Unsur apa saja yang ada pada tari klasik Yogyakarta atau Joged Mataram ?

tari klasik Yogyakarta

Tari adalah bentuk pernyataan imajinatif yang tertuang melalui kesatuan simbol-simbol gerak, ruang, dan waktu (Bambang Pudjasworo, 1982)

Unsur apa saja yang ada pada tari klasik Yogyakarta atau Joged Mataram ?

Tari dalam perwujudannya senantiasa harus dihayati sebagai bentuk kemanunggalan dari suatu pola imajinatif gerak, ruang, dan waktu yang dapat dilihat dengan kasat mata.

Bentuk kemanunggalan antara pola imajinatif dengan pola kasat mata itu dapat dikatakan bahwa tari merupakan suatu bentuk pernyataan ekspresi (jiwani), bentuk pernyataan ilusi, dan sekaligus merupakan bentuk pernyataan rasional manusia. Gerak, ruang, dan waktu dihadirkan sebagai sebuah satu kesatuan yang utuh yang mewakilinya.

Konsep dasar Tari Jawa gaya Yogyakarta adalah gerak, ruang, dan waktu. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu tokoh tari gaya Yogyakarta, yakni B.P.H. Suryodiningrat.

Dalam salah satu uraiannya dinyatakan:

Ingkang dipoen wastani djogèt punika ébahing sadaja sarandoening badan, kasarengan oengeling gangsa, katata pikantoek wiramaning gendhing, djoemboehing pasemoen, kaliyan pikadjenging djogèt.

yang dimaksud tari adalah gerak seluruh anggota badan, yang diiringi dengan musik (gamelan) dikoordinasikan menurut irama gamelan, kesesuaian dengan sifat pembawaan tari serta maksud tarinya (B.P.H. Suryodiningrat, 1934).

Menurut batasan tari di atas, maka secara konsepsional yang dimaksud tari (tari Jawa), senantiasa harus berpijak pada tiga aspek pokok, yaitu ; wiraga, wirama, dan wirasa. Wiraga adalah konsep gerak, wirama merupakan konsep irama, dan wirasa adalah konsep penjiwaan.

Selain konsep wiraga, wirama, dan wirasa (3 w) masih terdapat lagi konsep yang lebih berupa aturan-aturan dan kaidah yang terangkum dalam pathokan baku dan pathokan tidak baku.

Wiraga


Wiraga adalah seluruh aspek gerak tari, baik berupa sikap gerak, pengulangan tenaga serta proses gerak yang dilakukan penari, maupun seluruh kesatuan unsur dan motif gerak (ragam gerak) tari yang terdapat di dalam suatu tari. Wiraga merupakan konsep gerak dalam tari gaya Yogyakarta. Konsep wiraga ini ada beberapa kaidah atau aturan yang harus betul-betul dipatuhi oleh penari dalam melakukan gerak tari. Hal ini dikarenakan di dalam tari gaya Yogyakarta ada faham benar dan salah yang diukur dengan kemampuan penari dalam menerapkan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang ada. Hal ini bertolak belakang dengan sisi batinnya tari gaya Yogyakarta, karena faham yang ada adalah sudah mampu dan belum mampu atau sudah bisa dan belum bisa.

Keindahan dari sebuah tari hanya dapat dipandang ketika tari itu ditarikan atau saat tarian itu berlangsung lewat penarinya. Keindahan itu dapat dipandang dari dua aspek yang saling terkait yaitu pelaku atau penari dengan desain geraknya. Keindahan dari seorang penari dapat dikatakan indah apabila seorang penari secara optimal telah mampu menerapkan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang ada. Kaidah- kaidah yang ada merupakan landasan utama dalam teknik tari gaya Yogyakarta. Kaidah-kaidah atau aturan-aturan dalam tari klasik gaya Yogyakarta dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kaidah baku atau pathokan baku dan kaidah tidak baku atau pathokan tidak baku.

