Ulah Debu Jahat

Sumber foto : https://pin.it/5jUqSmZ

Ulah Debu Jahat
Oleh Shofa’Nur Amirah Khairiyah

Hati ini rasanya hancur berkeping-keping kala itu, mungkin mata ini juga mulai lelah menutupi dusta hingga ia membiarkanku melihat dunia getir di hadapanku. Rasanya aku mulai gila, hingga aku bertindak layaknya retrofili yang sangat kubenci. Tangisan wanita tua di supermarket tadi terus terngiang di kepalaku. Tidak ingin berhenti sekeras apapun aku mencoba.
Ia terduduk di lantai kotor supermarket yang dibiarkan terbelangkai oleh petugas ex-Cleaning Service. Sendirian dan terlihat hampa, padahal ia berada di tempat yang sekiranya sangat ramai. Namun orang-orang hanya berlalu-lalang, seolah ia adalah bagian dari lantai kotor itu. Mungkin diriku yang dulu akan berpikir dia orang aneh dengan masalah kejiwaan, dan mungkin aku akan menyuruh satpam untuk mengusirnya dari tempat itu atau mengabaikannya.
Namun dia bukanlah orang aneh, dia bisa kupastikan tidak memiliki gangguan jiwa bahkan tanpa mengenalnya terlebih dahulu, dia hanyalah seorang manusia seperti kita, tapi dengan hati yang seharusnya dimiliki oleh manusia seperti kita. Bidadari kecil yang sangat kumuh berlari melewati diriku yang mematung, ia berhenti kemudian menatapnya dengan paras bingung sembari berkata ,“Mama, apakah debu jahat itu masuk ke matamu lagi?”. Jika saja aku tidak dilatih untuk menjadi sosok yang kuat dan tegar, mungkin ratusan tetes air mata akan dengan senang hati membasahi pipiku saat itu juga.
Mereka berdua sangat kurus, terlalu kurus hingga aku merasa jijik dengan badan kekar yang kumiliki. Wanita itu mengusap matanya, kemudian memberikan senyuman bercahaya kepada bidadari kecilnya, senyuman yang mungkin tidak seindah artis-artis terkenal di luar sana. Ia mengangguk, kemudian mengusapkan tangannya ke lantai seolah-olah memarahi ‘debu jahat’ yang dimaksud sang bidadari.
Mereka pergi, bergandengan tangan seolah-olah mereka memiliki dunia dan masalah tidak mungkin menempa mereka, atau begitulah sampulnya. Wanita tua itu berjuang terlalu keras untuk menutupi pahitnya hidup dari sang bidadari, tidak ingin bagian dalamnya ikut kumuh bersama pakaiannya. Dan dia berhasil, sang bidadari melompat girang tanpa mengetahui hal kejam apa yang sebenarnya dia akan rasakan tanpa wanita itu.
Aku dan rak-rak kosong di supermarket tadi mungkin satu-satunya yang sadar akan tangisan pilu wanita itu. Atau itulah yang ingin kupercaya, bukan fakta bahwa banyak orang berlalu lalang melewati wanita tua tadi, atau fakta bahwa petugas supermarket menolak melihat ke arahnya. Aku memaksa mataku berpaling dari getirnya fakta itu, atau kebanggaan ku yang telah dilatih menjadi sosok kekar nan tangguh akan runtuh dalam sekedip mata.
Aku pulang dengan tangan kosong, seakan lupa dengan tujuanku berlabuh ke Supermarket tadi. Namun aku memilih untuk menahan amarah perutku yang tidak seberapa dibanding harus terhantui oleh bayangan dua bidadari yang entah apa yang akan terjadi pada mereka malamnya. Ya, keputusaanku sudah bulat, aku tidak mau harus mengingat kenangan kejam itu setiap makan.
Namun, mataku kiranya mulai lelah dipaksa menunjukkan dusta membahagiakan, hingga ia melawan dengan kenyataan getir tepat di depan rumahku. Ibu dengan bahagia memeluk ayah, begitupun dengan kakak dan bibi, mereka sangat puas dengan apa yang dibawa pulangnya. Ayah bilang itu cuman beberapa karung beras, beberapa kilo rempah-rempah, beberapa dos masker, dan beberapa lainnya yang hanya cukup ditampungnya dalam satu buah mobil open cup itu.
Aku tidak mengerti dengan pikiranku, mereka adalah keluargaku yang sangat kusayang, kenapa bisa rasa benci ini sangat menggebu-gebu hingga rasanya ingin meletus. Oh, aku lupa. Pelatihku bilang seberapa tegarpun seseorang, ketika amarahnya berada di puncak, maka ia akan meluapkannya orang lain. Dan akupun sadar kalau aku sudah meluapkan amarahku. Ibu berbalik kearahku kaget, aku tersenyum, “hanya ulah debu jahat, bu”, kataku.