Betapapun kebimbangan bergelora di dalam batinnya, namun akhirnya Sumangkar itu tidak juga dapat membiarkan kekalahan demi kekalahan melanda pasukan murid kakak seperguruannya. Karena itu berkali-kali terdengar ia berdesah, kemudian menggeram. Wajahnya semakin lama menjadi semakin tegang. Dan orang tua itu menjadi semakin kuat menggenggam senjatanya.
Ketika ia mendengar orang-orang Pajang bersorak, seakan-akan dirinyalah yang disorakinya. Seorang tua yang tidak berarti dan tidak tahu diri.
Di dalam arena pertempuran itu sendiri, Sanakeling terpaksa melihat kenyataan, bahwa adik Untara yang bernama Agung Sedayu itu benar-benar seorang anak muda yang tangguh. Anak muda yang lincah dan cekatan. Geraknya kadang-kadang terasa aneh dan membingungkan. Sebenarnya Agung Sedayu mempunyai cara yang khusus dalam olah pertempuran. la tidak saja mempergunakan unsur-unsur yang dipelajarinja dari gurunya, dari ayahnya, dari kakaknya, dan dari pengalamannya yang sedikit itu, tetapi Agung Sedayu telah berhasil membuat cara-cara dan unsur-unsur tersendiri, karena ketekunannya membuat gambar-gambar di atas rontal.
Sehingga Sanakeling yang dengan tatag berani melawan Widura kini terpaksa bertempur dengan memeras segenap ilmu yang dimilikinya.
Di induk pasukan Tohpati pun mengalami banyak kesulitan. Apalagi setelah Untara dapat melepaskan segenap perhatiannya atas sayap kanannya yang agak mengalami kesulitan. Kini sayap itu telah menjadi mantap kembali. Karena itu ia tinggal memusatkan perhatiannya kepada Tohpati dan induk pasukannya. Namun Sonya, di sisi kiri dan Swandaru di sisi kanan, ternyata banyak membantunya, memperingan tekanan-tekanan yang Iangsung ke pusat pasukannya.
Apalagi di sayap kiri, Widura telah mencoba mempengaruhi seluruh medan lewat sayapnya. Dikerahkannya kekuatan sayapnya untuk mendesak semakin maju. Kemenangan yang dicapainya diharapkannya dapat langsung menimbulkan pengaruh pada induk pasukan lawan dan lebih-lebih bagi Tohpati sendiri. Menurut perhitungan Widura, kini telah sampai saatnya, Tohpati mengalami kesulitan yang sama seperti yang dialami oleh Untara di permulaan peperangan ini.
Sekali-sekali terdengar di induk pasukan, Tohpati menggeram sambil menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah memuncak sampai ke ujung ubun-ubunnya. Tetapi ia tidak mau hangus terbakar oleh kemarahannya. Karena itu, ia masih mempergunakan segenap kesadaran serta perhitungan. Ia harus bertanan sampai matahari terbenam meskipun seandainya harus menarik mundur pasukannya benerapa langkah untuk beberapa kali. Tetapi ia harus memelihara agar pasukannya tidak terpecah. Sebab dengan demikian, maka akan hilanglah gairah segenap anak buahnya. Hati mereka akan berkeriput sekecil nati tikus. Apapun yang akan dilakukan besok, apabila hati anak buahnya masih tetap terpelihara seperti hari ini, maka kemungkinan-kemungkinan lain masih akan terjadi.
Namun ia masih harus menghadapi kenyataan. Pasukan Pajang dan Sangkal Putung mendesaknya seperti prahara.
Sumangkar yang melihat kekalahan-kekalahan yang semakin lama semakin sering, menjadi kehilangan segenap keragu-raguannya. Bara yang menyala di dalam dadanya terasa menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba terdengar ia bergumam, “Tahanlah sesaat ngger, mudah-mudahan aku akan dapat membantumu.”
Kata-kata Sumangkar itu, seakan-akan merupakan sebuah perintah bagi dirinya sendiri. Tiba-tiba terasa darahnya bergolak. Usianya yang sudah lanjut itu sama sekali tidak berpengaruh atas ilmu dan ketangkasannya. Bahkan semakin tua ilmunya menjadi semakin masak, dan segala geraknya menjadi semakin mapan.
