Sumangkar tidak berkata apa-apa lagi kepada prajurit itu. Sambil menundukkan kepalanya ia berjalan terus ketika ia sampai di muka pintu, ia tertegun sejenak. Dilihatnya cahaya obor memancar lewat pintu yang masih terbuka sedikit jatuh di atas tanah yang kotor lembab.
Dengan ragu-ragu Sumangkar mendekat. Disentuhnya pintu itu dengan tongkatnya. Dan tiba-tiba ia mendengar suara dari dalam pintu itu menyentak, “Kakang tohpati.”
Sanakeling terlonjak ketika dilihatnya sebatang tongkat baja putih menyentuh pintu. Dengan sebuah loncatan ia telah mencapai pintu diikuti oleh beberapa orang lain. Tetapi ketika ia melihat, siapa yang berdiri di muka pintu dan apa yang dibawanya, maka serasa darahnya membeku. Dengan suara yang serak parau ia berkata, “Paman Sumangkar, apakah itu Kakang Tohpati?”
Sumangkar mengangguk. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata. Ketika ia melangkahi tlundak pintu semua orang yang berdiri di dalamnya, menyibak. Merekapun terdiam seperti Sumangkar. Dengan mata terbelalak dan hati melonjak-lonjak mereka melihat Sumangkar meletakkan tubuh itu di atas sebuah amben bambu. Terdengar suaranya berderit seolah-olah sebuah goresan yang tajam berderit di jantung mereka.
Sesaat mereka berdiri tegak seperti patung. Semua mata tertancap kepada tubuh yang terbujur diam. Pakaiannya masih berwarna darah karena lukanya yang arang kranjang. Sedang di tubuh Sumangkar pun darah itu meleleh membasahi pakaian orang tua itu pula.
Ruangan itu menjadi sunyi senyap. Tak seorangpun yang bergerak. Hanya hati merekalah yang bergelora, melonjak-lonjak menggapai langit seperti sebuah nyala api yang membakar gunung.
Yang terdengar kemudian adalah desir angin yang menggerakkan dedaunan. Sekali-kali kilat memancar di langit, disusul oleh suara guruh bersahut-sahutan. Perlahan-lahan, namun semakin lama semakin keras.
Tetapi ruangan itu masih tetap sepi.
Hati mereka seakan-akan pecah ketika mereka mendengar Sumangkar berkata sambil menunjuk tubuh Tohpati itu dengan tongkatnya, “Inilah orang yang kalian tunggu.”
Yang pertama-tama bergerak adalah Sanakeling. Selangkah ia maju mendekati tubuh yang terbujur itu. Sambil menggigit bibirnya ia menunduk mengamat-amati mayat yang sudah membeku dingin. Sanakeling menarik nafas dalam-dalam. Luka itu luka arang kranjang.
Tiba-tiba orang kedua sesudah Macan Kepatihan itu menggeram seakan-akan ingin melontarkan tekanan yang menghimpit dadanya.
“Raden Tohpati terbunuh dengan luka arang kranjang karena ingin menyelamatkan kita.” desah Sanakeling. Wajahnya yang ditimpa oleh sinar obor yang nyalanya bergerak-gerak disentuh angin tampak menjadi tegang dan buas. Seperti seekor serigala yang kehilangan anaknya, Sanakeling itu menggeretakkan giginya sambil menghentakkan kakinya di tanah.
Kembali ruangan itu tenggelam dalam kesenyapan. Hanya nafas-nafas mereka yang bekejaran terdengar seperti desah angin di luar, yang menggetarkan dedaunan dan ranting-ranting.
Sekali-kali kilat memancar di langit dan kembali suara guruh terdengar bersahut-sahutan. Namun kemudian sunyi kembali.
Tetapi tanpa sepengetahuan mereka, di luar gubug yang satu itu, semakin lama semakin banyak orang-orang Jipang berkumpul. Mereka mendengar dari prajurit yang melihat Sumangkar membawa mayat Tohpati memasuki gubug itu. Berjejal-jejal mereka ingin menyaksikan apakah yang dikatakan oleh kawannya itu benar.
Sumangkar, Sanakeling dan orang-orang yang berada di dalam gubug itu terkejut ketika mereka mendengar pintu berderak karena desakan orang-orang di luar. Ketika mereka berpaling, mereka melihat wajah-wajah yang kaku tegang.
Sanakeling yang dibakar oleh luapan kemarahannya itu memandang mereka dengan mata yang menyala. Seakan-akan dari matanya memancar dendam tiada taranya. Seakan-akan dari matanya itu memancar tuntutan atas kesetiaan orang-orang Jipang kepada pemimpinya itu.
