Alam Adalah Media Transfigurasi Allah

Taman Surga

Syekh Ibrahim adalah seorang darwis yang mulia. Setiap kami melihatnya, kami teringat pada kekasih kami. Maulana Syamsuddin yang memiliki pertolongan besar dari sisi Allah, selalu berkata kepada para darwis: “ Syaikhuna Ibrahim,” seraya menisbatkannya pada Syekh Ibrahim.

Pertolongan dari sisi Allah adalah satu hal, dan ijtihad adalah hal lain. Para Nabi tidak sampai pada derajat kenabian hanya sebatas dengan ijtihad mereka, melainkan juga karena pertolongan dari Allah. Allah juga masih mensyaratkan para Nabi untuk hidup dalam ijtihad dan kebajikan pribadinya. Semua itu dilakukan demi orang-orang awam, agar mereka bisa berpegang teguh padanya dan mengikuti ucapannya. Karena pandangan orang awam tidak bisa menembus ruang batin. Mereka hanya bisa melihat bentuk luar saja. Sehingga dengan perantaraan dan karunia bentuk luar lahir itu, mereka akan menemukan jalan menuju relung batin.

Bagaimanapun juga, sesungguhnya Fir’aun pun bersungguh-sungguh dalam berusaha, ia berbuat baik dan menyebarkan kebaikan, tapi sayangnya dia tidak mampu meraih pertolongan-Nya sehingga kepatuhan dan kebaikannya tidak tampak dan terkubur. Seperti seorang menteri yang mengunjungi sebuah benteng dan berbuat baik pada penguninya dengan maksud agar mereka keluar untuk menentang raja dan menjadi pemberontak, tidak diragukan lagi bahwa kebaikannya itu sama sekali hilang dan tidak berharga.

Meski demikian, kita tidak mungkin sepenuhnya menyangkal pertolongan Allah kepada Fir’aun. Karena bisa saja Allah memiliki pertolongan yang samar yang diberikan kepadanya demi kemaslahatan semua. Karena seorang raja harus kejam sekaligus dan ramah, memiliki jubah kehormatan sekaligus penjara, dan keduanya harus bersama-sama. Para ahli batin tidak menafikan seluruh pertolongan Allah kepada Fir’aun. Namun kaum literalis menganggap Fir’aun sepenuhnya ditolak, dan itu bermanfaat demi menjaga ajaran eksternal mereka.

Seorang raja menempatkan seseorang di atas tiang gantungan. Dia menggantung orang itu di tempat yang tinggi di hadapan seluruh rakyatnya. Raja itu bisa saja menggantungnya di sebuah rumah yang jauh dari pandangan manusia dengan sebuah paku, namun manusia harus menyaksikannya dan mengambil pelajaran dari kejadian itu. Pelaksanaan hukuman dan perintah sang raja hendaknya bisa dilihat. Tetapi tidak setiap tiang gantungan terbuat dari bambu. Dan sebenarnya kedudukan, pangkat, dan kewibawaan dalam semua urusan dunia ini juga merupakan gantungan yang tinggi. Ketika Allah hendak menghukum seseorang, Dia akan memberinya kedudukan yang tinggi dan kerajaan yang besar di dunia ini, seperti Fir’aun, Namrud dan pemimpin tiran lainnya. Setiap pangkat yang tinggi ini ibarat tiang gantungan, yang mana Allah meletakkan mereka di atasnya sehingga semua manusia bisa melihatnya. Allah berfirman:

“Aku adalah harta yang terpendam, dan Aku ingin dikenal.”

Maksud dari firman ini adalah: “Aku menciptakan alam ini dengan maksud untuk menampakkan Wujud-Ku, terkadang dengan kelembutan dan terkadang dengan kekuatan. Allah tidak seperti seorang raja yang hanya membutuhkan satu pengenal saja untuk mengenalkan kerajaannya. Andai setiap atom di alam ini jadi tanda pengenal Allah, tentu itu masih sedikit dan tidak akan mampu memperkenalkan- Nya.