Demikianlah dengan sigapnya Sumangkar meloncat turun dari bongkahan tanah padas. Kemudian diamat-amatinya tongkatnya sambil bergumam kepada diri sendiri, “Masa itu datang kembali.” Dan kepada tongkatnya ia berkata, “Kau sudah terlalu lama beristiratat. Marilah kita bekerja kembali. Aku tidak akan membawamu bertempur melawan kelinci-kelinci yang tidak berdaya dari sangkal Putung dan Pajang. Pekerjaanmu hanya mempengaruhi tekad dan gairah peperangan itu. Tolonglah aku, karena aku terpaksa, menyingkirkan angger Untara.”
Sumangkar itu kemudian mengangkat wajahnya. Di berbagai tempat dilekukan-lekukan tanah yang dalam, masih dilihatnya air yang tergenang sisa hujan semalam, meskipun karena panas yang terik di sana-sini tampak debu yang berhamburan.
“Maafkan aku Angger Untara,” desisnya, “aku terpaksa melakukannya.”
Sumangkar itu kemudian menggigit bibirnya, seolah-olah ia sedang mengusir parasaan lain yang mengganggunya. Kemudian dengan dada tengadah ia melangkah menuju kearena peperangan.
Namun tiba-tiba langkah orang tua itu terhenti. Lamat-lamat ia mendengar orang memanggilnya. Perlahan-lahan seperti sebuah bisikan.
“Adi Sumangkar. Adi, berhentilah sebentar.”
Langkah sumangkar tertegun. Dipalingkannya wajahnya. Dan ia benar-benar terkejut ketika dilihatnya seseorang duduk di bawah sebuah gerumbul kecil di samping bongkahan tanah padas tempatnya berdiri menyaksikan peperangan itu.
Tetapi Sumangkar itupun telah menyimpan pengalaman yang banyak sekali di dalam dirinya, sehingga sesaat kemudian ia sudah berhasil menguasai dirinya. Bahkan sambil tersenyum ia menjawab, “Ah. Aku terkejut mendengar sapa Ki Sanak.”
Orang itu mengangguk. “Maafkan kalau aku mengejutkanmu. Bukan maksudku berbuat demikian, sehingga karena itu, aku menyapamu perlahan-lahan.”
“Ya, ya. Kau sudah berhati-hati. Tetapi orang-orang tua seperti aku ini memang mudah menjadi terkejut. Bukankah begitu.”
Orang itupun tersenyum. Orang itupun sudah setua Sumangkar, bahkan setahun dua tahun di atasnya. Sambil tersenyum ia menjawab, “Benar. Kau benar Adi. Orang-orang tua mudah benar menjadi terkejut.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Apakah Ki Sanak memerlukan aku?”
“Ya,” sahut orang itu. “Aku ingin mempunyai seorang kawan untuk melihat peperangan itu.”
“Baik,” jawab Sumangkar, “aku akan mengawanimu. Tetapi biarlah aku melihatnya dahulu dari dekat. Nanti aku akan segera kembali.”
Orang tua itu menggeleng. Sambil masih duduk bersandar sebongkah padas ia menggeleng, “Jangan nanti. Dan sebaiknya Adi tidak usah pergi ke arena. Bukankah di sana tempat anak-anak muda saling menyombongkan kecakapan mereka memainkan senjata? Sama sekali bukan tempatnya orang-orang tua seperti kita?”
Dada Sumangkar berdesir. Sebagai seorang yang telah cukup makan asin pahit penghidupan, segera ia menyadari maksud kata-kata itu. Karena itu maka kemudian iapun tersenyum. Ia berdiri menghadap orang yang duduk bersandar padas itu. Perlahan-lahan mengangguk-angguk sambil tersenyum. Senyumnya membayangkan tanggapannya atas orang itu.
Sumangkar itupun segera mengerti siapakah yang duduk di hadapannya. Orang itu pasti seorang yang pilih tanding sehingga Sumangkar sama sekali tidak mengetahui kehadirannya. Sikapnya dan kata-katanya yang tenang meyakinkan. Sorot matanya yang tajam menembus langsung ke pusat jantungnya.
Dan ternyata sesaat kemudian sumangkar segera mengetahui, meskipun ia belum pasti. Tetapi tidak ada orang lain yang dapat disangkanya, orang yang duduk di hadapannya itu. Sehingga karena itu maka segera ia berkata, “Hem. Bukankah Kakang yang menamakan diri Kiai Gringsing?”
Orang itu mengangguk sambil tertawa kecil. Katanya, “Dari mana Adi tahu tentang aku?”
“O,” sahut Sumangkar, “bukankah kita pernah bertemu? Bukankah Kiai pernah mengunjungi daerah ini bersama dua orang murid Kakang selagi aku sedang bermain-main dengan K i Tambak Wedi bersama muridnya yang bernama Sidanti.”