Wirama


Wirama di sini menyangkut pengertian tentang irama gending, irama gerak, dan ritme gerak. Seluruh gerak (wiraga) harus senantiasa dilakukan selaras dengan wiramanya (ketukan-ketukan hitungan tarinya, kecepatan pukulan balungan suatu gending, dan suasana gendingnya). Unsur wirama ini selanjutnya akan mengatur irama yang harus dimiliki oleh seorang penari.

Terdapat tiga aspek kepekaan dalam wirama yaitu:

  • Kepekaan irama gending

    Gending dalam konteks sebagai musik tari merupakan unsur yang sangat penting dan cenderung mendominasi. Gending sangat berpengaruh sekali dalam pembangun pembentuk karakter tari. Penari harus mempunyai kepekaan dan ketajaman untuk dapat selaras dengan irama gending sebagai musik tarinya.

    Penari harus dapat mengikuti dinamika yang dihasilkan oleh gending pengiringnya. Ada beberapa bagian pada gending yang harus diketahui oleh seorang penari, pada bagian ini biasanya sebagai pathokan untuk dimulai dan diakhirinya sebuah motif gerak. Titik-titik tekanan itu adalah kenong, kempul, kethuk dan gong.

    Hitungan merupakan kelipatan empat atau delapan. Sesuai dengan tradisi tari dalam tari Jawa baik gaya Yogyakarta maupun gaya Surakarta. Untuk memudahkan hitungan gending kaitannya dengan hitungan gerak tari maka digunakan ketentuan hitungan satu sampai delapan (1-8).

  • Kepekaan irama dalam hubungannya dengan gerak

    Kepekaan irama dalam hubungannya dengan gerak, yaitu ketajaman rasa untuk dapat mengorganisasi anggota tubuh dengan tempo, seperti yang dihasilkan oleh musik. Keteraturan dalam bergerak akan menghasilkan kesan gerak yang mengalir (mbanyu mili). Seorang penari harus terlebih dulu menguasai irama gerak yang disesuaikan dengan tempo yang ditimbulkan oleh gending pengiringnya.

  • Kepekaan irama hubungannya dengan kemampuan penari mengorganisasikan tubuhnya

    Kepekaan terhadap irama hubungannya dengan kemampuan penari mengorganisasikan tubuhnya, untuk digerakkan sesuai dengan kaidah-kaidah dan motif gerak yang ada. Kepekaan ini menuntut adanya ketajaman rasa dalam mengambil jarak antara anggota tubuh. Kaidah-kaidah yang ada, dimaksudkan untuk mendapatkan suatu pertunjukan tari yang dibawakan penarinya dengan kesan pantes, luwes, resik, mungguh, dan mrabu.

    Pantes adalah serasi, sesuai dengan proposi. Ada dua kriteria untuk dapat disebut pantes dalam tari putra halus gaya Yogyakarta.

    • Pertama, pantes dalam tari putra halus gaya Yogyakarta sangat terkait dengan kemampuan penari. Terkait dengan adanya istilah pantes dan sebagainya di keraton Yogyakarta terdapat istilah penari wiraga dadi. Istilah itu untuk menyebut penari yang dianggap terampil.

      Pada tingkatan ini penari diberi kebebasan untuk menyimpang dari pathokan-pathokan baku gaya Yogyakarta untuk kemudian disesuaikan dengan interpretasinya. Hal ini dilakukan oleh seorang penari untuk mendapatkan kesan pantes.

    • Kedua, pantes dikaitkan dengan karakter yang diperankan atau dibawakan. Perwatakan tari gaya Yogyakarta dikenal dengan istilah wanda, yang diambil dari peristilahan wayang kulit, yang berarti bentuk raut muka dan bentuk tubuh yang menggambarkan perwatakan/karakter tertentu.

      Kaitannya dengan pantes adalah pemeranan penari berdasarkan kesesuaian bentuk tubuh dan karakter penari dengan wanda peran yang akan dibawakan. Ketrampilan menjadi kurang penting karena yang dipentingkan adalah kesesuaian bentuk tubuh dengan raut muka penari dengan wanda wayang yang akan dibawakan.

