Tujuan Satu-Satunya

Taman Surga

Seseorang berkata:

“Seorang lelaki ingin menemuimu. Dia terus saja berkata, ‘Aku berharap bisa melihat Sang Guru.’”

Maulana Rumi menjawab:

“Dia tidak akan melihat Guru saat ini karena dalam kebenaran hasrat yang memenuhinya, yaitu untuk melihat Guru, ada selubung yang menyembunyikan Guru dari pandangannya. Demikian juga Guru tidak akan melihatnya selama selubung itu masih ada. Dengan demikian, maka semua bentuk keinginan, kecenderungan, cinta, dan kasih sayang yang tersembunyi di hati manusia terhadap segala sesuatu—terhadap ibu, ayah, kekasih, langit, bumi, taman, istana, ilmu, perbuatan, makanan, dan minuman—juga merupakan bagian dari hasrat (kecintaan dan kerinduan) kepada Allah."

Semua hasrat di atas sebenarnya adalah selubung yang menutupi mata manusia. Ketika manusia telah menjalani kehidupan di dunia ini dan melihat Raja-nya tanpa ada selubung, mereka akan menyadari bahwa semua hasrat itu tak lain merupakan selubung dan tabir, dan bahwa pengembaraan sejati mereka dalam realitas tertuju pada satu hal. Semua masalah akan terpecahkan, mereka akan mendengarkan semua jawaban atas semua pertanyaan dan masalah yang ada di hati mereka, dan semuanya terlihat dengan jelas. Ini bukan cara Allah untuk menjawab berbagai pertanyaan dan masalah secara terpisah, melainkan dengan satu jawaban yang merangkum semua pertanyaan dan masalah, dan semua persoalan terselesaikan.

Seperti yang terjadi di musim dingin, di mana semua orang pergi dengan mengenakan pakaian kulit yang tebal untuk mencari tempat bernaung dari suhu yang amat dingin di dalam gua yang hangat. Demikian juga dengan pepohonan, rerumputan, dan tetumbuhan lainnya yang karena didera oleh hawa dingin menjadi tak berdaun dan berbuah; sementara tetumbuhan itu menyimpan harta bendanya dalam dirinya dan menyembunyikannya agar dingin yang menyengat itu tak mampu meraihnya. Ketika musim semi, Allah menjawab semua permohonan mereka itu dengan satu wahyu, lalu semua masalah yang beragam seperti menghidupkan, menumbuhkan, dan menggugurkan itu terselesaikan dan sebab-sebab yang beragam pun menjadi hilang seketika. Semuanya akan mengangkat kepalanya, dan menyadari penyebab malapetaka itu.

Allah SWT menciptakan selubung-selubung ini demi kebaikan. Sebab jika keindahan Allah dipersaksikan tanpa adanya selubung, maka kita tidak akan mampu untuk menahan dan menikmatinya. Melalui perantaraan selubung-selubung ini kita mendapatkan pertolongan dan kenikmatan. Lihatlah matahari di atas sana. Melalui cahayanya kamu bisa membedakan kebaikan dengan keburukan, dan menemukan kehangatan sinarnya. Pepohononan dan kebun buah-buahan yang mendapatkan kehangatan sinarnya telah menjadikan buah-buahan yang tadinya mentah, ciut, dan pahit menjadi matang, besar, dan manis. Dengan cahaya terangnya, logam-logam emas dan perak, batu akik dan batu safir dihasilkan. Tetapi jika matahari yang memberikan banyak manfaat ini ditakdirkan untuk mendekat ke bumi, maka ia tidak akan memberikan keuntungan bagi siapapun. Sebaliknya, seluruh dunia dan setiap makhluk justru akan hangus terbakar dan hancur.

Ketika Allah hendak menampakkan Diri-Nya melalui sebuah selubung kepada gunung, Dia akan menyelubungi Diri-Nya dengan pohon, bunga, dan tumbuhan hijau. Sebab ketika Allah menampakkan Diri-Nya tanpa selubung, Ia akan membuat semua yang ada di atas dan di bawah hancur berkeping-keping.

“Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh.” (QS. al-A’raf: 143)

Salah seorang lainnya ikut bertanya:

“Akan tetapi, bukankah matahari juga muncul di musim dingin?”

Maulana Rumi menjawab:

“Tujuan kita di sini adalah untuk memberikan contoh. Ini bukan persoalah tentang keindahan atau muatan. Keserupaan adalah satu hal, dan contoh adalah hal yang lain. Meski akal kita tidak mampu memahami hal itu, tapi bagaimana bisa akal menahan upaya ini? Bukan akal namanya jika tak mengerahkan segala daya dan menghentikan perjuangan."

Akal adalah sesuatu yang terus menerus berproses, siang dan malam, terus berpikir, berusaha, dan bekerja keras untuk memahami Sang Pencipta, meskipun Allah tidak bisa diketahui dan tidak bisa dipahami. Akal itu laksana kupu-kupu dan kekasih bagaikan sebatang lilinnya. Kapan pun kupu-kupu itu terjebak dalam lilin, ia akan lebur dan hancur. Meskipun kupu-kupu harus merasa panas dan terbakar karenanya, ia tetap membutuhkan lilin itu. Jika ada hewan lain seperti kupu-kupu yang tidak mampu terbang dari cahaya lilin, itu bukan merupakan sebuah perbandingan, tapi hewan tersebut pasti kupu-lupu itu sendiri. Namun, jika kupu-kupu melemparkan dirinya ke dalam cahaya lilin dan tidak terbakar, tentu itu bukanlah sebuah lilin.

Oleh sebab itu, seseorang yang senang berada jauh dari Tuhannya dan tidak berusaha untuk sampai kepada-Nya, maka ia bukanlah manusia. Tetapi jika ia mampu memahami Sang Pencipta, tentu saja dia bukanlah Tuhan. Manusia sejati adalah mereka yang tak pernah berhenti berusaha dan terus mengitari cahaya keagungan Tuhannya tanpa henti dan kecil hati. Sementara Tuhan akan menyerap manusia dan menjadikan mereka bukan apa-apa, sebab Dia tak bisa dipahami oleh akal siapapun.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum