Amalan apa saja yang dapat dilakukan untuk mengirimkan pahala bagi orang yang sudah meninggal ?

Meninggal

Amalan apa saja yang dapat dilakukan oleh orang yang masih hidup untuk mengirimkan pahala dan kebaikan bagi orang yang sudah meninggal ?

Indahnya syari’at Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah orang Islam yang telah meninggal dunia masih mendapat manfaat dari amalan saudaranya sesama muslim, baik dari keluarga atau orang mukmin pada umumnya.

Amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal. Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.

Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi mayit yang berasal dari usaha orang lain adalah sebagai berikut:

Do’a dan permohonan ampunan untuk mayit:


Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Ini disetujui secara ijma’ berdasarkan firman Allah Ta’ala,

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara- saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10)

Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.

Adapun hadits-hadits Rasulullah saw yang berkenaan dengan masalah ini sangat banyak. Di antaranya sabda Beliau,

“Doa seorang muslim kepada saudaranya dari kejauhan (tidak berhadapan) adalah mustajab, di atas kepalanya ada malaikat yang mewakili, setiap mendoakannya dengan kebaikan, berkatalah malaikat yang mewakili itu, ‘semoga doa itu dikabulkan, dan bagimu yang semisalnya.’” (HR. Muslim).

Bahkan shalat jenazah cukuplah sebagai bukti akan hal ini karena dalam pelaksanaanya sebagian besar berisikan doa bagi sang mayat dan permohonan ampunan untuknya.

Membayarkan puasa nazar mayit.


Dalam hal ini ada sejumlah hadits yang meriwayatkannya.

  1. Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,

    “Siapa saja yang meninggal sedang padanya ada kewajiban berpuasa, maka walinya yang menggantikannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Baihaqi, al-Thahawi dan Ahmad)

  2. Dari Ibnu Abbas ra.,

    “Ada seorang wanita yang naik kapal dan bernazar, apabila Allah menyelamatkannya, maka ia akan melakukan puasa selama sebulan. Allah pun menyelamatkannya dan ia tidak melakukan puasa tersebut hingga meninggal. Lalu datanglah kerabatnya (saudara perempuan atau putrinya) kepada Rasulullah saw sambil menuturkan kisahnya, lalu Nabi saw bersabda, ‘Apakah bila ia mempunyai utang engkau membayarnya?’ Ia menjawab, ‘Tentu’. Beliau bersabda, ‘Oleh karena itu utang kepada Allah lebih wajib untuk engkau bayar, maka bayarilah utang ibumu.” (HR. Abu Daud, Al-Nasa’i, dan lainnya).

  3. Dari Ibnu Abbas ra.,

    “Bahwa Sa’ad bin Ubadah ra. meminta nasihat kepada Nabi SAW, “Ibuku meninggal dan ia pernah bernazar yang belum dipenuhinya.” Beliau SAW menjawab, “Tunaikanlah nazar ibumu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abbu Daud, al-Nasa’i, al-Tirmidzi, al-Baihaqi, al-Thayalusi dan Ahmad).

Hadits-hadits tersebut jelas dan tegas menunjukkan disyariatkannya kewajiban atas sang wali untuk melakukan puasa nazar bagi orang yang mati dari kerabatnya. Hanya saja hadits yang pertama secara lahirnya menunjukkan lebih dari itu, yakni keharusan mengganti setiap puasa fardhu. Inilah yang dipahami oleh mazhab Syafi’i dan Imam Ibn Hazm serta lainnya. Sementara Imam Ahmad berpendapat, hanya puasa nazar saja yang harus digantikan oleh wali sang mayat.

Abu Daud dalam al-Masa’il mengatakan, “Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata, ‘Tidak wajib menggantikan puasa orang yang meninggal kecuali ia bernazar.’”