    Luwes adalah suatu sifat pembawaan yang tidak mudah diajarkan. Penari dapat dikatakan luwes apabila dalam menari ia nampak wajar, tidak kaku, geraknya enak dilihat, lancar, mengalir sesuai dengan irama gamelan, tidak ada kesan dipaksakan, geraknya serius dan sungguh-sungguh tetapi tidak kelihatan tegang.

    Resik adalah bisa diartikan bersih. Untuk mendapatkan kesan bersih, seorang penari harus selalu mengontrol dengan cermat pada setiap geraknya. Gerakan harus dilakukan dengan rinci, dan cermat serta mengetahui kaidah-kaidah yang berlaku, hasil ini bisa didapatkan bila seorang penari sudah mengetahui teknik tari dengan baik dan mempunyai kepekaan akan rasa gending, irama dan gerak yang telah dijelaskan sebelumnya.

    Mungguh adalah kesan yang didapatkan dari seorang penari yang membawakan tariannya (perannya) dengan penuh penghayatan. Bagi penari yang sudah tidak berfikir tentang teknik tari atau hafalan, maka penari akan dapat lebih konsentrasi pada penghayatan karakter geraknya dan pada giliranya dapat meningkatkan rasa percaya diri. Mungguh juga dapat berarti penari dapat dengan tepat dan cermat membawakan perannya atau tariannya.

    Mrabu adalah kesan berwibawa, agung, dan berkarisma. Kesan seperti itu sifatnya agak khusus, karena tidak semua peran dapat mengisyaratkan kesan ini. Kesan ini hanya dapat diperoleh dari peran/tokoh yang relatif baik, misalnya seorang raja, seperti tari Klana Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta yang mengisahkan seorang Raja Parang Retna yang sedang jatuh cinta.

    Banyaknya tuntutan dalam aspek teknik dan penjiwaan dalam tari klasik gaya Yogyakarta, untuk dapat tampil dengan sempurna dalam sebuah pertunjukan dibutuhkan seorang penari yang mempunyai kemampuan teknik dan penguasaan karakter yang baik.

Wirasa


Wirasa adalah hal lain banyak bersangkut paut dengan masalah isi dari suatu tari. Masalah isi selalu banyak berhubungan dengan pengertian-pengertian yang terdapat dalam jogèd Mataram untuk tari gaya Yogyakarta dan Hasta Sawanda untuk tari gaya Surakarta.

Pada dasarnya penerapan wiraga dan wirama tarinya harus selalu mengingat akan arti, maksud, dan tujuan dari tarian tersebut, sehingga seorang penari akan tampil dengan penjiwaan secara utuh yang sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh.

Wirasa merupakan aspek penjiwaan dalam tari gaya Yogyakarta. Aspek penjiwaan ini tidak terlepas dari wiraga, wirama, wirasa yang nantinya akan terakumulasikan menjadi satu konsep yang disebut jogèd Mataram yang terdiri dari sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh. Semula konsep jogèd Mataram disampaikan secara lisan oleh guru tari ketika mengajarkan tari. Konsep jogèd Mataram mulai tersebar kepada masyarakat para penari semenjak tari gaya Yogyakarta dapat keluar dari tembok istana, yaitu semenjak berdirinya organisasi tari Kridha Beksa Wirama (K.B.W.) pada tahun 1918.

Konsep jogèd Mataram ini dipopulerkan oleh G.B.P.H. Soeryobronto, seorang pangeran dan penari andal Keraton Yogyakarta. Konsep jogèd Mataram sekarang telah sangat memasyarakat di komunitas tari. Sungguhpun, pada awalnya konsep ini merupakan sesuatu yang rahasia, yang tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang dan hanya yang boleh diajarkan kepada penari yang telah dipandang oleh guru menguasai tentang seni kebatinan. Hal ini tersurat dalam tembang sinom yang terdapat dalam Babad Prayud, sebagai berikut:

Jeng sultan malih ngendika, Kulup Tirtakusumèki,
Iku beksanmu madura, Iya kurang sereng kedhik, Beksanira mentawis,
Apa wis duwe sirèku, Nembah Tirtakusuma, Inggih putra padukaji,
Ingkang mulang leres lepatipun kilap,

