Untuk apa Allah swt menciptakan manusia?

Manusia adalah “tubuh yang berjiwa” dan bukan “jiwa abadi yang berada atau yang terbungkus dalam tubuh yang fana”. Manusia adalah kombinasi dari unsur-unsur roh (atman), jiwa, pikiran, dan prana atau badan fisik. Manusia adalah mahluk hidup berkaki dua yang tidak berbulu dengan kuku datar dan lebar.

Untuk apa manusia diciptakan?

Allah Ta’ala sudah menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al Qur’an apa yang menjadi tujuan kita hidup di muka bumi ini. Cobalah kita membuka lembaran-lembaran Al Qur’an dan kita jumpai pada surat Adz Dzariyat ayat 56. Di sana, Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Saudaraku … Jadi, Allah tidaklah membiarkan kita begitu saja. Bukanlah Allah hanya memerintahkan kita untuk makan, minum, melepas lelah, tidur, mencari sesuap nasi untuk keberlangsungan hidup. Ingatlah, bukan hanya dengan tujuan seperti ini Allah menciptakan kita. Tetapi ada tujuan besar di balik itu semua yaitu agar setiap hamba dapat beribadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun: 115).

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengatakan, “Apakah kalian diciptakan tanpa ada maksud dan hikmah, tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga tanpa ada balasan dari-Nya[?] ” (Madaarijus Salikin, 1/98) Jadi beribadah kepada Allah adalah tujuan diciptakannya jin, manusia dan seluruh makhluk. Makhluk tidak mungkin diciptakan begitu saja tanpa diperintah dan tanpa dilarang. Allah Ta’ala berfirman,

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al Qiyamah: 36).

Imam Asy Syafi’i mengatakan,

“(Apakah mereka diciptakan) tanpa diperintah dan dilarang?”.

Ulama lainnya mengatakan,

“(Apakah mereka diciptakan) tanpa ada balasan dan siksaan?” (Lihat Madaarijus Salikin, 1/98)

Umat Islam berkeyakinan bahwa Allah SWT. adalah Wujud yang Maha Kaya (artinya Dia tidak membutuhkan terhadap sesuatu). Jika demikian mengapa manusia diciptakan? Apa tujuan dari penciptaanNya? Tidak- kah hal ini berarti bahwa Allah SWT. adalah Wujud yang melalui tujuan penciptaan manusia membutuhkan atas sesuatu? Kalau seandainya tidak mempunyai tujuan, berarti perbuatan Allah SWT tersebut adalah sia-sia?

Untuk mengatasi persoalan di atas, jawabannya tidak terlepas dari dua pokok proposisi, yaitu;

  1. Allah SWT. adalah Wujud yang Maha Sempurna dan tidak membutuhkan apapun dan tidak bergantung kepada siapapun.

  2. Perbuatan Allah SWT tidaklah menuju kesia-siaan. Apa yang dilakukanNya pastilah memiliki tujuan, namun tujuan tersebut adalah untuk objek (makhluq) bukan bagi pelaku perbuatan (Khaliq).

Allah SWT Maha Kaya dan Sempurna, tidaklah memiliki kekurangan yang mendasari sebuah tindakan untuk mencapai tujuan. Sebagaimana ulama teologi berkata:

“Sesungguhnya perbuatan Allah tidaklah didasari oleh tujuan.”

Pengertiannya adalah; sesungguhnya manfaat dan tujuan tersebut bukanlah akan kembali pada zat Allah, dikarenakan bagaimana mungkin Dia sebagai Pemilik Kesempurnaan yang Absolut menjadikan dan menutupi diri- Nya dengan kekurangan.

Allah SWT menciptakan segala sesuatu baik alam maupun manusia tiada yang sia-sia, segalanya memiliki maksud dan tujuan. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami men- ciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Q.S. Al-Mukminun: 115)

Dalam Surat Ali Imran ayat 191, Allah berfirman:

“(yaitu) orang-orang yang meng- ingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang pencipta- an langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

Dan dalam surat al-Anbiya’ ayat 16, Allah berfirman:

“Dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain- main”

Kandungan ayat-ayat di atas men- jelaskan bahwasanya Allah SWT men- ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya itu adalah dengan maksud dan tujuan yang mengandung hikmat (pelajaran). Tidaklah maksud dan tujuan tersebut kecuali untuk ke- sempurnaan makhluk bukan bagi kesempurnaan zatNya (Allah SWT). Oleh karena itu, tujuan dari penciptaan, menyampaikan pada semua makhlukNya akan kesempurnaanNya, tanpa manfaat bagiNya sehingga tidaklah menjadikan perbuatan Allah SWT sia-sia.