Sumangkar melihat mata yang menyala itu. Sumangkar menangkap apa yang terbersit dari pancaran itu. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Ia belum sempat menyampaikan pesan terakhir Macan Kepatihan kepada Sanakeling, kepada Alap-alap Jalatunda, kepada pemimipin-pemimpin Jipang yang lain. Kini tiba-tiba pemimpin-pemimpin Jipang yang marah itu akan langsung berhadapan dengan para prajurit yang pasti akan mudah sekali terbakar hatinya. Dalam keadaan yang sedemikian, maka mereka dapat melakukan kebuasan dan kebiadaban yang mengerikan. Apalagi kini Macan kepatihan sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi yang dapat mencegah mereka melakukah apa saja yang mereka kehendaki. Apa saja yang mereka lakukan, apalagi untuk mengungkapkan kemarahan kebencian, dendam, bahkan untuk mengucapkan kegembiraan hati mereka, mereka dapat melakukan hal-hal yang tidak wajar. Sepeninggal Arya Jipang, sepeninggal Patih Mantahun, maka sebagian besar para prajurit Jipang telah kehilangan pegangan. Seandainya pada saat-saat yang demikian itu tidak ada Macan Kepatihan, maka mereka akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat liar, sebab mereka sudah kehilangan tujuan. Namun kemungkinan yang lain, bahwa sebagian besar dari mereka justru akan meletakkan senjata mereka, apabila mereka mendapat kesempatan dan jaminan bahwa kepada mereka tidak akan diperlakukan di luar batas-batas ketentuan yang ada.
Dan kini Macan Kepatihan itu sudah tidak ada. Kemungkinan yang demikian itu pasti akan berlaku lagi. Sebagian dari mereka pasti akan melepaskan dendam mereka, kebencian mereka dan perbuatan-perbuatan lain yang tanpa terkendali. Namun sebagian dari mereka justru akan meletakkan senjata, apabila mereka mendengar jaminan yang telah diucapkan oleh Untara, senapati Pajang yang langsung mendapat kekuasaan dari Panglima Wira Tamtama.
Kini tinggal bagaimana cara menyampaikan kepada sebagian besar para prajurit Jipang itu. Kalau Sanakeling yang berbicara kepada mereka, maka pasti yang akan dikobarkannya adalah dendam dan benci. Akan dibakarnya hati para prajurit itu. Dan hati merekapun segera akan terbakar. Mereka akan bertebaran ke segala penjuru dengan bara di dada mereka. Dan mereka dapat berbuat apa saja di sepanjang perjalanan mereka. Mereka dapat menakut-nakuti rakyat padesan. Bahkan mereka akan dapat melakukan berbagai perkosaan atas sendi-sendi kemanusian.
Karena itu Sumangkar harus bertindak cepat. Mendahului Sanakeling yang menjadi buas, karena melihat Macan Kepatihan yang terbunuh dengan luka arang kranjang.
Tatapi selagi Sumangkar sedang menimbang-nimbang, maka yang terdengar dahulu adalah suara Sanakeling, “He, para prajurit Jipang yang berani. Kini kalian dapat melihat, betapa biadabnya orang-orang. Pajang Pemimpinmu terbunuh dengan luka arang kranjang.”
Dada Sumangkar berdesir mendengar kata-kata itu. Kata-kata itu adalah permulaan dari cara Sanakeling membakar hati mereka. Dada Sumangkar itu semakin bergelora ketika sekilas ia melihat mata yang menyala pada setiap wajah para prajurit Jipang. Dalam sinar obor yang kemerah-merahan, maka dilihatnya mata mereka seakan-akan melampaui panas api obor itu.
Kali ini Sumangkar tidak mau terlambat lagi. Karena itu maka segera ia menyahut, “Ya. Lihatlah. Angger Macan Kepatihan telah meninggalkan kita. Macan Kepatihan yang garang ini telah bertempur untuk melindungi kalian, sehingga nyawanya sendiri telah dikorbankan.”
Semua orang yang berdiri di samping mayat yang terbujur itu diam. Dan mereka mendengar kata-kata Sumangkar itu dengan hati yang penuh haru.
Namun Sumangkar masih melihat bara di wajah-wajah mereka. Bara yang justru menjadi semakin panas.
Tetapi Sumangkar berkata terus, “Nah. Apakah yang akan kalian lakukan sebagai balas budi yang tiada taranya itu?”
Sanakeling sendiri menatap wajah Sumangkar dengan gelora yang hampir menghimpit jalan pernafasannya. Yang pertama-tama berteriak adalah Sanakeling sendiri, “Pembalasan !”
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di luar gubug itu. “Ya. Pembalasan. Pembalasan. Nyawa dengan nyawa. Darah dengan darah.”
Sumangkar meredupkan matanya. Ia melihat tekad yang menggelora. Namun di antara suara yang bergemuruh itu, terdengar jantungnya sendiri berdentangan melampaui gemuruh suara orang-orang di luar gubug itu.