Jeng sultan tindak saksana, Kulup mèluwa mami, Tumut manjing prabayasa,
Mangalèring jamban prapti, Payu lekasa kedhik, Nembang sigra beksanipun, Lagyantuk tigang gongan, Ya uwis iku nak mami,
Isih wutuh iya beksanmu mataram,

Aja murukaken sira, Ing beksa mataram iki,
Tur sembah Tirtakusuma, Putra dalem Sri Bupati, Kados paduka meling, Arungit mèsem ngendika, Iya pada lawan mami,
Sareng mijil Sultan lan Tirtakusuma
(Soedarsono, 2000).

(Sri Sultan bersabda, Putraku Tirtakusuma, Itu tarimu madura,
Ia kurang galak sedikit, Tarimu mataram,
Apa telah kau miliki, Menjawab Tirtakusuma, Ya putra baginda raja,
Yang mengajak hamba tidak tahu benar tidaknya,

Sri sultan berjalan cepat, Putraku ikutilah saya, Ikut masuk ke prabayasa,
Ke utara sampai ke permandian,
Marilah cepat sedikit, Menyanyi segera menari, Baru dapat tiga gongan, Ya sudahlah itu putraku,
Masih utuh tarianmu mataram.

Janganlah kau mengajarkan, Tirtakusuma ini, Bersembahlah Tirtakusuma, Putranda Sri Bupati,
Seperti yang paduka katakan, Sangat sukar tari mataram, Sultan tersenyum bersabda, Ya sama dengan saya,
Bersama keluar sultan dan Tirtakusuma).

Cuplikan tembang sinom di atas tersirat bahwa, jogèd Mataram adalah sesuatu yang rahasia, yang tidak boleh diketahui atau diajarkan kepada sembarang orang. Konsep ini menjadi sesuatu yang sangat dirahasiakan sampai kurang lebih tahun 1918, bersamaan berdirinya suatu organisasi tari di luar keraton.

Seperti diungkapkan oleh G.B.P.H. Soeryobrongto bahwa jogèd Mataram adalah kewajiban atau seni penjiwaan dari tari klasik gaya Yogyakarta (Soeryobrongto, 1981). Konsep jogèd Mataram sering juga disebut ilmu jogèd Mataram yang diciptakan oleh Sri Sultan H.B I (1755-1792). Pada waktu itu tidak semua guru mengetahui mengenai konsep jogèd Mataram, sehingga tidak mengherankan apabila banyak murid tidak mengetahuinya. Namun demikian murid yang betul-betul memiliki bakat dan sudah memperoleh kematangan lahir batin, oleh guru yang terpercaya, dapat diperkenankan mendalami ilmu jogèd Mataram.

Pathokan baku


Pathokan baku adalah suatu aturan tari gaya Yogyakarta yang mutlak harus ditaati (dilakukan) bagi seorang penari, baik putra maupun putri yang ingin mencapai tingkat optimal dalam seni tarinya.

Berikut ini akan dikemukakan penjelasan terperinci mengenai pathokan baku pada Tari Klasik Gaya Yogyakarta.

1. Sikap badan (deg)

Sikap badan penari ketika menari harus selalu kelihatan baik apabila dipandang dari segala arah. Badan penari harus selalu tegap (ndegèg). Sikap tegap yang dimaksud adalah tulang belakang (columna vertebrae) berdiri tegak, tulang belikat (scapula) datar (rata), bahu (humeri) membuka, tulang rusuk (costae) diangkat, dada (thorax) dibusungkan, dan perut (abdomen) dikempiskan.

Langkah yang harus diambil oleh seorang penari untuk mendapatkan sikap dan gerak badan seperti di atas adalah dengan jalan menarik napas panjang sampai badan dalam posisi seperti yang dimaksud, kemudian napas dikembalikan, akan tetapi tidak boleh mengubah posisi sikap badan. Selanjutnya seorang penari bernafas seperti biasa. Sikap badan semacam ini harus dipertahankan selama menari, walaupun penari di atas pentas dalam keadaan diam, tidak bergerak. Sikap badan seperti itu harus dilakukan dari awal masuk pentas sampai selesai menari dan meninggalkan tempat pentas.

