluarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada tanggal 31 Januari 2008 berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor Kep-04/M.Ekon/01/2008 yang memuat berbagai ketentuan tentang tujuan dari Privatisasi suatu Perusahaan Perseroan dan juga modal maksimal yang dapat dilepas. Salah satu perusahaan yang hendak diprivatisasi pada tahun 2008 adalah PT. Krakatau Steel (Persero) yang ditujukan bagi pengembangan perusahaan. Tata cara Privatisasi yang hendak dilakukan adalah Initial Public Offering (IPO) atau Strategic Sales serta modal maksimal yang hendak dilepas sebanyak 60%.

Agar Privatisasi dapat dilaksanakan dengan seksama, maka harus melibatkan lembaga dan/atau profesi penunjang serta profesi lainnya sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan yang berlaku. Berkaitan dengan lembaga dan/atau profesi penunjang serta profesi lainnya tersebut harus diseleksi berdasarkan ketentuan sebagai berikut:

  1. Menteri melakukan seleksi terhadap lembaga dan/atau profesi penunjang serta profesi lainnya;

  2. Seleksi dilakukan terhadap paling sedikit 3 (tiga) bakal calon untuk masing-masing lembaga dan/atau profesi penunjang serta profesi lainnya;

  3. Apabila setelah 2 (dua) kali penawaran, bakal calon lembaga dan/atau profesi penunjang serta profesi lainnya yang berminat kurang dari 3 (tiga), maka Menteri dapat melakukan penunjukan langsung apabila penawar hanya 1 (satu) bakal calon dan melakukan seleksi apabila penawar hanya 2 (dua) bakal calon;

  4. Untuk sektor usaha tertentu yang memerlukan jasa spesialis industri dikecualikan dari ketentuan jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (2);

  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur penunjukan lembaga dan/atau profesi penunjang serta profesi lainnya diatur dengan Peraturan Menteri.

Ada pun larangan dan hal-hal yang dilarang apabila seseorang hendak menjadi penasihat keuangan. Larangan tersebut berkaitan dengan keberadaan hubungan afiliasi dengan:

  • Penjamin pelaksana emisi dan perantara pedagang efek dalam hal Privatisasi dilakukan dengan cara penawaran umum;

  • Investor atau perantaranya dalam hal Privatisasi dilakukan dengan cara penjualan saham secara langsung kepada Investor.

Selain itu, spesialis industri yang dapat terlibat dalam proses Privatisasi harus mempunyai keahlian teknis dalam bidang usaha Persero yang bersangkutan yang dibuktikan dengan sertifikat dan pengalaman yang telah mendapatkan pengakuan dari lembaga atau asosiasi atau sejenisnya yang berkompeten. Perjanjian dengan lembaga dan/atau profesi penunjang sekurang-kurangnya memuat klausul yang mewajibkan lembaga dan/atau profesi penunjang:

  • a. Melakukan tugasnya hanya untuk kepentingan pemegang saham Persero dan Persero yang bersangkutan;

  • b. Menjamin dan menjaga kerahasiaan segala informasi yang diperoleh sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya yang dituangkan dalam pernyataan tertulis;

  • c. Menggunakan informasi tersebut hanya untuk pelaksanaan tugasnya dalam proses Privatisasi yang bersangkutan dan tidak menggunakannya untuk kepentingan lain.

Lembaga dan/atau profesi penunjang harus melalui langkah-langkah agar dapat berperan dalam Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) yang dalam hal ini adalah BUMN, yaitu:

  1. Lembaga dan/atau profesi penunjang dengan bantuan Persero yang bersangkutan melakukan penelaahan dan pengkajian (due dilligence) terhadap perusahaan sesuai dengan bidang profesinya masing-masing;

  2. Perjanjian dengan lembaga dan/atau profesi penunjang sekurang- kurangnya memuat klausul yang mewajibkan lembaga dan/atau profesi penunjang:

  • a. Menyusun proyeksi keuangan, penilaian perusahaan dan usulan struktur penjualan serta jumlah saham yang akan dijual;

  • b. Menyusun persyaratan dan identifikasi calon Investor;

  • c. Menyiapkan memorandum informasi dan/atau prospektus;

  • d. Menyusun seluruh dokumen yang diperlukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

  • e. Membantu dalam melakukan negosiasi dengan calon Investor. Pembiayaan atas pelaksanaan Privatisasi dibebankan pada hasil Privatisasi.