Orang tua itu, yang sebenarnya adalah Gringsing, tertawa pula. Katanya, “Benar. Benar. Ingatanmu baik sekali Adi. Ternyata meskipun saat itu malam tidak terlalu terang, kau masih juga dapat mengenal aku.”
Sumangkar tertawa pula. Namun hatinya berdebar-debar menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja tumbuh. Sudah tentu Kiai Gringsing akan berbuat sesuatu, apabila ia benar-benar akan terjun ke dalam arena. Karena itu, maka ia harus menentukan suatu sikap untuk mengatasi setiap perkembangan keadaaan.
Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia berpaling ke arah peperangan yang masih saja berkobar dengan dahsyatnya. Sekali lagi dadanya berdesir. Ia melihat beberapa bagian dari gelar Dirada Meta telah terdesak-mundur. Gelar perang yang tangguh itu benar-benar sudah berada dalam bahaya.
“Kiai,” berkata Sumangkar itu kemudian, “aku tidak banyak mempunyai waktu. Apakah Kiai tidak berkeberatan apabila Kiai duduk di sini sebentar? Aku akan pergi ke arena itu, ikut serta dengan anak-anak Jipang bermain-main senjata.”
“Ah,” sahut Kiai Gringsing perlahan-lahan. “Sudahlah. Jangan melelahkan diri sendiri, marilah duduk di sini. Kita lihat pertunjukan itu.”
“Kau aneh Kiai,” berkata Sumangkar. “Pertunjukan itu terlalu menjemukan bagiku. Apakah tidak demikian bagimu?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia melihat Sumangkar berdiri tegak seperti sebatang tonggak yang kokoh. Karena itu maka perlahan-lahan orang tua itupun berdiri. Banyak hal yang dapat terjadi menilik sikap Sumangkar itu.
“Apakah yang akan kau lakukan atas permainan yang menjemukan itu?” bertanya Ki Tanu Metir.
Sumangkar terdiam sesaat. Sekali lagi ia berpaling, dan sekali lagi ia melihat pasukan Jipang yang terdorong mundur beberapa langkah.
“Kiai Gringsing,” berkata Sumangkar, “aku adalah seorang bawahan dari Macan Kepatihan. Apakah aku akan dapat berdiam diri melihat pertempuran itu? Ternyata Angger Untara memliliki kecemerlangan rencana untuk menghadapi Macan Kepatihan. Sebelum ini aku mengagumi ketangguhan dan ketangkasan pasukan Jipang di bawah pimpinan Tohpati. Namun ketika akan melihat cara yang ditempuh dan perhitungan-perhitungan yang matang dari Angger Untara, maka aku benar-benar menundukkan kepala untuk itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk kepalanya. Sahutnya, “Lalu, bagaimana sekarang?”
“Aku harus ikut dalam permainan itu, Kiai berkeberatan?”
“O, tidak. Tentu tidak. Adalah menjadi kewajibanmu untuk melakukannya. Bukankah kau seorang prajurit?”
Sumangkar menjadi bimbang mendengar jawaban itu. Ia tidak dapat mengerti kenapa Kiai Gringsing seakan-akan membiarkan untuk berbuat sesuatu atas pertempuran itu. Namun Sumangkar bukan anak-anak yang mudah terpedaya oleh ucapan-ucapan yang meragukan. Karena itu, maka ia tidak akan dapat mempercayainya, seandainya Kiai Gringsing dengan sukarela membiarkannya masuk ke dalam arena. Meskipun demikian katanya, “Terima kasih Kiai. Agaknya Kiai akan bersabar menunggu aku kembali dari arena.”
“Nanti dulu, Adi,” sahut Ki Tanu Metir.
Sumangkar tertegun sejenak. Tetapi ia sebelumnya telah memperhitungkannya, bahwa pekerjaannya akan bertambah berat. Ia tidak akan begitu saja dapat hadir di dalam peperangan itu, apalagi memusnahkan Untara, selagi Kiai Gringsing masih berada di tempat itu.
“Jangan tergesa-gesa.”
“Waktuku hanya sedikit Kakang. Lihatlah, pasukan Jipang telah terdesak jauh ke belakang garis benturan antara kedua gelar itu.”
“Belum Adi. Mereka sekarang berada pada garis yang terjadi pada saat kedua pasukan itu berbenturan. Kau hanya melihat pasukan Jipang terus menerus mundur. Tetapi aku melihat sejak pertempuran itu terjadi. Mula-mula pasukan Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putunglah yang terdesak sampai jauh ke belakang garis itu. Sekarang mereka mendesak maju. Namun belum terlalu jauh melampaui garis benturan itu?