Tujuan Penciptaan Manusia

Terdapat beberapa ayat yang memiliki indikasi tentang maksud atau tujuan penciptaan manusia, indikasi ter- sebut antara lain termuat dalam ungkap- an seperti; al-ibadah, al-khilafah (khalifah) dan al-amanah. Ketiga ungkapan kata tersebut tertuang dalam beberapa ayat al-Quran.

Al-Ibadah

Ungkapan kata al-Ibadah beserta musytaq-nya dalam al-Quran terulang sebanyak 275 kali (M. Fuad Abdul Baqiy, t. th.). Namun demikian disini hanya akan dipaparkan beberapa ayat yang paling relevan dengan pokok kajian, yaitu:

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah: 21)

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS Al- Dzariyat: 56)

Surat al-Baqarah ayat 21 merupakan ajakan untuk menghambakan diri hanya kepada Allah SWT. Ayat-ayat sebelumnya menggambarkan beberapa kelompok manusia, yaitu kelompok orang-orang kafir yang menolak hidayah dan kelompok orang-orang munafik yang masih dalam keadaan ragu-ragu. Lalu pada ayat ini manusia diajak untuk memeluk agama tauhid, yaitu dengan menghambakan diri pada Allah SWT, Tuhan satu-satunya, tunduk serta meng-ikhlaskan diri pada-Nya. Kemudian mereka diingatkan bahwa Allah-lah Tuhan yang telah mencipta, mengatur urusan dengan sunnah-Nya serta menganugerahi mereka hidayah dan jalan untuk ber-taqarrub. Maka dari itu tidak ada yang layak dan pantas untuk disembah selain Dia, sebab mensyarikatkan-Nya hanya akan mendatangkan azab dan kehancur- an. Lalu dijelaskan bahwa penghambaan diri kepada-Nya serta sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan, dapat menghantarkan mereka kepada taqwa, yaitu suatu derajat dimana seseorang dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam diri serta memiliki kesadaran ketuhanan yang matang (Al-Maraghiy).

Kemudian pada surat al-Dzariyat ayat 56 dijelaskan bahwa tujuan hakiki dari penciptaan jin dan manusia adalah dalam rangka berubudiyah kepada-Nya. Pada ayat sebelumnya diungkapkan bagaimana pengingkaran orang-orang Quraisy terhadap kerasulan Muhammad bahwa mereka menuding bahwa Muhammad adalah tukang sihir dan se- bagainya. Hal itu bukanlah sesuatu yang baru, karena umat-umat sebelumnya juga berbuat serupa ketika menolak para nabi yang diutus. Lalu Nabi Muhammad diajak untuk berpaling dari mereka serta hendaklah ia senantiasa berzikir, sebab itulah yang dapat mendatangkan manfaat bagi kaum beriman.

Al-Khilafah

Lafaz al-khalifah dan yang semakna dengannya (al-khalifah, al- khalaif dan alkhulafa) terulang dalam al- Quran sebanyak 9 kali, yaitu dalam al- Quran Surat al-Baqarah ayat 30, surat al- An’am ayat 165, surat al-A’raf ayat 69 dan 74, surat Yunus ayat 14 dan 73,surat al-Namal ayat 62, surat Fathir ayat 39 dan surat Shad ayat 26. (M.Fuad Abdul Baqiy).

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguh- nya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan men- sucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” QS. al-Baqarah ayat 30

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Se- sungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. QS. al-An’am ayat 165

Ayat 30 dari surat al-Baqarah ada- lah informasi bagi para malaikat bahwa Allah menciptakan khalifah (Adam dan keturunannya) di muka bumi. Ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya mengungkap- kan betapa banyaknya nikmat yang dianugerahkan kepada manusia beriman, dimana mereka berpaling serta meng- hindarkan diri dari kemaksiatan dan kekafiran sekaligus mengajak manusia lainnya menuju keimanan dan ketaqwaan.

Adapun ayat-ayat sesudahnya mengungkapkan bagaimana pertumbuhan manusia dalam bentuk dialog dan diskusi, dimana semua itu menggambarkan rahasia dan hikmah yang agung.

Khalifah adalah pengganti Allah yang mengatur urusan-Nya di tengah-tengah kehidupan manusia. Di samping itu khalifah juga dapat dipahami sebagai “suatu regenerasi yang silih berganti dimana mereka bertugas untuk memakmurkan dan mensejahterakan bumi” (Hasan al-Himshi). Dengan demikian khalifah adalah hamba Allah yang ditugaskan untuk menjaga ke- maslahatan dan kesejahteraan dunia.

