Amalan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai amal jariyah?

Anak berdoa

Amal jariyah adalah sebutan bagi amalan yang terus mengalir pahalanya, walaupun orang yang melakukan amalan tersebut sudah meninggal dunia. Amalan tersebut terus menghasilkan pahala yang terus mengalir (Tuasikal, 2016).
Amalan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai amal jariyah ?

Amal jariyah adalah perbuatan atau ibadah-ibadah dan ketaatan-ketaatan yang dilakukan oleh orang yang telah meninggal ketika masih hidup, dimana amal tersebut terus mengalir walaupun dia sudah meninggal.

Hadits shahih dari Abi Hurairah ra bahwasanya Nabi saw bersabda:

“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya”. [HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i]

Disebutkan juga pada hadits yang lain riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abi Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, mush-haf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai (air) yang dialirkannya untuk umum, atau shadaqah yang dikeluarkannya dari hartanya di waktu sehat dan semasa hidupnya, semua ini akan menemuinya setelah dia meninggal dunia”.

Dari hadits ini dan beberapa hadits lain yang semakna, amalan yang bermanfaat bagi orang yang telah meninggal yang berasal dari usaha mereka sendiri, dapat dikelompokkan kepada beberapa amalan, yaitu:

Shadaqah Jariyyah

Pengertian shadaqah jariyyah ialah: Suatu pemberian untuk mencari pahala dari Allah swt. Ada pula yang mengatakan: Memberikan shadaqah yang tidak wajib, dengan cara menguasakan barang dengan tanpa ganti (gratis). Ada pula yang mengatakan: Harta yang diberikan dengan mengharap pahala dari Allah swt. Ada pula yang mengatakan: Harta “wakaf”, sedangkan pengertian wakaf itu sendiri yaitu: Apa-apa yang ditahan di jalan Allah swt.

Dari pengertian-pengertian di atas jelas bahwa shadaqah jariyyah adalah suatu ketaatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mencari “wajah” Allah, sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah swt, agar orang-orang umum bisa memanfaatkannya sepanjang waktu tertentu, sehingga pahalanya mengalir baginya sepanjang barang yang dishadaqahkan itu masih ada.

Para ulama telah menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf untuk kebaikan. Seperti mewakafkan tanah, masjid, madrasah, rumah hunian, kebun (kurma), mushaf Al-Qur’an, kitab yang berguna, dan lain sebagainya. Amalan-amalan tersebut bisa dilakukan oleh para ulama maupun orang awam.

Di antara contoh shadaqah jariyyah yang telah dilakukan di zaman Nabi saw ialah:

  • Kebun kurma yang dishadaqahkan oleh Abu Thalhah (seorang sahabat Nabi); Kebun yang dishadaqahkan oleh Bani An-Najjar kepada Nabi saw dalam rangka untuk pembangunan masjid di waktu Nabi datang ke kota Madinah;

  • Sumur “rumah” yang dibeli oleh sahabat Utsman ra dan beliau shadaqahkan pada waktu kaum muslimin kekurangan air;

  • Tanah/kebun yang dishadaqahkan oleh sahabat Umar ra, yang merupakan harta yang berharga baginya, beliau menshadaqahkan tanah tersebut, dengan syarat tidak boleh dijual, diberikan atau diwariskan, akan tetapi buahnya (kebun/tanah itu), dishadaqahkan untuk budak, orang-orang miskin, tamu, ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal) serta karib kerabat Rasulullah saw.

Di antara hadits-hadits yang menyebutkan shadaqah jariyyah, adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Utsman bin ‘Affan ra, dia berkata: Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang membangun masjid untuk mencari “wajah” Allah Swt, niscaya Allah Swt membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga".

Ilmu Bermanfaat

Di antara yang bisa memberikan manfaat bagi mayit setelah kematiannya adalah ilmu yang ia tinggalkan, untuk diamalkan atau dimanfaatkan. Sama saja, apakah dia mengajarkan ilmu tersebut kepada seseorang atau dia tinggalkan berupa buku yang orang-orang mempelajarinya setelah kematiannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw dari hadits Abu Hurairah yang disebutkan di atas.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Muadz bin Anas dari ayahnya, bahwa Nabi saw bersabda:

“Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun”.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda:

“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk (kebajikan), maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”.

