Apa Dampak Politik dari Cyclone Nargis?

Dampak Politik dari Cyclone Nargis

Dalam masa kurang dari satu tahun paska pergolakan politik tahun 2007, Cyclone Nargis kemudian menyerang Myanmar. Perbaikan kondisi politik paska demonstrasi tahun 2007 belum selesai terlaksana dan Myanmar harus dihadapi pada kerusakan wilayah dan infrastuktur.

Apa Dampak Politik dari Cyclone Nargis ?

Besarnya kerusakan yang diakibatkan Cyclone Nargis memberi dampak juga pada kehidupan politik domestik Myanmar. Dalam masa kurang dari satu tahun paska pergolakan politik tahun 2007, Cyclone Nargis kemudian menyerang Myanmar. Perbaikan kondisi politik paska demonstrasi tahun 2007 belum selesai terlaksana dan Myanmar harus dihadapi pada kerusakan wilayah dan infrastuktur. Pemerintah Junta Militer mengambil tindakan dengan menutupi peristiwa ini dari dunia internasional. Junta Militer merasa mampu menanggulangi dan menangani bencana ini. Tidak hanya menutupi peristiwa ini tetapi pemerintah Junta Militer juga menolak bantuan kemanusian dari berbagai pihak. Sikap pemerintah Junta Militer ini diambil berdasarkan prinsip politik luar negeri Myanmar yaitu isolasionisme.

Tindakan yang dilakukan Junta Militer Myanmar mendapat protes keras dari dunia internasional khususnya PBB dan negara Barat. Hal ini dikarenakan pemerintah Junta Militer pada kenyataannya bersikap acuh terhadap warganya sendiri. Beberapa hari sebelum bencana terjadi, pemerintah India memperingati pemerintah Junta Militer Myanmar akan datangnya angin topan yang berasal dari Samudera Hindia. Namun peringatan pemerintah India ini diacuhkan oleh Junta hingga akhinrnya bencana tersebut menyerang Myanmar. Beberapa saat setelah bencana ini terjadi pemerintah Junta Militer yang umumnya berdomisili di ibukota negara tidak mengetahui peristiwa tersebut (Jackson 6 Mei 2008). Pemerintah Junta Militer baru mengetahui bahwa Myanmar dilanda bencana besar. Pemerintah Junta Militer Myanmar tidak langsung melakukan penyelamatan, Junta malah mengeluarkan kebijakan yang menurut mereka sesuai dengan prinsip politik luar negeri Myanmar yaitu isolasionisme, yaitu penutup diri dan akses bagi masuknya bantuan kemanusiaan. Meski pemerintah Junta Militer Myanmar telah mengetahui besarnya kerusakan dan dampak akibat Cyclone Nargis tersebut pemerintah Junta Militer tetap bersikeras mempertahankan prinsip isolasionisme. Penutupan akses masuknya bantuan kemanusiaan juga berdampak pada tertutupnya komunikasi dengan dunia luar. Namun peristiwa bencana ini tetap diketahui oleh dunia internasional. Myanmar menolak bantuan dengan alasan pemerintah Junta Militer mampu menganggulangi masalah ini sendiri. Melihat kenyataan lambannya penanganan bencana dari Junta Militer membuat pihak di luar Myanmar seperti PBB, ASEAN, negara-negara Barat, Timur dan sekitar Myanmar terus berusaha mendapatkan akses masuk bagi bantuan kemanusiaan untuk menekan jumlah korban yang meninggal.

Negara tetangga Myanmar seperti India, Cina dan Thailand sejak bencana Cyclone Nargis menyerang Myanmar langsung mengirimkan bantuan kemanusiaan berupa makanan, obat-obatan dan relawan, namun pemerintah Junta Militer menolak bantuan tersebut dan menutup akses masuk bagi bantuan kemanusiaan. PBB dan ASEAN juga mengirimkan bantuan kemanusiaan yang juga ditolak oleh pemerintah Junta Militer. Bahkan Amerika Serikat menawarkan bantuan sebesar US$40.1 juta (Martin dan Margesson 2008) yang juga ditolak oleh pemerintah Junta Militer. Hal inilah yang membuat dunia internasional merespon keras sikap Junta Militer. Meski mendapat respon negatif pemerintah Junta Militer tetap pada keputusannya. Hingga 2 minggu paska Cyclone Nargis Junta Militer tetap memegang prinsip penutupan akses dan penolakan bantuan. PBB berinisiatif melakukan negosiasi dengan pemimpin Junta Militer yaitu Jenderal Than Shwe. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon turun langsung melakukan negosiasi dengan Junta Militer. Setelah dua kali melakukan negosiasi akhirnya pada 23 Mei 2008 Junta Militer mau membuka akses dan menerima bantuan kemanusian. Namun Junta Militer mengajukan syarat-syarat kepada bantuan kemanusiaan yang masuk ke Myanmar. Bantuan berupa makanan dan obat-obatan harus melalui proses pemeriksaan terlebih dahulu serta pendistribusian bantuan tersebut dilakukan oleh pihak Junta Militer. Syarat-syarat tersebut tidak hanya berlaku bagi bantuan seperti makanan dan obat-obatan juga berlaku kepada para relawan. Relawan harus melalui proses pemeriksaan dan harus memiliki visa yang disetujui oleh Junta Militer.