Adanya “protes” Malaikat kepada Tuhan tentang pengukuhan Adam se- bagai khalifah adalah sebuah isyarat dan gambaran bahwa Adam dan keturunannya memiliki keistimewaan yang khas. Namun satu hal yang tidak dapat di- pungkiri adalah bahwa diantara keturunan adam terdapat segolongan umat yang lari dari fitrahnya, dimana mereka menyalahi kemaslahatan dan kebijaksanaan serta berbuat kerusakan dan onar dimuka bumi. Namun demikian, Allah akan mengirimkan ilham (wahyu) agar mereka tunduk dan berserah kepada-Nya. Sehingga dengan ikhtiarnya, mereka mampu mengendalikan dan meminimalisir kecendrungan negatif untuk berbuat kerusakan. Semua itu mengandung hik- mah yang sangat tinggi tentang keagungan dan kemahakuasan Sang Khaliq.

Pada ayat ini ditegaskan bahwa Allah akan menobatkan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Pengukuhan manusia sebagai khalifah ini mencakup khilafah (kepemimpinan) antar sesama mereka serta khilafah terhadap makhluk lainnya di alam ini. Khilafah antar se- samanya adalah berupa penugasan Allah terhadap beberapa hamba-Nya yang terpilih (nabi dan rasul) untuk menyampaikan syariat (wahyu) kepada manusia.

Sedangkan khilafah manusia terhadap makhluk lainnya adalah berupa pengendaliannya terhadap alam secara umum, baik di darat, laut maupun di udara serta juga mencakup bagaimana pengendaliannya terhadap hewan, tumbuh-tumbuhan atau barang-barang tambang yang tersimpan di dalam bumi. Dalam hal ini manusia engan kekuatan akalnya mengatur dan mengendalikan bumi sesuai dengan sunnah yang digariskan.

Namun demikian, tidak semua manusia dapat menjalankan misi ter- sebut, karena diantara mereka banyak yang berbuat kerusakan serta menumpahkan darah, sehingga semua itu akan menganggu stabilitas dan kemakmuran bumi. Namun di balik semua itu terkandung hikmah yang cukup dalam akan kekuasaan dan keagungan Sang Pencipta.

Adanya perusakan dan kemaksiatan serta pertumpahan darah di bumi menimbulkan protes dari Malaikat, padahal mereka adalah makhluk yang taat serta senantiasa mensucikan dan mengagungkan Allah. Maka Allah menjawab banyak hal yang tidak dapat mereka ketahui dibalik semua ciptaan-Nya, sebab Dia menciptakan alam ini penuh dengan hikmah, rahasia dan kesempurnaan yang tidak dapat diketahui oleh semua makhluk. (Al-Maraghiy)

QS al-Baqarah/2 ayat 30 ini adalah informasi awal tentang akan dinobatkanya manusia sebagai khalifah, sedangkan QS al-An’am/ 6 ayat 165 adalah penobatan dan pengukuhan manusia se- bagai khalifah. Ayat-ayat sebelumnya berbicara dalam konteks pokok-pokok agama (ushul al-din), yaitu penolakan terhadap aqidah orang-orang musyrik serta pengingkaran terhadap kemaksiatan.

Kemudian dijelaskan bahwa millah Muhammad adalah melanjutkan millah Ibrahim sebelumnya. Shalat, seluruh penghambaan serta hidup dan matinya hanya untuk dan karena Allah SWT. Tidaklah pantas bagi seseorang untuk menghambakan diri kepada yang lain. Lalu ditegaskan lagi bahwa seseorang akan menerima ganjaran sesuai dengan amal dan perbuatannya masing-masing serta seseorang tidak akan mewarisi dosa atau pahala orang lain.

Setelah itu, pada ayat ini Allah ungkapkan bahwa dia telah mengangkat manusia sebagai klala’if al-ardh, di mana mereka melanjutkan kedudukan, pekerjaan dan kekuasaan orang-orang sebelumnya. Dalam menjalankan khilafah tersebut, terdapat ibrah dan pelajaran berharga bagi mereka yang mau merenungi dan mendalaminya. Kemudian Allah mengangkat derajat sebagian mereka dari yang lainnya, sehingga ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang kuat dan ada yang lemah serta ada yang alim dan ada yang bodoh.

Semua itu dimaksudkan sebagai ujian dan cobaan dimana kelak mereka akan memperoleh balasan sesuai dengan amal dan perbuatan masing-masing. Itu semua adalah sunnah yang digariskan Allah bagi kehidupan dunia. Kemudian di- tegaskan bahwa azab dan iqab Allah siap menanti bagi mereka yang kafir, menolak kenabian (Muhammmad), melangar syari’at serta menyimpang dari sunnah yang telah diciptakan untuk ke- maslahatan dan kedamaian dunia. Azab itu akan berlaku baik di dunia maupun di akhirat. Azab dunia adalah seperti kecelakaan dan kehancuran, akal yang tidak berfungsi untuk kebaikan, tidak punya harga diri, kehilangan harta, keresahan dan lain-lain sebagainya.