Para ulama mazhab Ahmad telah memahami hadits pertama hanya pada puasa nazar saja dengan berdalil pada hadits yang diriwayatkan Umrah bahwa ibunya telah meninggal sedangkan ia masih mempunyai kewajiban membayar puasa Ramadhan, kemudian ia tanyakan kepada Aisyah ra., “Apakah aku berkewajiban untuk mengqadha puasanya?”. Aisyah menjawab, “Tidak. Tetapi cukuplah atasmu bersedekah untuknya setiap harinya setengah sha’ (sekitar dua genggam) beras yang diberikan kepada fakir miskin.” Riwayat itu dikeluarkan oleh Al-Thahawi dan Ibn Hazm dengan sanad yang dinyatakan shahih oleh Ibn al-Turkuman. Namun al-Baihaqi dan Ibn Hajar al- Ashqalani mendha’ifkannya.

Masalah ini telah dijelaskan oleh al-‘Allamah Ibn al-Qayyim di dalam I’lam al-Muwaqqi’in, setelah mengetengahkan haditsnya ia berkata, “Sebagian kelompok memahaminya dengan cara umum dan mutlak yang mencakup puasa fardhu dan menyatakan, “Wajib diganti puasanya dalam puasa nazar dan puasa fardhu.’ Sementara kelompok lain berpendapat tidak puasa nazar dan tidak pula puasa fardhu. Sedangkan kelompok ketiga berpendapat hanya puasa nazar saja yang wajib digantikan oleh wali sang mayat sedangkan puasa wajib tidak.

Pendapat yang ketiga inilah yang dipahami oleh Ibn Abbas dan inilah menurut hemat Ibn al-Qayyim yang benar. Sebab, kewajiban puasa sama saja dengan kewajiban shalat. Karena tidak ada keharusan atau tidak disyariatkannya dapat menggantikan shalat seseorang maka tidak ada pula disyariatkan menggantikan kewajiban puasa seseorang. Adapun mengenai nazar maka pada hakikatnya adalah memenuhi tanggungannya sebagaimana utang yang dapat diterima pembayaran walinya sebagaimana dalam utang-piutang. Inilah hakikat hukum fiqhnya.

Melunasi utang-utang sang mayat, baik wali si mayat maupun bukan.

Mengenai hal ini banyak sekali hadits yang diriwayatkan secara shahih seperti yang dijelaskan Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Ahkam al-Jana’iz wa Bid’iha. Di antaranya adalah Hadits Abu Qatadah ra. dimana ia pernah menanggung (melunasi) hutang sebesar dua dinar dari si mayit yang kemudian dengan itu Nabi saw. bersabda:

“Sekarang, menjadi dinginlah kulitnya” [HR. Al-Hakim. Ia berkata: Isnadnya shahih namun tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim”].

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi saw akan menshalatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan saja orang ini.”

Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,

“Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[ HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619]

Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan hutang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.

Kebaikan yang dilakukan oleh anak yang saleh


Kebaikan yang dilakukan oleh anak yang saleh, maka bagi kedua orang tuanya pahala seperti yang diperolehnya tanpa dikurangi sedikitpun. Yang demikian dikarenakan anak adalah merupakan jerih payah usahanya.

Sebab Allah SWT telah berfirman,

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. Al-Najm: 39).

Rasulullah SAW juga bersabda,

“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan seseorang adalah dari hasil jerih payahnya, dan anak adalah termasuk bagian dari upayanya.” (HR. Abu Daud, al-Nasa’i, Ibn Majah, al-Hakim, al- Thayalusi dan Ahmad).

Adapun yang membenarkan apa yang dikandung ayat dan hadits di atas adalah hadits-hadits tentang kegunaan amal baik anak yang saleh bagi orang tuanya yang telah meninggal, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak, dan semisalnya, di antaranya adalah hadits berikut:

  1. Dari Aisyah ra.,

    “Bahwa ada seorang laki-laki mengatakan, “Ibuku telah meninggal mendadak (tanpa berwasiat sebelumnya), aku mengira bila ia sempat berbicara sebelum meninggalnya, pastilah ia akan bersedekah. Apakah ia akan memperoleh pahala bila aku bersedekah atas namanya (dan pahala pula untukku)?” Beliau menjawab, “Benar”. (Lalu orang itupun bersedekah atas nama ibunya). (HR. Bukhari, Muslim, Imam Malik, Abu Daud, al-Nasa’i, Ibn Majah, al-Baihaqi dan Ahmad).