Ilmu yang bermanfaat bisa dilakukan dengan cara seseorang mengajarkan ilmu kepada orang lain tentang perkara-perkara agama. Ini khusus bagi para ulama yang menyebarkan ilmu dengan cara mengajar, mengarang dan menuliskannya. Orang yang awam juga bisa melakukannya dengan cara ikut serta di dalamnya berupa mencetak kitab-kitab yang bermanfaat atau membelinya lalu menyebarkannya atau mewakafkannya. Juga membeli mushaf lalu membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan atau meletakkannya di masjid-masjid.

Anak Shaleh yang Mendoakan Orang Tuanya.

Anak itu termasuk usaha orang tua, sehingga amalan-amalan sholeh yang diamalkan si anak, juga akan menjadikan orang tua mendapatkan pahala amalan tersebut, tanpa mengurangi pahala anak sedikitpun.

Imam Turmudzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah yang (kamu dapatkan) dari usaha kamu, dan sesungguhnya anak-anakmu itu termasuk usaha kamu”.

Hadits di atas mengkhususkan anak shaleh, dan sudah ma’lum kedekatan anak shaleh dari pada anak yang tidak shalih kepada Allah swt. Oleh karena itulah Nabi menyebutnya pada hadits itu. Di mana anak shaleh itu selalu berdzikir dan selalu menjaga hubungan baik kepada kepada Allah. Dan ia pun tidak lupa memanjatkan do’a untuk kedua orang tuanya setelah mereka tiada. Selain itu bahwa anak shaleh selalu membiasakan diri di dalam mengerjakan amalan-amalan shaleh sewaktu kedua orang tuanya hidup, yang dia mempelajari amalan-amalan shaleh itu dari keduanya, maka kedua orang tuanya mendapatkan pahala dari amalan-amalan anaknya, tanpa mengurangi pahala si anak tersebut.

Seorang bapak membutuhkan waktu yang panjang untuk membentuk anak yang shaleh. Dia memulainya dengan memilih istri yang shalehah, supaya menjadi ibu bagi anak shaleh tersebut. Kemudian mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan syari’at. Dengan ini dia menjadi anak yang shaleh, walaupun kedua orang tuanya sudah wafat. Perlu diketahui juga bahwa keshalihan orang tua, bisa menjadi sarana kebaikan anak, walaupun mereka telah meninggal dunia.

Bersiaga di Jalan Allah.

Imam Muslim, Turmudzi dan An-Nasai meriwayatkan dari Salman ra, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda:

“Bersiaga (di jalan Allah) sehari semalam lebih baik daripada puasa dan mendirikan shalat satu bulan, dan apabila (orang yang berjaga tersebut) meninggal dunia maka amalan yang sedang dia kerjakan tersebut (pahalanya terus) mengalir kepadanya, rizkinya terus disampaikan kepadanya dan dia terjaga dari ujian (kubur)”.

Abu Dawud dan Turmudzi meriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid ra: bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Setiap orang yang meninggal dunia akan ditutup semua amalannya kecuali orang-orang yang berjaga-jaga (di perbatasan musuh di jalan Allah), karena pahala amalannya akan dikembangkan baginya sampai hari kiamat, dan dia akan diselamatkan dari fitnah kubur”.

Imam Nawawi ra berkata memberikan komentar terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Ini adalah keutamaan yang nyata bagi orang yang berjaga di jalan Allah, dan pahala amalannya yang tetap mengalir kepadanya setelah ia meninggal dunia. Ini merupakan keutamaan yang khusus bagi orang yang berjaga tersebut, tidak ada seorangpun yang ikut di dalamnya.

Menggali Kubur Untuk Mengubur Seorang Muslim.


Dari Abu Rafi’ ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda:

“Barang siapa yang memandikan jenazah/mayit dan ia menyembunyikan cacat jenazah tersebut, niscaya dosanya diampuni sebanyak 40 dosa. Dan barang siapa yang mengkafani jenazah/mayit, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya kain sutra yang halus dan tebal dari sorga. Dan barang siapa yang menggali kuburan untuk jenazah/mayit, dan dia memasukkannya ke dalam kuburan tersebut, maka dia akan diberi pahala seperti pahala membuatkan rumah, yang jenazah/mayit itu dia tempatkan (di dalamnya) sampai hari kiamat”. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Al- Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim”, dan Imam Ad- Dzahabi menyetujuinya).