Kemudian Allah memberi berita gembira bahwa Dia Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat serta senan- tiasa mengasihi kaum beriman dan orang-orang yang senantiasa berbuat kebajikan.(Al-Maraghiy).

Al-Amanah

Ungkapan kata al-amanah terulang dalam al-Quran sebanyak 6 kali yang juga terdapat dalam enam ayat. Kata tersebut dalam bentuk mufrad (tunggal/ singular) terulang sebanyak dua kali, sedangkan dalam bentuk jamak/ plural terulang sebanyak empat kali. Ayat-ayat tersebut terdapat dalam Al-Quran surat al-Baqarah ayat 283, surat al-Nisa’ayat 58, surat al-Anfal ayat 27, surat al- Mukminun ayat 8, surat al-Ahzab ayat 72 dan surat al-Ma’arij ayat 32.

“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” Surat al-Ahzab ayat 72

Dua ayat sebelumnya mengutarakan perintah Allah SWT kepada kaum beriman agar senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT serta juga senantiasa mengungkapkan perkataan yang benar (qaulan sadidan). Dengan mematuhi kedua hal tersebut, Allah akan mengarahkan kaum beriman pada amal shaleh, mengampuni dosa serta menjauhkannya dari azab.

Selanjutnya Allah jelaskan bahwa siapa saja yang mentaati Dia dan Rasul-Nya, maka kelak mereka akan memperoleh balasan yang agung serta kemuliaan di hari akhir. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam kedua ayat ini terdapat dua buah perintah Allah SWT, yaitu berkata benar dan senantiasa berbuat kebaikan. Dengan melakukan kedua hal ini berarti mereka telah bertaqwa kepada-Nya sekaligus menjauhi iqab-Nya.

Kemudian Allah memotivasi dan memberikan kabar gem- bira bagi kaum beriman dengan menjanjikan dua hal,

  • Pertama, Allah akan memuliakan amalan mereka, sebab taqwa dengan sendirinya akan memperindah amalan seseorang, sedangkan amalan akan mengangkat kedudukan pelakunya ke tempat yang lebih tinggi, dimana disana mereka akan memperoleh kesenangan dan kebahagian yang abadi.

  • Kedua, Allah SWT menjanjikan mereka berupa ampunan. Di samping itu, Allah juga akan menutup aibnya serta juga terbebas dari azab yang maha dahsyat.(Al-Maraghiy).

Selanjutnya, Allah SWT menjelaskan tentang bagaimana susah dan sulitnya menanggung beban dalam rangka mencapai taqwa, qaulan sadidan serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun kaitan (munasabah) yang signifikan antara ayat ini dengan kedua ayat sebelumnya adalah bahwa pada dua ayat sebelumnya Allah SWT menerangkan betapa mulia dan agungnya ketaqwaan dan ketaatan kepada-Nya, lalu pada ayat ini Allah jelaskan bagaimana susahnya mengemban ama- nah yang diberikan kepada makhluq-Nya hingga langit, bumi dan gunung-gunung yang begitu gagah dan kekar menolak untuk mengemban amanah tersebut.

Kemudian pada ayat selanjutnya Allah SWT menerangkan bahwa Dia akan mengazab kaum munafik dan musyrik serta memberi ampunan bagi kaum beriman. Adapun kaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah bahwa tidak banyak manusia yang mampu dan lulus dalam menjalankan amanah yang begitu berat sebagaimana diterangkan pada ayat sebelumnya.

Jika kedua pendapat ini dipadukan maka akan melahirkan makna yang sinergik dan searah, dimana maksudnya adalah bahwa kata ini memiliki makna sesuatu yang berat atau banyak, lalu ia dianggap sedikit atau ringan sehingga dapat dipikul atau diangkat. Hal ini senada dengan ayat dimana al-amanah adalah sesuatu yang berat lalu dengan rasa percaya diri yang cukup tinggi manusia berusaha untuk memikulnya dengan mengangap bahwa hal itu ringan baginya atau mampu untuk ia pikul.

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa sesungguhnya Dia tidaklah menciptakan langit dan bumi dimana keduanya memiliki fisik yang besar serta ke- kuatan terpendam untuk mampu mengemban beban taklif, yaitu berupa perintah, larangan serta kearifan dalam menjaga kemaslahatan agama dan dunia. Kenyataan adalah bahwasanya Allah SWT memberikan beban itu semua kepada manusia, yaitu untuk menerima dan menjalankannya plus dengan segala kekurangan yang ia miliki.

