Yang bersemi di tengah Pandemi

Munculnya wabah Covid-19 mengusik segala sektor kehidupan kita, semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali terkena dampak dari adanya wabah ini. Virus ini dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali, faktor ekonomi, gender, agama, ras, suku, dan bangsa manapun dapat terjangkit. Aktivitas semua lapisan masyarakat terganggu akan hadirnya wabah Covid-19.

Namun, nampaknya pemerintah tak menjadikan Covid-19 ini sesuatu yang mengusik dan harus segera diatasi. Bahkan, sejak awal kemunculan wabah Covid-19, banyak sekali muncul anggapan bahwa ada yang tidak beres dari Pemerintah Indonesia. Pemerintah pada masa awal kemunculan Covid-19 terkesan menganggap remeh. Padahal di negara lain, Covid-19 ini dianggap masalah serius. Bahkan, pemerintah pusat dalam hal ini menteri kesehatan, mengklaim bahwa Covid-19 merupakan penyakit yang dapat sembuh secara alamiah (Nathaniel, 2020).

Belum lagi, data yang tak valid antara Kementrian Kesehatan dan pemerintah daerah menambah catatan hitam pemerintah dalam menangani Covid-19. Padahal, keterbukaan data terkait Covid-19 ini sangat penting agar pengambilan tindakan untuk mengendalikan virus tersebut tepat (Widhana, 2020).

Deretan cara merespon wabah Covid-19 ini jelas menimbulkan kekecewaan publik terhadap pemerintah. Namun, wabah Covid-19 nampaknya menampilkan dua sisi manusia, sisi terang dan sisi gelapnya. Bencana nasional virus Covid-19 jenis baru itu melahirkan simpati sekaligus antipati kemanusiaan. Teramat banyak orang bersimpati terhadap sesama manusia yang menjadi korban Covid-19. Simpati itu kemudian diwujudkan dalam bentuk solidaritas menggalang bantuan. Akan tetapi, masih ada pula orang antipati sehingga menolak tenaga medis, pasien yang sembuh, dan bahkan jenazah korban covid-19 ditolak untuk dimakamkan (Media Indonesia, 2020).

Salah satu bentuk simpati yang muncul yakni gerakan Solidaritas Pangan Jogja (SPJ). Gerakan SPJ ini hadir sebagai bentuk respon atas pemerintah yang tak menanggung kebutuhan dasar saat kebijakan physical distancing hingga PSBB diterapkan (Setiawan, 2020). SPJ sendiri diinisiasi oleh Ita Fatia Nadia seorang pekerja sosial, mantan Direktur Kalyanamitra, menilai tak berdayanya pekerja informal di tengah pandemi Covid-19 ini sebagai sebuah persoalan. Bersama dua putrinya, ia kemudian melakukan pemetaan. Karena keterbatasan tenaga, akhirnya ia mengontak jaringan pekerja sosial lainnya yang ia kenal di Yogya, salah satunya adalah Sosial Movement Institute (SMI).

Bersama SMI yang mayoritas adalah aktivis mahasiswa, gerakan itu semakin lebar. Kerja para relawan SPJ bertujuan membagikan makanan bagi mereka yang kekurangan di tengah pandemi virus Covid-19. Target mereka yakni para pekerja informal di Yogyakarta yang mengandalkan pendapatan dari bekerja harian. Pekerja informal seperti tukang becak, sopir ojek online, pemulung, pedagang pasar makin sulit dapat pemasukan setelah orang-orang makin membatasi diri ke luar rumah demi menghindari virus corona (Syambudi, 2020).

Bagaimana pendapat terkait langkah pemerintah dan munculnya upaya gerakan sosial dari masyarakat?

Sumber :
Nathaniel, F. (2020). Retrieved from Kala Terawan Gagal Menenangkan Masyarakat soal COVID-19
Media Indonesia. (2020). Media Indonesia. Retrieved from Mediaindonesia.com: Melawan Diskriminasi
Setiawan, R. (2020). Tirto. Retrieved from Tirto.id: Aksi solidaritas rakyat berbagi pangan bagi mereka yang terdampak pandemi COVID-19 makin menguat di saat pemerintah tak tanggung kebutuhan dasar usai physical distancing hingga PSBB.
Syambudi, I. (2020). Tirto. Retrieved from Tirto.id: Aksi Solidaritas Pandemi Corona: Dapur Umum Hingga Donasi Rp50 Juta
Widhana, D. H. (2020). Tirto. Retrieved from Tirto.id: BNPB: Data Corona Kemenkes Tertutup & Tak Sinkron dengan Pemda

Yah menurut saya pro kontra pemerintah dalam mengurusi covid-19 tidak akan ada habis jika kita terus saling tunjuk siapa yang salah, alangkah baiknya jika masing2 dari kita sadar akan bahasaya virus tersebut dan mengurangi pergi2 keluar yang tidak perlu.