  2. Dari Ibnu Abbas ra.,

    “Bahwa ibu dari Sa’ad bin Ubadah meninggal sedangkan ia tidak menghadirinya, dan ia bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal sedangkan aku tidak hadir pada saat kematiannya, apakah berguna baginya sedekah atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya tentu.” Ia berkata, “Aku persaksikan di hadapan engkau bahwa buah dari hasil kebun yang dikelilingi tembok itu akan aku sedekahkan atas namanya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, al-Nasa’i, al-Tirmidzi, al-Baihaqi dan Ahmad).

  3. Abu Hurairah ra berkata,

    “Ada seorang laki-laki mengatakan kepada Nabi SAW, “Ayahku telah meninggal dan meninggalkan harta namun tidak berwasiat, lalu apakah bila aku bersedekah atas namanya dapat mengganti kedudukannya?” Beliau menjawab, “Ya dapat”. (HR. Muslim, al-Nasa’i, Ibnu Majah, al- Baihaqi dan Ahmad).

  4. Abdullah ibn Amr ra berkata,

    “Al-Ash bin Wail al-Suhmi telah berwasiat sebelum kematiannya untuk memerdekakan seratus orang budak, lalu putranya yang bernama Hisyam memerdekakan lima puluh orang budak, kemudian putranya yang lain bernama Amr ingin memerdekakan lima puluh budak sisanya, lalu ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, ayahku mewasiatkan agar memerdekakan seratus budak, sementara Hisyam telah memerdekakan lima puluh, apakah aku mesti memerdekakann lima puluh sisanya?’ Rasulullah SAW menjawab dengan bersabda, “Sesungguhnya bila ada seorang muslim, lalu kalian memerdekakan budak atau bersedekah atas namanya atau menghajikan untuknya maka akan sampailah pahalanya kepadanya.” (Dalam riwayat lain, “Bila ia mengakui benar-benar bertauhid lalu engkau berpuasa dan bersedekah atas namanya, maka bergunalah pahala tersebut baginya.”) (HR. Abu Daud, al-Baihaqi dan Imam Ahmad).

Al-Syaukani mengatakan di dalam Nail al-Authar, “Hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa pahala sedekah yang dilakukan oleh seorang anak pahalanya akan sampai kepada kedua orang tuanya sepeninggal keduanya sekalipun tanpa wasiat dari keduanya."

Dengan demikian, hadits-hadits dalam bab ini mengkhususkan pemahaman umum makna firman Allah,

“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. Al-Najm: 39).

Akan tetapi, di dalam hadits-hadits tersebut hanya menjelaskan akan sampainya pahala sedekah sang anak kepada kedua orang tuanya. Sebab telah terbukti ketetapannya bahwa anak merupakan salah satu dari hasil upaya seseorang. Oleh karena itu, tidak perlu untuk mendakwa bahwa ayat tersebut dikhususkan maknanya oleh hadits-hadits tersebut.

Adapun mengenai selain anak, maka tampaknya ayat tersebut tetap pada kondisi keumumannya, maksudnya pahala yang diperoleh dari amalan seseorang tidaklah sampai pahalanya kepada orang yang sudah meninggal. Maka kita harus berhenti memahaminya sampai sebatas itu sehingga terbukti ada kesahihannya dari nash atau riwayat yang mengkhususkannya.

Menurut Nashiruddin al-Albani, pemahaman tersebut merupakan pemahaman yang benar sesuai dengan target kaidah-kaidah ilmiah, dalam hal ini ayat atau firman-Nya itu bermakna umum, dan amal baik atau sedekah seorang anak akan sampai pahalanya kepada kedua orang tuanya karena anak merupakan salah satu dari usahanya. Namun tidak demikian halnya amalan selain anak, yakni orang lain.36
Tetapi Imam Nawawi telah menukil adanya ijma’ yang menyatakan bahwa sedekah yang dilakukan oleh seseorang akan sampai pahalanya kepada sang mayat.