Di samping itu, manusia juga sering dikalahkan oleh hasutan yang senantiasa membawa pada nafsu amarah, sehingga manusia sering berbuat zalim sesamanya. Selanjutnya manusia juga sering ditunggangi oleh nafsu syahwat serta kecendrungan untuk lepas tangan dari tanggung jawab, sehingga mendatangkan akibat fatal dan kerusakan dari semua apa yang mereka lakukan. Maka dari itu Allah SWT membebankan taklif kepada manusia agar ia mampu mematahkan semua bentuk kekerasan (kekejaman), meminimalisir pengaruhnya serta membendung hawa nafsu agar manusia terhindar dari per- buatan dan kejadian yang membawa ke- hancuran (Al-Maraghiy).

Dari ayat tersebut ada dua hal yang dapat diilustrasikan.

  • Pertama, ayat ini menggambarkan akan ketaatan dan ketundukan langit, bumi dan gunung-gunung (al-jumadat) kepada Allah SWT. Kondisi ini memungkinkan bagi langit, bumi ataupun gunung-gunung untuk mengemban tugas yang cukup berat tersebut, sebab mereka tidak memiliki kecendrungan negatif, melenceng atau kecendrungan untuk berkhianat. Hal ini membuat mereka lebih pantas dan layak dalam mengemban serta memikul tugas itu. Adapun manusia, keadaannya tidak persis sama dan setaat al-jumadat tersebut, sehingga pada dasarnya manusia tidaklah pantas untuk mengemban tugas yang cukup berat tersebut. Keunggulan al-jumadat dalam mengemban tugas tersebut adalah majas atau kiasan akan ketundukan dan ketaatannya. Lalu tugas berat tersebut diemban oleh manusia, akhirnya manusia diberi gelar sebagai makhluq yang zalim karena ia seringkali lalai dalam menunaikan amanah. Di samping itu ia juga diberi gelar sebagai makhluq yang bodoh karena ia seringkali tersalah dan khilaf dalam menjalankan amanah.

  • Kedua, ayat ini adalah berupa gambaran atau kiasan betapa beratnya beban yang diemban manusia, dimana pada mulanya beban berat ini akan dipikulkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung yang kuat, kokoh dan tangguh, namun mereka me- nolak dan enggan untuk memikul beban itu. Akhirnya beban berat tersebut diemban oleh manusia yang sangat lemah dan loyo. Selanjutnya Allah SWT menegaskan bahwa manusia adalah makhluq yang zalim dan bodoh, sebab manusia sering tidak mampu atau tidak sempurna dalam menjalankan amanah serta sering berkhianat dengan jaminan dan janji yang diberikan (al-Zamakh- syariy).

    Kemudian ada juga yang memahami bahwa al-amanah adalah “sesuatu yang dititipkan kepada orang agar dijaga dan dipelihara untuk kemudian dikembalikan lagi kepada yang menitipkan sebelumnya”.

    Al-Amanah yang disebutkan dalam ayat ini adalah “sesuatu yang dipercayakan Allah SWT kepada manusia agar dipelihara dan dijalankan dengan penuh ketekunan dan istiqomah untuk kemudian hari dikembalikan kepada Allah yang telah menitipkan semuanya kepada manusia”.(Thaba Thaba’iy).

    Berdasarkan penafsiran di atas, al-amanah dalam ayat tersebut juga bisa diumpamakan sebagai ”ujian dan tanggungjawab”. Hal ini seiring dengan taklif (pemberian kewajiban oleh Allah SWT), pemberian hak kebebasan bertindak dan tanggung jawab dalam menentukan pilihan. Alam seisinya selain manusia bergerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seandainya langit menghantam bumi dengan semburan gunturnya dan menghasilkan curahan air alirannya, lalu tanaman dan pekarangan merenggas karena kekeringan, atau seandainya langit kembali mencurahkan hujan lalu bumi hidup kembali setelah mati, tetap saja mereka tidak akan ditanya macam-macam mengenai perbuatannya itu.

    Seandainya bumi bergoncang, lalu segala yang hidup musnah, atau seandainya gunung-gunung hancur berhamburan dan pecahan-pecahannya menimpa suatu negeri yang aman dan sentosa. Maka langit, bumi dan gunung-gunung tersebut tidak akan dihisab atas segala perbuatannya, yang baik maupun ulah buruknya tersebut. Hanya manusialah yang diminta pertanggungjawabannya atas segala perbuatannya, dihisab untuk menerima imbalan pahala dan balasan azab. Tidak seorang pun dapat menggantikan kedudukan orang lain untuk memper- tanggungjawabkan perbuatannya dan tidak seorang pun lolos tanpa pem- balasan.(Aisyah Binti Syati’).

