Aku dan Penyesalan

Hari mulai gelap dan sebentar lagi bulan akan datang menyinari kegelapan malam. Begitu pula dengan kesedihan yang selalu datang setiap saat. Iya, setiap saat. Selama hidupku, aku tidak pernah merasakan bahagianya hidup di dunia ini. Hanya kejenuhan yang menemaniku setiap hari.
Sedari kecil, aku tidak pernah merasakan hangatnya pelukan ibu. Aku juga tidak pernah merasakan bahagianya bercanda dan tertawa bersama ayah. Ibuku meninggal dunia ketika melahirkanku tujuh belas tahun yang lalu, sedangkan ayahku yang selalu sibuk dalam pekerjaannya, amat jarang menghabiskan waktunya denganku.
Salsa Ayu Kirana, itulah namaku. Sejak kecil aku diasuh oleh Mbak Tini. Mbak Tini merupakan orang yang baik. Namun, tetap saja ia tidak bisa menghiburku ketika aku sedih. Jadi, saat aku merasa sedih, aku selalu berusaha menghapusnya dengan memecahkan soal matematika. Apalagi di malam hari seperti ini, aku nyaris tidak pernah meninggalkan kebiasaanku ini. Tak tahu mengapa, rasanya soal-soal itulah yang membuatku semangat menjalani hari-hariku.
Di sekolah, aku merupakan tipe anak yang pendiam. Aku tidak suka bermain dengan teman-temanku. Aku lebih memilih bermain dengan angka-angka. Aku lebih suka mengerjakan soal matematika yang belum kupelajari. Bahkan saat berumur tujuh tahun, aku sudah bisa memecahkan soal matematika yang seharusnya kupelajari nanti di Sekolah Menengah Atas. Karena hal tersebut, tidak sedikit teman-temanku yang meminta untuk diajari matematika. Tetapi, aku selalu menolak. Karena bagiku, ilmuku hanyalah untukku. Karena hal tersebut, aku dibenci oleh semua temanku di kelas, aku sering disebut “Si Genius Pelit” oleh mereka.
Berbeda dengan Galih, ia justru sama sekali tidak membenciku. Orang yang merupakan tetanggaku sekaligus teman sekelasku ini, justru malah berusaha mendekatiku. Galih tidak pernah absen datang ke rumahku setiap hari Minggu untuk minta diajari matematika. Tetapi, aku selalu menolaknya dengan berbagai alasan. Hingga pada akhirnya, ia ke rumahku hanya untuk sekedar mengobrol, tidak lagi meminta bantuan mengenai matematika. Akan tetapi, sebenarnya aku malas sekali berbicara dengannya. Karena, Galih membuat waktu belajarku terpotong.
Ting Tong
Seperti minggu-minggu sebelumnya, bel rumahku berbunyi tepat pada pukul sepuluh pagi. Tak pernah kurang atau lebih satu menit pun. Tetapi kali ini berbeda, Galih membawa beberapa telur di sebuah goodie bag.
“Hai, Sal. Kebetulan ayam-ayam gue bertelur, niatnya gue mau berbagi ke lo. Eum, liat deh gambar yang ada di goodie bag ini, ini tuh gambar wajah lo. Cantik ya, kayak aslinya, hehehe.” ucap Galih sembari menunjuk ke arah gambar pada goodie bag tersebut.
“Makasih, ya.” hanya itu yang kukatakan, ditambah dengan sedikit senyuman terpaksaku.
“Yaudah, gue balik ya.” Galih berjalan ke luar teras rumahku.
Di balik senyumku kepada Galih tadi, aku sebetulnya ingin sekali menolak telur pemberiannya. Karena, aku sungguh mengetahui kondisi lahan peternakannya Galih. Lahannya yang dipenuhi lumpur dan kotoran ayam membuatku tidak yakin bahwa ayam-ayamnya itu dapat menghasilkan telur-telur yang higienis. Namun, karena aku merasa tidak enak kepadanya, maka aku terima saja telur darinya.
Ternyata tidak hanya satu kali, sejak itu ia selalu memberikan telur dengan goodie bag- nya kepadaku. Aku yang merasa jijik, selalu membuang telur-telur tersebut tanpa sepengetahuan Galih. Tak lupa aku mengenakan sarung tangan setiap kali aku membuangnya. Hingga pada suatu hari ketika aku membuang telur dari Galih, kebetulan ia sedang melewati pekaranganku.
“Lho, bukannya itu goodie bag dari gue, ya?” Galih berlari menghampiriku dan mengecek isi dari goodie bag tersebut.
“Eum, itu,” ucapku terbata.
“Tega banget lo, Sal. Telur-telur itu dierami dengan penuh kasih oleh ayam-ayam gue. Tapi apa balasannya? Justru lo malah membuang telur-telur itu. Kenapa? Lo jijik? Asalkan lo tau ya, lahan gue itu selalu gue bersihin setiap sore. Dan satu lagi, goodie bag ini tuh gue buat khusus untuk lo. Pesan dari gue, jangan lagi sekali-kali lo pelit berbagi ilmu yang lo punya ke orang lain. Karena, hal itu gak akan membuat lo menjadi orang yang bodoh. Jangan juga membuang barang pemberian orang lain sekalipun lo gak suka dengan barang itu. Buang jauh-jauh sifat egois lo kalo lo gak mau dibenci orang lain.” ucap Galih dengan ekspresi kecewa.
Galih menjatuhkan setangkai mawar merah ke tanah, kemudian pergi begitu saja tanpa pamit. Ternyata terdapat kertas yang tertempel pada tangkai bunga itu.
I love You, Salsa. From Galih.” Dalam hati aku membacanya.
Sungguh aku amat menyesali perbuatanku selama ini. Dan sekarang aku sadar, bahwa sifat egois membuat kita dijauhi oleh semua orang, bahkan oleh orang yang mencintai kita.

Sumber gambar: Diambil oleh diri sendiri
#lombaceritamini
#2.0
#dictiocommunity
#egoismedisekitarkita
#ceritadirumahaja
#dirumahaja