“O, agaknya kau lebih dahulu sampai di sini Kiai?”
“Aku melihat sejak peperangan itu mulai. Sejak pasukan Jipang muncul dari balik pepohonan hutan dangan panji-panji kebesaran, rontek dan umbul-umbul yang megah itu. Aku melihat pasukan Pajang dan anak-anak Sangkal Putung datang dari arah yang lain dengan ketiga panji-panji yang mereka agung-agungkan. Dan aku melihat bagaimana mereka berbenturan.”
“Hem,” Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalau demikian, kau melihat kedatanganku pula Kakang.”
“Ya, aku melihat kau berdiri di sini. Sekali-sekali kau meloncat naik ke atas tanah padas itu. Sekali kau meloncat turun. Aku tidak akan mendekatimu, kalau aku tidak tertarik pada tongkat yang kau bawa itu. Tongkat itu mirip benar dengan tongkat Macan Kepatihan.”
Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya, “Ya tongkat ini memang mirip dengan tongkat Angger Tohpati.”
“Apakah Tohpati membagikan tongkat semacam itu kepada para prajuritnya?”
Sumangkar menarik alisnya. Namun demikian ia tersenyum. Jawabnya, “Pertanyaanmu membingungkan Kiai. Baiklah aku mencoba menjawabnya. Tongkat ini adalah ciri dari perguruan Kedung Jati. Aku kira Kiai sudah mengetahuinya pula.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” sahutnya. “Macan Kepatihan adalah murid Mantahun. Saudara seperguruanmu.”
“Tepat. Bukanlah wajar kalau aku membantunya? Selain paman gurunya, aku adalah prajurit Jipang pula.”
“Sudah aku katakan, bahwa adalah kewajibanmu membantu Angger Tohpati. Namun aku ingin memberitahukan pula kepadamu. Kalau Tohpati itu murid kakak seperguruanmu, maka Untara adalah kakak dari muridku.”
Sumangkar menarik nafas. Ia melihat kemungkinan yang ada di hadapannya. Namun ia masih tersenyum, katanya, “Kalimat yang disilang-balikkan. Membingungkan Kiai.”
“Tidak terlalu sulit,” jawab Kiai Gringsing sambil tersenyum pula.
“Angger Tohpati adalah murid dari kakak seperguruanku. Jelas?”
“Ya, aku tahu.”
“Kalau demikian, maka kewajibanmu atas Angger Tohpati tidak akan jauh berbeda dari kewajibanku atas Angger Untara,” berkata Kiai Gringsing pula. “Namun aku tetap berdiam diri melihat angger Untara terdesak dengan sengitnya, sebelum laskar cadangan itu datang.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Semuanya sudah pasti baginya. Tak ada jalan lain. Karena itu, maka lebih baik segala sesuatunya segera terjadi daripada masih harus menunggu perkembangan yang kecil sekali kemungkinannya.
Karena itu maka katanya, “Ada satu perbedaan Kiai. Aku prajurit Jipang. Apakah Kiai prajurit Pajang atau laskar Sangkal Putung? Seandainya demikian, maka kita berbeda pendirian. Mungkin Kiai dapat berdiam diri terhadap Untara, tetapi aku tidak akan dapat berbuat demikian. Aku harus menyingkirkan Angger Untara.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Sumangkar dengan tajamnya, namun sekali-sekali ia berpaling memandangi arena pertempuran pula. Ia tahu benar bahwa Sumangkar tidak akan dapat dicegahnya dengan kata-kata. Tetapi ia masih ingin mencoba untuk memperpanjang waktu sehingga Sumangkar akan terlambat. Kiai Gringsing itupun melihat pula, bahwa pasukang Jipang sudah semakin lemah dan terus menerus terdesak mundur.
Maka katanya sambil tersenyum, “Jangan begitu Adi. Jangan berkata sekeras itu. Bukankah kita, yang tua-tua ini sudah tidak pantas ikut bermain-main dengan senjata? Sebaiknya kita duduk saja di sini sambil melihat kalau Adi setuju, marilah kita bertaruh, siapakah yang akan menang.”
“Apakah yang akan kita pertaruhkan?” bertanya Sumangkar. “Apakah Kiai, mempunyai barang-barang berharga?”
“Apa saja dapat kita pertaruhkan,” sahut Kiai Gringsing, “ikat kepala, kain panjang kita, atau timang kita?”
“Bagaimana kalau aku usulkan Kiai?” berkata Sumangkar.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Boleh. Barangkali Adi mempunyai usul yang baik.”