Demikian yang dinyatakan oleh Imam al-Nawawi seraya memutlakkan mayat tanpa membatasinya dengan kedua orang tua. Maka bila benar pernyataan ijma’ tersebut, yang demikian merupakan pengkhususan bagi makna umum seperti yang diisyaratkan oleh al-Syaukani mengenai pahala sedekah, di mana pahala yang dilakukan selain sedekah, seperti puasa atau membaca al-Qur’an dan lainnya akan sampai pula kepada mayat.

Pahala ibadah haji

Tentang sampainya pahala haji kepada orang yang sudah meninggal, disebutkan dalam beberapa hadits sebagai berikut:

  1. Di dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu Abbas,

    “Seorang perempuan datang menghadap Rasulullah saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan ibadah haji, saya dapati ayah saya telah lanjut usia, ia tidak mampu duduk tetap diatas hewan tunggangan, bolehkah saya melaksanakan ibadah haji untuknya?”. Rasulullah saw menjawab, “Jika ayahmu memiliki hutang, apakah menurutmu engkau dapat membayarkannya?”. Perempuan itu menjawab, “Ya”. Rasulullah Saw berkata, “Hutang Allah lebih berhak untuk ditunaikan” (HR. Bukhari dan Muslim).

  2. Dari Ibnu Abbas ra.,

    “Bahwa Fadhal menemani Nabi SAW lalu datanglah wanita dari bani Khats’am sehingga fadhal memandang kepadanya dan dia memandang kepada Fadhal, maka Nabi SAW memalingkan wajah Fadhal ke arah lain. Wanita tersebut berkata: ‘Sesungguhnya ketetapan Allah tentang fardhunya haji telah sampai kepada ayahku yang sudah lanjut usia, dia tidak mampu menaiki kendaraan. Apakah aku boleh menghajikannya?’ Beliau menjawab: ‘Ya’. Peristiwa ini terjadi pada haji Wada’”. (HR. Bukhari dan Muslim).

  3. An-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata,

    “Sesungguhnya istri Sinan bin Salamah Al-Juhanny bertanya kepada Rasulullah, bahwa ibunya meninggal dan belum sempat menunaikan haji, apakah ibunya mendapatkan pahalanya jika dia menunaikan atas nama dirinya?” Beliau menjawab, ”Ya. Sekiranya ibumu mempunyai hutang lalu engkau melunasi atas nama dirinya, bukankah yang demikian itu juga mendatangkan pahala baginya?”.

  4. An-Nasa’i juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah tentang anaknya yang meninggal dan belum sempat menunaikan haji. Maka beliau bersabda, “Tunaikanlah haji atas nama anakmu.”

  5. An-Nasa’i juga meriwayatkan darinya, dia berkata,

    “Ada seorang laki-laki berkata, ”Wahai Nabi Allah, ayahku meninggal dunia dan belum sempat menunaikan ibadah haji. Maka apaka aku harus menunaikan haji atas nama dirinya?” Beliau menjawab, ”Apa pendapatmu sekiranya ayahmu mempunyai hutang, apakah engkau akan melunasinya?” Orang itu menjawab,”Ya.” Beliau bersabda, ”Hutang terhadap Allah lebih layak dipenuhi.”

Menyembelih kurban


Boleh menyembelih hewan kurban dan pahalanya dihadiahkan pada orang yang telah meninggal. Nabi Saw, pada waktu akan menyembelih hewan kurban dua ekor kambing kibas putih beliau mengucapkan:

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah terimalah kurbanku dari Muhammad, (pahalanya) untuk keluarga Muhammad dan untuk umat Muhammad. Kemudian beliau menyembelihnya”. (HR. Muslim)

Referensi :

  • Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985)
  • Al-Imam Abu Zakariya Muhyi al-Din bin Syarf al-Nawawi, Al-Adzkar, (Kairo: Maktabah Dar al-Turats, t.t)
  • Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, terj. Abbas Muhammad Basalamah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999)
  • Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Nisabury, Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain,
    (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1990)
  • Al-Imam Abu Zakariya Muhyi al-Din bin Syarf al-Nawawi, Kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab li al-Syirazi, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tt)
  • Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Roh, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999)