“Bagus!” teriak Sumangkar. “Bagus. kalian harus melakukan pembalasan.” Sumangkar berhenti sesaat. Lalu diteruskannya, “Apakah kalian masih memiliki kesetiaan kepada pemimpin-pemimpinmu ini?”
Para prajurit Jipang itu serentak menjawab, “Tentu. Kami masih memiliki kesetiaan yang utuh.”
Sumangkar memandang berkeliling. Sanakeling, A1ap-alap Jalatunda, orang-orang yang berdiri di dalam dan di luar gubug itu. Dengan hati-hati ia berbicara terus, “He, orang-orang Jipang. Aku menunggu saat Angger Tohpati menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Aku menunggu saat-saat Raden Tohpati mengucapkan pesan-pesannya yang terakhir. Nah, apakah kalian ingin mendengar pesan yang terakhir itu?”
“Ya. Kami ingin mendengar,” sahut mereka serentak.
Sumangkar terdiam sesaat. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah sudah tiba saatnya menyampaikan pesan terakhir itu? Apakah dengan demikian, maka tidak akan menimbulkan salah paham pada para pemimpin Jipang yang masih ada?
Namun Sumangkar berjalan terus meskipun ia harus berhati-hati sekali. Katanya, “Pesan itu amat sulit kita lakukan.”
“Biar apapun yang harus kami lakukan, kami tidak akan gentar,” sahut mereka serentak.
“Terlalu berat,” seakan-akan Sumangkar bergumam kapada sendiri.
“Jangan memperkecil arti kami yang ada disini, Paman,” berkata Sanakeling dengan mata menyala. “Apakah kau sangka kami tidak mempunyai cukup keberanian untuk melakukannya?”
“Memang,” sahut Sumangkar, “kesetiaan hanya dapat diwujudkan dengan perbuatan. Bukan sekedar kata-kata dan janji. Namun apa yang harus kita lakukan seakan-akan berada di luar jangkauan kita semua. Bahkan selama ini belum pernah terpikirkan, bahwa kita akan melakukannya.”
“Ya, apakah menyerang jantung kota Pajang? Apakah kami harus berusaha membunuh Adiwijaya? Atau kami harus membalas dendam atas kematian Arya Penangsang dengan berusaha membunuh Ngabehi Loring Pasar meskipun secara diam-diam. Atau Untara, Widura? Apa? Apa yang harus kami lakukan?” teriak Alap-alap Jalatunda.
Sumangkar menggeleng. Selangkah ia maju dengan tongkat baja putihnya terayun-ayun. Cahaya yang berkilat-kilat memantul dari tongkatnya itu berwarna kemerah-merahan, seperti sinar obor yang dengan lincahnya menari di ujung-ujung bumbung dan jlupak.
“Kalian lihat tongkat ini?” berkata Sumangkar kepada orang-orang Jipang.
“Ya. Kami lihat. Itu adalah ciri kebesaran Macan Kepatihan.”
“Kalian salah,” sahut Sumangkar, “ini bukan tongkat Angger Tohpati.”
Semuanya terdiam mendengar kata-kata itu. Serentak mereka memandangi tongkat itu tajam-tajam. Akhirnya mereka menemukan perbedaan itu. Mereka mengenal tongkat Macan Kepatihan baik-baik seperti ia mengenal orangnya, tongkat ini agak lebih kecil dari tongkat Raden Tohpati. Karena itu timbullah keheranan di dalam hati mereka. Apakah Sumangkar juga mempunyai tongkat baja putih berkepala tengkorak yang kekuning-kuningan seperti Macan Kepatihan? Apakah ia memilikinya juga?
Tiba-tiba mereka tersadar, bahwa mereka berhadapan dengan juru masak yang malas. Mereka sama sekali bukan berhadapan dengan seorang pemimpin mereka. Namun meskipun demikian, mereka menunggu dengan tidak sabar. Apakah yang akan dikatakannya tentang pasan terakhir itu.
Tetapi merekapun menjadi heran, kenapa Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, tiba-tiba saja memberi kesempatan kepada orang tua itu untuk seakan-akan memimpin pertemuan yang tidak sengaja mereka adakan itu?
Dalam kebimbangan dan keheranan itulah maka Sumangkar akan sampai pada tingkat terakhir dari permainannya. Sebelum ia mengatakan pesan Tohpati, ia harus cukup mempunyai wibawa atas orang Jipang itu. Setidak-tidaknya setingkat dengan wibawa yang dimiliki oleh Sanakeling.