Dengan demikian, ada dua hal menarik terkait dengan makna al-amanah dalam al-Quran, khususnya pada ayat yang sedang dibahas ini yaitu: al-tha’ah (taat) dan tanggung jawab. Makna al-tha’ah nampaknya lebih melihat kepada korelasi (munasabah) pada ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Sedangkan makna kedua (tanggung jawab) lebih mengarah kepada kesatuan dan keutuhan makna pada satu ayat terkait, sebab tanggung jawab ini amat terkait dengan pembalasan (hisab) di akhirat kelak. Adapun makhluq yang akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya adalah manusia dan ini juga terkait dengan misinya sebagai khalifah di bumi. Maka dari itu penulis lebih cenderung kepada kedua pendapat tersebut. Namun demikian, bukan berarti kiranya pendapat yang lainnya harus ditolak atau tidak dipakai sama sekali, sebab semuanya sangat terkait serta saling menguatkan dan menyempurnakan.

Sumber : Inong Satriadi, Tujuan penciptaan manusia dan nilai edukasinya (Kajian tafsir tematis), STAIN Batusangkar.

Allah Ta’ala sudah menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al Qur’an apa yang menjadi tujuan kita hidup di muka bumi ini. Cobalah kita membuka lembaran-lembaran Al Qur’an dan kita jumpai pada surat Adz Dzariyat ayat 56. Di sana, Allah Ta’ala berfirman,

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Jadi, Allah tidaklah membiarkan kita begitu saja. Bukanlah Allah hanya memerintahkan kita untuk makan, minum, melepas lelah, tidur, mencari sesuap nasi untuk keberlangsungan hidup. Ingatlah, bukan hanya dengan tujuan seperti ini Allah menciptakan kita. Tetapi ada tujuan besar di balik itu semua yaitu agar setiap hamba dapat beribadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun: 115).

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengatakan, “Apakah kalian diciptakan tanpa ada maksud dan hikmah, tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga tanpa ada balasan dari-Nya[?] ” (Madaarijus Salikin, 1/98) Jadi beribadah kepada Allah adalah tujuan diciptakannya jin, manusia dan seluruh makhluk. Makhluk tidak mungkin diciptakan begitu saja tanpa diperintah dan tanpa dilarang. Allah Ta’ala berfirman,

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al Qiyamah: 36).

Imam Asy Syafi’i mengatakan,

“(Apakah mereka diciptakan) tanpa diperintah dan dilarang?”.

Ulama lainnya mengatakan,

“(Apakah mereka diciptakan) tanpa ada balasan dan siksaan?” (Lihat Madaarijus Salikin, 1/98)

Bukan Berarti Allah Butuh pada Kita, Justru Kita yang Butuh Beribadah pada Allah

Perlu diketahui pula bahwa jika Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya, bukan berarti Allah butuh pada kita. Sesungguhnya Allah tidak menghendaki sedikit pun rezeki dari makhluk-Nya dan Dia pula tidak menghendaki agar hamba memberi makan pada-Nya. Allah lah yang Maha Pemberi Rizki. Perhatikan ayat selanjutnya, kelanjutan surat Adz Dzariyat ayat 56. Di sana, Allah Ta’ala berfirman,

Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari makhluk dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz Dzariyat: 57-58)

Jadi, justru kita yang butuh pada Allah. Justru kita yang butuh melakukan ibadah kepada-Nya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah tatkala beliau menjelaskan surat Adz Dzariyaat ayat 56-57 mengatakan,

“Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidaklah menciptakan jin dan manusia karena butuh pada mereka, bukan untuk mendapatkan keuntungan dari makhluk tersebut. Akan tetapi, Allah Ta’ala Allah menciptakan mereka justru dalam rangka berderma dan berbuat baik pada mereka, yaitu supaya mereka beribadah kepada Allah, lalu mereka pun nantinya akan mendapatkan keuntungan. Semua keuntungan pun akan kembali kepada mereka. Hal ini sama halnya dengan perkataan seseorang, “Jika engkau berbuat baik, maka semua kebaikan tersebut akan kembali padamu”. Jadi, barangsiapa melakukan amalan sholeh, maka itu akan kembali untuk dirinya sendiri. ” (Thoriqul Hijrotain, hal. 222)

Jelaslah bahwa sebenarnya kita lah yang butuh pada ibadah kepada-Nya karena balasan dari ibadah tersebut akan kembali lagi kepada kita.

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rejeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Pemberi rejeki, Yang Mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh (QS Adza-Dzariyat: 56 – 58).

Ayat yang mulia itu menunjukkan bahwa hikmah dari penciptaan jin dan manusia ialah memahatunggalkan Allah dengan ibadat dan mengkufuri selain-Nya.

Allah SWT memberitahukan kepada kita bahwa Dialah yang menciptakan jin dan manusia. Sesungguhnya hikmah menciptakan mereka itu adalah agar mereka hanya menyembah kepada-Nya dan kufur kepada selain-Nya. Sesungguhnya Dia tidak menciptakan mereka untuk kepentingan kekuasaan bagi Dzat-Nya, tetapi Dia hanya menciptakan mereka untuk beribadat; Dia menanggung rejeki mereka; Dia benar terhadap janji-Nya; dan Dia Maha Kuasa untuk mewujudkannya karena Dia Maha Kuat dan Maha Kokoh.

Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul untuk menyerukan: Sembahlah Allah (saja) dan jauhi Thaghut itu. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antara mereka orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul- rasul)” (QS An-Nahl:36).

Dalam ayat yang mulia ini, Allah SWT memberitahukan bahwa Dia telah mengutus rasul pada setiap kelompok manusia. Rasul itu bertugas menyampaikan dan menyuruh manusia untuk mengesakan-Nya dan menkufuri selain-Nya. Dalam menghadapi para rasul ini, manusia terbagi atas dua bagian. Di antara mereka ada orang-orang yang diberi taufik Allah ke- pada kebaikan. Maka orang itu mau menjawab seruan rasul, melaksanakan perintahnya, dan menjauhi segala apa yang dilarangnya.

Dan di antara mereka ada orang yang tidak mendapat taufik itu, maka ia berpaling dari hak (kebenaran), maka merugilah ia di dunia dan di akhirat. Orang yang berjalan menelusuri permukaan segala penjuru bumi, sambil mengambil pelajaran akan melihat peninggalan-peniggalan siksaan Allah terhadap sebagian para pembangkang, seperti Ad, Tsamud dan Fir’aun.

Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik- baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali- kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak me- reka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka ber- dua dengan penuh kesayangan dan ucapkan-lah:”Wa- hai Tuhanku kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (QS Al- Isra:23-24).

Ayat yang mulia ini menunjukan bahwa ibadah kepada Allah tidak pantas/tidak baik kecuali segala yang selain-Nya itu tidak diimani.

Allah SWT memerintahkan semua orang mukallaf supaya mereka menyembah Dia saja dan berbuat baik kepada kedua orang tua mereka. Dan hak ibu bapak itu dipertegas penyebutannya setelah hak Allah, kemudian disebutkan beberapa jenis kebaikan kepada keduanya, khususnya ketika mereka berada dalam keadaan lemah dan tidak mampu. Itu antara lain, tidak menampakkan perasaan kesal/sempit kepada kedua- nya, tidak mengeraskan suara dengan membentak keduanya, perintah supaya berlemah lembut kepada keduanya, dan halus/sopan dalam berbicara dengan keduanya serta mendo’akan mereka semasa hidup dan sesudah wafat keduanya.

Firman Allah SWT:

Artinya: “Sembahlah Allah dan jangalah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu bapak, karib-kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat dan yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri” (QS An- Nisa:36).

Ayat yang mulia itu menunjukkan wajibnya menyembah Allah saja.

Manakala ikhlas merupakan asas agama, maka Allah memulai ayat ini dengan perintah supaya ikhlas dalam tauhid kepada-Nya dan kufur kepada selain-Nya. Hal itu diiringi dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua karena keduanyalah yang merupakan penyebab nyata dalam kebenaran manusia dalam kehidupan ini. Allah SWT tidak melalaikan hak karib kerabatanya dengan karunia-Nya dan perbuatan baik- Nya karena mereka adalah orang yang paling diharapkan sehingga saudara-saudaranya yang muslim lainya tidak merasa putus asa.

Secara umum, Allah SWT telah mewasiatkan agar berbuat baik kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin baik yang dekat maupun yang jauh di antara mereka. Kemudian Allah SWT mulai menjelaskan hak orang-orang yang biasa- nya menetap dengannya dalam kehidupan. Maka Dia memulai mengurutkan mereka dengan tetangga. Kemudian disebutkan tetangga yang mempunyai hak tetangga saja, yaitu kafir dzimmi. Kemudian disebutkan pula orang yang akan menetap dengannya dan mengharapkan kebaikannnya, seperti istri, teman di perjalanan dan sebangsanya.

Oleh karena Islam memperkirakan gerakan dan perpindahan dari suatu negeri ke negeri yang lain dan pelawatan dengan tujuan mencari rejeki dan mengmbil pelajaran, maka Allah mewasiatkan supaya membantu musafir atau orang yang dalam perjalanan, yang membutuhkan bantuan material maupun spiritual. Dan untuk mem- perkokoh keadilan dan persamaan di antara orang Islam, Islam tidak melupakan hamba-hamba sahaya, bahkan Islam mewasiatkan supaya orang-orang Islam memperhatikan hak-hak mereka, dan mengakui kema- nusiawian mereka. Oleh karena perbuatan-perbuatan ini merupakan perbuatan baik, maka terkadang pela- kunya suka mengagumi dirinya.

Allah SWT memperingatkan hamba-hamba-Nya supaya mereka menghindari kesombongan dan kekaguman terhadap diri- sendiri karena keduanya dapat melebur pahala perbu- atan-perbuatan baik ini.

Firman Allah SWT:

Artinya: “Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,berbuat baiklah kepada kedua orang tua dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rejeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan- perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Yang demikian itu diperintahkan oleh Tuhanmu kepada kamu supaya kamu memahaminya” (QS Al-An’am:151).

Ayat yang mulia menunujukkan wajibnya ikhlas beribadah kepada Allah saja dan kufur kepada yang selain-Nya.

Allah memerintahkan Nabi-Nya Muhammad SAW supaya mengajak musuh-musuh dakwah untuk mendengarkan dan menghadap rencana-rencana dak- wah yang besar ini dan kaidah-kaidah yang mantap dan luhur, yang akan dijelaskan secara rinci kepada mereka. Dia menyebutkan sebagiannya dan apa yang sesudahnya dalam ayat ini. Oleh karena syirik itu dapat melebur segala amal saleh, maka Allah SWT memulai fakta-fakta ini dengan memperingatkan syirik, kemudian memerintahkan berbuat baik terhadap kedua orang tua.

Dan oleh karena membunuh ketururnan itu merupakan perbuatan yang melewati batas terhadap seseorang dan merupakan pemutusan bagi keturunannya dan ikatannnya, maka Allah melarang membunuh anak–anak. Di sini disebutkan kemiskinan/kefakiran karena ia merupakan penyebab yang paling umum bagi pembunuhan pada masa jahiliyah. Kecuali itu, maka pembunuhan tanpa suatu alasan yang benar/syar’i diharamkan, apapun penyebabnya. Dan oleh karena penyebab umum dalam membunuh anak- anak itu ialah kekhawatiran akan kemiskinan/kefakiran, maka Allah menanggung rejeki mereka dan rejeki mereka secara bersamaan.

Kemudian Allah SWT melarang segala perbuatan maksiat, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Dan oleh karena pembunuhan tanpa suatu alasan yang hak akan meng- hancurkan/mengancam keberadaan masyarakat dengan adanya keributan, kehancuran, balas dendam, dan kedengkian, maka Allah mengkhususkan secara global dengan larangan setelah perbuatan keji. Kemudian Allah sangat mengharamkan perkara-per- kara ini, di mana Dia menentukannya dengan lafal wasiat agar kita memahaminya kemudian menghafalkannya.

Hadits Rasulullah SAW:

Dari Muaz bin jabal RA, ia berkata: Saya pernah menunggang keledai di belakang Nabi SAW, lalu beliau berkata kepada saya:”Hai Muaz, tahukah kamu apa hak Allah terhadap hamba-hamba-Nya dan apa hak hamba-hamba-Nya terhadap Allah”. Saya jawab:”Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu”. Beliau bersabda: Hak Allah atas hamba-hamba-Nya ialah supaya Dia disembah dan tidak dipersekutukan dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba-hamba-Nya atas Allah ialah Dia tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Nya. Aku bertanya: Maka tidakkah kuberi kabar gembira kepada umat manusia? Nabi bersabda: Engkau jangan memberi kabar gembira kepada mereka karena khawatir mereka akan mengandalkan janji ini (HR Bukhari dan Muslim).

Hadits Rasulullah SAW berbicara tentang peringatan dosa syirik dengan semua bentuk dan polanya.

Muaz bin Jabal RA memberitakan kepada kita bahwasanya pada suatu hari ia pernah menjadi penunggang keledai di belakang Nabi SAW. Nabi SAW hendak mengajari dia secara khusus tentang masalah- masalah ilmu (agama) yang terpenting dan mulia. Rasulullah SAW menggunakan uslub (teknik) tanya jawab dalam mengajari dan memotivasi Muaz. Sesungguhnya Muaz tidak berbicara panjang lebar tentang apa yang diketahuinya.

Sesungguhnya Nabi SAW menjelaskan dua hakekat penting kepada Muaz, yaitu apa yang wajib bagi Allah atas orang-orang mukallaf dari kalangan mahluk-Nya; dan apa yang wajib bagi hamba-hamba-Nya atas diri-Nya sebagai pemberi ni’mat dan karunia. Tatkala Muaz sangat menginginkan apa yang dapat menggembirakan kaum muslimin, maka ia meminta izin kepada Nabi SAW untuk menyebarkan masalah ini.

Lalu Nabi SAW melarangnya karena khawaitr mereka akan mengandalkan janji ini, kemudian mereka meninggalkan berlomba-lomba dalam amal saleh yang dapat melebur perbuatan-perbuatan jahat mereka dan dapat meningkatkan derajat mereka. Akan tetapi Muaz memberitahukan hal itu karena khawaitr termasuk menyembunyikan ilmu. Padahal orang yang berakal akan memahami peringatan Nabi SAW terhadap umatnya tentang ittikal (mengandalkan).