Sesungguhnya seluruh manusia, siang dan malam, selalu menampakkan Allah. Namun sebagian mereka mengetahui penampakan ini dan menyaksikannya, dan sebagian yang lain melalaikannya. Bagaimanapun kejadiannya, penampakan Allah adalah sebuah kepastian. Seperti seorang menteri yang memerintah sang eksekutor untuk memukul seseorang, dan sang korban menjerit histeris. Pada saat itu, kedua orang tersebut sebenarnya sedang menampakkan hukum sang menteri. Meskipun si korban tadi menjerit kesakitan, seluruh manusia mengetahui bahwa yang mengeksekusi maupun yang dieksekusi berada di bawah titah sang menteri, dan dengan adanya mereka berdua, hukuman bisa diperlihatkan. Orang yang meyakini keberadaan Allah sebenarnya sedang menampakkan Allah secara terus-menerus, dan demikian juga dengan orang yang mengingkari Allah. Karena bagaimana mungkin bisa membuktikan keberadaan sesuatu tanpa ada yang menafikannya, tentu itu tidak menyenangkan sama sekali.

Bisa dikatakan, misalnya: Seorang pendebat mengomentari sebuah permasalahan dalam sebuah forum. Jika di sana tidak ada seorang penentang yang berkata: “Aku tidak terima,” lalu apa yang bisa diputuskan dan apa yang menyenangkan dalam forum tersebut? Hal itu karena pembuktian dalam sebuah forum akan menjadi kurang bermakna tanpa ada penentangnya. Demikian juga dengan alam ini, ia juga merupakan media transfigurasi bagi Allah. Tanpa adanya yang pro dan kontra, transfigurasi ini tidak akan menjadi indah. Baik yang pro maupun yang kontra itulah yang menampakkan Allah.

Beberapa sahabat menemui seorang menteri. Tiba-tiba sang menteri marah kepada mereka dan berkata: “Apa yang kalian lakukan di sini?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kegaduhan dari perkumpulan kami ini bukan untuk saling menzalimi, tapi agar kita saling tolong menolong atas beban yang dipikul serta mendorong kesabaran dan saling bahu membahu.” Sebagaimana dalam hal takziah, ketika manusia berkumpul bukan bertujuan untuk mencegah kematian, namun untuk menentramkan keluarga yang tertimpa musibah dan menghilangkan kegelisahan dari hatinya karena “Orang-orang yang beriman bagai satu tubuh.”

Para darwis ibarat satu jasad, ketika satu anggota badan menderita, yang lain juga akan menderita. Mata meninggalkan pandangannya, telinga mengabaikan pendengarannya, lisan menjauhi ucapannya, dan semua berkumpul di tempat organ tubuh yang menderita itu. Syarat dari mahabah adalah kesediaan manusia untuk menjadikan dirinya sebagai tebusan bagi kekasih dan kerelaannya jatuh dalam kebinasaan demi sang kekasih. Karena keduanya menuju satu tujuan, dan akhirnya akan tenggelam di satu lautan. Itulah pengaruh Iman dan persyaratan Islam. Lantas apakah kandungan yang ada di jasad Iman dan Islam sama dengan janin yang dikandung oleh roh keduanya?

“Mereka berkata: Tidak ada kemudaratan bagi kami; sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. (QS. al-Syu’ara: 50)

Ketika seorang Mukmin memasrahkan diri mereka pada Allah, mengapa dia masih berpikir akan malapetaka dan rintangan, dengan tangan dan kakinya? Ketika ia berjalan menuju Allah, masihkah ia butuh pada tangan dan kaki? Allah memberimu kedua tangan dan kaki agar kamu bisa berjalan di dunia ini. Tetapi ketika kamu berjalan menuju Sang Pencipta kaki dan tangan, kosonglah ketergantunganmu pada kedua tanganmu dan kamu akan jatuh di atas kedua kakimu. Seperti para penyihir Fir’aun, dirimu akan terus berjalan dengan kedua tangan dan kaki. Lalu apa penyebab kegundahanmu ini?

Mungkin saja meneguk racun dari tangan sang kekasih yang molek, Mungkin saja menelan kata-katanya yang pahit, seperti gula.

Betapa banyak garam sang kekasih, betapa banyak garamnya! Sekiranya ia bisa ditemukan, maka hati bisa memakannya.

Wallahu a’lam.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum