Ada Apa Dengan Rahmat Allah SWT? Pendosa sekalipun bisa masuk surga?

d3

Surga dan neraka merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Namun Allah yang Maha Pemurah dapat menghendaki hamba-Nya yang terpilih untuk masuk surga. Bahkan seseorang yang mempunyai dosa besar sekalipun bisa ia kehendaki masuk surga.

Seorang pendosa umumnya dipastikan masuk neraka. Itu pandangan umum manusia. Namun tidak dalam pandangan Allah ‘Azza wa Jalla. (Dari sini, sadarlah wahai kaum human, pandangan kita itu sangat terbatas dan berbatas. Namun, mengapa Begitu mudahnya dalam menstample merah jidad seseorang :v)

Terdapat sebuah kisah yang tertuang dalam sejumlah hadits antara lain Shahih Muslim (4/2111) yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudri (nomor 2756, 2757), ada juga di Syarah Shahih Muslim Nawawi, 17/226. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari di beberapa tempat dalam Shahih Bukhari.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita di hadapan sahabat-sahabatnya tentang ‘laki-laki yang bergelimang dosa sepanjang hidupnya’. Karena kelakuannya ini, lelaki tersebut berwasiat kepada keluarganya agar saat meninggal nanti jenazahnya dibakar. Lebih dari itu, ia juga berpesan agar sebagian abu jasadnya dibuang ke daratan, sebagian lain di lautan.

Wasiat ini muncul dari ketakutan mendalam. Si lelaki sadar bahwa Allah ‘Azza wa Jalla kelak menyiksanya, dan skenario pembakaran dan pembuangan abu tersebut adalah siasat menghindari siksaan itu.

Dosa-dosanya menggunung, sementara kebaikannya nihil. Ia berharap bisa lolos dari azab berat dengan menghilangkan jejak jasmani. Ketika kematian itu telah tiba, wasiat pun dijalankan dengan baik oleh anak-anaknya.

Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Ketika orang tersebut meninggal dunia, Allah memerintahkan daratan dan lautan untuk menghimpun abu itu dan menghidupkannya kembali.

Allah bertanya kepada si laki-laki, “Kenapa kau melakukan hal ini?”

“Karena khasyyah (takut), ya Rabb, dan Engkau lebih mengetahuinya,” jawabnya.

Rasulullah mengabarkan bahwa lelaki itu akhirnya mendapat ampunan dari Allah. Lelaki itu berlumuran dosa, namun menjelang kematiannya ia melakukan ibadah besar, yakni khasyyatullah (takut kepada Allah). Subhanallah, maha suci Allah :’)

Dari kisah di atas dapat kita Ambil inti positifnya yaitu Allah bisa memberikan Rahmatnya kepada siapapun tak pandang seseorang tersebut rajin beribadah ataupun rajin Maksiat. Bisa juga sebaliknya, yang rajin ibadah belum tentu masuk surga. Dan kita sebagai manusia dengan segala kekuranganya, seberapa pahala ibadah kita dan seberapa besar dosa kita. Tetaplah berusaha mengejar, mengambil dan memetik Rahmatnya Allah. Sebab dengan Rahmat itulah yang dapat menolong kita kelak di akhirat. Makadari itu, seseorang berlomba-lomba dalam mengejar dan mencari mengejar Rahmat Allah.

Sebagai mana dalam hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu disebutkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ,

لَا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّه

Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah ” (HR. Muslim no. 2817).

Seperti yang di tulis dalam artikel Ustadz Abu Minhal Lc bahwa Rahmat terhadap Allâh Azza wa Jalla merupakan kebutuhan primer seorang hamba untuk hidup di dunia ini. Cakupan rahmat Allâh amatlah luas, karena Allâh Azza wa Jalla memiliki nama ar-Rahmân dan ar-Rahîm. Rahmat-Nya luas, meliputi segenap makhluk-Nya. Tanpa rahmat, manusia akan binasa dan rugi.

Simaklah ayat berikut:

قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ ۖ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Nuh berkata, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan (memberi rahmat) kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Hûd/11:47).