Respon Junta Militer terhadap Cyclone Nargis ini tidak hanya memberi dampak pada politik Myanmar dimata dunia internasional tetapi juga pada politik domestik Myanmar sendiri. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebelum Cyclone Nargis menyerang Myanmar di tahun 2008, terjadi pergolakan politik besar-besaran pada tahun 2007 dan hal ini menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah Junta Militer. Kekacauan tahun 2007 membuat pemerintah Junta Militer menjanjikan untuk melakukan perubahan melalui jalan referendum dan memilih konstitusi baru untuk menentukan apakah rakyat Myanmar masih menginginkan kepemimpinan Junta atau tidak. Referendum tersebut direncanakan akan dilaksanakan pada 10 Mei 2008, namun bencana Cyclone Nargis menyerang Myanmar terlebih dahulu. Pemerintah Junta Militer mengatakan bahwa referendum tetap diadakan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Warga penentang pemerintah (oposisi) menolak pelaksanaan referendum seperti yang diungkapkan media massa yang dimiliki kelompok oposisi Myanmar yang penulis kutip dari Martin dan Margesson (2008) dalam jurnal Congressional Research Service yang berjudul Cyclone Nargis and Burma’s Constitutional Referendum berikut ini:

A May 5 editorial in the Irrawwady stated, “The response by the Burmese regime to this weekend’s cyclone disaster shows that the junta is incapable of running the country, let alone helping the victims”. The editorial called for the postponement of the referendum as did other voices within the Burmese opposition movement. A representative of the opposition-run media group, the Democratic Voice of Burma, said, “They [the SPDC] would be very stupid to go ahead with the it. Thousands of people are dying or missing. It is very difficult to get around or get food and water. How can people vote?”. On May 7, 2008, one of Burma’s leading opposition groups, the National League for Democracy (NLD), issued a statement demanding that “the referendum be held simultaneously in all parts of the country once the conditions in the country have improved ”. (Martin dan Margesson 2008, h.15) Menurut sebuah editorial di negara bagian Irrawaddy menyebutkan bahwa respon pemerintahan Junta militer Myanmar terhadap bencana cyclone menunjukkan ketidakmampuan Junta menjalankan negara, apalagi membantu korban bencana sendiri. Editorial tersebut meminta agar diadakan penundaan dilakukannya referendum sebagaimana juga usulan dari gerakan oposisi Myanmar. Perwakilan oposisi dalam the Democratic Voice of Burma menyebutkan “Mereka (Junta Militer dengan program SPDCnya) akan sangat bodoh apabila menjalankan referendum tersebut. Ribuan orang tewas dan hilang akibat bencana. Sangat sulit untuk mendapatkan makanan dan air. Bagaimana mungkin mereka melakukan pemilihan?”. Pada 7 Mei 2008 salah satu pemimpin kelompok oposisi Myanmar, the National League for Democracy (NLD) mengeluarkan pernyataan “referendum akan dilaksanakan serentak di seluruh bagian negara ketika kondisi negara telah membaik (Terjemahan Penulis).

Pemerintah Junta Militer mengeluarkan pernyataan pada 6 Mei 2008 bahwa wilayah Rangoon dan Ayeyarwady yang memang mengalami kerusakan paling parah. Referendum akhirnya dilaksanakan pada 24 Mei 2008, namun pihak oposisi megatakan bahwa referendum ini diwarnai banyak pemyimpangan dan intimidasi. Setelah referendum ini Junta Militer mengeluarkan keputusan the SPDC issued Announcement No. 7/2008 yang meenyatakan bahwa 98,12% dari 27.288.827 pemilih telah memberikan suara, dan bahwa 92,48% telah memilih mendukung penerapan konstitusi baru (Martin dan Margesson, 2008). Dan tak lama kemudian Junta Militer mengumumkan telah meratifikasi konstitusi baru tersebut.

Konstitusi baru ini pada intinya tetap melegitimasi kekuasaan Junta Militer. Oleh karena itu banyak pihak khususnya oposisi yang menolak dan meminta diadakan pemilihan umum. Dan akhirnya pemilihan umum dilaksanakan pada 7 November 2010. Pemilu multipartai ini digelar dengan sistem yang dianggap lebih demokratis untuk memilih presiden. Pemilu ini dimenangkan oleh Thein Shein seorang mantan Jenderal Junta Militer. Namun, pemilu ini dianggap tidak dilakukan secara transparan. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon seperti dikutip kantor berita antara mengungkapkan kekecewaannya akan hasil pemilu Myanmar yang dianggap tidak transparan dan tidak membawa Myanmar pada transisi demokrasi (Antara News, November 2010).

Dengan segala perkembangan politik yang telah disebutkan di atas, pada intinya paska bencana Cyclone Nargis Myanmar mulai menunjukkan keinginan baik bagi kemajuan politik Myanmar. Melunaknya prinsip isolasionisme Junta Militer terlihat dari kesediaan Myanmar membuka akses bantuan bagi korban bencana. Selain membuka akses Myanmar juga membuka diri dengan mau melakukan negosiasi dengan banyak pihak seperti PBB dan ASEAN turut membuka kesempatan bagi masuknya pengaruh dari luar Myanmar. Pengaruh ini yang akhirnya mendorong Myanmar untuk melakukan perubahan seperti mengadakan pemilu demokratis tahun 2010. Walaupun hasilnya mengecewakan banyak pihak, setidaknya Myanmar sudah membuka diri terhadap kritikan dan pengaruh dari luar negaranya.