Apabila Manusia, Hewan atau Burung Memakan Tanaman Milik Mayit.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir ra, dia berkata:

“Nabi memasuki kebun Ummu Ma’bad, kemudian beliau bersabda: “Wahai Ummu Ma’bad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?.” Ummu Ma’bad berkata: “Bahkan seorang muslim”. Nabi saw bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat”.

Pada riwayat Imam Muslim yang lain:

“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kecuali apa yang dimakan dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya (orang yang menanam). Dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan apa yang dimakan oleh seekor burung dari tanaman tersebut merupakan shadaqahnya. Dan tidaklah dikurangi atau diambil oleh seseorang dari tanaman tersebut kecuali merupakan shadaqahnya”.

Imam Nawawi ra berkata mengomentari hadits di atas: “Di dalam hadits ini menunjukkan keutamaan menanam dan mengolah tanah, dan bahwa pahala orang yang menanam tanaman itu mengalir terus selagi yang ditanam atau yang berasal darinya itu masih ada sampai hari kiamat”.

Hal ini berbeda dengan shadaqah jariyyah, yaitu bahwa tanaman itu tidak dimaksudkan (diniatkan) sebagai shadaqah jariyyah, akan tetapi tanaman yang dimakan dari tanaman tersebut (menjadi shadaqah jariyah) tanpa keinginan dari pemiliknya atau ahli warisnya.

Apabila Seseorang Melakukan Sunnah (Jalan/Cara/Metode/Kebiasaan) yang Baik Sebelum Meninggal Dunia.

Apabila seorang muslim mendapatkan pahala dari suatu amalan yang dia amalkan, maka orang yang telah mengajarinya amalan tersebut juga mendapatkan pahala yang serupa, dengan tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkan sedikitpun.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Juhaifah ra bahwasanya Nabi saw bersabda:

“Barang siapa yang melakukan sunnah (jalan/cara/metode/kebiasaan) yang baik, kemudian diamalkan (oleh orang-orang lain) setelahnya, maka dia mendapatkan pahala hal tersebut dan seperti pahala mereka (orang- orang yang mengikuti), dengan tidak mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa melakukan sunnah (jalan/ cara/ metode/ kebiasaan) yang jelek, kemudian diamalkan (oleh orang-orang lain) setelahnya, maka dia mendapatkan dosa hal tersebut dan seperti dosa mereka (orang-orang yang mengikuti), dengan tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka”.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari ra, dia berkata Nabi saw bersabda:

“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala pelakunya”.

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang- orang yang mengikutinya, tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”

Imam Nawawi berkata:

“Dua hadits ini nyata menganjurkan disukainya melakukan sunnah perkara-perkara yang baik dan larangan melakukan sunnah perkara-perkara yang buruk, dan bahwa orang yang melakukan sunnah yang baik, dia akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang-orang yang melakukan perbuatannya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa melakukan sunnah yang buruk, dia akan mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang-orang yang melakukan perbuatannya sampai hari kiamat.

Bahwasanya orang yang menyeru kepada petunjuk, ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya. Dan begitu juga orang yang menyeru kepada kesesatan, dia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang- orang yang mengikutinya. Sama saja, apakah petunjuk (kebaikan) atau kesesatan (kejelekan) tersebut dia sendiri yang melakukan pertama kali atau sudah ada yang melakukannya sebelumnya. Dan sama saja, apakah hal itu berbentuk: mengajarkan ilmu, ibadah, sopan-santun atau lainnya."

Referensi
  • Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-‘Arabiy, 1998)
  • M. Madchan Anies, Tahlil dan Kenduri: Tradisi Santri dan Kiai, (Yogyakarta: Pustaka
  • Pesantren, 2009)
  • Hasan Zakaria Fulaifal, Menghindari Azab Kubur, terj. Ahmad Rusydi Wahab, (Jakarta: QultumMedia, 2006)
  • Al-Imam Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairy Al-Naisabury, Shahih Muslim, (Kairo: Dar al-Hadits, 1991)
  • Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al- Fikr, tt)
  • Abu Bakar Ahmad bin Al-Husein Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1410 H)
  • M. Sufyan Raji Abdullah, Menyikapi Masalah-Masalah yang Dianggap Bid’ah,
  • (Jakarta: Pustaka Al-Riyadl, 2010)
  • Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Ma Ittafaqa ‘Alaihi al- Syaikhan, (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt)
  • Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami’ al-Shahih Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, tt)
  • Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistaniy, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, tt)
  • Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim,
  • (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, 1392 H)
  • Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Nisabury, Al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain li Al- Hakim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990)