Karena itu, Sumangkar itu maju beberapa langkah. Kini ia berdiri di muka pintu keluar. Ia melihat orang-orang Jipang yang berdiri berdesak-desakan, bahkan ada di antara mereka yang membawa obor-obor di tangan; sedang ke dalam ia melihat Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan beberapa pemimpin yang lain berdiri tegang kaku seperti patung. Namun, baik wajah-wajah orang-orang Jipang maupun para pemimpinnya membayangkan ketidak-sabaran, mereka menunggu kata-kata Sumangkar tentang pesan terakhir Macan Kepatihan.
Terdengar Sumangkar kemudian berkata, “Nah, jadi adakah kalian lihat bahwa tongkat ini bukan tongkat Angger Tohpati? “
“Ya kami lihat,” sahut mereka. Namun Sanakeling, Alap¬alap Jalatunda dan para pemimpin yang lain tampak seolah-olah berdiri saja membeku. Meskipun sebagian dari mereka mengerti bahwa sebenarnya Sumangkar bukanlah sekedar juru masak namun tongkat baja putih itu benar-benar mengejutkan mereka. Mereka sama sekali belum pernah melihat, bahwa Sumangkar pun memiliki tongkat semacam itu. Apalagi Sanakeling yang jarang sekali berada di pusat pemerintahan Jipang, dan jarang sekali bertemu dengan Sumangkar, meskipun ia tahu bahwa Sumangkar adalah seorang sakti yang berada di dalam lingkungan istana kepatihan. Tetapi sampai pecahnya Jipang, Sanakeling dan Sumangkar berada di medan yang berbeda.
“Itulah yang menyedihkan aku,” berkata Sumangkar. “Aku tidak berhasil membawa tongkat Angger Macan Kepatihan kembali. Aku tidak dapat mengambilnya dari medan setelah Angger Macan Kepatihan terbunuh.” Sumangkar berhenti sesaat. Kemudian katanya melanjutkan, “Tongkat ini adalah tongkatku.”
Sumangkar melihat berpasang-pasang mata terbelalak karenanya. Apalagi ketika mereka mendengar kata-kata Sumangkar seterusnya, “Aku adalah paman guru dari Angger Macan Kepatihan. Nah, itulah aku. Dan itulah sebabnya maka Angger Macan Kepatihan mempercayakan pesannya kepadaku, sebab aku adalah saudara seperguruan Patih Mantahun.”
Gubug itu menjadi sunyi senyap di dalam dan di luarnya. Sesepi tanah pekuburan, orang-orang yang berdiri tegak di halaman dan di dalam gubug itu seperti tonggak-tonggak batang kamboja yang membeku.
Pengakuan Sumangkar terdengar oleh sebagian besar dari mereka seperti suara guruh yang meledak di langit. Orang-orang Jipang itu benar-benar terkejut. Sumangkar, yang mereka kenal sebagal seorang juru masak yang malas, ternyata adalah seorang yang sakti. Saudara seperguruan Patih Mantahun.
Tetapi beberapa orang sudah tidak terkejut lagi. Sanakeling juga tidak terkejut. Siapapun Sumangkar itu, bagi Sanakeling tidak ada bedanya. Sebab ia sudah tahu sebelumnya, bahwa Sumangkar adalah seorang yang sakti.
Kecuali Sanakeling dan beberapa pemimpin yang lain, di antara para prajurit Jipang yang berkumpul di luar pintu itu, terdapat Bajang, juru masak kawan sepekerjaan Sumangkar. Sambil senyum ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada orang yang berdiri di sampingnya ia berkata, “Aku sudah tahu lebih dahulu dari kalian semuanya.”
Kawannya mengerinyitkan alisnya sambil bertanya, “Darimana kau tahu ?”
“Apakah kau sudah bertemu dengan Tundun?”
“Belum.”
“Anak itu belum berceritera kepadamu tentang Ki Tambak Wedi dan Sidanti yang datang ke perkemahan ini ketika kalian sedang pergi berperang?”
“Aku belum bertemu dengan Tundun. Bagaimana ia bisa berceritera kepadaku?”
“Mungkin Ki Lurah Sanakeling pun belum sempat mendengar laporan Tundun,” berkata Bajang. “Tambak Wedi yang mengerikan itu datang bersama muridnya Sidanti. Kalau tidak ada juru masak yang malas itu, entahlah apa yang terjadi. Kami bertempur bersama-sama dengan semua orang yang ada di sini. Tetapi melawan muridnya, Sidanti pun kami tidak mampu. Apalagi Ki Tambak Wedi.”
“Dan Sumangkar mengalahkannya?”
“Ya, Sumangkar telah mengusirnya.”
Orang yang mendengar ceritera itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantas. Pantas,” gumamnya.
Ketika mereka kemudian memandangi pintu gubug itu, kembali mereka melihat Sumangkar berdiri tegak seperti batu karang pinggir pantai. Tiba-tiba mereka melihat seolah-olah orang yang berdiri itu bukan lagi seorang juru masak yang mereka kenal sehari-hari.