Apabila Privatisasi tidak dapat dilaksanakan atau ditunda pelaksanaannya, maka pembebanan atas biaya yang telah dikeluarkan ditetapkan oleh RUPS. Besarnya biaya Privatisasi ditetapkan oleh Menteri. Penetapan biaya pelaksanaan Privatisasi wajib memperhatikan prinsip kewajaran, transparansi dan akuntabilitas. Biaya pelaksanaan Privatisasi dipergunakan untuk:

  • a. Biaya lembaga dan/atau profesi penunjang serta profesi lainnya;

  • b. Biaya operasional Privatisasi.

Hasil Privatisasi saham milik negara pada Persero disetorkan langsung ke Kas Negara. Hasil Privatisasi saham dalam simpanan disetorkan langsung ke kas Persero yang bersangkutan. Hasil Privatisasi anak perusahaan Persero dapat ditetapkan sebagai dividen interim Persero yang bersangkutan. Hasil Privatisasi merupakan hasil bersih setelah dikurangi dengan biaya-biaya pelaksanaan Privatisasi.

Proses administrasi dan pelaksanaan penyetoran hasil Persero diatur menurut ketentuan Pasal 22, yaitu:

  • a. Penjamin pelaksana emisi atau penasihat keuangan membuka rekening penampungan (escrow account) untuk menampung hasil Privatisasi;

  • b. Setelah dikurangi biaya-biaya pelaksanaan Privatisasi, penjamin pelaksana emisi atau penasihat keuangan wajib segera menyetorkan hasil bersih Privatisasi ke Kas Negara dan/atau kas Persero yang bersangkutan;

  • c. Penjamin pelaksana emisi atau penasihat keuangan wajib segera melaporkan penyetoran hasil Privatisasi kepada Menteri, Menteri Keuangan dan Direksi Persero yang bersangkutan.

Penghasilan lain yang diperoleh dari rekening penampungan hasil Privatisasi diperhitungkan sebagai hasil Privatisasi. Verifikasi atas biaya dan hasil Privatisasi dilakukan oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh Menteri. Penjualan saham milik Negara Republik Indonesia pada perseroan terbatas yang sahamnya kurang dari 51% (lima puluh satu persen) dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar dan perjanjian pemegang saham serta memperhatikan prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 18, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20 dan Pasal 21. Penjualan saham milik Badan Usaha Milik Negara pada perseroan terbatas yang sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar dan perjanjian pemegang saham serta memperhatikan prinsip-prinsip yang diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2), Pasal 18, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20 dan Pasal 21. Dengan kata lain, prinsip- prinsip yang terdapat dalam ketentuan Pasal tersebut harus senantiasa ditaati oleh setiap Perusahaan Perseroan yang dalam hal ini BUMN dalam pelaksanaan Privatisasi. Penjualan saham milik Negara Republik Indonesia pada Persero terbuka dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip dan ketentuan di bidang pasar modal.

Menteri dapat membatalkan atau menunda penjualan saham Persero apabila situasi dan kondisi ekonomi, politik, keamanan, dan/atau pasar modal tidak menguntungkan. Menteri melaporkan kepada Komite Privatisasi atas pembatalan atau penundaan.

Referensi:

[1]Mohammad Hatta, “Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33”, dalam Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 Jilid I, cet. II, (Jakarta: Mutiara, 1980), hal. 28.
[2] Marwah M. Diah, “Restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara: Privatisasi atau Korporatisasi?” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1999), hal. 151.
[3] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, cet. I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 267.
[4] A. Effendy Choiri, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, cet. I, (Jakarta: LP3ES, 2003), hal. 118.
[5] Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hal. 95.
[6] I Putu Gede Ary Suta, Menuju Pasar Modal Modern, (Jakarta: Yayasan SAD Satria Bakti, 2000) cet. II., hal. 357.