2. Sikap dan gerak kaki

Bagian kaki (metatarsus) penari ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian tungkai atas (femur) dan jari-jari kaki (phalanges). Posisi kaki dengan ketentuan sebagai berikut:

  • pupu mlumah atau tungkai atas (femur) terentang
  • dhengkul megar atau lutut (patella) membuka
  • suku malang atau kaki (metatarsus) melintang
  • driji nylekenthing atau jari-jari kaki (phalanges) diangkat ke atas

3. Mendhak

Mendhak adalah posisi tungkai (femur dan patella) yang merendah dengan tekukan lutut (patella). Tekukan lutut (patella) ini dilakukan dalam keadaan tungkai atas (femur) terbuka. Mendhak yang mapan memungkinkan gerakan tungkai (femur, patella, tibia, fibula, ossa tarsalia, ossa metatarsalia, dan phalanges) lebih hidup sehingga tarinya kelihatan ébrah (besar). Ruang geraknya menjadi luas atau dapat dikatakan mengisi ruang.

Posisi mendhak walaupun yang merendah tungkai atas (femur dan patella), namun sebenarnya kekuatan atau tekanan gerak terletak pada cethik (pelvis), jadi tekukan lutut (patella) sebagai akibat cethik (pelvis) ditekan ke bawah.

Tidak ada ukuran yang pasti seberapa rendah tekukan femur dan patella itu, namun yang jelas tidak terlalu rendah sekali dan tidak terlalu kelihatan tidak merendah. Ukuran untuk mendhak setiap penari berbeda-beda tergantung pada tinggi rendahnya tubuh penari, akan tetapi sikap mendhak itu kelihatan luwes dan tanpa mengganggu dalam melakukan gerak.

Posisi mendhak lutut (patella) harus tetap terbuka. Posisi mendhak demikian itu gerak akan lebih nampak kuat. Apabila penari tidak mendhak intensitas gerakan akan kosong dan akan kelihatan lemah. Namun demikian apabila penari terlalu mendhak akan menghasilkan tari yang nampak dipaksakan (ngaya) dan membuang tenaga. Mendhak harus dilakukan tidak kendor, tetapi juga tidak tegang.

Jadi mendhak yang benar adalah mendhak cethik (pelvis) yaitu merendah sehingga memusatkan gerak pada cethik (pelvis) bukan pada tekukan lututnya (patella).

4. Sikap tangan

Lebar tangan (jarak tangan dengan badan) untuk tari putra berbeda dengan tari putri. Untuk tari putra masih dibedakan lagi putra halus dan putra gagah. Untuk tari putra halus jarak tangan dengan badan kurang lebih satu pethènthèngan.

Mengukurnya dengan cara menempelkan kedua telapak tangan (ossa metacarpalia) pada pinggang. Ukuran lebar tangan (humerus, ulna-radius, carpalia, metacarpalia, ossa metacarpalia, dan phalanges) ini dipakai semua standar tari halus apapun. Bentuk tangan (humerus, ulna-radius, carpalia, metacarpalia, ossa metacarpalia, dan phalanges) apabila menekuk adalah siku-siku dengan pusat atau tekanan pada pergelangan tangan (capalia).

Gerak tangan selalu dipusatkan pada pergelangan tangan (carpalia) sedangkan lengan (humerus, ulna- radius) hanyalah mengikuti. Pemusatan gerak tangan (humerus, ulna-radius, carpalia, metacarpalia, ossa metacarpalia, dan phalanges) pada pergelangan tangan (carpalia) ini dimaksudkan agar posisi tangan dan siku dapat stabil tidak mengembang maupun menguncup (megar-mingkup).

5. Pacak gulu/gerak leher (cervical vertebrae)

Gerak leher (cervical vertebrae) dipusatkan pada tekukan (coklèkan) jiling (cervic), yaitu persendian kepala (cranium) dengan leher (cervical vertebrae) baik untuk tolehan maupun pacak gulu.