Rahmat Allâh Azza Wa Jalla Ada Dua Macam:

Rahmat ‘Âmmah (umum) yang mencakup seluruh makhluk-Nya, termasuk orang-orang kafir sekalipun. Rahmat ini bersifat Jasadiyyah Badaniyyah Dunyawiyyah (rahmat fisik duniawi), seperti pemberian makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain.

Rahmat Khashshâh (rahmat khusus) yang bersifat Îmâniyyah Dîniyyah baik di dunia maupun akhirat, dalam bentuk taufik untuk berbuat ketaatan kepada Allâh, kemudahan untuk berbuat baik, diteguhkan keimanannya dan diberi hidayah menuju jalan yang lurus dan dimuliakan dengan masuk ke dalam Surga serta selamat dari Neraka.

Dengan demikian, seorang hamba tidak bisa lepas sesaat pun dari dua jenis rahmat Allâh Azza wa Jalla di atas. Dan seorang Muslim memandang rahmat jenis kedua lebih penting dan utama ketimbang yang pertama.

Pangkal Memperoleh Rahmat Dari Allâh Azza Wa Jalla Untuk itu, insan Muslim yang menghendaki rahmat Allâh Azza wa Jalla selalu menaunginya dan senantiasa mendapatkan limpahan dan tambahan rahmat-Nya, maka hendaklah ia menempuh langkah-langkah yang mendatangkan rahmat baginya. Semua faktor itu, kata Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah, terhimpun pada firman Allâh Azza wa Jalla.

إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Sesungguhnya rahmat Allâh amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al-A’râf/7:56).

Yaitu, menjalankan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan baik dan berbuat baik kepada sesama hamba Allâh Azza wa Jalla . Dan menyayangi semua makhluk termasuk pengaruh yang muncul dari sikap baiknya kepada para hamba Allâh Azza wa Jalla . Maka seorang hamba semakin besar ketaatannya kepada Allâh Azza wa Jalla , kian dekat dengan-Nya dalam taqarrub kepada-Nya, maka akan semakin besar bagian rahmat yang ia dapatkan dari Allâh Azza wa Jalla.

Pangkal Jauhnya Rahmat Allâh Azza Wa JallaDari Seorang Hamba

Bila perbuatan baik yang sesuai agama dan diniatkan untuk Allâh Azza wa Jalla menjadi pangkal seluruh faktor bagi seseorang Muslim untuk meraih rahmat dari Rabbnya, maka mafhûm mukhâlafahnya, maksiat-maksiat yang dilakukan seorang hamba akan menjauhkan rahmat Allâh dari dirinya. Mari kita simak istimbath Syaikh As-Sa’di rahimahullah melalui firman Allâh Azza wa Jalla berikut ini:

يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَٰنِ عَصِيًّا

Wahai bapakku, janganlah engkau menyembah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu durhaka kepada Rabb Yang Maha Penyayang (Maryam/19:44)

Dalam penyebutan maksiat yang dikaitkan kepada nama Allâh ar-Rahmân termuat adanya isyarat bahwa maksiat-maksiat itu akan menghalangi seorang hamba dari rahmat Allâh dan menyekat pintu-pintunya, sebagaimana ketaatan merupakan faktor terpenting untuk meraih rahmat-Nya.

Dengan melihat betapa eratnya turunnya rahmat Allâh Azza wa Jalla dengan pengamalan kandungan-kandungan al-Qur`ân, maka setiap Muslim berkewajiban untuk berusaha keras memahami isi kitab sucinya, dan mengamalkannya dalam kehidupannya.

Ia tidak boleh merasa cukup hanya dengan membaca atau menghafalnya. Ia harus mengamalkannya. Syaikh Shâlih Al-Fauzân sudah mengingatkan bahwa yang tidak mengamalkan kandungan al-Qur`ân, walaupun ia termasuk orang yang sering sekali membacanya, atau banyak hafalannya, orang tersebut belumlah memenuhi kewajiban melakukan nashîhah kepada Kitâbullâh dengan baik.

Semoga Allâh Azza wa Jalla berkenan memudahkan kita mengamalkan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sehingga rahmat-Nya yang khusus selalu menaungi kehidupan kita. Aamiin.