Gerak demikian itu adalah tidak Dalam gaya Yogyakarta terdapat empat (4) macam pacak gulu yaitu:

  1. Pacak gulu baku (pokok) kanan dan kiri (dexter-sinester)
  2. Tolèhan kanan dan kiri (dexter- sinester)
  3. Coklèkan kanan dan kiri (dexter-sinester)
  4. Gedheg khusus untuk tari putra gagah kanan dan kiri (dexter- sinester).

6. Gerak cethik (pelvis)

Cethik atau pangkal tungkai atas (pelvis) merupakan bagian yang sangat penting dalam gerak tubuh penari baik ke arah samping maupun ke bawah atau mendhak. Gerak tubuh ke samping baik ke kanan maupun ke kiri (dexter-sinester) yang benar dalam tari gaya Yogyakarta harus dilakukan dengan pemusatan gerak pada pangkal tungkai atas atau cethik (pelvis).

7. Pandangan mata (pandengan)

Pandangan mata dalam tari gaya Yogyakarta dengan ketentuan kelopak mata terbuka, bola mata lurus ke depan menurut arah hadap muka, dan pandangan tajam, dengan jarak kurang lebih 3 kali tinggi badan. Mata seorang penari tidak boleh berkedip-kedip karena akan kelihatan rongeh dan kurang konsentrasi.

Pathokan tidak baku


Pathokan-pathokan baku merupakan pegangan dasar penari pada umumnya yang memiliki keadaan fisik normal atau wajar, serasi, dan bagus. Sering terjadi ada seorang penari yang memiliki beberapa kekurangan dalam fisiknya. Para penari yang memiliki kekurangan- kekurangan fisik, mereka harus menggunakan pathokan tidak baku atau khusus untuk menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.

Pathokan tidak baku ini bukan merupakan pegangan yang dapat dijalankan oleh setiap orang atau penari. Pathokan ini sering disebut pathokan khusus atau pathokan tidak baku atau juga sering disebut pathokan penyesuaian diri.

1. Luwes

Luwes merupakan sifat pembawaan dari seorang penari. Penari dikatakan luwes apabila kelihatan wajar dan tidak kaku dalam membawakan tariannya. Gerak yang dilakukan tampak lancar, mengalir sesuai dengan irama yang digunakan dan enak dinikmati, tak ada kesan dipaksakan, geraknya serius dan sungguh- sungguh tetapi tidak kelihatan tegang (kenceng nanging ora ngecenceng).

2. Patut

Patut adalah serasi dan sesuai. Mengingat adanya kekurangan- kekurangan fisik penari diperbolehkan melakukan gerak yang sedikit agak menyimpang dari pathokan ragam tarinya, menurut selera dan interpretasinya sendiri. Penyimpangan itu diperbolehkan asal guru tari yang bertanggung jawab sudah menilainya patut. Kepatutan ini di dalam wayang wong Kraton Yogyakarta erat sekali hubungannya dengan “wanda” seorang penari. Wanda adalah raut muka yang menggambarkan perwatakan/karakter.

3. Resik

Resik dalam tari dapat diartikan bersih atau cermat dalam melakukan gerak. Penari dapat dikatakan bersih apabila dapat menguasai tiga macam kepekaan irama, yaitu kepekaan irama gending, kepekaan irama gerak, dan kepekaan irama jarak. Kepekaan penari terhadap irama ini akan selalu memperhitungkan ketepatan gerak tarinya. Gerakan harus dilakukan dengan cermat dengan mematuhi keharusan- keharusan yang berlaku. Hal ini dapat dilaksanakan apabila penari telah menguasai teknik tari dengan baik. Kecermatan ini merupakan perwujudan tari yang tidak berlebihan tetapi juga tidak kurang, sehingga dilakukan dengan tepat dan cermat.

Berikut dokumentasi tari klasik Yogyakarta jaman dahulu

Sumber : Supriyanto, Tari klana alus sri suwela gaya Yogyakarta perspektif Joged Mataram, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta